Oleh : Dr. Paul Budi Kleden, SVD
Staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores
Staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores
"ANJING menggonggong, kafilah berjalan terus", demikian kata pepatah. Kemudian ada orang yang cukup nakal dan arogan menambahkan, 'dan yang biasanya mati adalah anjing'. Maksudnya, kafilah akan jalan terus, tidak akan mengubah keputusannya, maka perlahan anjing yang menggonggong itu kehabisan energi. Anjing seolah mesti memilih, terus menggonggong dan mati, atau berdamai saja dengan keadaan agar dapat tetap hidup.
Namun kita juga dapat mengatakan, kafilah yang terus digonggong mesti lari terbirit-birit. Kafilah seperti itu tidak akan dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Kafilah harus bergegas dan tergesa-gesa melewati satu wilayah tanpa dapat menimbulkan kesan yang mendalam pada warga. Soalnya bertambah parah jika justru anjing menggonggongnya di wilayah di mana kafilah itu harus singgah untuk membereskan sejumlah urusan.
Tampaknya situasi menjelang Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur NTT dapat diungkapkan dengan menggunakan pepatah dan rangkaian komentar seperti di atas. KPUD NTT menunjukkan ketegaran sikapnya, kendati digonggong secara keras. Ada yang melakukan aksi pengerahan massa, yang lain memilih menempuh langkah hukum. Tidak kurang pula interupsi dari KPU Pusat yang telah dua kali melayangkan surat ke alamat KPUD. Penyelenggara Pilgub NTT itu bergeming menanggapi sekian banyak suara protes yang diteriakkan di jalanan atau pun yang dirangkai dalam tulisan di media massa, dalam nada yang sangat keras penuh sinisme atau dalam gaya yang diskursif.
Bukan mustahil, KPUD NTT memilih bersikap seperti itu karena lembaga ini sudah sangat memahami kondisi perpolitikan di Indonesia dan telah terkooptasi dalam suasana politik yang sama. Di negara ini sudah cukup biasa bahwa yang pada akhirnya menang dalam sebuah konflik adalah lembaga yang telah dibentuk dan dilindungi secara formal oleh negara. Negara terlampau kuat dan lembaga-lembaga bentukannya atau yang berada di bawah perlindungannya merasa sangat aman di bawah kepaknya. Ternyata masih sangat sulit mendesak lembaga-lembaga tersebut mempertanggungjawabkan perbuatannya yang terkesan melawan hukum, atau mengubah keputusan-keputusannya yang tidak populis.
Reformasi boleh telah berusia satu dekade, namun tidak sedikit dari para pejuangnya sendiri yang kini menjadi penikmat yang terlelap di bawah perlindungan kekuasaan negara. Arogansi kekuasaan tampaknya belum terkikis. Yang berbeda adalah bahwa arogansi yang sekarang ditunjukkan di tengah banjir suara kritis dan aksi protes, sementara pada periode sebelum reformasi arogansi itu ditunjukkan antara lain dengan melarang orang melantunkan suara kritisnya.
Pilihan sikap seperti ini bertambah kuat apabila lembaga-lembaga ini mengetahui bahwa sikap atasannya sebenarnya tidak cukup jelas dan tegas. Sebagai contoh, sikap KPU sebagaimana tertuang di dalam kedua suratnya memang tidak terlampau tegas dan membuka ruang negosiasi. Rumusan-rumusan yang tidak tegas, yang di satu pihak mengatakan ada kesalahan tetapi di pihak lain tetap memberikan keluasan untuk mengambil keputusan sendiri sudah sangat sering dikeluarkan di negara ini. Mestinya, secara logis, kalau seorang atau satu lembaga atasan mengatakan bahwa keputusan tertentu bermasalah, maka dia serentak menunjukkan mana keputusan yang benar dan mewajibkan instansi yang di bawahnya untuk mengikuti pedoman tertentu. Namun dengan ketidaktegasan yang sudah agak lazim ini, masing-masing pihak yang berseteru, yang boleh jadi telah memberikan upetinya, merasa mempunyai alasan untuk mengklaim kemenangan.
Sudah terlampau banyak pengalaman di negeri ini yang menunjukkan bahwa pada akhirnya suara protes para warga perlahan membisu, bukan karena mereka sudah diyakinkan akan kebenaran pihak negara dan lembaga bentukannya, melainkan karena para warga tersebut masih harus beralih ke persoalan kehidupan lain yang tidak dapat diabaikan. Rakyat yang lemah dan tak berdaya sering tidak dapat bertahan dalam perjuangan. Ketika jalan pintas berupa aksi kekerasan tidak dilaksanakan karena beragam pertimbangan mulia, yang tertinggal hanyalah sikap menyerah dan larut dalam keputusasaan. Akibatnya, keputusan penguasa akhirnya berjalan tanpa menuai lagi banyak resistensi.
Pertarungan politik di negara ini, juga di propinsi ini lebih merupakan sebuah permainan dengan waktu. Yang menang adalah yang mempunyai waktu lebih banyak, bukan yang memiliki argumentasi lebih meyakinkan. Yang mempunyai waktu lebih banyak adalah yang memiliki dukungan yang lebih kuat secara politis dan finansial. Dan biasanya, yang mendapat dukungan seperti itu adalah negara, aparatnya atau lembaga-lembaga bentukannya. Sementara warga masyarakat, rakyat yang sederhana dan miskin, selalu berada pada pihak yang lemah. Mereka tidak kuat untuk selalu bertahan, sebab masih ada sekian banyak urusan kehidupan yang menuntut perhatian yang penuh. Perlahan mereka menjadi capai, lalu mengalihkan perhatian dari permasalahan tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, apabila pada akhirnya keputusan sebuah lembaga yang dibentuk negara dijalankan hal itu sama sekali tidak menunjukkan kebenaran dan kemendasaran argumentasi yang dimilikinya. Kenyataan ini pun bukan merupakan bukti bahwa pihak-pihak yang mengajukan protes sebenarnya menghadirkan argumentasi yang salah. Yang menang bukan selalu kekuatan hukum, melainkan hukum dari yang kuat. Dan rakyat belum menjadi pihak yang kuat dalam sejarah negara yang menyebut diri bersistem demokrasi ini dan yang sedang menyelenggarakan perhelatan yang disebut sebagai momen penting demokrasi.
Agaknya Pilgub NTT akan tetap dilaksanakan karena KPUD merasa mempunyai alasan yang kuat dan karena terbiasa dalam alam berpikir seperti di atas. Namun faktum pelaksanaan pemilihan tersebut belum merupakan bukti bahwa KPUD berada pada posisi yang benar dalam pertarungan dengan pihak-pihak yang mengajukan protes, dan dengan sejumlah kalangan yang memajukan beberapa kenyataan pincang. Salah satu kenyataan pincang yang diangkat adalah tidak adanya Panwas Pilgub di sejumlah kabupaten di NTT. Keputusan pengadilan yang masih dinantikan pun tidak menjamin pembuktian kebenaran itu, karena pengadilan belum sanggup membuktikan diri sebagai lembaga yang mengunggulkan kekuatan hukum. Sebaliknya, lembaga peradilan masih terbelenggu dalam cengkraman pihak-pihak yang berpengaruh dan karena itu lebih berorientasi pada hukum dari pihak yang kuat.
Dengan sikap seperti ini, sebenarnya KPUD sedang mempertaruhkan kredibilitasnya sendiri. Sebuah lembaga demokratis hanya menjadi kredibel di hadapan para warga apabila dia sanggup membenarkan keputusannya dengan mengajukan argumentasi yang meyakinkan. Argumentasi yang paling meyakinkan adalah rujukan dan tafsiran hukum yang tepat dan sikap yang mencerminkan etika politik. Ketidaktegasan sikap yang menimbulkan dugaan perlakuan yang diskriminatif dan ketaktersediaan perangkat-perangkat yang mutlak dibutuhkan demi adanya sebuah pemilihan yang berkualitas berpotensi membahayakan kredibilitas sebuah lembaga demokratis.
Sebagaimana kafilah yang digonggong anjing tidak dapat melaksanakan pekerjaannya dengan tenang, demikian pun KPUD yang harus menghadapi sekian banyak bentuk protes pasti sulit mendapat ketenangan untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan ini. Namun lebih dari ketidaktenangan itu, keseluruhan suasana yang tercipta, yang tidak terlepas dari sikap, keputusan dan karena itu tanggung jawab KPUD, sangat berpengaruh terhadap mutu dari momen pemilihan gubernur dan Wakil Gubernur NTT. Ada alasan yang cukup untuk mencemaskan kualitas dari peristiwa politik yang mahal ini.
Keraguan terhadap kesungguhan, kemampuan dan independensi KPUD akan sangat berpengaruh pada animo masyarakat terhadap momentum suksesi ini. Kesungguhan sebuah lembaga memang patut dipertanyakan, apabila keputusan yang diambilnya di tengah berbagai suara kritis tidak disertai dengan penjelasan yang memadai. Yang tidak sungguh-sungguh biasanya mengganggap remeh pihak lain dan merasa bisa berkuasa sewenang-wenang. Yang tidak sungguh-sungguh biasanya gampang mengubah keputusan sesuai kehendak sendiri, yang boleh saja merupakan pendiktean dari sponsor. Orang pun pantas mempertanyakan kemampuan sebuah lembaga apabila harus merujuk beberapa kali dalam waktu yang singkat ke tingkat yang lebih di atas dan mendapat surat dari tingkat yang di atas mengenai kesalahan substansial yang terdapat di dalam keputusannya. Selain itu, independensi satu lembaga berada dalam bahaya kehilangan kredibilitas saat lembaga tersebut terkesan terlampau dikendalikan oleh pihak tertentu. Memudarnya kredibilitas sebuah lembaga penyelenggara pemilihan dan menurunnya animo masyarakat terhadap sebuah momentum penting dalam sejarah kehidupan bersamanya, merupakan sebuah kerugian besar bagi seluruh warga masyarakat.
Demokrasi selalu memungkinkan perubahan ke arah perbaikan. KPUD NTT sebagai lembaga penyelenggara pemilihan gubernur dan wakil gubernur pun bukan tidak mungkin kembali memulihkan citranya dan menjaga kredibilitasnya yang terancam merosot. Yang penting, lembaga ini harus menunjukkan kesungguhan, kompetensi dan independensinya. Dan jika memang ada keputusan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan etis, maka keputusan seperti itu mesti diubah. Ketegaran dalam kekeliruan bukanlah sebuah keutamaan dalam demokrasi. "Anjijng menggonggong, kafilah berjalan terus", bukanlah pepatah yang patut digunakan ketika kita berhadapan dengan sebuah persoalan yang menyangkut kehidupan seluruh warga.
Demokrasi selalu memungkinkan perubahan ke arah perbaikan. KPUD NTT sebagai lembaga penyelenggara pemilihan gubernur dan wakil gubernur pun bukan tidak mungkin kembali memulihkan citranya dan menjaga kredibilitasnya yang terancam merosot. Yang penting, lembaga ini harus menunjukkan kesungguhan, kompetensi dan independensinya. Dan jika memang ada keputusan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan etis, maka keputusan seperti itu mesti diubah.
0 komentar:
Post a Comment