Tuesday, February 9, 2021

Maut dan Pengampunan

 

Ketika membaca berita semalam, salah satu

breaking news adalah meninggalnya Ustad Maaher At Thuwailibi dalam usia yang sangat muda, 29 tahun. Berita meninggalnya ustad ini menghiasi jagat maya dan bahkan banyak yang mempertanyakan kebenaran informasi ini. Dari informasi pada media yang terpercaya membenarkan bahwa Ustad Maaher meninggal dunia ketika ia masih berada dalam tahanan Bareskrim Polri. Kita masih ingat saat ia berseteru dengan lantang dan bahkan bersitegang dengan Nikita Mirzani. Namun dari peristiwa kematian ustad Maaher, sepertinya semua larut dalam diam dan mendoakan agar jiwanya mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah.

Semua doa dan harapan yang baik muncul pada permukaan hidup, hal ini menunjukkan sebuah kedewasaan sikap yang ditunjukkan oleh publik. Para nitizen tahu menempatkan diri dan membedakan situasi yang tengah dialami oleh Ustad Maaher dan keluarganya.  Bahwa peristiwa sebelum masuknya ustad Maaher ke tahanan sepertinya membakar situasi sehingga ada ketegangan dan ancaman terjadi. Tapi hal ini merupakan sesuatu yang manusiawi, yang gampang terprovokasi dan menempatkan ego sektoral melampaui segala nilai persaudaraan manusia.

Ada saat di mana kita harus bersitegang dan ada saat di mana kita harus merunduk untuk memahami situasi kedukaan. Rasa kemanusiaan semakin terasa ketika doa yang baik dilantunkan oleh para nitizen yang sebelumnya memperlihatkan ketidaksukaan mereka pada tingkah ustad Maaher. Dalam rentang kejengkelan sebagai manusia, pada titik tertentu kita juga harus memainkan rasa, untuk memberikan iba pada mereka yang terkena musibah ini. Musibah kematian, tidak hanya dialami oleh Ustad Maaher namun hari ini giliran dia yang mendapatkan tawaran Allah itu untuk mendahului kita. Kematian itu bukan soal siapa yang berperilaku baik dan siapa yang berperilaku jelek di dalam hidupnya. Tetapi soal batas akhir kehidupan manusia yang ditandai dengan kematian, hanya Allah yang tahu.


Banyak orang mengatakan bahwa tentang kematian, bukan soal berapa usiamu dan seberapa jauh perilakumu dalam hidup ini tetapi tentang kemahakuasaan Allah yang mengatur kehidupan dan kematian manusia. Kehidupan menarasikan sebuah kerapuhan dan hal ini mau menunjukkan betapa manusia bergantung pada sang pencipta. Hidup hanyalah sementara dan dalam kesementaraan itu, setiap kita mengisi hari-hari hidup secara produktif untuk kemudian menjadi warisan untuk dikenang oleh mereka yang menjalani hidup ini. Memang, sadar atau tidak bahwa setiap jejak langkah kita selalu meninggalkan bekas sejarah yang memberi makna pada hidup dan kehidupan ini.

 

Doa yang tulus dari rivalnya selama hidup mau menunjukkan betapa berharganya manusia dalam konsep kematian yang berharga. Sejelek-jeleknya orang di dalam hidupnya dan bahkan perilakunya menimbulkan kegaduhan tetapi pada saat ketika ia mengalami  kematian, doa-doa yang mengalir membersitkan penghargaan dan menjadikan kematian itu sebagai peristiwa iman yang menyadarkan manusia. Ustad Maaher telah tiada dan berbaring kaku tetapi publik yang selama ini seakan tergiring kesadaran untuk membencinya, harus memberikan pengampunan baginya sebagai bekal untuk menjalani ziarah menuju tanah air surgawi. Sampai berapa kali kita mengampuni? Sampai tujuh puluh kali tujuh kali, kita mengampuni sesama. Artinya pengampunan itu tanpa batas terutama pada mereka yang kita benci. Kebencian kita semakin lenyap ketika maut itu membawanya pergi ke alam lain, alam keabadian.***(Valery Kopong)

 

No comments: