Tuesday, February 16, 2021

Mereka Seperti "Lebah"

Beberapa hari terakhir ini, santer terdengar kata Buzzer karena beberapa tokoh yang berseberangan dengan pemerintah sudah mulai gerah dengan para buzzer yang lebih pro pada pemerintah saat ini. Siapa itu para buzzer sehingga sangat ditakuti oleh para oposisi? Buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu. Atau secara umum, para buzzer adalah orang-orang giat di media sosial yang siap memberikan kritik balik kepada tokoh-tokoh tertentu yang ingin memanaskan situasi melalui cuitan twitter atau media sosial lainnya. Para buzzer bukanlah orang bayaran istana tetapi mereka adalah orang-orang yang membiayai kuota internet sendiri untuk bisa bermedia sosial. Para buzzer itu terkadang dilihat seperti “lebah” yang kalau diganggu maka semuanya melawan si pengganggu itu. Tapi dalam situasi normal, para buzzer pun diam pada sarang masing-masing.

Para buzzer ini muncul sebagai bentuk kecintaan terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Mereka (para buzzer) hadir di dunia maya tanpa adanya mobilisasi dari penguasa. Mereka memberikan kontribusinya terhadap negara dengan memberikan kritik tajam terhadap para pengganggu republik ini ketika ideologi  Pancasila diobrak-abrik oleh para pejuang khilafah. Buzzer pun hadir membela  ketika sang presiden dihina dan dicela oleh para oposisi pemerintahan. Kalau dilihat dari cara kerja buzzer ini, bagi mereka yang mencintai negeri dan pemerintahan yang sedang bekerja ini, merupakan sebuah bentuk sederhana untuk mempertahankan keadaban publik.  

Namun keberadaan buzzer ini sering dilihat sebagai “benalu” yang mengganggu jalannya proses demokratisasi di negeri ini. Karena itu ketika Hari Pers Nasional 9 Februari 2021, Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan bahwa, musuh terbesar pers saat ini, khususnya daring adalah para buzzer yang ia anggap tidak bertanggung jawab.  “Pers Indonesia secara khusus dalam dinamika politik kebangsaan saat ini penting menjalankan fungsi checks and balances sebagaimana menjadi DNA media massa sepanjang sejarah di negeri manapun.” (Tirto.id, 9/1/2021)

Merujuk pada apa yang dikatakan oleh pimpinan pusat Muhammadiyah di atas berkenaan dengan hari pers nasional, membersitkan perang gagasan antara media mainstream dengan  media sosial. Ketika para wartawan pada media mainstream yang diharapkan untuk memberikan informasi berimbang, mendidik dan mencerahkan masyarakat, ternyata jauh dari harapan publik maka nilai beritanya menjadi berbeda dengan fakta di lapangan. Kinerja wartawan pada media-media ternama sepertinya “tertawan” oleh kepentingan pemodal dan pesanan tertentu yang sengaja memanfaatkan peran kewartawanan untuk menggiring opini publik melalui tulisan di media. Jika wartawan pada media ternama sudah terkontaminasi dengan kepentingan konglomerat pada berita-berita yang disajikan dan opini-opini yang digaungkan itu tidak memiliki nilai karena jauh dari sentuhan fakta.


Kehadiran media sosial, di satu sisi dianggap mengganggu tetapi di sisi lain para buzzer yang aktif memberikan kritik balik pada media mainstream, sepertinya mengarahkan tingkat kepercayaan publik pada para buzzer. Di sini bisa dipahami bahwa untuk membangun kepercayaan publik dan mengembalik marwah pemberitaan, media mainstream harus membangun karakter baru yang berpihak pada kebenaran dengan mengedepankan fakta. Namun sayang, tingkat kepercayaan publik terhadap media-media ternama semakin tergerus, sementara masyarakat atau para nitizen lebih berpihak para buzzer yang berani bertaruh untuk kepentingan publik. Para buzzer adalah orang-orang merdeka, membeli kuota internet dan mengelola akun sendiri tanpa berharap pada siapa pun. Seperti lebah, para buzzer mengerumuni sebuah persoalan dan menjaga “sarang” (baca: Indonesia) dari serangan orang-orang tidak bertanggung jawab.***(Valery Kopong)
 

 

 

 

No comments: