“Media Gereja, bisa dibredel?” Pertanyaan ini terkesan provokatif dan menggugah kesadaran orang lain untuk mengatakan bahwa “tidak terjadi pembredelan” terhadap media Gereja. Keberadaan media Gereja menjadi corong pewartaan Gereja sehingga tidak ada alasan untuk menghentikan bahkan memblokir secara arogan. Pengalaman membuktikan, selama mengelola majalah selama tiga tahun di Stasi Gregorius Tangerang (sebelum menjadi paroki), proses pemberitaan dan informasi seputar Gereja stasi dan lingkungan menjadi sangat hidup. Waktu itu, Romo Sriyanto, SJ sebagai pastor paroki Santa Maria-Tangerang, yang juga menangani Stasi Gregorius yang masih menginduk di Paroki Santa Maria-Tangerang, mendukung munculnya majalah. Tahun 2010 majalah Gereja ini terbit dan dibaptis dengan nama “Voluntas,” sebuah nama yang kami pilih dengan titik refleksi pada fiat Voluntas tua, milik Bunda Maria.
Majalah VOLUNTAS |
Sebagai kelompok yang
kritis, kami terus mengajukan pertanyaan, mengapa dihentikan atau saya
istilahkan, mengapa dibredel? Romo tidak memberikan alasan yang jelas. “Yang
penting berhenti terbit dan akan diganti
dengan buletin.” Perubahan format dari
sebuah majalah ke buletin, bukankah ini merupakan sebuah kemunduran? Pertanyaan
ini menjadi penting saat berdialog dengan pastor dan dewan paroki. Tetapi
mereka tetap berada pada keputusan agar majalah Voluntas dihentikan. Memang
sulit berdialog dengan orang-orang yang tidak memahami secara detail tentang
peran media, walaupun dia itu adalah seorang imam. Seorang imam, walaupun tidak
tertarik dengan media, tetapi seharusnya tetap memberikan dukungan kepada umat
yang memiliki naluri yang kuat dalam menulis untuk bisa mewartakan Kristus dan
membangun iman umat.
Seberapa jauh seorang imam menyadari pentingnya
keberadaan media? Media Gereja, baik itu media cetak maupun elektronik berperan
penting dalam memberikan informasi dan mewartakan tentang Kristus dan
ajaran-Nya. Ajaran-ajaran iman tidak bisa disuarakan dari atas mimbar saat imam
berkhotbah karena keterbatasan waktu dan tidak luas jangkauannya. Menyadari
akan keterbatasan imam ataupun para katekis
Gereja maka keberadaan media menjadi penyambung dan menyebarkan
nilai-nilai injili.
Dalam koleksi nukilan praktis “Pengarah
Langkah,” Mgr. Vitalis Djebarus, SVD, mantan Uskup Denpasar-Bali menulis, “Jika
saya melihat seorang Katolik tidak berminat untuk pers Katolik dan tidak
memberikan dukungan yang aktif maka terpaksa saya harus mengatakan kepadanya:
kamu tidak menaruh minat kepada Gerejamu. Sebab pers adalah corong bicara
ajarannya.” Bertitik tolak dari pernyataan ini, jelas bahwa sebagian umat
memberikan kontribusi penuh terhadap perkembangan media Gereja, persoalannya
terletak pada cara pandang seorang gembala terhadap keberadaan media. Mungkin
di era digital ini keberadaan media cetak menjadi kurang laku tetapi hal ini perlu dievaluasi, apakah keberadaan majalah
Gereja masih relevan ataukah sudah waktunya diganti dengan media lain?
Pewartaan yang baik mestinya mengandalkan banyak media untuk menyampaikan
pesan-pesan injili, baik itu pesan lisan ataupun tertulis yang berkaitan dengan
tulisan-tulisan rohani.
Lemahnya pengelolaan majalah atau media Gereja,
menunjukkan sikap yang kurang respek terhadap perkembangan media dalam lingkup
Gereja dan sekaligus tidak punya kepedulian dalam mendidik para wartawan
Katolik untuk terlibat dalam masyarakat untuk menyampaikan pesan-pesan
kebenaran. Wartawan, entahkah itu wartawan Katolik ataupun wartawan beragama
lain, mereka adalah “martir-martir pena” dan pejuang-pejuang kebenaran yang
coba membongkar dan menyuarakan kebenaran dari dalam masyarakat yang mungkin selama ini ditutup-tutupi. Para
wartawan juga dilihat sebagai pejuang yang diutus untuk berlaga di medan perang
dengan membawa “senjata pena.” Paus Pius XII pernah menulis:
“Pendahulu-pendahulu kami pernah memberkati pedang-pedang dan senjata-senjata
pejuang Kristen tetapi saya lebih suka memberi berkatku kepada pena jurnalis-jurnalis Kristen.”
Gereja
mestinya terus menyadari pentingnya eksistensi media terutama media internal
Gereja, selain memberi informasi tetapi juga menumbuhkan iman umat lewat tulisan-tulisan yang berbobot. Bahwa pengaruh
sebuah tulisan di media jauh lebih kuat ketimbang khotbah di mimbar yang
gampang untuk dilupakan.
Pada tanggal 1 Juli
2013, muncul “warta Gregorius” yang
hanya selembar untuk mengganti majalah Voluntas yang dibekukan. Apa yang bisa
diharapkan dari selembar “Warta
Gregorius” dengan awak media yang baru? Tiga
tahun majalah Voluntas berkibar dan pada usianya yang ketiga, “dihukum mati”
oleh seorang gembala. Usianya tidak jauh berbeda dengan usia Yesus berkarya.
Kurang lebih tiga tahun Yesus berkarya di hadapan umum dan mewartakan tentang Kerajaan Allah dan pada
akhirnya Yesus harus berhadapan dengan penguasa dunia dan mati secara tragis di
tangan para algoju. Kalau membandingkan dengan Voluntas, sebuah majalah baru
tumbuh dan berkarya tiga tahun, harus mengakhiri usianya dan harus mati di tangan
sang gembala. Barangkali majalah ini harus mati agar media lain bisa tumbuh
walaupun masih bayi yang bernama “Warta
Gregorius.”***(Valery)
0 komentar:
Post a Comment