(Menguak kasus Tibo Cs)
Oleh: Valery Kopong*
KEMATIAN merupakan suatu hal yang pasti untuk dialami setiap manusia. Tetapi untuk saat yang tepat dimana seseorang menghembuskan nafas yang terakhir, tak seorang pun tahu. Hanya Tuhan yang tahu, karena Ia mempunyai otoritas penuh untuk mencabut nyawa setiap manusia. Di balik jeruji besi, tiga terpidana mati (Tibo Cs) sedang menunggu para eksekutor untuk melenyapkan nyawa mereka yang diduga kuat oleh aparat sebagai pendalang aksi kerusuhan Poso.
Menurut pengakuan mereka kepada pastor yang mengunjungi, dengan polos dikatakan bahwa “tangan kami bebas dari darah manusia.” Itu berarti mereka tidak terlibat dalam aksi pembunuhan pada peristiwa Poso berdarah. Pengakuan mereka seakan ‘menguap’ begitu saja karena pihak keamanan dan kejaksaan tidak memberikan respons positif untuk kemudian membebaskan mereka. Terhadap persoalan ini memaksa penulis untuk melahirkan sederet pertanyaan, sekedar melitani perjalanan hukum
Setiap kali terlaksana eksekusi mati, banyak perdebatan yang muncul terutama melihat secara jernih letak persoalan yang mereka lakukan dan bagaimana upaya hukum yang mengkaji persoalan itu untuk kemudian menjatuhkan pilihan pahit terhadap tereksekusi mati. Pihak pengadilan sepertinya membusungkan dada dan menyatakan vonis mati terhadap yang bersalah. Apakah yang menjatuhkan vonis mati (pihak kejaksaan) benar-benar bebas atau bersih dari kesalahan duniawi sehingga dengannya memutuskan orang yang sama-sama memiliki kesalahan untuk dihukum mati?
Apabila dikaji dari segi moral, peristiwa eksekusi mati tidak dibenarkan, dengan suatu alasan yang sederhana dan mendasar yaitu bahwa yang berhak mencabut nyawa manusia adalah Tuhan sendiri. Tuhan memiliki otoritas penuh untuk menjamin keberlangsungan hidup manusia ataukah mengambil nyawa manusia dari muka bumi ini. Kalau merujuk pada sisi moral seperti ini maka dalam proses peradilan, pihak kejaksaan
hanya berhenti memberikan sanksi berupa kurungan seumur hidup dan bukannya mencabut nyawa manusia. Tetapi kasus Tibo Cs ini sepertinya diyakini kuat oleh pihak keamanan untuk segera mengadakan eksekusi mati sebagai bentuk pelenyapan kerusuhan Poso yang berlangsung sekian tahun. Tibo CS merupakan gambaran orang-orang kecil yang menjadi tumbal di negeri ini ketika hukum tidak memiliki nyali untuk menyeret aktor intelektual. Dan upaya pelenyapan nyawa mereka lebih dilihat sebagai “cara baru” bagi peradilan
Berbicara kasus Tibo Cs tidak terlepas dari masalah kebenaran yang sampai dengan saat ini belum terungkap secara pasti. Pastor Norbert Bethan,SVD (ketua PADMA), dalam sebuah kunjungannya ke penjara, ia mengatakan bahwa “kebenaran tidak bisa dibungkam.” Dalam proses hukum, kebenaran mendapat prioritas utama dan menjadi basis penentu sebelum memutuskan suatu perkara. Hukum di Indonesia belum sepenuhnya menyadari akan pentingnya sebuah kebenaran. Kebenaran dalam konteks hukum di
Terhadap kasus ini banyak LSM yang tergabung dalam suara Flobamora, coba menyerukan pada presiden untuk menangguhkan putusan pengadilan atas Tibo Cs. Suara dari forum ini menggagas sebuah permasalahan dasar di mana ketiga calon eksekusi mati benar-benar tidak terlibat dalam mengotaki kasus Poso. Aksi solidaritas ini juga mengabarkan kepada dunia yakni bahwa dengan peristiwa ini
Hak untuk hidup juga merupakan salah satu hak asasi manusia. Kisah pedih dari balik jeruji penjara, memaparkan secara sederhana, betapa hak asasi itu begitu mudah pudar dan menghilang di “awan-awan peradilan
Pembungkaman terhadap kebenaran dan mengeksekusi tiga terpidana mati sebagai upaya untuk melenyapkan jejak keterlibatan para aktor intelektual adalah sesuatu yang salah kaprah.
Dalam wawancara dengan pihak kejaksaan, mereka bersikap tegas untuk akan melaksanakan eksekusi mati dengan berpedoman pada penolakan grasi oleh presiden. Bahwa pengajuan permohonan ke presiden hanya cukup sekali dan apabila grasi itu ditolak maka hukuman mati bisa terlaksana. Ketegasan pihak kejaksaan ini tidak mengantongi sebuah alasan mendasar dan apabila peristiwa eksekusi terlaksana pada April kelabu ini maka pihak kejaksaan dan para eksekutor terhitung sebagai pelanggar HAM terberat. Karena yang dihukum mati adalah orang yang tak pernah bersalah dan para penembak pun memposisikan diri sebagai pelanggar HAM yang dilegalkan oleh negara.
Kasus tiga terpidana mati ini tidak hanya mengundang perhatian orang
0 komentar:
Post a Comment