Pertengahan bulan Februari merupakan bulan spesial bagi orang Katolik karena bertepatan dengan Rabu Abu di mana umat Katolik memulai masa pra paskah, memasuki sebuah retret agung untuk merenungkan kisah pengorbanan seorang Putera Tunggal Allah. Rabu Abu menjadi tanda pengingat bagi kita manusia yang tercipta dari debu dan tanah. Dengan menandai abu pada dahi, kita diingatkan sebagai manusia rapuh dan tak berdaya di hadapan Allah. Kerapuhan manusia bisa terlihat dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Kita rapuh, karena itu gampang terjerumus ke dalam kubangan dosa. Kita rapuh maka pertobatan yang sering kita lakukan, sepertinya sebuah seremoni dan lalu kita lupakan itu. Kapan tradisi untuk mempersiapkan diri terutama pada masa pra paskah ini dimulai?
Bukti adanya tradisi mempersiapkan paskah ditemukan pada sekitar abad ke 3 M. Dalam suratnya kepada Paus Viktor I, St. Ireneus tidak hanya bercerita tentang perbedaan waktu perayaan Paskah, tetapi juga adanya praktek puasa di tengah umat. “Beberapa umat berpikir bahwa mereka harus berpuasa selama satu hari, yang lain selama dua hari bahkan yang lain selama beberapa hari, sementara yang lain berpuasa selama 40 jam sepanjang siang dan malam.
Praktik berpuasa
selama 40 hari untuk menyambut Paskah , baru ditetapkan dalam Konsili Nicea (325) dan Konsili Laokidia (360). Angka 40
memiliki makna rohani. Nabi Musa berpuasa selama 40 hari dan 40 malam sebelum
menerima sepuluh perintah Allah di Gunung Sinai. Nabi Elia berjalan selama 40
hari dan 40 malam menuju Gunung Horeb (1 Raj.19:8). Tuhan Yesus berpuasa selama
40 hari dan 40 malam di padang gurun sebelum memulai pelayanan-Nya (Mat.4:2).
Dari catatan sejarah perjalanan ritual penerimaan abu ini memberikan pemahaman kita tentang pengalaman para tokoh iman pada masa lampau dan juga diperkuat pada perjanjian baru. Puasa yang mereka lakukan sebelum memulai sebuah peristiwa besar. Doa, tapa dan puasa menjadi kewajiban yang terus dibangun agar prosesnya berjalan secara baik dan pada akhirnya ketika memasuki peristiwa besar yang dihadapinya, semuanya berjalan secara baik. Ketika Musa hendak menerima sepuluh perintah Allah dalam bentuk dua loh batu, Ia bersama umat pilihan Allah, mengadakan puasa agar peristiwa pertemuan dengan Allah di gunung Sinai terlaksana dengan baik. Demikian juga Yesus, setelah dibaptis di sungai Yordan, Ia memulai puasanya di padang gurun. Dalam hening doa dan puasanya, Yesus mendapatkan tantangan atau lebih tepatnya godaan yang datang dari setan. Tetapi godaan-godaan itu dihadapinya dengan baik karena Yesus teguh pada prinsip dan berpegang pada misi awal kedatangan-Nya, yakni mewartakan Kerajaan Allah.
Kerajaan Allah menjadi inti pokok pewartaan-Nya sehingga apa pun godaan yang datang menggerusnya, Ia tetap teguh menghadapinya. Dalam masa pra paskah ini, kita sebagai pengikut Kristus, hendak membangun rasa tobat dan tapa di saat-saat keheningan panjang ini berlangsung. Kita diminta untuk berpuasa dan pantang terhadap makanan tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana membangun sikap tobat dan berbagi kasih kepada orang-orang di sekitar kita. Dengan momentum puasa ini, kita diminta untuk membangun hidup sederhana dengan makan secukupnya dan dari kecukupan hidup itu, kita berusaha untuk berbagi kepada orang lain.
Di sini, makna puasa tidak hanya dimengerti menahan rasa lapar saja tetapi dengan menahan rasa lapar itu, kita memangkas separuh uang belanja dan bisa didonasikan kepada mereka yang miskin. Puasa tidak mengarah pada aspek asketis personal tetapi mengarah pada nilai-nilai sosial. Dengannya, puasa mengasah kesadaran sosial kita untuk peka terhadap situasi sekitar yang rapuh dari kemerosotan sosial-ekonomi. Dalam rentang retret agung ini, kita berusaha untuk berbuat sesuatu kepada orang lain. Sekecil apa pun tindakan yang kita lakukan, bisa berdampak luarbiasa pada mereka yang membutuhkan.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment