Gerakan kelompok yang kian deras ini menerpa, telah dan sedang meresahkan publik serta eksistensinya mengganggu keberadaan kelompok lain. Pelbagai kalangan, baik dari praktisi hukum, kelompok seniman dan para politikus meminta agar keberadaan kelompok ini segera mendapat pemangkasan dari pihak aparat bahkan melanyapkan kelompok tersebut. Tuntutan pembubaran kelompok ini muncul berlandas pijak pada aksi-aksi brutal dan frontal yang jauh menyimpang dari cita-cita pendirian kelompok awal. Sebagai misal, Front Pembela Islam (FPI), kelompok ini dinafasi oleh anima agama yang mengajarkan tentang kebaikan tetapi dalam pola perilaku praktis, tindakan mereka sama sekali jauh dibawah batas ajaran agama.
Atau contoh lain, Forum Betawi Rempug (FBR), beberapa waktu lalu ketua kelompoknya sedang berurusan dengan ibu Shinta Abdurahman Wahid dan Ratna Sarumpaet hanya karena melecehkan kelompok yang berdemo menentang rancangan undang-undang anti porno aksi dan porno grafi. Kedua kelompok di atas, yang satu mewakili agama dan yang lain mewakili suku, telah menunjukkan citra buram ditengah keanekaragaman ini. Kelompok-kelompok sosial ini sedang berada dalam paham triumphalisme yang sempit. Konteks kesatuan seperti yang diperjuangkan oleh Soekarno mengarah pada proses pengkerdilan. Secara sosiologis, eksistensi kelompok ini tidak menjamin kesuburan nilai interaksi secara makro dengan komunitas sosial lain. Yang ada hanyalah “intraaksi” yang ruang lingkupnya dibatasi oleh dinding agama, suku dan etnis.
Berhadapan dengan kelompok yang membangun konsep lokalitas yang kuat, tuntutan untuk dibubarkan kelompok tersebut cukup beralasan. Tetapi yang menjadi problem sekarang adalah siapa yang berani membubarkan kelompok tersebut? Agak sulit untuk membubarkan kelompok ini. Secara institusional mungkin bisa dibubarkan tetapi gerakan mereka telah mengakar dan menyebar ke berbagai wilayah. Penyebaran sayap kelompok yang mengatasnamakan agama seperti FPI, disambut hangat oleh wilayah-wilayah lain yang kebetulan memiliki “sense of religion” yang sama.
Dalam proses penyebaran dan pembentukan kelompok ini, agama seakan menjadi komoditi primadona untuk membangun kesadaran secara baru dalam menegakan keberadaan kelompok tertentu. Kelompok-kelompok ini, kalau mau untuk tetap eksis dan mendapat tanggap baik dari publik, mestinya harus membenah diri secara internal dan melihat kembali peta perjalanan kelompok untuk pada akhirnya membuat titik balik sejarah baru yakni kembali ke fitrah misi kelompok yang mengatasnamakan agama.
Di sini, agama dengan ajaran-ajaran yang sejuk dan lembut mendakwa senantiasa “meremote” seluruh gerak peradaban kelompok. Atas nama agama, kelompok-kelompok sosial seperti ini membangun relasi kerja dengan siapa saja, berdialog dengan siapa yang dijumpainya sembari membersitkan citra agama yang benar kepada publik. Di tengah perdebatan dan upaya pelenyapan kelompok yang sudah mengakar ini, kesan kuat yang muncul dalam diri penulis yakni bahwa organisasi ini sulit sekali untuk dilenyapkan begitu saja. Dikatakan sulit karena pertama, anggota-anggotanya sudah melebihi batas normal sebuah organisasi. Dan ini merupakan aset kekuatan mereka untuk mempertahankan eksistensinya. Kedua, adanya kemasabodohan aparat dalam mengontrol perjalanan organisasi ini. Hampir setiap tindakan anarkis yang dilakukan anggota kelompok tersebut, aparat sepertinya tinggal diam. Sikap inilah yang dapat meresahkan masyarakat. Apabila aparat bertindak tegas pada awal keberadaan kelompok tersebut maka mungkin mereka bisa menyadari esensi kesalahan mereka. Karena ini membubarkan kelompok ini sama halnya dengan memilin benang kusut. Sia-sia.***
0 komentar:
Post a Comment