Monday, February 22, 2021

Banjir dan Aksi Solidaritas

 

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah berbicara dengan salah seorang teman yang rumahnya selalu terkena banjir. Hampir setiap tahun ketika banjir besar datang menghampiri, perumahannya selalu menjadi langganan. Melihat kondisi perumahan itu, pada titik pembicaraan, saya menganjurkan agar bisa pindah dari perumahan itu karena rumah itu tidak nyaman lagi untuk ditempati. Anjuran saya ini dibantah oleh teman saya yang selalu berlangganan banjir itu. “Saya malah senang kalau ada banjir. Walaupun rumah saya dan warga sekitar terkena banjir tetapi pada saat yang sama kami sepertinya begitu akrab. Kami bahu membahu untuk saling membantu terutama dalam mengevakuasi barang-barang. Karena banjir maka kami berada dalam satu tempat pengungsian dan mengenal satu sama lain.”

Jawaban yang diberikan oleh teman saya ini memang cukup beralasan. Ketika saya menilai dengan kaca mata saya, rupanya tidak masuk dalam hitungan mereka yang terkena banjir. Memang kita prihatin  bahwa setiap tahun, perumahan mereka selalu menjadi langganan banjir tetapi itu tidak menyurutkan niat mereka untuk tetap bertahan di tempat itu. Hampir puluhan tahun mereka berada di tempat itu dan sikap guyub para warga setempat semakin nampak ketika berada pada persoalan yang sama, yakni menghadapi banjir. Banjir bagi saya secara pribadi dan bagi kebanyakan orang menjadi sebuah ancaman tetapi di mata mereka, banjir itu membawa berkah. Warga perumahan yang terkena banjir, biasanya selalu siap dalam dua puluh empat jam. Mereka selalu mensuport antara satu dengan yang lain untuk sama-sama menghadapi persoalan banjir.

Dengan adanya banjir, mereka menjadi lebih solid karena merasakan bahwa mereka senasib dan sepenanggungan. Mereka berada pada “ruang terbuka” (tempat pengungsian) selama perumahan mereka terkena banjir. Sama-sama senasib, sama-sama terendam dalam banjir yang sama maka hal ini mendorong mereka untuk bertahan. Keakraban yang dibangun karena tuntutan situasi dan mendorong mereka untuk berani keluar dari diri dan menjumpai yang lain. Banjir menjadi “media perekat” yang memungkinkan mereka untuk menawarkan rasa iba pada orang lain, untuk pada akhirnya memberikan bantuan pada mereka.

Jika ada bencana maka di situ ada solidaritas. Jika ada bencana maka di situ ada keakraban. Tanpa banjir, para warga belum tentu tahu dan mengenal antara satu dengan yang lain. Banjir memang memberikan beberapa dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak negatif yang muncul karena banjir adalah mendatangkan kerugian material bahkan bisa menelan korban jiwa. Jika dilihat dari kerugian ini maka setiap orang, pasti menginginkan tidak terkena banjir. Banyak warga yang memilih untuk bertahan di tempat yang berlangganan banjir karena telah telanjur membeli rumah dan peluang untuk membeli rumah baru agar pindah dari tempat itu, sangat sulit karena kondisi ekonomi yang rapuh.

Memang semua orang merindukan agar tidak terjadi banjir. Hanya menjadi persoalan adalah tidak ada lagi ruang peresapan untuk air hujan, karena itu, air berada pada genangan di tengah pemukiman, ia tidak bisa meresap ke tanah karena area tanah sangat minim. Sementara itu dampak lain yang ditimbulkan oleh adanya banjir adalah aksi solidaritas untuk membantu orang lain, terutama yang terkena banjir. Banjir yang menghantam perumahan, tidak ada kompromi dan tidak mengenal kelas sosial tertentu. Di mana ada kerusakan lingkungan dan tidak adanya peresapan air maka pada saat yang sama, banjir pasti tetap menghantui wilayah pemukiman warga.   

Perumahan-perumahan warga di daerah Jabodetabek, tak akan luput dari banjir setiap tahun. Banjir yang kebanyakan merupakan kiriman dari Bogor harus mendapat perhatian. Penataan harus dimulai dari hulu agar di daerah-daerah hilir tidak terkena dampak banjir. Pernah ada wacana untuk membuat waduk raksasa untuk menghimpun banjir kiriman dari Bogor. Dengan adanya waduk yang bisa menampung air banjir dalam jumlah yang besar, menjadi penyangga utama agar banjir tidak meluap ke area perumahan warga. Waduk raksasa boleh dibangun tetapi jauh lebih penting adalah mengembalikan area villa di Bogor untuk menjadi hutan lindung dan menyediakan pori-pori tanah sebagai media peresapan. Hanya dengan melestarikan alam maka alam pun bersahabat dengan manusia.***(Valery Kopong)

No comments: