Thursday, August 21, 2014

MEDIA GEREJA, BISA DIBREDEL?


“Media Gereja, bisa dibredel?” Pertanyaan ini terkesan provokatif dan menggugah kesadaran orang lain untuk mengatakan bahwa  “tidak terjadi pembredelan” terhadap media Gereja. Keberadaan media Gereja menjadi corong pewartaan Gereja  sehingga tidak ada alasan untuk menghentikan bahkan memblokir secara arogan. Pengalaman membuktikan, selama mengelola majalah selama tiga tahun di Stasi Gregorius Tangerang (sebelum menjadi paroki), proses pemberitaan dan informasi seputar Gereja stasi dan lingkungan menjadi sangat hidup. Waktu itu, Romo Sriyanto, SJ sebagai pastor paroki Santa Maria-Tangerang, yang juga menangani Stasi Gregorius yang masih menginduk di Paroki Santa Maria-Tangerang, mendukung munculnya majalah. Tahun 2010 majalah Gereja  ini terbit dan dibaptis dengan nama “Voluntas,” sebuah nama yang kami pilih dengan titik refleksi pada fiat Voluntas tua, milik Bunda Maria.
               
Tim redaksi menyadari bahwa apa yang kami lakukan dalam karya pewartaan melalui media cetak, semata-mata karena kehendak baik. Berangkat dari  kehendak baik inilah maka seluruh tantangan yang kami alami, dihadapi dengan lebih dewasa. Keberadaan media Gereja, bagi umat yang peduli, akan memberikan respons yang baik, sedangkan bagi umat yang tidak punya kepedulian, baik itu sebagai pembaca maupun berperan dalam memberikan kontribusi menghidupkan  media gereja ini, tentu memberikan respons yang negatif.  
Majalah VOLUNTAS
                Setelah terjadi peralihan stasi menjadi sebuah paroki mandiri, pada 23 September 2012, harapan para awak media Gereja adalah media semakin berkembang dan mendapat dukungan dari pastor paroki. Harapan yang digantungkan itu terlalu tinggi dan ternyata tidak seperti yang diharapkan. Voluntas, terbit terakhir ketika meliput pesta akbar peresmian menjadi Gereja paroki mandiri. Setelahnya, pihak Voluntas berusaha membuat laporan penerbitan dan laporan keuangan selama bekerja dalam nuansa sebagai sebuah stasi. Tidak ada evaluasi dari pastor paroki dan pastor rekan serta dewan. Malah terjadi pada bulan Mei 2013, diminta untuk berhenti terbit. Sebagai umat yang taat, kami mengikutinya. Tetapi sebelumnya kami menyerahkan uang tujuh juta lebih dan satu kamera yang kami beli dengan jerih payah para tim redaksi tanpa didukung oleh dewan dari segi finansial.
                Sebagai kelompok yang kritis, kami terus mengajukan pertanyaan, mengapa dihentikan atau saya istilahkan, mengapa dibredel? Romo tidak memberikan alasan yang jelas. “Yang penting berhenti  terbit dan akan diganti dengan buletin.”  Perubahan format dari sebuah majalah ke buletin, bukankah ini merupakan sebuah kemunduran? Pertanyaan ini menjadi penting saat berdialog dengan pastor dan dewan paroki. Tetapi mereka tetap berada pada keputusan agar majalah Voluntas dihentikan. Memang sulit berdialog dengan orang-orang yang tidak memahami secara detail tentang peran media, walaupun dia itu adalah seorang imam. Seorang imam, walaupun tidak tertarik dengan media, tetapi seharusnya tetap memberikan dukungan kepada umat yang memiliki naluri yang kuat dalam menulis untuk bisa mewartakan Kristus dan membangun iman umat.
Seberapa jauh seorang imam menyadari pentingnya keberadaan media? Media Gereja, baik itu media cetak maupun elektronik berperan penting dalam memberikan informasi dan mewartakan tentang Kristus dan ajaran-Nya. Ajaran-ajaran iman tidak bisa disuarakan dari atas mimbar saat imam berkhotbah karena keterbatasan waktu dan tidak luas jangkauannya. Menyadari akan keterbatasan imam ataupun para katekis  Gereja maka keberadaan media menjadi penyambung dan menyebarkan nilai-nilai injili.
Dalam koleksi nukilan praktis “Pengarah Langkah,” Mgr. Vitalis Djebarus, SVD, mantan Uskup Denpasar-Bali menulis, “Jika saya melihat seorang Katolik tidak berminat untuk pers Katolik dan tidak memberikan dukungan yang aktif maka terpaksa saya harus mengatakan kepadanya: kamu tidak menaruh minat kepada Gerejamu. Sebab pers adalah corong bicara ajarannya.” Bertitik tolak dari pernyataan ini, jelas bahwa sebagian umat memberikan kontribusi penuh terhadap perkembangan media Gereja, persoalannya terletak pada cara pandang seorang gembala terhadap keberadaan media. Mungkin di era digital ini keberadaan media cetak menjadi kurang laku tetapi hal ini  perlu dievaluasi, apakah keberadaan majalah Gereja masih relevan ataukah sudah waktunya diganti dengan media lain? Pewartaan yang baik mestinya mengandalkan banyak media untuk menyampaikan pesan-pesan injili, baik itu pesan lisan ataupun tertulis yang berkaitan dengan tulisan-tulisan rohani.
Lemahnya pengelolaan majalah atau media Gereja, menunjukkan sikap yang kurang respek terhadap perkembangan media dalam lingkup Gereja dan sekaligus tidak punya kepedulian dalam mendidik para wartawan Katolik untuk terlibat dalam masyarakat untuk menyampaikan pesan-pesan kebenaran. Wartawan, entahkah itu wartawan Katolik ataupun wartawan beragama lain, mereka adalah “martir-martir pena” dan pejuang-pejuang kebenaran yang coba membongkar dan menyuarakan kebenaran dari dalam masyarakat  yang mungkin selama ini ditutup-tutupi. Para wartawan juga dilihat sebagai pejuang yang diutus untuk berlaga di medan perang dengan membawa “senjata pena.” Paus Pius XII pernah menulis: “Pendahulu-pendahulu kami pernah memberkati pedang-pedang dan senjata-senjata pejuang Kristen tetapi saya lebih suka memberi  berkatku kepada pena jurnalis-jurnalis Kristen.”    
                Gereja mestinya terus menyadari pentingnya eksistensi media terutama media internal Gereja, selain memberi informasi tetapi juga menumbuhkan iman umat lewat  tulisan-tulisan yang berbobot. Bahwa pengaruh sebuah tulisan di media jauh lebih kuat ketimbang khotbah di mimbar yang gampang untuk dilupakan.
Pada tanggal 1 Juli 2013, muncul  “warta Gregorius” yang hanya selembar untuk mengganti majalah Voluntas yang dibekukan. Apa yang bisa diharapkan dari selembar  “Warta Gregorius” dengan awak media yang baru?  Tiga tahun majalah Voluntas berkibar dan pada usianya yang ketiga, “dihukum mati” oleh seorang gembala. Usianya tidak jauh berbeda dengan usia Yesus berkarya. Kurang lebih tiga tahun Yesus berkarya di hadapan umum dan  mewartakan tentang Kerajaan Allah dan pada akhirnya Yesus harus berhadapan dengan penguasa dunia dan mati secara tragis di tangan para algoju. Kalau membandingkan dengan Voluntas, sebuah majalah baru tumbuh dan berkarya tiga tahun, harus mengakhiri usianya dan harus mati di tangan sang gembala. Barangkali majalah ini harus mati agar media lain bisa tumbuh walaupun masih  bayi yang bernama “Warta Gregorius.”***(Valery)   

0 komentar: