Wednesday, August 27, 2008

Gisela Borowka Pahlawan Kaum Kusta


Penyakit kusta bisa disembuhkan
Biarlah mereka hidup bersama kita
Mereka juga citra Allah
Tuhan sayang kita semua
Jangan lukai hati mereka,
Mereka telah terluka
Orang-orang kusta tidak saja sakit fisik,
tapi juga sakit hati.

[Gisela Borowka]



Mama Putih bicara dengan bahasa Indonesia ala Flores Timur. Sangat sederhana. Dia juga membawa beberapa bekas penderita lepra untuk kasih kesaksikan bahwa mereka benar-benar sudah sembuh. Mereka, para bekas penderita lepra, punya komunitas di Lewoleba, bisa kerja, produktif, bisa main teater, paduan suara, dan seterusnya.

Tapi kami, anak-anak kecil dan warga kampung, tidak percaya begitu saja. Orang kampung sudah telanjur termakan takhayul bahwa lepra penyakit kutukan. Celakanya lagi, kitab suci banyak menceritakan tentang penderita kusta di zaman Yesus Kristus yang juga dikucilkan masyarakat. Klop! Jadi, benar-benar sulit menghapus pandangan lama.

Gisela Borowka alias Mama Putih pertama kali menginjak bumi Lembata pada 28 Agustus 1963. Saya tidak bisa membayangkan Lembata pada tahun 1960-an. Sebab, pada 1980-an saja kita harus jalan kaki dari pelabuhan sederhana ke 'kota'. Kota harus pakai tanda kutip karena jauh berbeda dengan kota di Jawa. Sampai sekarang saya tidak menganggap Lewoleba sebagai kota meskipun sejak reformasi sudah menjadi ibu kota kabupaten. Masih terlalu sederhana ala kampung-kampung umumnya.

Misi sosial Gisela ke Lembata dimungkinkan karena sebelumnya ia berkenalan dengan Isabella Diaz Gonzales, perawat yang menjadi teman akrabnya saat menempuh pendidikan di Wuezburg, Jerman. Mereka bahkan satu kamar di asrama. Isabella [belakangan menjadi Mama Hitam] bercerita betapa masih banyak penderita lepra di Flores Timur dan Indonesia umumnya.

Saat itulah Gisela Borowka teringat Pastor Damian de Veuster SSCC yang dikirim ke Hawaii pada 1863. Di sana orang-orang kusta dibuang ke Pulau Molokai. Cepat atau lambat para penderita kusta akan mati karena tidak ada perawatan. Pastor Damian menawarkan diri berkarya di Pulau Molokai agar bisa merawat para penderita kusta.

Selama 16 tahun Damian tinggal di pulau terkucil itu. Ia terkena lepra juga, dan meninggal di situ. Damian kemudian dijuluki pahlawan kusta dari Molokai. Nah, Gisela Borowka membaca cerita Pastor Damian saat masih kelas lima sekolah dasar di Jerman Timur.

"Hati kecil mengatakan bahwa saya harus mengikuti jejak Pastor Damian," kata Gisela Borowka dalam buku yang ditulis Florens Maxi Un Bria, Pr. ini. Pada 1963, saat tiba di Lembata, cita-cita masa kecil Gisela mulai mewujud. Kondisi Lembata memang tidak separah Molokai, tapi status orang kusta sama-sama terkucil.

"Setiap hari kami sibuk mengurus orang sakit. Pekerjaan ini membuat aku senang dan bahagia.... Setiap saat selalu ada orang sakit kusta datang meminta obat. Mereka akhirnya berkeputusan tingga bersama kami sebab di masyarakat mereka disisihkan. Mereka harus tinggal jauh dari keluarga. Untuk itu, Isabella membangun dua pondok darurat untuk mereka," cerita perempuan kelahiran Neisse, Jerman, 25 Agustus 1934, ini.

Situasi di pondok kusta pada 1960-an sangat sulit. Atap bocor. Kutu busuk. Nyamuk banyak sekali. "Setiap pagi kami dikejutkan oleh luka baru yang parah. Kami akhirnya tahu bahwa luka itu bekas gigitan tikus karena kaki mereka mati rasa. Mereka tidak tahu kalau malam tikus datang menggigit tangan dan kaki mereka.

"Kami memberi mereka kaus kaki pada malam hari. Hasilnya, setelah bangun kaus kakinya telah tiada karena telah dibawa si tikus nakal. Kami merasa ngeri sekali."

Pada 1966 Gisela Borowka mendapat bantuan dari Jerman berupa bahan-bahan untuk mendirikan rumah sakit kusta di Lewoleba. Masyarakat menyebutnya rumah besi karena bahan-bahannya memang dari besi dan eternit. Pada Desember 1968 Rumah Sakit Lepra 'Damian' resmi beroperasi di Lembata. Lalu, dibangun dapur umum, paviliun, kamar cuci, kamar mandi, kakus, hingga kebun. Bagi Gisela Borowka, ini semua berkat bantuan doa Pater Damian, tokoh idolanya.

Kehadiran rumah sakit lepra membuat pelayanan Mama Hitam dan Mama Putih makin mudah. Orang-orang kusta akhirnya sembuh dan membentuk komunitas khusus. Masyarakat umum di Flores Timur pun tidak takut lagi dengan penyakit kusta. Boleh dikata, sejak akhir 1990-an tidak ada lagi penderita kusta di Flores Timur, khususnya Lembata. Jikapun ada, begitu tahu gejala-gejalanya, langsung diobati sehingga tidak merusak organ tubuh penderita.

RS Lepra semakin terkenal karena sering mementaskan teater di berbagai tempat. Gisela Borowka memanfaatkan Teater Padma untuk menjelaskan penyakit kusta di masyarakat. Semua pemain teater bekas penderita kusta. Teater ini main di kampung-kampung hingga Kupang, ibu kota provinsi NTT.

Pada 1980 RS Lepra diserahkan kepada kongregasi suster-suster CIJ. Gisela Borowka merasa bahwa tugasnya di Indonesia sudah selesai. Banyak penderita kusta sembuh dan telah kembali ke rumahnya masing-masing. Gisela mulai memikirkan berlibur ke Jerman, bahkan mungkin tinggal di negaranya itu. Misi kemanusiaan di Lembata tuntas dengan sempurna!

Namun, pada 1987 Uskup Kupang Mgr. Gregorius Monteiro meminta Gisela Borowka berkarya di Pulau Alor. Pulau ini terpencil dan lebih menantang ketimbang Lembata. Di Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, Gisela melayani orang-orang kusta di Kampung Kusta Benlelang.

"Saya sangat sedih karena banyak dari mereka sudah cacat. Hati saya iba melihat tangan cacat mereka, namun masih bisa pegang palu besar untuk memecahkan batu-batu besar yang diambil di kali. Mereka menyekop pasir dari dalam air, dan itu semua dikerjakan dengan tangan cacat," cerita Gisela Borowka.

Seperti di Lewoleba dulu, pada 1989 Gisela mendirikan rumah sakit lepra di Alor. Pasien yang parah dirawat di rumah sakit. Sementara kunjungan ke pelosok-pelosok untuk mengobati penderita kusta di lapangan tetap dilakukan. Pada 1990 pemerintah mengirim dokter spesialis dari RS Kusta Sitanala di Tangerang untuk membantu Gisela dan kawan-kawan di Alor.

Bekas penderita kusta yang cacat dioperasi agar anggota tubuhnya bisa lebih sempurna. Biaya ditanggung oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pelayanan Gisela berkembang karena donatur di dalam dan luar negeri terus membantu. Setiap tahun Kedutaan Besar Jerman di Jakarta mengadakan acara pengalangan dana untuk penderita kusta di Pulau Alor.

"Saya senang karena bantuan-bantuan itu pekerjaan kami menjadi ringan dan lebih baik," kata Gisela Borowka. Dia juga membuka Panti Asuhan Damian di Kalabahi karena banyaknya anak keluarga miskin yang tidak mendapat layanan pendidikan dan kesehatan yang layak.

Pada 20 September 1996, bertepatan dengan masa pensiunnya, Gisela Borowka resmi menjadi warga negara Indonesia. Status WNI membuat ia lebih leluasa bekerja untuk penderita kusta dan orang-orang yang terbuang. "Saya percaya bahwa Tuhan telah mengatur semuanya dengan baik. Saya tidak berpikir lagi untuk pulang ke Jerman sebab tenaga saya masih dibutuhkan di Indonesia," tegas Gisela.

Gisela Borowka alias Mama Putih telah berbuat banyak, bahkan terlalu banyak, untuk penderita kusta dan orang-orang telantar di Flores Timur dan Alor. Dia pahlawan orang kusta di Indonesia!


BIOGRAFI SINGKAT

Nama : Gisela Borowka
Lahir : Neisse, Jerman, 25 Agustus 1934
Pendidikan : Pendidikan perawat di Missionsaertztliche, Wuerzburg, Jerman, 1953.

TUGAS PELAYANAN

1958-1962 : Merawat penderita kusta di Ethiopia.
1963-1987 : Merawat penderita kusta di Lewoleba, Lembata, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
1987- sekarang : Merawat penderita kusta dan anak telantar di Kalabahi, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.

PENGHARGAAN

1980 : Penghargaan tertinggi dari pemerintah Jerman atas dedikasinya sebagai pekerja sosial.
11 November 2000: Sido Muncul Award dari PT Sido Muncul Semarang atas jasa-jasanya di bidang sosial kemanusiaan.
Sumber: http://hurek.blogspot.com

Wednesday, August 13, 2008

MENGHITUNG HARI KEMATIAN

(Menguak kasus Tibo Cs)

Oleh: Valery Kopong*

KEMATIAN merupakan suatu hal yang pasti untuk dialami setiap manusia. Tetapi untuk saat yang tepat dimana seseorang menghembuskan nafas yang terakhir, tak seorang pun tahu. Hanya Tuhan yang tahu, karena Ia mempunyai otoritas penuh untuk mencabut nyawa setiap manusia. Di balik jeruji besi, tiga terpidana mati (Tibo Cs) sedang menunggu para eksekutor untuk melenyapkan nyawa mereka yang diduga kuat oleh aparat sebagai pendalang aksi kerusuhan Poso.

Menurut pengakuan mereka kepada pastor yang mengunjungi, dengan polos dikatakan bahwa “tangan kami bebas dari darah manusia.” Itu berarti mereka tidak terlibat dalam aksi pembunuhan pada peristiwa Poso berdarah. Pengakuan mereka seakan ‘menguap’ begitu saja karena pihak keamanan dan kejaksaan tidak memberikan respons positif untuk kemudian membebaskan mereka. Terhadap persoalan ini memaksa penulis untuk melahirkan sederet pertanyaan, sekedar melitani perjalanan hukum Indonesia yang semakin kabur. Bukti manakah yang dipakai oleh pihak kejaksaan untuk mengeksekusi mati 3 saudara kita ini? Apakah dengan ketidakpercayaan terhadap pengakuan mereka dan penolakan grasi oleh presiden menjadi pemungkin untuk diadakan eksekusi mati?

Setiap kali terlaksana eksekusi mati, banyak perdebatan yang muncul terutama melihat secara jernih letak persoalan yang mereka lakukan dan bagaimana upaya hukum yang mengkaji persoalan itu untuk kemudian menjatuhkan pilihan pahit terhadap tereksekusi mati. Pihak pengadilan sepertinya membusungkan dada dan menyatakan vonis mati terhadap yang bersalah. Apakah yang menjatuhkan vonis mati (pihak kejaksaan) benar-benar bebas atau bersih dari kesalahan duniawi sehingga dengannya memutuskan orang yang sama-sama memiliki kesalahan untuk dihukum mati?

Apabila dikaji dari segi moral, peristiwa eksekusi mati tidak dibenarkan, dengan suatu alasan yang sederhana dan mendasar yaitu bahwa yang berhak mencabut nyawa manusia adalah Tuhan sendiri. Tuhan memiliki otoritas penuh untuk menjamin keberlangsungan hidup manusia ataukah mengambil nyawa manusia dari muka bumi ini. Kalau merujuk pada sisi moral seperti ini maka dalam proses peradilan, pihak kejaksaan

hanya berhenti memberikan sanksi berupa kurungan seumur hidup dan bukannya mencabut nyawa manusia. Tetapi kasus Tibo Cs ini sepertinya diyakini kuat oleh pihak keamanan untuk segera mengadakan eksekusi mati sebagai bentuk pelenyapan kerusuhan Poso yang berlangsung sekian tahun. Tibo CS merupakan gambaran orang-orang kecil yang menjadi tumbal di negeri ini ketika hukum tidak memiliki nyali untuk menyeret aktor intelektual. Dan upaya pelenyapan nyawa mereka lebih dilihat sebagai “cara baru” bagi peradilan Indonesia untuk melegitimasi diri bahwa hukum di Indonesia masih punya nyawa, punya denyut nadi kehidupan.

Berbicara kasus Tibo Cs tidak terlepas dari masalah kebenaran yang sampai dengan saat ini belum terungkap secara pasti. Pastor Norbert Bethan,SVD (ketua PADMA), dalam sebuah kunjungannya ke penjara, ia mengatakan bahwa “kebenaran tidak bisa dibungkam.” Dalam proses hukum, kebenaran mendapat prioritas utama dan menjadi basis penentu sebelum memutuskan suatu perkara. Hukum di Indonesia belum sepenuhnya menyadari akan pentingnya sebuah kebenaran. Kebenaran dalam konteks hukum di Indonesia adalah berusaha untuk membenarkan apa yang seharusnya tidak dibenarkan dan hasil yang diperoleh setelah adanya distorsi ini adalah bahwa orang-orang kecil terpaksa mengalah di hadapan hukum.

Terhadap kasus ini banyak LSM yang tergabung dalam suara Flobamora, coba menyerukan pada presiden untuk menangguhkan putusan pengadilan atas Tibo Cs. Suara dari forum ini menggagas sebuah permasalahan dasar di mana ketiga calon eksekusi mati benar-benar tidak terlibat dalam mengotaki kasus Poso. Aksi solidaritas ini juga mengabarkan kepada dunia yakni bahwa dengan peristiwa ini Indonesia sedang mengubur kebenaran yang merupakan “anak kandung dari sebuah proses peradilan.”

Hak untuk hidup juga merupakan salah satu hak asasi manusia. Kisah pedih dari balik jeruji penjara, memaparkan secara sederhana, betapa hak asasi itu begitu mudah pudar dan menghilang di “awan-awan peradilan Indonesia.” Memang, betapa pun luhur dan mulianya hak asasi itu sering tinggal menjadi konsep yang abstrak. Keabstrakan hak asasi itu benar-benar terasa, saat mana putusan pengadilan tidak lagi menghiraukan realita kebenaran yang menjadi tolok ukur untuk mendakwa para tersangka.

Pembungkaman terhadap kebenaran dan mengeksekusi tiga terpidana mati sebagai upaya untuk melenyapkan jejak keterlibatan para aktor intelektual adalah sesuatu yang salah kaprah. Para praktisi hukum menilai bahwa proses peradilan terhadap ketiga calon terpidana mati masih menyimpang dari kondisi fakta yang sebenarnya. Itu berarti proses penggalian kebenaran melalui jalur hukum belum menyentuh aspek dasariah yakni bukti otentik keterlibatan mereka. Di sinilah jelas terlihat kinerja aparat dan pihak kejaksaan masih paradoks dengan tuntutan yang dijatuhkannya. Melihat gejala peradilan yang serba tak pasti ini maka seharusnya pihak yang berwewenang meninjau kembali titik korelasi antara putusan yang dijatuhkan dengan bukti-bukti yang ada.

Dalam wawancara dengan pihak kejaksaan, mereka bersikap tegas untuk akan melaksanakan eksekusi mati dengan berpedoman pada penolakan grasi oleh presiden. Bahwa pengajuan permohonan ke presiden hanya cukup sekali dan apabila grasi itu ditolak maka hukuman mati bisa terlaksana. Ketegasan pihak kejaksaan ini tidak mengantongi sebuah alasan mendasar dan apabila peristiwa eksekusi terlaksana pada April kelabu ini maka pihak kejaksaan dan para eksekutor terhitung sebagai pelanggar HAM terberat. Karena yang dihukum mati adalah orang yang tak pernah bersalah dan para penembak pun memposisikan diri sebagai pelanggar HAM yang dilegalkan oleh negara.

Kasus tiga terpidana mati ini tidak hanya mengundang perhatian orang Indonesia tetapi lebih dari itu telah membuka mata dunia luar bahwa Indonesia yang mengklaim diri sebagai negara hukum tetapi menghukum mati tiga warganya yang tak bersalah. Terhadap keprihatinan yang sama, Bapak Suci, Paus Benediktus telah mengirim berkat apostoliknya kepada mereka melalui Bapak uskup Manado. Suatu bentuk simpati mendalam dari seorang pemimpin religius yang tak pernah mengenal secara langsung, siapa itu pribadi ketiga terpidana mati. Tetapi sebagai gembala, Ia berani memberikan peneguhan kepada domba-dombanya untuk berani menghadapi situasi tapal batas dan berpihak pada kebenaran dan kejujuran. Mungkinkah berkat apostolik membongkar kebenaran dan membebaskan mereka? Ataukah pihak kejaksaan tetap berpijak pada grasi presiden untuk mengeksekusi mati Tibo Cs? Hanya kebenaran yang sanggup berbicara.***


MARI MEMBUANG UNDI


Oleh: Valery Kopong*

“Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka karena kejahatannya telah sampai kepada-Ku.” Inilah sepenggal seruan Tuhan kepada Yunus bin Amitai yang tidak dituruti. Yunus tidak berpaling dari seruan Tuhan melainkan melarikan diri ke Tarsis. Momentum pengingkaran akan seruan Tuhan menjadikan perjalanan Yunus mengalami ketersendatan bahkan karena Yunus maka para penumpang kapal harus mengalami penderitaan. Kehadiran Yunus mendatangkan malapetaka bagi yang lain, tetapi ia sendiri tidak menyadari tentang permasalahan pokok, mengapa sampai terjadi bencana itu. Ia menganggap bahwa seruanNya hanyalah sebuah retorika religius yang tak perlu mendapat respons balik.

Tuhan yang menyuruh Yunus adalah Tuhan yang peka terhadap situasi dan mau mengambil bagian dalam situasi keprihatinan akan pola perilaku dan tindakan yang oleh Tuhan sendiri dinilai tidak pantas untuk dijalani lagi. Melalui Yunus, Tuhan mau meluruskan kembali seluruh tatanan sosial, politik dan kemasyarakatan dalam satu tatanan baku yang dikehendaki oleh Tuhan. Masyarakat Allah adalah masyarakat yang hidup dalam genggamanNya dan menuruti seluruh kerangka dasar pemikiran Allah. Tetapi mengapa Allah, yang empunya masyarakat itu begitu prihatin dengan kehidupan mereka? Sudah jauhkah mereka keluar dari norma sosial sehingga Allah menyuruh Yunus untuk menegurnya?

Sebelum menegur umatNya, Tuhan terlebih dahulu menegur Yunus dengan cara yang paling sadis yaitu mendatangkan malapetaka di laut. Malapetaka yang ditimpahkan kepadanya tidak dinikmati sendiri melainkan juga membinasakan orang lain yang bersama-sama dengan Yunus dalam satu kapal. Peringatan Tuhan lewat badai tidak lain adalah mengembalikan hati Yunus dan mengasah kesadarannya untuk peka dan peduli terhadap kehidupan publik yang oleh Allah dinilai berada jauh dari kesempurnaan hidup sebagai manusia. Tindakan Allah atas Yunus dapat dilihat sebagai bentuk pemurnian diri (purifikasi diri) sebelum berhadapan dengan sesama yang lain di kota Niniwe

Membaca Tanda Yunus: Membaca Indonesia

Ketika membaca dan merenungkan kisah tanda nabi Yunus ini, penulis menemukan titik kesamaan terutama tentang badai yang melanda kapal saat pelarian Yunus dan perjalanan kapal yang bernama “Indonesia” yang selalu dihantui oleh badai yang senantiasa menghadang. Beberapa tahun terakhir ini Indonesia tidak pernah sepi dari terpaan masalah dan bencana, baik yang terjadi di darat, laut dan udara. Tiga ruang kosmos ini seakan sepakat untuk berpadu menghimpit Indonesia. Hari ini ada bencana dan orang lalu membuat suatu prediksi, bencana apalagi yang akan datang setelah bencana ini. Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang lumrah dan menemukan jawaban yang pasti di negeri tercinta ini. Terhadap bencana yang beruntun ini seakan menutup ruang gerak hidup yang tidak bebas dan dalam perjalanan hidup ini, hampir tiap orang Indonesia bertanya diri, kapan saya tertimpah bencana.

Situasi yang dialami masyarakat umum ini merupakan ancaman serius yang perlu diproteksi. Terhadap situasi tapal batas ini, Gustavo Gutierrez, seorang pegiat teologi pembebasan memberi peringatan kepada publik bahwa masyarakat bertanya serius mengenai kemungkinan ruang hidup pada abad ini. Itu berarti bahwa gerak perjalanan mereka untuk bertarung hidup semakin menipis. Ada keterbukaan jalan menuju kematian yang semakin melebar yang telah disiapkan oleh kaum elite lewat pola tingkah hidup mereka. Bencana longsor adalah ikon dari perusakan hutan dan pembalakan liar oleh para pengusaha kayu. Oleh ulah mereka, rakyat miskin yang menerima getah kematian dalam peristiwa tanah longsor. Atau contoh lain yakni pembelian pesawat rongsokan yang kemudian dijadikan sebagai angkutan udara. Alhasil, pesawat yang tidak layak pakai harus jatuh dan menewaskan begitu banyak orang.

Persoalan-persoalan bangsa di atas apabila dikemas dalam konteks tanda nabi Yunus, maka mungkin sudah saatnya kita menyerukan untuk membuang undi secara nasional. Apakah rakyat miskin yang menjadi penyebab timbulnya bencana ataukah kaum elite birokrat yang menjadi penyebab munculnya bencana ini? Membuang undi adalah suatu bentuk tuduhan yang paling normal dan legitimasi atas penyebab musibah itu sendiri. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam ”membuang undi” adalah kejujuran untuk mengakui diri sebagai penyebab bencana. Pribadi Yunus adalah pribadi yang jujur yang berani mengakui kesalahan sebagai usaha untuk menyelamatkan yang lain. Ia mengutamakan keselamatan dan memperlihatkan tanggung jawabnya terhadap publik.

Atas nama malapetaka yang merambat kepada publik, Yunus pada akhirnya meminta diri untuk diangkat dan dibuang ke laut. Peristiwa pembuangan dirinya ke laut menjadi kerangka dasar dalam meredam dan meminimalisir bencana lanjutan. Ia menjadi korban yang terpaksa dikorbankan demi keselamatan para penumpang kapal. Di sini Yunus dilihat sebagai pribadi yang membawa sial dan pribadi pencipta neraka bagi publik. Atau meminjam bahasa Jean Paul Sartre, neraka itu tidak jauh, dia bukan baru ditemukan sesudah kematian. Sebab neraka adalah sesamamu sendiri: sesamamu yang menjadikan dirimu objek pemikirannya, sesama yang menginginkan kehancuranmu. Neraka tak perlu dipikirkan jauh-jauh, sebab dia ada di sisimu. Dia itu sesamamu. Dia yang menimbulkan kejengkelan dalam dirimu laksana api yang bernyala. Dia yang mengecewakan dan meninggalkanmu sendirian. Dia itu nerakamu!

Beberapa bulan yang lalu, para pejabat dan penguasa negara ini mengadakan tobat nasional. Dalam tulisan berjudul, “fenomenologi tobat dan politik,” Ignas Kleden lebih menekankan otentisitas doa dan tobat. Otentisitas doa dan tobat diuji dalam perilaku yang dihasilkan. Kalau perilaku seseorang berubah dan disesuaikan dengan tobat dan doa yang dilakukan, maka doa dan tobat itu otentik. Sebaliknya, jika tidak ada perubahan dalam perilaku setelah seseorang merasa melakukan tobat dan berdoa, maka di sana terjadi distorsi tobat dan doa (Kompas, 13/3-2007). Gerakan ini menandakan bahwa ada upaya untuk menyadari diri terutama tentang pola perilaku dan kebijakan yang diambil selama ini. Banyak hal yang perlu dibenahi untuk menata kehidupan bangsa yang lebih baik. Tobat nasional akan menemukan hasil secara maksimal apabila masing-masing pejabat berefleksi diri sembari bertanya, apakah saya sebagai penyebab utama dalam mendatangkan bencana di negeri ini?

Siapa yang berani membuang undi di antara kalangan para elite bangsa ini? KPK sebagai lembaga yang mempunyai wewenang dalam menangani masalah korupsi mungkin punya peluang untuk membuang undi, menentukan siapa yang salah dan menjadi penyebab utama dalam melahirkan bencana demi bencana. Lembaga peradilan juga berhak untuk membuang undi, tetapi jangan sampai di antara mereka sendiri yang kena undi dan dituduh sebagai penyebab bencana yang berkepanjangan.

Sulit sekali untuk mencari figur-figur Yunus yang baru di negeri ini, yaitu pribadi yang berani mengakui seluruh kesalahan dan bersedia ditenggelamkan ke dalam lautan yang terdalam. Mungkinkah menteri perhubungan harus dicopot dari jabatan karena dianggap lalai dalam menangani masalah transportasi? Ataukah pemimpin perusahaan Lapindo harus ditenggelamkan bersama lumpur panas sebagai ganti bola beton? Tanda nabi Yunus adalah tanda abadi untuk umat manusia. Suatu tanda yang menandakan adanya rasa sesal dan dalam lingkup sesal yang sama kita berani berkata, “hempaskanlah aku dari negeri ini untuk meredam bencana yang datang bertubi-tubi.”


MENIMBANG EKSISTENSI KELOMPOK

Oleh: Valery Kopong*

JAKARTA, ibu kota negaraku telah merangkum pelbagai manusia dari latar kehidupan berbeda, baik secara fisik, religius, kultural maupun etnis. Di tengah keberbedaan yang kental ini seakan membangun “menara primordialisme” sempit untuk dijadikan sebagai tameng yang melindungi diri sendiri dan memberi batasan yang tegas bagi kelompok lain untuk tidak memasuki wilayah kelompoknya. Atas dasar keberbedaan yang mencolok inilah maka di wilayah Jakarta khususnya, sedang terjadi gerakan-gerakan sosial yang mengatasnamakan kelompok tertentu.

Gerakan kelompok yang kian deras ini menerpa, telah dan sedang meresahkan publik serta eksistensinya mengganggu keberadaan kelompok lain. Pelbagai kalangan, baik dari praktisi hukum, kelompok seniman dan para politikus meminta agar keberadaan kelompok ini segera mendapat pemangkasan dari pihak aparat bahkan melanyapkan kelompok tersebut. Tuntutan pembubaran kelompok ini muncul berlandas pijak pada aksi-aksi brutal dan frontal yang jauh menyimpang dari cita-cita pendirian kelompok awal. Sebagai misal, Front Pembela Islam (FPI), kelompok ini dinafasi oleh anima agama yang mengajarkan tentang kebaikan tetapi dalam pola perilaku praktis, tindakan mereka sama sekali jauh dibawah batas ajaran agama.

Atau contoh lain, Forum Betawi Rempug (FBR), beberapa waktu lalu ketua kelompoknya sedang berurusan dengan ibu Shinta Abdurahman Wahid dan Ratna Sarumpaet hanya karena melecehkan kelompok yang berdemo menentang rancangan undang-undang anti porno aksi dan porno grafi. Kedua kelompok di atas, yang satu mewakili agama dan yang lain mewakili suku, telah menunjukkan citra buram ditengah keanekaragaman ini. Kelompok-kelompok sosial ini sedang berada dalam paham triumphalisme yang sempit. Konteks kesatuan seperti yang diperjuangkan oleh Soekarno mengarah pada proses pengkerdilan. Secara sosiologis, eksistensi kelompok ini tidak menjamin kesuburan nilai interaksi secara makro dengan komunitas sosial lain. Yang ada hanyalah “intraaksi” yang ruang lingkupnya dibatasi oleh dinding agama, suku dan etnis.

Berhadapan dengan kelompok yang membangun konsep lokalitas yang kuat, tuntutan untuk dibubarkan kelompok tersebut cukup beralasan. Tetapi yang menjadi problem sekarang adalah siapa yang berani membubarkan kelompok tersebut? Agak sulit untuk membubarkan kelompok ini. Secara institusional mungkin bisa dibubarkan tetapi gerakan mereka telah mengakar dan menyebar ke berbagai wilayah. Penyebaran sayap kelompok yang mengatasnamakan agama seperti FPI, disambut hangat oleh wilayah-wilayah lain yang kebetulan memiliki “sense of religion” yang sama.

Dalam proses penyebaran dan pembentukan kelompok ini, agama seakan menjadi komoditi primadona untuk membangun kesadaran secara baru dalam menegakan keberadaan kelompok tertentu. Kelompok-kelompok ini, kalau mau untuk tetap eksis dan mendapat tanggap baik dari publik, mestinya harus membenah diri secara internal dan melihat kembali peta perjalanan kelompok untuk pada akhirnya membuat titik balik sejarah baru yakni kembali ke fitrah misi kelompok yang mengatasnamakan agama.

Di sini, agama dengan ajaran-ajaran yang sejuk dan lembut mendakwa senantiasa “meremote” seluruh gerak peradaban kelompok. Atas nama agama, kelompok-kelompok sosial seperti ini membangun relasi kerja dengan siapa saja, berdialog dengan siapa yang dijumpainya sembari membersitkan citra agama yang benar kepada publik. Di tengah perdebatan dan upaya pelenyapan kelompok yang sudah mengakar ini, kesan kuat yang muncul dalam diri penulis yakni bahwa organisasi ini sulit sekali untuk dilenyapkan begitu saja. Dikatakan sulit karena pertama, anggota-anggotanya sudah melebihi batas normal sebuah organisasi. Dan ini merupakan aset kekuatan mereka untuk mempertahankan eksistensinya. Kedua, adanya kemasabodohan aparat dalam mengontrol perjalanan organisasi ini. Hampir setiap tindakan anarkis yang dilakukan anggota kelompok tersebut, aparat sepertinya tinggal diam. Sikap inilah yang dapat meresahkan masyarakat. Apabila aparat bertindak tegas pada awal keberadaan kelompok tersebut maka mungkin mereka bisa menyadari esensi kesalahan mereka. Karena ini membubarkan kelompok ini sama halnya dengan memilin benang kusut. Sia-sia.***

Ketika KPUD Mempertaruhkan Kredibilitasnya

Oleh : Dr. Paul Budi Kleden, SVD

Staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores

"ANJING menggonggong, kafilah berjalan terus", demikian kata pepatah. Kemudian ada orang yang cukup nakal dan arogan menambahkan, 'dan yang biasanya mati adalah anjing'. Maksudnya, kafilah akan jalan terus, tidak akan mengubah keputusannya, maka perlahan anjing yang menggonggong itu kehabisan energi. Anjing seolah mesti memilih, terus menggonggong dan mati, atau berdamai saja dengan keadaan agar dapat tetap hidup.
Namun kita juga dapat mengatakan, kafilah yang terus digonggong mesti lari terbirit-birit. Kafilah seperti itu tidak akan dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Kafilah harus bergegas dan tergesa-gesa melewati satu wilayah tanpa dapat menimbulkan kesan yang mendalam pada warga. Soalnya bertambah parah jika justru anjing menggonggongnya di wilayah di mana kafilah itu harus singgah untuk membereskan sejumlah urusan.

Tampaknya situasi menjelang Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur NTT dapat diungkapkan dengan menggunakan pepatah dan rangkaian komentar seperti di atas. KPUD NTT menunjukkan ketegaran sikapnya, kendati digonggong secara keras. Ada yang melakukan aksi pengerahan massa, yang lain memilih menempuh langkah hukum. Tidak kurang pula interupsi dari KPU Pusat yang telah dua kali melayangkan surat ke alamat KPUD. Penyelenggara Pilgub NTT itu bergeming menanggapi sekian banyak suara protes yang diteriakkan di jalanan atau pun yang dirangkai dalam tulisan di media massa, dalam nada yang sangat keras penuh sinisme atau dalam gaya yang diskursif.
Bukan mustahil, KPUD NTT memilih bersikap seperti itu karena lembaga ini sudah sangat memahami kondisi perpolitikan di Indonesia dan telah terkooptasi dalam suasana politik yang sama. Di negara ini sudah cukup biasa bahwa yang pada akhirnya menang dalam sebuah konflik adalah lembaga yang telah dibentuk dan dilindungi secara formal oleh negara. Negara terlampau kuat dan lembaga-lembaga bentukannya atau yang berada di bawah perlindungannya merasa sangat aman di bawah kepaknya. Ternyata masih sangat sulit mendesak lembaga-lembaga tersebut mempertanggungjawabkan perbuatannya yang terkesan melawan hukum, atau mengubah keputusan-keputusannya yang tidak populis.

Reformasi boleh telah berusia satu dekade, namun tidak sedikit dari para pejuangnya sendiri yang kini menjadi penikmat yang terlelap di bawah perlindungan kekuasaan negara. Arogansi kekuasaan tampaknya belum terkikis. Yang berbeda adalah bahwa arogansi yang sekarang ditunjukkan di tengah banjir suara kritis dan aksi protes, sementara pada periode sebelum reformasi arogansi itu ditunjukkan antara lain dengan melarang orang melantunkan suara kritisnya.

Pilihan sikap seperti ini bertambah kuat apabila lembaga-lembaga ini mengetahui bahwa sikap atasannya sebenarnya tidak cukup jelas dan tegas. Sebagai contoh, sikap KPU sebagaimana tertuang di dalam kedua suratnya memang tidak terlampau tegas dan membuka ruang negosiasi. Rumusan-rumusan yang tidak tegas, yang di satu pihak mengatakan ada kesalahan tetapi di pihak lain tetap memberikan keluasan untuk mengambil keputusan sendiri sudah sangat sering dikeluarkan di negara ini. Mestinya, secara logis, kalau seorang atau satu lembaga atasan mengatakan bahwa keputusan tertentu bermasalah, maka dia serentak menunjukkan mana keputusan yang benar dan mewajibkan instansi yang di bawahnya untuk mengikuti pedoman tertentu. Namun dengan ketidaktegasan yang sudah agak lazim ini, masing-masing pihak yang berseteru, yang boleh jadi telah memberikan upetinya, merasa mempunyai alasan untuk mengklaim kemenangan.

Sudah terlampau banyak pengalaman di negeri ini yang menunjukkan bahwa pada akhirnya suara protes para warga perlahan membisu, bukan karena mereka sudah diyakinkan akan kebenaran pihak negara dan lembaga bentukannya, melainkan karena para warga tersebut masih harus beralih ke persoalan kehidupan lain yang tidak dapat diabaikan. Rakyat yang lemah dan tak berdaya sering tidak dapat bertahan dalam perjuangan. Ketika jalan pintas berupa aksi kekerasan tidak dilaksanakan karena beragam pertimbangan mulia, yang tertinggal hanyalah sikap menyerah dan larut dalam keputusasaan. Akibatnya, keputusan penguasa akhirnya berjalan tanpa menuai lagi banyak resistensi.

Pertarungan politik di negara ini, juga di propinsi ini lebih merupakan sebuah permainan dengan waktu. Yang menang adalah yang mempunyai waktu lebih banyak, bukan yang memiliki argumentasi lebih meyakinkan. Yang mempunyai waktu lebih banyak adalah yang memiliki dukungan yang lebih kuat secara politis dan finansial. Dan biasanya, yang mendapat dukungan seperti itu adalah negara, aparatnya atau lembaga-lembaga bentukannya. Sementara warga masyarakat, rakyat yang sederhana dan miskin, selalu berada pada pihak yang lemah. Mereka tidak kuat untuk selalu bertahan, sebab masih ada sekian banyak urusan kehidupan yang menuntut perhatian yang penuh. Perlahan mereka menjadi capai, lalu mengalihkan perhatian dari permasalahan tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, apabila pada akhirnya keputusan sebuah lembaga yang dibentuk negara dijalankan hal itu sama sekali tidak menunjukkan kebenaran dan kemendasaran argumentasi yang dimilikinya. Kenyataan ini pun bukan merupakan bukti bahwa pihak-pihak yang mengajukan protes sebenarnya menghadirkan argumentasi yang salah. Yang menang bukan selalu kekuatan hukum, melainkan hukum dari yang kuat. Dan rakyat belum menjadi pihak yang kuat dalam sejarah negara yang menyebut diri bersistem demokrasi ini dan yang sedang menyelenggarakan perhelatan yang disebut sebagai momen penting demokrasi.

Agaknya Pilgub NTT akan tetap dilaksanakan karena KPUD merasa mempunyai alasan yang kuat dan karena terbiasa dalam alam berpikir seperti di atas. Namun faktum pelaksanaan pemilihan tersebut belum merupakan bukti bahwa KPUD berada pada posisi yang benar dalam pertarungan dengan pihak-pihak yang mengajukan protes, dan dengan sejumlah kalangan yang memajukan beberapa kenyataan pincang. Salah satu kenyataan pincang yang diangkat adalah tidak adanya Panwas Pilgub di sejumlah kabupaten di NTT. Keputusan pengadilan yang masih dinantikan pun tidak menjamin pembuktian kebenaran itu, karena pengadilan belum sanggup membuktikan diri sebagai lembaga yang mengunggulkan kekuatan hukum. Sebaliknya, lembaga peradilan masih terbelenggu dalam cengkraman pihak-pihak yang berpengaruh dan karena itu lebih berorientasi pada hukum dari pihak yang kuat.

Dengan sikap seperti ini, sebenarnya KPUD sedang mempertaruhkan kredibilitasnya sendiri. Sebuah lembaga demokratis hanya menjadi kredibel di hadapan para warga apabila dia sanggup membenarkan keputusannya dengan mengajukan argumentasi yang meyakinkan. Argumentasi yang paling meyakinkan adalah rujukan dan tafsiran hukum yang tepat dan sikap yang mencerminkan etika politik. Ketidaktegasan sikap yang menimbulkan dugaan perlakuan yang diskriminatif dan ketaktersediaan perangkat-perangkat yang mutlak dibutuhkan demi adanya sebuah pemilihan yang berkualitas berpotensi membahayakan kredibilitas sebuah lembaga demokratis.
Sebagaimana kafilah yang digonggong anjing tidak dapat melaksanakan pekerjaannya dengan tenang, demikian pun KPUD yang harus menghadapi sekian banyak bentuk protes pasti sulit mendapat ketenangan untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan ini. Namun lebih dari ketidaktenangan itu, keseluruhan suasana yang tercipta, yang tidak terlepas dari sikap, keputusan dan karena itu tanggung jawab KPUD, sangat berpengaruh terhadap mutu dari momen pemilihan gubernur dan Wakil Gubernur NTT. Ada alasan yang cukup untuk mencemaskan kualitas dari peristiwa politik yang mahal ini.

Keraguan terhadap kesungguhan, kemampuan dan independensi KPUD akan sangat berpengaruh pada animo masyarakat terhadap momentum suksesi ini. Kesungguhan sebuah lembaga memang patut dipertanyakan, apabila keputusan yang diambilnya di tengah berbagai suara kritis tidak disertai dengan penjelasan yang memadai. Yang tidak sungguh-sungguh biasanya mengganggap remeh pihak lain dan merasa bisa berkuasa sewenang-wenang. Yang tidak sungguh-sungguh biasanya gampang mengubah keputusan sesuai kehendak sendiri, yang boleh saja merupakan pendiktean dari sponsor. Orang pun pantas mempertanyakan kemampuan sebuah lembaga apabila harus merujuk beberapa kali dalam waktu yang singkat ke tingkat yang lebih di atas dan mendapat surat dari tingkat yang di atas mengenai kesalahan substansial yang terdapat di dalam keputusannya. Selain itu, independensi satu lembaga berada dalam bahaya kehilangan kredibilitas saat lembaga tersebut terkesan terlampau dikendalikan oleh pihak tertentu. Memudarnya kredibilitas sebuah lembaga penyelenggara pemilihan dan menurunnya animo masyarakat terhadap sebuah momentum penting dalam sejarah kehidupan bersamanya, merupakan sebuah kerugian besar bagi seluruh warga masyarakat.

Demokrasi selalu memungkinkan perubahan ke arah perbaikan. KPUD NTT sebagai lembaga penyelenggara pemilihan gubernur dan wakil gubernur pun bukan tidak mungkin kembali memulihkan citranya dan menjaga kredibilitasnya yang terancam merosot. Yang penting, lembaga ini harus menunjukkan kesungguhan, kompetensi dan independensinya. Dan jika memang ada keputusan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan etis, maka keputusan seperti itu mesti diubah. Ketegaran dalam kekeliruan bukanlah sebuah keutamaan dalam demokrasi. "Anjijng menggonggong, kafilah berjalan terus", bukanlah pepatah yang patut digunakan ketika kita berhadapan dengan sebuah persoalan yang menyangkut kehidupan seluruh warga.

Demokrasi selalu memungkinkan perubahan ke arah perbaikan. KPUD NTT sebagai lembaga penyelenggara pemilihan gubernur dan wakil gubernur pun bukan tidak mungkin kembali memulihkan citranya dan menjaga kredibilitasnya yang terancam merosot. Yang penting, lembaga ini harus menunjukkan kesungguhan, kompetensi dan independensinya. Dan jika memang ada keputusan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan etis, maka keputusan seperti itu mesti diubah.

"Hari Ini"

(Sebuah Renungan Demokrasi)

Oleh : Dr. Paul Budi Kleden, SVD

Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores

Hari ini ada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT. Ini sebuah peristiwa yang perlu dimaknai, mesti meninggalkan bebas mendalam pada ziarah demokrasi di bumi Flobamorata ini. Kualitas pemilihan hari ini menunjukkan kualitas kesadaran dan perilaku demokratis kita. Keberhasilan peristiwa hari ini adalah buah kerja keras dan usaha telaten dari kita dalam menata demokrasi hari demi hari di masa lalu.

HARI ini akhirnya pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT dilaksanakan. Setelah ditunda oleh KPUD karena sejumlah aksi protes dan disetujui oleh Mendagri, ajang suksesi kepemimpinan politik di bumi Flobamorata ini akhirnya berlangsung pula.
Ada orang yang menyebut pemilihan hari ini sebagai pesta demokrasi. Alasannya? Inilah kesempatan rakyat dipertuanagungkan. Pesta selalu memestakan sesuatu, seseorang atau sekelompok orang. Pesta menempatkan sesuatu, seseorang atau sekelompok orang itu pada pusat perhatian. Pada momen pemilihan umum, orang bilang, yang dipestakan adalah rakyat. Rakyat menjadi pusat perhatian dan berbahagia. Anda berpesta hari ini? Anda dipestakan hari ini? Anda berbahagia dan dibahagiakan hari ini?

Pada sebuah kesempatan pesta, ada tuan pesta. Dialah yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan pesta. Pesta adalah ungkapan pengaruh, kekayaan dan kewibawaannya.
Pesta yang diselenggarakan seorang yang berpengaruh dan suka bergaul, berbeda dari perayaan yang diselenggarakan seseorang yang sama sekali tidak disukai oleh keluarga dan para tetangganya. Demikian pun kekayaan seseorang tampak dalam pesta yang diselenggarakannya. Tidak berlebihan apabila dikatakan, pesta merupakan sebuah manifestasi kekayaan seseorang. Sayangnya, tidak sedikit orang yang memaksa diri untuk menjadi seolah-olah kaya, biar terkesan sanggup menyelenggarakan pesta yang membuat geger banyak orang. Yang pasti, pesta adalah kesempatan seseorang menunjukkan harga diri dan kedaulatannya. Ada berpesta hari ini? Anda merasa sungguh berdaulat hari ini?

Tidak jarang pesta merupakan saat yang kritis, dirayakan pada sebuah momen peralihan. Pesta dirayakan setelah sebuah perjuangan dan serentak untuk mengawali sebuah tahapan baru. Orang berpesta pada saat pernikahan, karena masa lajang berakhir dan dimulailah rentang waktu kehidupan bersama sebagai keluarga. Pesta panen dirayakan, sebab usaha selama semusim tanam berakhir dan terbentang masa untuk menikmati hasil sambil bekerja lagi. Ada dimensi syukur, pembebasan dan harapan yang terkandung di dalam sebuah pesta. Pesta mempertemukan masa lalu dalam rasa syukur dan masa depan dalam nada harapan. Apakah Anda berpesta hari ini? Apakah Anda bersyukur hari ini karena telah bebas dari satu masa kepemimpinan politik selama lima tahun? Apakah hari ini Anda merasa lega karena segala ketegangan, kepenatan dan kecapaian selama hari-hari persiapan pemilihan ini? Dan apakah hari ini Anda merasa mempunyai alasan untuk menatap penuh harapan ke masa depan warga propinsi ini? Anda berpesta hari ini?

Ada pula warga yang mengalami hari ini sebagai sebuah hari perkabungan, hari puncak dari kematian demokrasi. Alasannya? Dalam kacamata mereka, hari ini adalah kristalisasi dari tendensi penyingkiran rakyat yang terjadi selama ini. Sudah lama rakyat tidak berdaulat dalam negara ini, juga di propinsi ini. Politik yang dipraktikkan selama ini sepertinya menganut prinsip: etsi populus non daretur, seolah-seolah rakyat tidak ada. Karena sudah sekian terbiasa dengan politik semacam ini, maka pada momen pemilihan kepemimpinan politik yang seharusnya menjadi ajang pertunjukan kedaulatan rakyat, rakyat sekali lagi tidak diindahkan. Rakyat sudah lama ditinggalkan di dalam kereta demokrasi ini, maka kedaulatan rakyat hanyalah sebuah label untuk melegitimasi kedaulatan para penguasa. Anda berduka hari ini? Anda merasa telah ditinggalkan dan diabaikan dalam perjalanan bangsa ini?

Perkabungan adalah tanda kedukaan. Dan kedukaan merupakan ungkapan perasaan karena gagal tercapainya sebuah harapan. Apa yang terjadi ternyata berada di luar apa yang diinginkan atau apa yang semestinya. Seseorang atau sesuatu yang mesti ada ternyata tidak ada atau tidak ada lagi. Kedukaan selalu dikaitkan dengan absensi sebuah kehadiran yang mempunyai makna. Kedalaman kedukaan ditentukan oleh kedalaman makna dari seseorang atau sesuatu. Semakin bermakna kehadiran seseorang atau sesuatu untuk kita, semakin dalam rasa duka yang kita alami apabila seseorang atau sesuatu itu tidak ada atau tidak ada lagi. Demikianlah ada warga yang berduka karena kedaulatan rakyat yang demikian penting dan bermakna, tidak sungguh hadir dalam peristiwa pemilihan hari ini. Anda berduka hari ini? Anda merasa pedih dan sedih karena hilangnya demokrasi dari peristiwa hari ini?
Kedukaan selalu sangat dekat dengan keputusasaan. Orang yang dirundung duka yang mendalam sering tak melihat masa depan yang cerah. Ini terjadi justru karena baginya masa depan baru akan menjadi cerah apabila seseorang atau sesuatu hadir atau ada.

Ketidakhadirannya, atau kematiannya menjadi alasan bagi hilangnya kecerahan masa depan. Anda berduka hari ini? Apakah Anda menatap kabur masa depan propinsi ini setelah peristiwa hari ini?
Hari ini adalah sebuah peristiwa, entah mau disebut pesta atau dialami sebagai perkabungan. Sebuah peristiwa terjadi, dikehendaki atau tidak dikehendaki, direncanakan atau di luar rencana. Yang terjadi karena direncanakan menunjukkan prestasi dari perencana, yang terjadi di luar rencana menempatkan orang sebagai korban dari peristiwa. Peristiwa dialami sebagai bencana. Namun, peristiwa tidak hanya terjadi. Peristiwa mesti dimakna juga. Kita perlu memberi arti pada apa yang terjadi. Hanya dengan itu kita tidak akan larut dalam kebanggaan atau tenggelam dalam bencana. Bagaimana memaknai peristiwa hari ini?

Hemat saya, kita dapat memaknainya dengan memberi perhatian pada persoalan waktu: hari ini. Dalam termologi teologi kristen, hari ini adalah saat berahmat, khairos. Maksudnya, hari ini adalah saat penentuan, entahkah manusia sanggup menampilkan dan membawa diri sebagai makhluk yang sadar akan hakikat dirinya sebagai ciptaan Tuhan dan sebagai sesama bagi saudara dan saudarinya. Serentak hari ini dapat menjadi tanda kutukan. Hari ini dapat merupakan peluang yang diabaikan dan dilewatkan untuk menampakkan rahmat kepada dunia. Kalau rahmat diabaikan, maka orang akan menjadi pembawa bencana bagi diri dan sesamanya.

Hari ini adalah peluang yang terbuka, dan hidup adalah memberi bekas pada peluang itu. Bekas itu terangkai dalam satu deretan sejarah. Kalau demikian, hari ini tidak pernah terlepas dari hari kemarin dan hari esok. Bekas-bekas itulah yang menyusun sejarah segala sesuatu, termasuk sejarah demokrasi.
'Hari ini' mau mengingatkan kita bahwa yang terjadi hari ini tidak terlepas dari hari kemarin. Jika hari kemarin kita telah sungguh-sungguh dalam menata demokrasi kita, maka setiap hari ini akan menjadi saat kita boleh merasakan kebahagiaan sembari terus berbuat sesuatu untuk demokrasi kita besok. Kualitas demokrasi hari ini ditentukan oleh kualitas kita sebagai demokrat di hari kemarin. Namun, jika pada waktu sebelumnya kita membiarkan seluruh proses politik berjalan sendirian dalam pengawalan, maka yang kita hadapi hari ini adalah sebuah kereta demokrasi tanpa rakyat.
Selanjutnya, 'hari ini' adalah sebuah peringatan, bahwa demokrasi harus ditata dari hari ke hari. Demokrasi bukan hanya sebuah peristiwa pada sebuah hari pemilihan seperti pada hari ini. Kalau sungguh menghendaki propinsi ini demokratis, usaha nyata setiap hari mesti ditunjukkan. Usaha ini tampak antara lain dengan menanamkan sikap demokratis, berpartisipasi dalam kehidupan bersama dengan menyampaikan gagasan yang kritis kalau ada penyimpangan dan pandangan yang suportif untuk inisiatif perbaikan. Demokrasi mesti diusahakan setiap hari, bukan hanya dengan aksi-aksi seputar sebuah proses pemilihan. Seluruh sikap hidup harus mencerminkan kecintaan dan komitmen kita pada demokrasi.

Demokrasi adalah usaha dan perilaku setiap hari. Kalau orang setiap hari melakukan korupsi, maka tidak akan ada demokrasi dalam sebuah pemilihan. Jika orang sewenang-wenang dalam jabatan yang berhasil diperolehnya, maka juga dalam sebuah momen penting seperti sebuah pemilihan dia akan bertindak sewenang-wenang. Sebaliknya, apabila orang terbiasa untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya, orang akan terbiasa untuk mempertanggungjawabkan jabatan dan tugas yang dipercayakan kepadanya. Tahu mempertanggungjawabkan, itulah salah satu kunci dari demokrasi.
Hari ini adalah sebuah peristiwa. Kita tidak perlu menyebutnya sebuah pesta, karena tidak jarang pesta membuat orang lupa diri, lupa masa lalu dan takut menatap masa depan. Pesta bisa menjadi semacam obat bius yang membawa orang larut dalam dunianya sendiri tanpa sentuhan dengan realitas. Kita pun tak perlu menyebutnya kedukaan, sebab kedukaan sangat dekat dengan keputusasaan atau hilangnya harapan, sementara demokrasi hanya dapat bertahan kalau kita tidak kehilangan harapan. Ya, demokrasi memerlukan orang-orang yang masih mempunyai harapan, bahwa perubahan mungkin terjadi, dan perubahan itu terjadi secara demokratis, tanpa kekerasan dan tanpa manipulasi.

Hari ini ada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT. Ini sebuah peristiwa yang perlu dimaknai, mesti meninggalkan bebas mendalam pada ziarah demokrasi di bumi Flobamorata ini. Kualitas pemilihan hari ini menunjukkan kualitas kesadaran dan perilaku demokratis kita. Keberhasilan peristiwa hari ini adalah buah kerja keras dan usaha telaten dari kita dalam menata demokrasi hari demi hari di masa lalu. Rendahnya mutu proses pemilihan ini adalah juga tanggung jawab kita sebagai warga. Membangun demokrasi, membangun NTT, adalah mengisi hari ini. *
________________________________________

JEJAK KAKI SANG PETANI


(Jeritan dibalik kelaparan)
Oleh: Valery Kopong*
MEMBACA dan mendengar berita dari Flores tentang masalah kemiskinan dan kelaparan yang sedang menimpah beberapa daerah di Sikka dan juga Ile Ape (Lembata), kesan kuat yang muncul adalah bahwa selama ini belum adanya keseriusan pemerintah untuk mengurus persoalan tersebut. Persoalan ini sebenarnya menampar kesadaran pemerintah secara khusus dinas pertanian untuk secara jeli memahami peristiwa ini sebagai kegagalan dinas yang bersangkutan yang mungkin selama ini tidak membantu warga dalam proses pengolahan lahan pertanian secara maksimal. Penulis lebih menitikberatkan pada dinas pertanian karena keberadaan mereka yang seharusnya menjadi mitera masyarakat dalam mengembangkan komoditas tetapi justeru yang terjadi adalah terdapat kesenjangan yang menciptakan jarak sosial yang jauh dari masyarakat. Keberadaan dinas pertanian di propinsi dan kabupaten belum menujukkan aktivitas secara paripurna untuk membantu masyarakat.
Melihat kondisi wilayah dari kedua daerah tersebut, pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah penelitian terhadap jenis tanah secara jeli untuk kemudian menentukan jenis tanaman mana yang cocok untuk ditanami tanaman. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk menemukan kecocokan tanah untuk ditumbuhi tanaman-tanaman, baik sayur-sayuran maupun komiditi lainnya yang bisa digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Selama ini belum adanya penelitian yang serius terhadap kondisi tanah dan pola pengembangan pertanian di wilayah-wilayah yang rawan pangan ini. Penelitian ini lebih dimaksudkan untuk menggali persoalan mendasar tentang rawan pangan, yang penyebab utamanya adalah kondisi tanah.
Terhadap persoalan mendasar ini, penulis teringat akan upaya dan kerja keras almahrum, Pastor Fritz Braun, SVD yang membantu salah satu wilayah tandus di daerah Maumere. Mulanya ia membantu warga dengan menggali beberapa sumur dan sumur-sumur yang ada dapat dijadikan sebagai sumber yang memberikan kehidupan bagi tanaman-tanaman lain. Beberapa tahun kemudian, wilayah yang dulunya tandus berubah menjadi segar dan hijau. Di sini, dapat kita lihat bahwa persoalan utama tidak hanya terletak pada tanah tetapi juga air. Air sebagai sentra utama memberikan kehidupan bagi yang lain belum terupaya digarap, seperti yang dilakukan oleh Pastor Fritz. Andaikata kandungan air yang tersimpan di dalam perut bumi, suatu saat tersedot maka dapat dijadikan sebagai sumber utama yang memberikan kahidupan.
Di sisi lain, perlu adanya perombakan pola pertanian. Masyarakat NTT umumnya masih terkondisi dengan cara bertani secara tradisional. Karena itu melihat kondisi seperti ini maka sudah saatnya masyarakat NTT perlu mengadakan perombakan secara total pola bertani. Kita mestinya belajar, bagaimana bertani secara baru (modern) di mana yang dicurahkan dalam sistem pertanian tersebut, tidak hanya secara fisik semata tetapi juga mengerahkan pikiran.
Penerapan cara bertani modern ini merupakan suatu tantangan tersendiri bagi masyarakat NTT. Di katakan tantangan berat karena masyarakat umumnya enggan untuk belajar hal-hal baru mengenai bagaimana bertani secara baik, di mana dalam mengerjakan areal pertanian tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga tetapi hasil yang diperoleh adalah memuaskan. Untuk membuka cakrawala berpikir masyarakat NTT dan secara khusus daerah-daerah yang rawan pangan, perlu adanya pendampingan dari dinas pertanian secara kontinu. Pola pendampingan yang diterapkan disini harus secara personal dan berkelanjutan. Di sinilah tantangan terberat untuk dinas pertanian apabila mereka mau menyatu dan bersolider dengan masyarakat petani, yang tidak lain adalah warganya sendiri.
Beberapa pendekatan di atas belumlah menunjukkan sesuatu secara maksimal apabila komoditi yang ditanam hanyalah sejenis. Seperti yang terjadi di Sikka, ancaman terberat bagi mereka adalah lumpuhnya komoditi kakao yang menjadi primadona masyarakat tersebut karena terserang penyakit. Keadaan ini menjadi penyebab utama yang menimbulkan kelaparan karena harapan akan komoditi yang lain tidak ada. Untuk dapat mengatasi masalah ini pada masa mendatang, sebagai anjuran, bahwa masyarakat NTT umumnya tidak boleh menanam komoditi hanya sejenis saja. Anjuran ini dilakukan dengan melihat kondisi di Sikka, yakni karena bergantung pada komoditi primadona (baca: kakao) yang terserang penyakit maka mereka menjadi lapar. Primadona telah berubah wajah menjadi primadosa.
Kalau penulis melihat di wilayah lain seperti Adonara-Flores Timur, pola menanam tanaman komoditi tidak hanya terpaku pada satu jenis saja. Misalkan saja sebuah keluarga memiliki 4 hektar tanah, semuanya dibagi secara merata untuk ditanami beberapa jenis tanaman komoditi. Dari 4 hektar tanah itu bisa ditanami kopi, kakao, fanili, kemiri. Dan satu lahan pertanian kecil bisa disediakan untuk ditanami tanaman berumur pendek seperti jagung dan padi. Pola penanaman variatif seperti ini memberikan suatu nuansa baru untuk bagaimana mengatasi krisis pangan. Apabila kakao gagal panen sebagai akibat terserang penyakit maka komoditi lain yang berhasil dipanen menjadi penopang untuk membendung kelaparan.
Peristiwa kelaparan di Sikka atau rawan pangan (versi para pajabat), seperti yang ditulis di harian kompas, mengulas secara mendetail tentang sepak terjang kehidupan masyarakat Sikka. Salah satu hal yang disoroti adalah rendahnya budaya menabung. Mungkin benar dugaan-dugaan seperti ini karena apabila budaya menabung masyarakat cukup tinggi maka masyarakat sendiri bisa mengatasi masalah ini. Selain catatan di harian kompas, P. Budi Kleden, SVD dalam tulisannya di Pos Kupang, menghimbau masyarakat Sikka agar melihat peristiwa ini sambil berusaha membenah diri dengan cara “mengurangi pesta.”
Pesta merupakan bagian hidup masyarakat Sikka. Di dalam pesta yang sifatnya sesaat dan penuh hura-hura seakan menghantar para warga Sikka untuk melupakan pengalaman pahit yakni kelaparan. Kini saatnya untuk kembali melihat kondisi wilayah kita yang rawan baik rawan pangan, rawan ilmu pengetahuan dan busung lapar. Kita lebih berbenah diri lagi, menata pola bertani dan pola bertanam serta pola menabung sebagai upaya terbaik menyelamatkan diri. Pupuk yang baik untuk tanaman bukan pupuk urea, melainkan jejak kaki sang petani. Peristiwa kelaparan tidak dilihat sebagai kegagalan seorang petani tetapi lebih merupakan tuntutan alam. Dapatkah seorang petani menundukkan peristiwa kelaparan dengan membenah kembali cara berpikir dan pola bertani secara baru? ***

BUDAYA MENGUNGSI

( Sebuah refleksi sosio-biblis)

Oleh: Valery Kopong*

“SETELAH lepas dari mulut singa, ia masuk (dipaksa masuk) ke dalam mulut harimau”. Ungkapan sederhana ini menunjukkan keperpihakkan yang kental terhadap masyarakat Indonesia, secara khusus mereka yang sedang dilanda duka dan derita akibat bencana. Menelusuri perjalanan Indonesia saat ini tercatat begitu banyak problema yang dihadapi dan mendapat perhatian ekstra. Bencana ini barangkali bermula dari tol Jagorawi, saat presiden lewat terjadi tabrakan beruntun dan beberapa orang terpaksa mengakhiri hidup di atas tol itu. Belum lama berselang, muncul bencana Aceh, Nias, Jogja, Sidoarjo dan beberapa peristiwa lain yang tidak tercatat.

Atas bencana yang mengancam keselamatan jiwa ini maka warga secara keseluruhan mengadakan suatu eksodus, baik dalam jarak dekat maupun jauh. Peristiwa eksodus menjadi suatu peristiwa lumrah, yang secara refleks menggugah kesadaran masyarakat untuk menjauhi tempat-tempat bermasalah itu. Oleh keseringan bencana seakan menghidupkan budaya baru yaitu “budaya mengungsi.” Mengungsi di sini tidak dilihat sebagai upaya untuk tidak mencintai wilayahnya tetapi sebagai trik lama yang tetap dibaharui sebagai pemungkin untuk menjauhi pelbagai bencana yang mengancam eksistensinya.

Menelusuri peristiwa eksodus, aku teringat akan umat Israel yang keluar dari tanah Mesir. Bani Israel terpaksa keluar untuk menghindari kekerasan yang dilakukan oleh Raja Fira’un. Seluruh gerak kehidupan mereka dikondisikan oleh raja. Untuk menyelamatkan situasi ini, Allah orang Israel (baca: Yahwe) melalui Musa, dihantarkannya seluruh warga bangsa Israel untuk keluar dari tanah Mesir ke Kanaan, negeri yang dijanjikan. Peristiwa eksodus ini juga mengalami tantangan dari raja. Upaya pembendungan raja akhirnya diluluhlantakan dengan diturunkan tulah.

Pada tulah terakhir yakni seluruh anak laki-laki Mesir dibunuh, namun orang-orang Israel terselamatkan karena darah anak domba yang dioleskan pada jenang pintu rumah. Dalam konteks biblis dapat dipahami bahwa peristiwa ini disatu sisi menyelamatkan bani Israel tetapi di sisi lain membuka suatu pengembaraan baru melewati padang gurun yang mengancam. Inilah pengalaman awal dilematis bani Israel untuk menerima dua kemungkinan untuk keluar dari tekanan politis raja dan masuk pada tantangan alam saat mengembara.

Kisah eksodus masa lalu memiliki multi makna dan selalu inovatif. Gerak perjalanan eksodus sangat terasa akan intervensi Allah secara langsung. Pengalaman mereka akan Yahwe menunjukkan suatu relasi kondusif dan Yahwe memberikan proteksi riil tanpa mengumbar janji terlebih dahulu. Yahwe tidak pernah memutuskan mata rantai relasi dan keberpihakannya pada umat Israel. Allah menunjukkan kesetiaanNya pada umat tanpa mengenal ujung keberakhiran.

Apabila kita mengaitkan pengalaman eksodus Israel dan bani (bangsa) Indonesia, ada sedikit perbedaan yang menyolok yakni, eksodusnya Israel menggambarkan eksodus permanen dan eksodusnya orang-orang Indonesia yang terkena bencana adalah eksodus sementara. Antara dua peristiwa eksodus di sini terdapat satu benang merah yang menunjukkan adanya ketereratan hubungan adalah kedua bangsa ini berupaya untuk menghindar dari bahaya.

Proses penghindaran bencana untuk bangsa Israel semata-mata atas inisiatif Yahwe sendiri, sedangkan bangsa Indonesia yang terkena bencana terpaksa menghindar atas desakan alam. Di sini dapat dilihat dua gejala yang berbeda yaitu pada bani Israel yang karena kedekatan dan keakraban dalam membangun relasi spiritual dengan Yahwe maka Ia pada akhirnya menunjukkan kemurahan sebagai upah yang layak diterima. Sedangkan orang-orang Indonesia yang terkena bencana, khususnya banjir, menunjukkan relasi yang tidak bersahabat dengan alam yakni telah terjadi ekploitasi alam dan pengerukan kandungan bumi. Mungkin ini saat paling tepat untuk mengatakan bahwa bencana di hampir seantero nusantara ini merupakan “tulah” dari Allah dan menggema bagai “sirene yang mematikan.”

Di tengah deru dan gemuruh bencana yang kian mengancam, perlu kita mengadakan eksodus, keluar dari diri dan lingkungan kita untuk mencari tempat yang aman. Di tempat tujuan kita bereksodus inilah dapat dilihat sejauh mana saya menyadari spirit kedekatanku dengan yang Ilahi dan sejauh mana kita memperlakukan alam semesta, tempat untuk dihuni dan dipijaki. Di tempat pengungsian yang bersifat sementara, di bawah barak beratap terpal berlantaikan tanah, perlu disenandungkan kembali syair-syair lagu Ebiet G.Ade yang merupakan getaran jiwa sang seniman. “Mungkin Tuhan mulai bosan, atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”

Syair lagu di atas telah menembus puing reruntuhan rumah-rumah, bahkan menembus ke telinga-telinga manusia. Kini, di Sidoarjo, warga tengah mengalami eksodus, mencari tempat aman untuk menghindar dari ancaman lumpur panas. Mereka mengungsi sebagai upaya penggenapan ulah perusahaan yang membor perut bumi. Alam Indonesia tidak bersahabat. Mungkinkah kita menjadikan peristiwa mengungsi sebagai budaya baru untuk menghindari diri dari ancaman bencana yang tak kenal putus? Tanya saja pada rumput yang bergoyang.***

“BOSAN MENJADI ORANG INDONESIA”


Oleh: Valery Kopong*

MENYAKSIKAN aksi jahit mulut dari beberapa warga yang terkena saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet), sebenarnya mereka sedang memproklamasikan ketersendatan sebuah komunikasi di negara yang sedang mencari jati diri akan demokrasi. Aksi serupa menyiratkan sebuah kekecewaan mendalam sekaligus mempertaruhkan sisa hidup di republik ini. Pada bagian atas, tepatnya berdampingan dengan kepala orang-orang terbaring dengan mulut terjahit, terpampang nisan makam sebagai praisyarat, kematian bakal datang menjemput. Terhadap aksi yang mengundang perhatian publik ini, menggelitik penulis untuk bertanya lanjut. Mengapa mereka bisa mengorbankan diri mereka dengan cara paling sadis? Sudah buntukah jalan komunikasi antara warga dan pemerintah? Masih pedulikah pemerintah terhadap jeritan orang-orang yang “tidak bermulut itu?”

Persoalan mendasar yang memunculkan aksi itu terletak pada kemandekan komunikasi yang menemukan jalan buntu. Pelbagai upaya barangkali telah dilakukan oleh para korban sutet untuk meminta secara baik agar pemerintah segera memindahkan mereka ke lokasi lain yang bebas dari tegangan arus lisrik. Upaya ini tidak ditanggapi secara serius sehingga pada akhirnya keputusan pahit mesti direguk untuk menuntut “sisa perhatian” dari pemerintah.

Ketika korban mengalami kondisi kritis, kepedulian pemerintah belum tercurah untuk mereka. Harapan mereka di atas “jalan maut” justeru menjadi tontonan menarik para elite. Di sini, kita dapat membaca secara jeli soal lemahnya tanggung jawab pemerintah terhadap keberlangsungan hidup mereka. Nyawa manusia tidak dihargai bahkan tidak dipedulikan saat mana mereka kadang berbaring di gedung dewan dengan membawa tubuh dan jantung “setengah berdenyut.” Inikah sebuah wajah republik yang terus berkoar menghidupkan demokrasi di tanah tumpah “terus berdarah ini?”

Sebuah ciri dari negara yang menyatakan diri berdemokrasi adalah membangun komunikasi. Komunikasi dibangun menjadi penghubung antara masyarakat dan pemerintah terutama berkaitan dengan masalah-masalah publik. Tetapi dari peristiwa tragis itu sebetulnya menggambarkan betapa minimnya komunikasi. Dalam berkomunikasi, begitu banyak ditemukan kekecewaan. Pemerintah mungkin pernah kecewa karena kebijakan yang diturunkan tidak mendapat respon dari masyarakat. Demikian juga dengan masyarakat, mengalami kekecewaan karena banyak kebutuhan dan tuntutan tidak dipenuhi oleh pemerintah.

Inilah litani kekecewaan sekaligus menggambarkan “komunikasi yang frustrasi.” Dalam bukunya The Miracle of Dialogue, Reuel L. Howe menguakkan rahasia, bahwa mogoknya komunikasi itu disebabkan oleh tertutupnya sebuah hati akan arti yang ditawarkan oleh pihak lain. Bila berkomunikasi dengan pihak lain, kita sebetulnya ingin menunjukkan diri kepadanya dengan harapan supaya ia memberikan jawaban. Kita berharap bahwa arti yang sedang kita coba sampaikan itu akan menggerakkan arti tertentu dalam dirinya sebagai jawaban, sehingga suatu perubahan timbal balik akan arti dari masing-masing pihak menuju pada maksud yang ingin dicapai.

Pada intinya yang terdalam, lanjut Howe, rintangan arti disebabkan oleh kebutuhan ontologis manusia, yakni perhatian dan kepentingan yang diarahkan untuk diri sendiri. Misalnya kecemasan yang merupakan gejala emosional dan psikologis dari kebutuhan ontologis tersebut. Setiap manusia tanpa terkecuali hidup dalam kecemasan dan kekhawatiran akan ancaman terhadap keberlangsungan hidupnya karena pada dasarnya manusia sendiri memiliki keterbatasan sekaligus menyatakan diri untuk tidak dapat memerangi aspek luar yang memiliki daya mati yang lebih dasyat. Kecemasan mereka yang terakumulasi dalam aksi bunuh diri itu juga sedikitnya memancing kecemasan publik untuk senantiasa waspada terhadap setiap aktus pemerintah yang mengarah pada tindakan destruktif.

Kecemasan mereka telah menjadi kecemasan bersama untuk kemudian memancing perhatian pemerintah agar menaruh perhatian atas kecemasan yang mereka miliki. Tetapi aksi yang dipertontonkan itu tidak lebih sebagai “dagelan jalanan’ di mata pemerintah karena tidak ada tanggap balik dari mereka maupun dari anggota dewan terhormat. Kehilangan daya jumpa – arti dalam komunikasi itu terjadi dalam apa yang biasa disebut sebagai “monolog”, sebuah metode komunikasi yang kini bahkan dipersalahkan sebagai pencipta kesakitan komunikasi itu sendiri. Banyak orang menyangka bahwa komunikasi berarti “saya mengatakan kepada orang lain apa yang seharusnya dia tahu.”

Dalam konteks ini, komunikasi selalu mengundang daya tanggap dari komunikan untuk menyelami maksud kedatangan dan pembicaraan dari komunikator. Walaupun dalam berkomunikasi, mulut orang-orang yang terjahit mewakili seribu warganya tetap memberikan contoh pada publik akan gagalnya sebuah komunikasi verbal antara pemerintah dan warganya sendiri. Tetapi dalam arti tertentu, komunikasi tidak harus berbicara di bawah empat mata dengan mulut penuh komat-kamit. Sebuah komunikasi yang mewakili “masyarakat yang sakit” menghadirkan cara lain untuk menyampaikan pesan terdalam dari apa yang tidak didengarkan oleh pemerintah saat mulut-mulut mereka dengan penuh busa menuntut ganti rugi.

Kehadiran mereka dengan kondisi memprihatinkan, memberikan pesan sederhana untuk masyarakat umum yaitu bahwa negara kita juga sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan sebagai akibat dari terkenanya pelbagai krisis yang belum terselesaikan. Dan nisan makam yang tertancap pada sisi mereka yang masih hidup menandakan adanya “kebosanan” mereka untuk tidak mau hidup lagi di negeri ini. Mereka bosan menjadi warga negara Indonesia karena seluruh keluhan kritis tidak tertanggapi secara paripurna.

Kisah tragis yang hadir di panggung Indonesia telah menjadikannya sebagai “kisah terbuka” untuk mengundang publik menafsir secara lebih jauh tentang makna terdalam dibalik aksi tersebut. Kisah mereka tak pernah selesai di sini, walau suatu ketika mereka meninggal dan terkubur di bawah “reruntuhan bumi pertiwi ini” karena kisah perjuangan mereka tetap dipilin sebagai cerita yang hidup, yang selalu memberi daya juang untuk tetap mengkritik penguasa.***

INDONESIA DAN KEGAGALAN MENGELOLA MASALAH

Oleh: Valery Kopong*

BEBERAPA tahun yang lalu, seorang sahabat saya melamar kerja pada sebuah paroki. Perkenalan awal dengan pastor paroki terasa kental dan akrab. Hal ini menimbulkan suatu kepercayaan penuh dalam diri pastor paroki terhadapnya. Pekerjaan memasak di dapur bahkan merangkap sebagai seorang koster dilakoninya. Melihat rutinitas kerja yang diakhiri secara baik dan memuaskan maka suatu hari sang pastor menjanjikannya untuk membelikan sebuah sepeda bermerek BMX. Hadiah menarik ini tentunya menambah gairah dan memotivasinya untuk berkreativitas.

Suatu hari ketika pastor paroki sedang mengadakan kunjungan ke lingkungan-lingkungan, kesempatan ini dia gunakan untuk mendandani sepedanya. Menatap sepedanya yang baru, ia selalu membanggakan orang-orang yang merakit sepeda itu. Kapan saya bisa merakit sepeda itu? Pertanyaan ini selalu menghantuinya sehingga pada akhirnya ia membongkar sepeda yang utuh itu lalu memisahkan onderdil. Seusai memisahkan sepeda menjadi beberapa bagian, ia mengalami kesulitan dan tidak tahu bagaimana mengutuhkan kembali masing-masing onderdil menjadi sebuah sepeda yang sempurna. Peristiwa ini akhirnya diketahui oleh pastor paroki dan sahabat saya dimarahi.

Cerita sederhana di atas menggambarkan betapa gamblangnya pemikiran sahabat saya yang tidak memiliki potensi tetapi berani menggambil resiko dari uji coba pemahaman yang minim akan dunia perakitan sepeda. Hal ini juga jelas menunjukkan sebuah egoisme yang kuat dalam diri sahabatku yang tidak mau mencari informasi dan meminta bantuan pihak lain. Dengan peristiwa ini ia pada akhirnya menatap resah pada onggokan onderdil sepeda dan sepeda yang disanjung-sanjung sebelumnya tidak lagi menjalani fungsinya sebagaimana mestinya.

***

KETIKA bapak Proklamator menyatukan bangsa ini, ia selalu mendengungkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengungan sang Proklamator ini menunjukkan adanya upaya untuk menjaga suatu keutuhan wilayah RI yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Jiwa pemersatu selalu hidup dalam diri sang proklamator bahkan bisa dilihat sebagai mesin penggerak utama (motor primum) yang terus menggilasi nurani anak bangsa untuk tetap menjaga keutuhan bangsa ini. Menjaga keutuhan bangsa berarti berani memandang orang lain sebagai bagian dari anggota bangsa ini, tanpa perlu bertanya ia berasal dari suku mana. Keterbukaan hati antar wilayah telah menghantarkan bangsa menuju pada titik pemahaman yang absah tentang negara dan keutuhannya.

Para pemimpin lain pasca-Soekarno memerintah secara agak berbeda. Di tangan Soeharto, demi persatuan dan kesatuan, banyak orang yang lenyap nyawanya ketika berani berbicara dan mengeritik pemerintahannya yang pretorian. Dia pada akhirnya tumbang dan diganti Habibie. Pada masa transisi yang begitu singkat ia berani memisahkan Timtim dari Indonesia lewat dua opsi yang digulirkannya. Muncul pemimpin lain seperti Gus Dur dan Megawati di atas pentas republik dan dua tokoh ini masih tetap menyerukan persatuan dan kesatuan bangsa. Kepemimpinan mereka menggambarkan sosok nasionalis yang gampang diterima oleh semua kalangan. Lalu bagaimana dengan pemerintahan SBY-JK?

Keutuhan bangsa ini kian renggang oleh karena tidak lagi didengungkannya nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini jelas terlihat bahwa selama kepemimpinan SBY-JK, jarang sekali terucap kata persatuan dan kesatuan bangsa serta tidak medengungkan pancasila sebagai dasar negara ini. Pada saat ini beberapa tokoh nasional mencoba untuk mendengungkan kembali persatuan dan kesatuan serta menyerukan agar nilai-nilai pancasila dihidupkan lagi sebagai pedoman yang mengarahkan perjalanan bangsa ini.

SBY-JK barangkali memberikan interpretasi secara berbeda terhadap nilai-nilai di atas. Bahwa tak perlu lagi mendengungkan nilai persatuan dan kesatuan serta pancasila sebagai dasar karena para pemimpin terdahulu telah mendengungkannya ke telinga-telinga rakyat Indonesia. “Negara lain bisa maju tanpa pancasila,” demikian kata seorang tokoh nasional kita. Memang benar bahwa negara lain maju tanpa pancasila tetapi ingat bahwa negara lain juga mempunyai pedoman tertentu yang mampu menuntun negaranya untuk berjalan ke arah yang benar. Pancasila dan UUD 1945 menjadi landasan berpikir dan bertindak untuk memajukan bangsa ini. Itu berarti bahwa landasan ini menjadi cerminan bagi publik untuk pada akhirnya secara bijak memilih ketepatan “semburan nilai cahaya” yang terpancar dari sumber yang sakti itu.

Melihat kondisi bangsa yang amburadul ini, menurut hemat penulis bahwa tidak adanya dasar yang kuat yang sanggup mengarahkan perjalanan bangsa ini. Dan dengannya dalam bertindak, baik para pemimpin dan rakyat secara keseluruhan tidak memikirkannya secara rasional sehingga pada akhirnya hasil yang diperoleh sangat mengecewakan. Cerita di atas menceritakan pada kita bahwa sudah banyak masalah yang dibuat sendiri yang tidak pernah terselesaikan secara baik. Contoh yang paling jelas adalah korupsi. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang korup yang sudah sekian tahun berjalan tetapi hal ini tidak bisa tertangani secara baik. Atau contoh lain yang menunjukkan kebodohan Indonesia sendiri adalah usaha pengeboran perut bumi oleh PT Lapindo di Porong –Sidoarjo di mana ketika ada semburan lumpur panas di areal pengeboran, pihak perusahaan pada kelabakan untuk bagaimana mengatasinya.

Masalah-masalah yang telah muncul di atas menunjukkan betapa sempitnya kiprah seorang pejabat yang bertindak untuk memuaskan kepentingan pribadi dan golongan, tanpa berpikir secara global tentang hidup masyarakat publik. Pelbagai masalah yang dimunculkan belum tuntas terselesaikan secara baik. Mengelola masalah bangsa ini tidak akan menemukan suatu jawaban tuntas apabila masing-masing instansi bangsa berada secara terpisah, mirip onderdil sepeda dalam cerita di atas. Masing-masing instansi belum menunjukkan militansi yang handal dalam menyelesaikan masalah bangsa ini. Mereka (baca: instansi) menunjukkan fungsi secara sendiri-sendiri dan belum merambat kepada partner kerja yang lain.

Masalah korupsi misalnya, tidak bisa diberantas secara radikal karena korupsi telah melembaga dan membangun jaringan sangat kuat dan tidak bisa ditumbangkan. Bagaimana bisa menumbangkan kawanan koruptor kalau polisinya dan instansi penegak hukum yang lain senantiasa menghidupkan budaya korupsi? Atau pembalakan liar tak mungkin teratasi karena yang melakonkannya adalah seorang jenderal.

Kegagalan bangsa dalam mengelola masalah dan menyelesaikan secara baik masih menjadi sebuah “fatamorgana.” Itu berarti proses penyelesaian masalah tidak jauh berbeda dengan usaha seseorang untuk menggapai kaki langit, sesuatu yang sia-sia. Usaha penuntasan masalah pada pemerintahan SBY-JK hanyalah dilihat sebagai “riak-riak politik” yang mencari simpati dan perhatian dari masyarakat publik. Langkah yang ditempuh dalam penuntasan pelbagai kasus bahkan memunculkan persoalan baru. Contoh yang paling jelas adalah penuntasan masalah kejahatan pada beberapa tahun lalu ternyata tersangka pembunuhan yang ditangkap dan dipenjarakan selama sekian tahun, bukanlah pelaku yang sebenarnya. Inilah suatu situasi kronis yang mencirikan lemahnya profesionalitas pihak aparat.

Gambaran umum masalah bangsa di atas, oleh William .I. Thomas dan Florian Znaniecki menyebutnya sebagai disorganisasi masyarakat. Bagi kedua sosiolog ini, setiap tindakan dan usaha untuk mengubah suatu struktur, itu berarti sedang adanya usaha untuk mengubah struktur yang lain. Berusaha untuk tidak lagi mendengungkan nilai persatuan dan kesatuan bangsa, berarti kita sedang mengubah struktur baru yakni “menghidupkan negara kecil dalam wilayah masing-masing.” Barangkali negara ini juga sudah jenuh dengan pancasila sebagai dasar negara ini, dan “mungkin” sedang mengubahnya dengan dasar agama seperti nampak pada perda yang beraroma syariat islam. Dalam jangka pendek, ada kemungkinan muncul gerakan separatis yang secara terang-terangan mendeklarasikan diri untuk berpisah dari NKRI karena merasa tidak cocok dengan paham baru yang tidak dapat mengakomodir seluruh elemen bangsa ini.

Lemahnya penanganan masalah bangsa terletak pada mismanagement para pemimpin yang kadang mengelola bangsa ini seperti mengelola “sebuah pesantren” yang masing-masing individu sudah tahu tentang apa yang mau dipelajari. Masalah bangsa adalah masalah publik karena itu kepentingan masing-masing wilayah terakomodir secara proporsional sehingga dengannya ada kepuasan publik terhadap pengelola bangsa ini. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang sanggup mengutuhkan seluruh komponen wilayah menjadi suatu bangsa yang berdaulat. Seperti onderdil sepeda telah memperlihatkan fungsi sepeda secara utuh karena berani merekatkan diri dengan yang lain, mungkin juga wilayah ini berada dalam satu kesatuan yang utuh karena adanya keberanian untuk memahami wilayah lain sebagai bagian yang utuh dari negara ini. Dengan kerekatan hubungan ini kita bersatu padu dalam mengelola pelbagai masalah bangsa ini secara paripurna.***