Friday, June 4, 2010

A P I
Oleh: Valery Kopong*
Prometheus, nama yang bisa didapatkan dalam mitologi Yunani. Ia sempat mencuri api di dunia khayangan, dunia para dewa dan dewi. Karena perbuatannya ini maka Prometheus menjadi santer namanya di masyarakat bahkan menjadi buah tutur penghuni kampung itu. Ada jalan baru, ada terobosan baru mengenai perombakan pola hidup manusia yang didesain dengan bertitik tolak dari api yang merupakan hasil curian. Suasana sebelum adanya api begitu suram, sepertinya hidup di ruang tak berpenghuni. Prometheus telah mengubah situasi. Ia telah membakar semangat orang-orangnya dan mengubah pola hidup baru dalam masyarakatnya.
Prometheus dianggap sebagai sang pembaharu, seorang reformis yang telah menata kehidupan manusia melalui “api kesadaran.” Api telah menjadi milik manusia dan digunakan untuk membantu seluruh aktivitasnya. Sebagian besar hidup manusia bergantung pada api. Api menjadi daya dorong untuk memunculkan energi baru. Ia (api) selalu menularkan “nyala” sebagai penyuluh hidup manusia dan “membagi bara” untuk membakar kesadaran manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa keberadaan api, selain memberi semangat hidup bagi orang sezamannya tetapi juga dapat menggapai cita-cita mengubah dunia yang tak pernah berkesudahan. Perjuangan Prometheus tak mengenal lelah. Usahanya adalah memberi bentuk dan warna kehidupan manusia lewat visi yang futuristik. Perjuangan untuk menggapai api dan memilikinya ibarat menggapai sebuah mimpi. Mimpi untuk mengubah hidup dan menggerakkan roda kehidupan manusia.
Api menjadi simbol dan motor primum, penggerak utama yang memobilisasi manusia untuk menata hidupnya. Melihat api, berarti melihat perubahan baru karena ketika api membakar di tempat-tempat tertentu, di sanalah ada perubahan yang muncul. Perubahan yang muncul bisa membawa nilai positip ataupun nilai negatip terhadap manusia.
Semangat manusia tak lebih dari api. Kalau api selalu membawa perubahan baru bagi manusia, maka dalam diri manusia sendiri selalu ada gerakan perubahan, mobilitas yang mengarah pada pembaruan hidup. Dalam diri manusia selalu ada “semangat,” ada gairah yang membawa manusia menuju ke situasi yang lain. Di dalam “bara api semangat manusia” tersembul daya dorong yang sanggup mengilhami pemikiran untuk membuka sekat-sekat pemisah yang menjadi kendala untuk berubah. Perubahan itu ada dalam diri setiap manusia, tetapi sejauh mana manusia merasakan getaran perubahan dalam dirinya?
Ketika manusia merasakan daya dorong dalam dirinya untuk mau berubah, maka pada saat yang sama, ia (manusia) mau membuka diri dan membiarkan getaran dorongan itu menguasai dirinya. Bertitik tolak pada daya dorong, memungkinkan seseorang untuk mau tampil secara berbeda di setiap generasi yang berbeda pula. Di titian generasi yang berbeda, setiap manusia menampilkan “elan vita,” daya hidup yang sanggup menghidupkan manusia sendiri.
Musa, seperti yang diceritakan dalam kitab suci, telah melihat api yang menyala di semak-semak duri. Api yang menyala ramah merupakan bentuk peringatan Tuhan akan dirinya. Nyala api di semak duri adalah simbol peringatan Tuhan bahwa di tempat di mana ia pijak adalah suci, karena itu ia harus menanggalkan sandal. Peringatan Tuhan lewat nyala api mengubah pola kepatuhan Musa. Ia, Musa, tanpa kompromi menanggalkan kedosaan (baca: sandal / alas kaki) untuk masuk ke dalam suasana baru, suasana suci. Api (nyala api) seakan telah mempurifikasi dirinya untuk layak masuk ke dalam ruang yang lain, ruang suci. Nyala api di semak duri membuka kesadaran Musa untuk melihat kembali relasinya dengan Allah. Lewat nyala api, ia diingatkan, dengan siapa ia sedang berkomunikasi?
Berkomunikasi dengan Allah menampilkan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, melalui nyala api, Allah mau menunjukkan kepada manusia (melalui Musa) tentang kemahakuasaan dan kedasyatan dalam menguasai semesta alam. Dan di sisi lain, Ia juga menyadarkan manusia tentang pembersihan diri, purifikasi . Allah memberi kesempatan dan menggugah kesadaran agar manusia sendiri menyadari dosa-dosa sebelum membangun relasi dengan Allah. Pertobatan dan pembersihan diri merupakan jembatan ampuh yang dapat menghubungkan manusia dan Allah.
Ketika para rasul berada dalam ruang yang sunyi setelah Yesus terangkat ke sorga, turunlah Roh Kudus dalam bentuk lidah-lidah api. Kehadiran Roh Kudus dalam bentuk lidah-lidah api membawa perubahan bagi para murid. Mereka disanggupkan untuk berbicara dalam beberapa bahasa. Seluruh kehidupan para rasul dirasuki oleh Roh Kudus yang memberi semangat untuk mewartakan kabar gembira ke penjuru dunia. Roh Kudus yang sama yang turun dalam bentuk lidah-lidah api menyulut umat-Nya untuk mewartakan kabar gembira kepada siapa saja. Api Roh Kudus selalu membara dan mengembangkan “sayap lidah-lidahnya” ke penjuru dunia. Ia (Roh Kudus) menjiwai dunia dengan “nyala api kesadaran” dan membangunkan umat-Nya (baca: Gereja) untuk terus mewartakan Injil ke penjuru dunia.
Api menjadi simbol daya hidup karena di dalamnya ada semangat beralih (passing over spirituality). Setiap manusia terdorong untuk beralih, sekaligus membuka diri bagi yang lain. Cita-cita untuk beralih merupakan kerinduan dasar manusia. Dalam kerinduan untuk menggapai sesuatu yang lain, kita terbentur pada pertanyaan nakal, untuk apa dan mengapa?***
JAUHI NARKOBA

“Hidup Indah Tanpa Narkoba.” Itulah tema seminar yang diusung oleh WKRI cabang Stasi Santo Gregorius-Tangerang. Seminar yang diadakan di aula sekolahan Tarsisius Vireta-Tangerang pada Minggu, 21 Februari 2010 ini merupakan suatu tuntutan atas kondisi hidup yang telah dipengaruh narkoba. Narkoba yang selama ini dianggap masih jauh dari peredaran lingkungan Tangerang, tetapi ternyata kenyataan berbicara lain. Ia, narkoba, semakin dekat bahkan tempat produksinya pun di lingkungan perumahan regensi 2-Tangerang. Menyadari keberadaan tempat produksi dan peredaran narkoba semakin menghimpit ruang lingkup kehidupan masyarakat terutama wilayah Tangerang, mengetuk hati ibu-ibu yang tergabung dalam wadah WKRI untuk mau mengadakan seminar sebagai salah satu cara untuk menjawabi tantangan yang sedang dihadapi oleh orang tua saat mendampingi putera-puterinya.
Kehidupan masyarakat umum harus disesuaikan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Kehidupan normatif yang menjadi dambaan masyarakat umum adalah sebuah kehidupan yang sehat, jauh dari pengaruh negatif yang dapat mengganggu keberadaan dan kelangsungan hidup manusia sendiri. Anggapan umum ini semakin bergeser sejalan dengan pengaruh negatif yang muncul terutama dipengaruhi oleh arus informasi dan perkembangan teknologi. Pesatnya perubahan yang diakibatkan oleh arus informasi, turut mengubah pola perilaku dan pemikiran masyarakat terutama generasi muda. Generasi muda adalah generasi yang selalu mau berkembang ke arah kemajuan dan cukup banyak orang juga yang terjerumus dalam arus informasi yang negatif. Menurut Bapak Drs. Tedi Suwardi, MSi, utusan dari pemerintah kabupaten Tangerang, yang membuka acara seminar, bahwa “pesatnya arus informasi dan teknologi berpengaruh pada pola pikir anak. Banyak pengaruh negatif yang telah menjerumuskan mereka dalam kehidupan yang penuh dengan narkoba.” Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kegiatan seminar merupakan sesuatu yang urgen untuk memberikan informasi sedini mungkin bagi kaum muda. “Dengan bekal pengetahuan agama, mereka bisa menata hidup untuk jauh dari narkoba.” Ia juga mengiformasikan bahwa di daerah Tangerang menjadi salah satu tempat yang memproduksi narkoba dan hal ini perlu disikapi, diwaspadai mulai dari sekarang. Karena itu di dalam proses mewaspadai persoalan yang membawa maut ini maka perlu adanya pembekalan yang matang terutama lewat seminar ini.
Seminar merupakan sebuah wahana sederhana dan sebagai “ruang kondusif” untuk menggali informasi. Menurut ketua WKRI cabang Stasi Santo Gregorius, ibu Effi, tujuan utama diadakan seminar adalah “untuk memperingati HUT WKRI Stasi Gregorius ke 11 dan sekaligus memberikan kepedulian terhadap orang tua untuk secara dini mengenal apa itu narkoba dan bahaya-bahayanya.” Setiap orang tua perlu mengetahui dan membekali diri dengan hal-hal yang berkaitan dengan narkoba. Dengan pengetahuan tersebut seorang ibu atau bapak, cukup dengan gampang menelusuri sepak terjang kehidupan anak-anaknya. Anak adalah titipan Tuhan karena itu perlu dijaga dari godaan dunia ini terutama “hantu narkoba.”


Peredaran narkoba semakin hari semakin luas jaringannya, tidak hanya dalam lingkup regional tapi tetapi transaksi sudah dan sedang terjadi secara internasional. Proses perdagangan barang-barang haram ini dengan motif dan modus yang begitu canggih yang dapat meloloskan diri dari kejaran polisi. Semakin banyak orang yang ditangkap dan dipenjarakan bahkan ada yang telah dihukum mati, tetapi apakah dapat memberikan efek jerah terhadap transaksi penjualan narkoba? Keberadaan manusia sekarang begitu rentan terhadap persoalan yang membawa ini. Namun semakin banyak orang yang dihukum bahkan dihukum mati tetapi masih banyak barisan panjang yang terjerumus dalam limbah narkoba dan siap menunggu untuk mati.
Menurut Dr. Victor Pudjiadi, SpB, FICS, DFM sebagai pembicara utama dalam seminar, bahwa saat ini sedang terjadi peredaran narkoba lintas negara. Sistem dan modus peredaran sangat variatif, dan hal ini dilakukan untuk mengelabui kejaran polisi. Ada begitu banyak obat-obatan terlarang yang beredar baik itu jenis shabu-shabu, heroin, kokain maupun pil ekstasi. Dalam memperkenalkan jenis obat-obatan ini, ia (Dr.Victor) menampilkan tayangan-tayangan yang memperlihatkan kondisi riil transaksi narkoba yang sedang dan terus terjadi. Beragam modus diperlihatkan sebagai upaya untuk membuka wawasan peserta seminar yang hadir. Kurang lebih 270 peserta yang mengikuti seminar, mereka terdiri dari kaum muda dan ibu-ibu yang merupakan utusan dari lingkungan-lingkungan di Stasi Santo Gregorius Kota Bumi-Tangerang.
Dalam pemaparan, ia menginformasikan sumber-sumber peredaran yang terjadi saat ini, misalnya, jenis heroin sumber pengedar adalah Negara Thailand, Myanmar dan Laos. Ketiga negara ini dikenal sebagai segi tiga emas yang merupakan daerah penyuplai heroin terbesar dan disebarkan ke pelbagai daerah. Umumnya semua jenis obat-obatan terlarang ini beredar di tempat-tempat tertentu, seperti: diskotik, kamar kecil / WC, kantin sekolah, warung sekitar, tempat parkiran, perpustakaan, bandara / pelabuhan, tempat kos. Tempat-tempat ini menjadi sasaran utama para pengedar untuk menawarkan penjualan narkoba sebagai “komoditi primadona.”
Memang peredaran dan penggunaan narkoba sangat berbahaya bagi kesehatan dan efek lain yang muncul adalah penyebaran HIV/ AIDS. Orang-orang yang tertular penyakit AIDS ini disebabkan oleh penggunaan jarum suntik secara bersama. Berkaitan dengan hal ini, Tiara, Puteri Indonesia 2007 yang hadir dalam seminar, menuturkan pengalaman seorang anggota keluarganya yang terkena narkoba dan pada akhirnya terkena AIDS. Penyakit berbahaya akhirnya memakan korban, yang adalah keluarganya sendiri. Sharing pengalaman ini lebih dimaksudkan agar kaum muda tidak terjerumus ke dalam penggunaan narkoba karena berakibat fatal bahkan menghantarkan hidup itu sendiri kepada sebuah kematian secara tragis.
Para peserta yang hadir terlihat antusias dan bertahan sampai berakhirnya seminar karena seminar ini diselingi dengan atraksi berupa sulap dan drama yang diperankan oleh Dr. Victor dan Jefri Chandra, bintang sinetron serta kru yang lain. Narkoba sudah diambang pintu, hati-hatilah dan waspadalah. *** (Valery)
BALADA KAYU SALIB DAN KISAH KEBANGKITAN

“Di kala Yesus disambut di gerbang Yerusalem
Umat bagai lautani…”
Begitulah penggalan syair lagu yang dinyanyikan oleh paduan suara Tarsisius Vireta pada Minggu Palma. Lagu ini menunjukkan betapa antusiasme umat manusia terhadap kehadiran Yesus saat memasuki kota Yerusalem. Yesus yang menunggang keledai, sepertinya digiring secara lugu, mirip keledai tunggangan-Nya menuju gerbang kota Yerusalem. Apakah sorak-sorai dan gegap gempita umat menggiring masuk Sang Raja menunjukkan, betapa kepedulian mereka terhadap-Nya? Yesus sendiri tahu bahwa memasuki gerbang Yerusalem menjadi titik awal Ia masuk ke gerbang penderitaan. Ia tahu bahwa jalan yang harus dilalui adalah jalan menuju derita, tetapi sangat mengherankan bahwa Ia (Yesus) melakoni hidup dan perutusan-Nya ini dengan tenang.
Di gerbang Yerusalem, Yesus memperlihatkan seorang manusia yang lemah lembut, manusia yang tidak menyombongkan diri, walaupun Ia berada di tengah “ruang sorak-sorai.” Dalam kotbahnya di Minggu Palma, Romo Sriyanto menekankan kelemah-lembutan Yesus yang bersedia di sorak-sorai bahkan dicaci-maki. Ketika Yesus diolok-olok, dicaci-maki tapi Ia tidak pernah marah. Dalam peristiwa ini kita diajak untuk menyingkirkan perbuatan-perbuatan kita yang kadang kita rancang untuk menyingkirkan orang lain. Kita tiru semangat dan pengorbanan Yesus yang selalu menekuni jalan kesengsaraan ini.
Mencari Format Pelayanan
Dalam Paskah Yahudi, yang dikenang adalah pembebasan orang-orang Israel dari perbudakan Mesir. Paskah Yahudi merupakan budaya yang diadakan untuk mengenang masa lampau dan dalam perjamuan itu mereka makan roti dan sayuran pahit serta anak domba yang dibakar. Bukan soal makan yang dibicarakan tetapi ciri khas perjamuan ini adalah mereka memakan dengan tongkat di tangan dan pinggan yang terikat. Dalam kitab keluaran (eksodus), tongkat di tangan menjadi simbol kesiap-siagaan Bani Israel untuk menunggu Tuhan datang dan melawat umat-Nya.
Perjanjian Baru berbicara sesuatu yang berbeda tetapi memiliki kesamaan intinya. Kalau Perjanjian Lama mengenang Allah yang melawat umat-Nya yang sedang dalam perderitaan oleh perbudakan Mesir maka Paskah Yesus, kita mengenangkan peristiwa di mana Allah membebaskan umat-Nya dari noda dosa asal melalui Yesus Putera-Nya. Sebelum memulai penderitaan, Yesus mengadakan perjamuan malam terakhir bersama Yesus. Pada kesempatan itu Yesus sendiri membasuh kaki para rasul dan apa yang dilakukan ini juga merupakan sebuah tradisi Yahudi ketika mengadakan sebuah pesta. Kaki dan tangan mesti dibasuh sebelum masuk ke dalam ruang pesta. Tetapi mengapa Yesus yang membasuh kaki dan bukan yang lain? Apa yang dilakukan Yesus tidak dipahami oleh para murid-Nya dan di kemudian hari barulah mereka tahu arti pembasuhan kaki yang diperlihatkan Yesus pada para murid-Nya. “Mengertikah kamu akan perbuatan ini?”
Dalam kisah pembasuhan kaki para murid, Yesus sendiri meninggalkan sebuah kisah kerendahan hati yang mendalam di antara para rasul dan kita semua sebagai pengikut-Nya. “Hendaklah kamu semua saling melayani.” Perayaan malam perjamuan merupakan puncak iman karena di dalamnya Yesus sendiri menyerahkan diri sebagai santapan rohani. Karena itu setiap kali kita merayakan ekaristi, kita menerima kehadiran Yesus untuk menjiwai hidup kita. “Dalam kerapuhan dan ketakberdayaan Yesus, kita dikuatkan. Roh Tuhan senantiasa bekerja sehingga pelayanan Tuhan bekerja dalam diri kita dan kasih yang sama kita terapkan dalam keluarga dan lingkungan sekitar kita,” tegas Romo Heru, SJ di penghujung khotbahnya.
Pada misa ke 2 kamis putih yang dipimpin oleh Romo Edi, ia menekankan pembersihan diri. Sebelum masuk ke ruang pesta, setiap undangan harus membasuh diri terlebih dahulu. Perjamuan malam terakhir, memperlihatkan Yesus sebagai tuan pesta. Dia berani membasuh kaki para murid untuk mengatakan pada kita bahwa setiap manusia adalah terhormat, karena itu perlu dilayani. Yesus memberi contoh atau teladan sekaligus mengingatkan kita bahwa dalam peristiwa pembasuhan juga Yesus menceritakan tentang asal dan tujuan hidup manusia yaitu dari Allah sendiri. Apa yang berasal dari Allah adalah sesuatu yang berharga dan karena itu tidak disepelehkan.
Drama Penyaliban, Membuka Ingatan Kolektif
Suasana sepi. Dunia berkabung atas wafatnya Yesus Kristus di atas kayu salib. Sebuah kematian yang sangat tragis tetapi harus juga dijalani demi umat manusia. Kisah kematian ini tetap dipilin menjadi sebuah “ingatan kolektif” karena di balik peristiwa ini, ada harapan baru yang menyelamatkan dan memberdayakan iman umat manusia.
Jumat Agung, sebuah hari yang menawarkan suasana sepi dari hari-hari lain. Tapi di pucuk sore itu, di bawah rimbunan pohon-pohon masih terdengar suara para dramawan yang mendramatisasikan kisah ini dengan hikmat. Umat dihantar untuk memasuki gerbang keheningan untuk pada akhirnya memahami bahwa kisah ini hanyalah pengulangan masa silam yang dialami oleh Yesus sendiri. Ia mengalami pergulatan hebat di taman Getzemani, hingga mengeluarkan peluh berdarah.
Penderitaan tidak selamanya membawa kemalangan. Apa yang dialami oleh Yesus merupakan sebuah cara yang ditawarkan Allah untuk menebus dosa manusia. Apakah Yesus gentar ketika berhadapan dengan penderitaan? Sebagai manusia, tentunya di dalam diri Yesus muncul rasa takut namun Allah yang mengutus-Nya senantiasa membimbing Dia untuk sampai pada kesudahannya. Penderitaan, menurut Romo Swasono dalam khotbahnya, tidak pernah menggetarkan iman kita akan Dia. Namun derita, sengsara dan kebangkitan-Nya memperkuat iman kita akan Yesus dan berani mengakui sebagai Allah yang hidup dan menyelamatkan.
Kisah Kebangkitan
Yesus sebagai penyelamat, tentunya diharapkan oleh banyak orang. Peristiwa sengsara dan kematian-Nya seakan membawa keputus-asaan bagi mereka yang setia menemani-Nya. Dalam kotbah di malam Paskah, Romo Yosef Situmorang mengatakan bahwa perempuan-perempuan yang menjadi saksi atas kekosongan kubur adalah pengikut Yesus selama Ia masih hidup dan berkarya. Mereka tahu bahwa Yesus adalah Mesias dan karena itu menaruh harapan yang besar pada-Nya.
Perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus adalah orang-orang yang sederhana. Dalam kesederhanaan itu mereka menaruh harapan penuh pada “pundak Yesus” akan hidup itu sendiri. Peristiwa kematian menjadi moment yang dapat mengguncang iman mereka pada-Nya. Dia yang diharapkan menjadi penyelamat ternyata mati di kayu salib, mirip manusia pesakitan. Kekecewaan yang dialami oleh perempuan-perempuan tidak berlarut-larut. Kekosongan kubur Yesus menjadi sebuah bukti kebangkitan Yesus dan berita utama untuk perempuan-perempuan dalam mewartakan cerita (balada) kebangkitan-Nya. Yesus telah bangkit, mari kita pergi mewartakan kabar itu ke penjuru dunia seperti yang diwartakan oleh perempuan-perempuan terdahulu.***
PERJAMUAN AKHIR

Oleh: Valery Kopong*

Sebelum pamit dari rumah untuk memulai hidup di perantauan, kami sekeluarga mengadakan makan malam bersama. Ini merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan keluargaku setiap melepaskan salah seorang anggota keluarga sebelum bepergian jauh. Makan malam menjadi berharga dan nilainya jauh lebih tinggi ketimbang makan malam bersama tanpa melepaskan salah seorang anggota keluarga. Mengapa perlu mengadakan perjamuan malam sebelum melepaspergikan seseorang?
Bagi saya, perjamuan makan malam bersama keluarga sebelum merantau untuk sekian tahun adalah sebuah pengalaman historis yang tak pernah saya lupakan. Dalam moment yang cukup mendebarkan itu, bapak dan mamaku memberikan pesan-pesan terakhir. “Nak, besok kamu pergi untuk memulai hidup baru. Jagalah baik-baik kaki-tangan dan mulut.” Pesan sederhana ini menyiratkan sebuah makna yang mendalam. Pesan ini berarti bahwa setiap kali kita bepergian jauh maupun dekat, yang perlu diperhatikan adalah tingkah laku dan perbuatan serta tutur kata yang diucapkan. Apabila kita membangun relasi baik dengan sesama maka pola tingkah laku selalu berada dalam koridor nilai dan norma yang berlaku. Demikian juga penuturan kita saat bertemu dan berinteraksi dengan sesama.
Keesokan harinya, sebelum kaki ini melangkah meninggalkan rumah tercinta, dari mulut kedua orang tuaku terucap kata, “jangan lupa untuk pulang kampung.” Rumah adalah tempat kita memulai hidup. Rumah di sini tidak hanya mencakup bangunan secara fisik tetapi lebih dari itu rumah adalah “ruang pengharapan” yang selalu terbuka pintunya secara lebar untuk melepaspergikan anggota keluarga dan menerima kembali anggotanya. Rumah adalah “ruang inspirasi” yang memberikan spirit. Rumah sebagai tempat terakhir kami berlabuh setelah berjuang dalam kisaran ruang dan waktu, juga menjadi tempat pertemuan manusia dengan identitas masing-masing serta pola pikir yang sudah terkontaminase dengan glamournya kehidupan kota. Kota telah memperlihatkan daya tariknya pada manusia sehingga mereka dapat dengan leluasa mencari sepenggal hidup di “ruang polusif” itu. Tetapi separoh nafas mereka berada di jantung desa yang senantiasa menunggu untuk merangkulnya. Rumah telah merangkulnya kembali setelah sekian lama didera oleh belenggu kota.
Sebelum menjalani penderitaan, Yesus mengadakan perjamuan terakhir bersama para muridNya. Perjamuan yang terselenggara merupakan “pesta pelepasan” sederhana sebelum Ia diserahkan ke tangan-tangan para penyamun. Pesta perjamuan yang diperkenalkan Yesus telah menjadi perjamuan abadi. Dalam perjamuan itu Ia mengambil roti dan memecahkan lalu membagi kepada para muridNya. Demikian juga Ia mengambil piala yang berisi anggur. Perjamuan terakhir karenanya, lebih dikenal sebagai perjamuan cinta kasih karena Yesus memperlihatkan nilai-nilai pelayanan kepada para murid dan dengan suatu harapan, nilai-nilai pelayanan dan cinta kasih dapat dipancar-teruskan dalam kehidupan sehari-sehari bagi umat yang percaya kepadaNya.
Hampir setiap kali menghadiri perayaan ekaristi, aku selalu teringat suasana makan sederhana di saat aku dilepaskan oleh orang tuaku. Makan malam, perjamuan bersejarah itu tetap terkenang dalam memori hidupku dan terus mengingatkan aku untuk kembali ke “ruang perjamuan,” ruang persaudaraan yang selalu mengikat aku dalam pesan-pesan bijak.***
“SAATKU BELUM TIBA”
Pengantar: Tim Voluntas berhasil mewawancari Bunda Maria seputar perkawinan di Kana di Galilea. Kisah ini dimunculkan berkenaan dengan tema Voluntas mengenai keluarga. Sebagai umat beriman, kita mencontohi keluarga Nazareth di mana Maria sebagai ibu Tuhan memainkan peranan penting dalam kehidupan Yesus. Berikut petikan wawancara
=================================================================================
Selamat bertemu Bunda. Perkenalkan, nama saya Valery, Redaktur senior majalah Voluntas, sebuah majalah milik stasi Santo Gregorius. Apakah Bunda ada waktu untuk kita ngobrol bersama seputar kisah perkawinan di Kana?
“Oh, boleh,” jawab Bunda. Kalau untuk Voluntas, saya menyediakan waktu. Kira-kira apa yang mau ditanyakan?
Begini Bunda. Seperti yang diceritakan dalam kitab suci bahwa perkawinan di Kana merupakan moment yang tepat bagi Yesus untuk mengadakan mukjizat. Bolehkan Bunda cerita sedikit mengenai peristiwa itu?
Kami sekeluarga diundang untuk menghadiri pesta itu. Pesta perkawinan itu merupakan pesta akbar dan merupakan taruhan nama baik keluarga kedua mempelai. Pertaruhan nama baik yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana tuan pesta menjamu para undangan, apakah memuaskan para undangan yang hadir atau tidak? Letak keberhasilan sebuah pesta, terletak pada tingkat kepuasan para undangan yang hadir.
Tingkat kepuasan seperti apa yang dialami dalam sebuah pesta?
Dalam konteks budaya Yahudi dan juga budaya-budaya lain di Indonesia, kepuasan para pengunjung pesta (para undangan) terletak pada aspek lahiriah, seperti penataan tempat (dekorasi) tetapi yang lebih penting adalah makanan dan minuman. Persoalan makanan dan minuman menjadi ukuran sekaligus memberi warna sebuah pesta. Apabila makanan dan minuman tidak terpenuhi secara baik maka orang akan pulang dengan sungut dan gerutu. Ini merupakan pratanda tidak baik bagi promosi nama baik keluarga kedua belah pihak. Minuman menjadi ciri khas dan penentu kualitas sebuah pesta. Tanpa minuman, pesta sepertinya tidak mempunyai nyawa.
Lalu bagaimana dengan peristiwa di mana tuan pesta yang kekurangan anggur? Dari mana mereka tahu bahwa di situ ada Yesus bersama ibu-Nya?
Mereka memiliki daftar orang-orang yang diundang. Namun peristiwa ini merupakan momentum yang tepat untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik. Ada gerakan Ilahi yang mendorong salah seorang tuan pesta untuk menemui saya. Ini saya lihat sebagai jalan Allah untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik. Undangan yang hadir merupakan representan (mewakili) manusia secara keseluruhan. Apa yang akan dilakukan Yesus merupakan tindakan Allah terhadap manusia dalam menyelamatkan peristiwa kekurangan anggur. Sebagai seorang ibu sekaligus undangan, hatiku sepertinya terketuk untuk berbuat sesuatu untuk bisa menyelamatkan situasi.
Ketika Bunda menyampaikan hal tersebut, terutama soal kekurangan anggur, apa reaksi Yesus saat mendengar tawaran dari Bunda?
Kamu tentu tahu bahwa Yesus ketika kecil sangat malu untuk memperkenalkan diri saat berhadapan dengan orang lain. Ketika saya menyampaikan peristiwa kekurangan anggur yang dialami oleh tuan pesta, Ia sendiri terkesan tidak bisa berbuat banyak. Sampai pada akhirnya Ia mengatakan pada saya bahwa “saat-Ku belum tiba.”
Kalimat “saat-Ku belum tiba” menjadi sebuah tafsiran yang menarik bagi para teolog dan para ekseget (ahli kitab suci). Apa makna kalimat “saat-Ku belum tiba?”
Setiap kali Yesus mengucapkan kata-kata, tersembul sebuah kekuatan yang luar biasa. Kata-kata yang diucapkan memiliki daya atau energi tersendiri. Apa yang dikatakan-Nya ketika aku memintanya, Ia tidak menerima tawaran itu secara langsung. Ia harus mengelola tawaran itu dalam terang tuntunan Allah. Karena itu apa yang dikatakan-Nya, walaupun keluar dari mulut-Nya sendiri tetapi Allah yang sedang berbicara di dalam-Nya.
Tentang “saat” seperti yang tertulis dalam Injil Yohanes memang perlu dipahami secara mendalam terutama dalam dimensi waktu yang selalu mengitari kehidupan Yesus. Yesus selalu menyebut waktu ketika perutusan-Nya sebagai “saat”-Nya. Dalam peristiwa perkawinan di Kana, kata “saat” ini muncul lagi sebagai pemenuhan tawaran dari ibu-Nya untuk menyelamatkan tuan pesta yang kehabisan anggur. Jawaban Yesus terhadap permintaan yang diberikan oleh ibu-Nya kedengaran aneh. Tetapi apakah ini merupakan jalan dan saat yang tepat bagi-Nya untuk memperkenalkan diri-Nya di hadapan publik?
Yesus menggunakan kata “saat” untuk membahasakan misteri iman yang hidup dan perlu mendapat penggenapannya. Rekaman pertama penggunaan kata ini oleh-Nya adalah pada kisah kehabisan anggur di Kana yang dialami oleh tuan pesta. Peristiwa ini mendorong naluri keibuanku untuk berbuat suatu sebagai ungkapan nyata terhadap mereka yang kekurangan. Apa yang harus aku lakukan? Aku meminta Puteraku Yesus. “Mereka kehabisan anggur.” Yesus menjawab, “Mau apakah engkau dari Aku, Ibu? Saat-Ku belum tiba” (Yoh 2:3-4).
Mencermati apa yang dikatakan Yesus dalam teologi Yohanes memanglah sulit dan seperti mengawang, karena itu tidak mengherankan bila Injil Yohanes dilambangkan dengan burung rajawali. Seperti burung rajawali yang terbang mengawang, demikian juga dengan teologi Yohanes yang sulit untuk digapai maknanya. Untuk memahami pernyataan Yesus, “Saat-Ku belum tiba,” kita akan menangkap pola pemikiran dasarnya. Dengan menjawab demikian, sepertinya Yesus sedang membentengi diri dan mengantisipasi suatu “saat” ketika sesuatu yang lebih penting yang akan terjadi. Tetapi saat itu sekarang belum tiba.
Menyimak apa yang dikatakan Yesus terutama “saat” yang menjadi titik sentral lebih berpihak pada tiga dimensi waktu yang harus dilalui oleh Yesus yaitu saat sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya. Apa yang dikatakan Yesus tentang “saat” yang akan melengkapi tiga dimensi waktu yang didalamnya termuat peristiwa tragis dan kemuliaan.
Hanya dengan mengatakan, “mereka kehabisan anggur,” sebetulnya aku sendiri mendesak supaya saat berahmat untuk melakukan sebuah tanda mesti terlaksana. Yesus akhirnya tahu kalau saat-nya sudah tiba, Ia akan menyediakan anggur-anggur yang paling baik. Namun perlu disadari bahwa “saat”-Nya sudah tiba tetapi “saat definitif” belumlah tiba. “Saat” di Kana merupakan titik awal pengenalan Yesus ke hadapan publik walau mukjizat yang dilakukan hanyalah tuan pesta yang tahu. Kita semua pun diundang menjadi tuan pesta agar tahu memahami arti mukjizat itu.*** (Valery Kopong)

Saturday, May 29, 2010

Di Kupang, Nusatenggara Timur, tiap pagi saya membaca koran harian POS KUPANG. Sesekali membaca TIMOR EXPRESS alias TIMEX. POS KUPANG milik Kelompok Kompas Gramedia, sedangkan TIMEX milik Grup Jawa Pos.

Meski berada di bawah manajemen konglomerat media, penampilan kedua koran utama di NTT ini tidak menarik. Mirip koran-koran lawas tahun 1980-an, bahkan 1970-an, ketika teknologi komputer belum dikenal. Desainnya pas-pasan. Foto-foto tidak menarik. Tata letak payah.

Yang jadi masalah utama koran-koran di luar Jawa, khususnya NTT, adalah kertas. Kertas sangat mahal dan harus dibeli di Jawa. Karena itu, kertas yang dipakai POS KUPANG dan TIMEX berkualitas rendahan. Dan itu akan sangat terlihat pada hasil akhir koran ketika berada di tangan pembaca. Foto-foto tidak bisa tajam.

Toh, kita orang masih bisa baca koran, bukan? Urusan penampilan, eye catching, belum masuk dalam kamus pengelola koran-koran di luar Jawa, khususnya NTT. Yang penting, berita-beritanya.

Saya jadi teringat masa kecil ketika bapak saya masih berlangganan koran mingguan DIAN yang terbit di Ende, Flores. Tata letak, desain, mutu kertas... semuanya jelek, tapi orang-orang NTT sangat suka membaca si DIAN ini. Termasuk membaca berita kecil-kecil yang tidak signifikan, misalnya, perpisahan anak-anak SD di Ende atau Ruteng.

Khusus untuk urusan isi atawa konten, saya harus angkat topi untuk POS KUPANG dan TIMEX. Hampir semua beritanya, dari halaman pertama sampai terakhir, berita-berita lokal. Ini yang sulit saya temukan di Jawa yang koran-korannya sangat Jakarta-sentris. Apa-apa yang dari Jakarta dikasih porsi sangat besar oleh koran-koran di Jawa.

Media-media NTT beda. Mereka sejak dulu berani mengangkat isu lokal, bahkan sangat lokal, di halaman depan sampai akhir. Kecuali berita olahraga yang banyak diwarnai liputan sepak bola liga-liga Eropa dan persiapan Piala Dunia.

Maka, setiap hari saya menikmati isu politik tentang pemilihan bupati Flores Timur yang terkatung-katung. Simon Hayon bersama pasangannya, terkenal dengan paket Mondial, dijegal KPU Flores Timur karena berbagai alasan. Kemudian Victor Lerik, ketua DPRD Kota Kupang, yang ditahan karena kasus pidana mengancam akan mencekik seorang pengusaha. Ada lagi berita tentang Daniel Hurek, wakil wali kota Kupang, yang membayar pajak bumi dan bangunan.

Isu-isu nasional yang selama ini dianggap besar di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota-kota besar di Jawa rupanya tak dapat tempat. Berita seputar Komjen Susno Duadji tidak ada. Anas Urbaningrum yang menang pemilihan ketua Partai Demokrat tidak dibahas. Kalau mau tahu isu-isu nasional macam itu, silakan menonton televisi yang memang sangat terang di Kupang. Jangan cari di POS KUPANG, TIMEX, atau FLORES POS!

Salahkah kebijakan redaksional koran-koran di NTT yang sangat fokus ke isu-isu lokal? TIDAK SALAH. Bahkan, seharusnya semua media berani mengedepankan berita-berita dan analisis tentang masalah di daerahnya masing-masing. Bukan malah ikut bergenit-genit ria dengan isu nasional yang sudah banyak dibahas di televisi kayak Metro TV dan TV One atau situs-situs berita macam www.detiknews.com atau www.okezone.com atau www.antara.co.id.

Teman-teman wartawan di NTT sudah lama dipuji kalangan pengamat media atau media watch karena liputan-liputannya yang nyaris 100 persen lokal. Semoga konsistensi media-media NTT ini tetap dijaga. Jangan mau tergoda oleh gaya liputan pers di Jawa yang sangat berkiblat ke Jakarta. Di Kupang, setelah membolak-balik 50-an edisi POS KUPANG, saya jarang menemukan berita kegiatan menteri, bahkan presiden sekalipun.

Isu Simon Hayon, Victor Lerik, kredit mobil anggota DPRD NTT jauh lebih menarik. Berita tentang persiapan turnamen sepak bola Piala El Tari, yang diikuti 21 kabupaten, juga jauh lebih disukai ketimbang pertandingan Liga Super Indonesia. Bisa jadi karena sejak dulu klub-klub NTT tak pernah berhasil menembus kompetisi sepak bola kelas nasional.

Bae sonde bae, Flobamora (NTT) lebe bae! Baik tidak baik, Flobamora lebih baik! Jargon khas NTT ini rupanya berlaku pula untuk media massa di NTT.
Posted by Lambertus Hurek at 9:29 PM

Sunday, April 11, 2010

MEMAKNAI 500 TAHUN TUAN MA

Oleh: Valery Kopong*

LARANTUKA sepertinya geger oleh perayaan peringatan 500 tahun Tuan Ma. Perayaan ini membawa sebuah titik terang perubahan dan pembaharuan iman. Iman mestinya ditumbuhkan dan dipelihara dari waktu ke waktu. Momentum “perayaan 500 tahun Tuan Ma” menjadi saat teduh untuk melihat kembali peristiwa masa lampau dan memperhadapkan dengan peristiwa masa kini. Perayaan 500 tahun Tuan Ma menjadi simpul iman yang memadukan seluruh peristiwa penting untuk dikemas menjadi sebuah kekuatan yang sangat berharga.
Perayaan ini sebetulnya dilaksanakan secara sederhana namun peristiwa besar ini tidak dibiarkan lewat begitu saja. Karena itu beberapa orang Flores Timur yang berada di luar Flores ingin agar perayaan ini dibuat dengan kemasan yang menarik. Menurut Ketua Panitia Peringatan 500 tahun Tuan Ma, Dr.Jan Riberu, tidak hanya perayaan ini yang difokuskan tetapi aksi yang tidak kalah pentingnya yaitu berbuat sesuatu sesudah perayaan tersebut. “Kita mau meningkatkan kemakmuran spiritual, moral dan jasmani di Keuskupan Larantuka,” tegas Riberu seperti yang dilansir oleh sebuah media cetak nasional.
Apa yang dikonsepkan oleh panitia perayaan peringatan 500 tahun Tuan Ma, menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap masyarakat Flores Timur. Kehidupan masyarakat Flotim tidak hanya diberdayakan dari sisi iman tetapi juga kehidupan ekonomi secara keseluruhan. Itu berarti bahwa keselarasan hidup manusia bertumpuh pada dua aspek penting ini yaitu iman dan kehidupan ekonomi. Dua hal ini menjadi nyawa yang dapat mempertahakan denyut nadi perjalanan hidup masyarakat umumnya dan Flores Timur khususnya.
Apa yang diwacanakan ini dapat memberi spirit bagi masyarakat Flotim dan masukan berharga bagi para pejabat Gereja untuk menata kembali pola pendekatan dan pemberdayaan umat dari sisi ekonomi. “Iman itu mesti tumbuh di atas lahan yang subur.” Kehidupan iman umat katolik Flotim terkesan biasa-biasa saja berjalan bagai air yang mengalir. Demikian juga imam, mereka menjalankan pewartaan seperti biasa. Tetapi apakah sudah menjawabi kebutuhan hidup baik spiritual maupun ekonomi?
Panitia perayaan peringatan 500 tahun Tuan Ma, telah membuat konsep untuk bagaimana mengelola tanah kering menjadi lahan yang subur dengan membangun sekolah kejuruan pertanian lahan kering dan kelautan. Basis konsep ini muncul tentunya memiliki landasan yang kuat, yakni mengarah pada lahan yang tandus dan kehidupan bahari masyarakat Flotim. Dua wilayah yang disoroti ini (pertanian lahan kering dan kelautan) masih sangat jauh dari sentuhan perhatian Keuskupan Larantuka.
Ketika mengikuti kegiatan live in di Kulon Progo, Yogyakarta, saya begitu terkesan dengan apa yang dilakukan oleh seorang pastor paroki. Setiap hari ia bekerja mengembangkan tambak udang lobster yang berada di sekitar pastoran. Apa yang dilakukan oleh pastor ini sangat jarang saya lihat terutama di Flores. Dia melakukan ini sebagai contoh sederhana untuk bagaimana membuka mata umat agar bisa mengembangkan tambak sebagai salah satu lahan yang mendatangkan nilai ekonomis.
Di sini, saya melihat bahwa apa yang dilakukan pastor merupakan sebuah terobosan dan sekaligus menawarkan jalan pada umat, bagaimana memberdayakan diri sendiri dengan usaha yang ada. Tambak yang dibuat di pastoran, hanyalah sebuah miniatur dan sebagai contoh ketika pastor itu sendiri berbicara tentang pemberdayaan ekonomi. Apa yang dikatakan pastor bukanlah sebuah utopia melainkan sebuah nilai praksis ekonomis yang sanggup mengajak umat untuk bekerja menata kehidupannya sendiri.
Tawaran untuk membuka sekolah kejuruan pertanian lahan kering dan kelautan pasti akan menelan biaya begitu besar dan mungkin juga hanyalah wacana. Tetapi langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengirim beberapa imam yang bekerja di Keuskupan Larantuka untuk belajar secara intensif tentang bagaimana bertani yang baik di lahan kering serta pemanfaatan sumber-sumber laut. Para imam terutama yang bekerja di Keuskupan Larantuka tidak perlu merasa hina kalau dikirim studi tentang pertanian lahan kering dan kelautan karena pada akhirnya dapat memberi kontribusi yang produktif pada masyarakat. Ketika imam yang menggeluti tentang pertanian lahan kering dan kelautan, ia (imam) menjadi sahabat dekat dan tempat yang paling baik bagi umat untuk menanyakan tentang persoalan ekonomi.

Memaknai perayaan peringatan 500 tahun Tuan Ma dalam terang iman, terbersit sebuah gagasan kepedulian dari orang-orang yang mau agar Keuskupan Larantuka perlu maju, baik dari sisi iman, moral maupun ekonomi. Devosi kepada Maria merupakan ungkapan ketakberdayaan umat dan menaruh harapan penuh pada belas kasihnya. Bunda Maria selalu peduli kepada siapa saja yang berani meminta kepadanya.
Ketika membaca kisah perkawinan di Kana, Maria berperan penting untuk menyelamatkan situasi tuan pesta yang mengalami kekurangan. “Mau apakah engkau dari Aku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Tentang “saat” seperti yang tertulis dalam Injil Yohanes memang perlu dipahami secara mendalam terutama dalam dimensi waktu yang selalu mengitari kehidupan Yesus. Yesus selalu menyebut waktu ketika perutusan-Nya sebagai “saat”-Nya. Dalam peristiwa perkawinan di Kana, kata “saat” ini muncul lagi sebagai pemenuhan tawaran dari ibu-Nya untuk menyelamatkan tuan pesta yang kehabisan anggur. Jawaban Yesus terhadap permintaan yang diberikan oleh ibu-Nya kedengaran aneh. Tetapi apakah ini merupakan jalan dan saat yang tepat bagi-Nya untuk memperkenalkan diri-Nya di hadapan publik?
Yesus menggunakan kata “saat” untuk membahasakan misteri iman yang hidup dan perlu mendapat penggenapannya. Rekaman pertama penggunaan kata ini oleh-Nya adalah pada kisah kehabisan anggur di Kana yang dialami oleh tuan pesta. Peristiwa ini mendorong naluri keibuan Maria untuk berbuat suatu sebagai ungkapan nyata terhadap mereka yang kekurangan. Apa yang harus dilakukan? Maria meminta Puteranya Yesus. “Mereka kehabisan anggur.” Yesus menjawab, “Mau apakah engkau dari Aku, Ibu? Saat-Ku belum tiba” (Yoh 2:3-4).
Mencermati apa yang dikatakan Yesus dalam teologi Yohanes memanglah sulit dan seperti mengawang, karena itu tidak mengherankan bila Injil Yohanes dilambangkan dengan burung rajawali. Seperti burung rajawali yang terbang mengawang, demikian juga dengan teologi Yohanes yang sulit untuk digapai maknanya. Untuk memahami pernyataan Yesus, “Saat-Ku belum tiba,” kita akan menangkap pola pemikiran dasarnya. Dengan menjawab demikian, sepertinya Yesus sedang membentengi diri dan mengantisipasi suatu “saat” ketika sesuatu yang lebih penting yang akan terjadi. Tetapi saat itu sekarang belum tiba.
Menyimak apa yang dikatakan Yesus terutama “saat” yang menjadi titik sentral lebih berpihak pada tiga dimensi waktu yang harus dilalui oleh Yesus yaitu saat sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya. Apa yang dikatakan Yesus tentang “saat” yang akan melengkapi tiga dimensi waktu yang didalamnya termuat peristiwa tragis dan kemuliaan.
Hanya dengan mengatakan, “mereka kehabisan anggur,” sebetulnya Yesus sendiri terdesak supaya saat berahmat untuk melakukan sebuah tanda mesti terlaksana. Yesus akhirnya tahu kalau saat-Nya sudah tiba, Ia akan menyediakan anggur-anggur yang paling baik. Namun perlu disadari bahwa “saat”-Nya sudah tiba tetapi “saat definitif” belumlah tiba. “Saat” di Kana merupakan titik awal pengenalan Yesus ke hadapan publik walau mukjizat yang dilakukan hanyalah tuan pesta yang tahu. Kita semua pun diundang menjadi tuan pesta agar tahu memahami arti mukjizat itu.***

Monday, September 21, 2009

PENGALAMAN SYUKUR SI KUSTA
Oleh: Valery Kopong*

Kehidupan orang-orang kusta adalah kehidupan yang jauh dari sentuhan masyarakat. Eksistensi mereka terdepak dari pergaulan umum karena penyakit kusta yang menyelimuti diri mereka. Mereka lalu memahami diri sebagai kaum buangan dan masyarakat menilai mereka sebagai manusia yang terkutuk. Stigma ini sepertinya melembaga dalam masyarakat dan setiap orang yang terkena penyakit berbahaya ini menjadi ancaman bagi yang lain dan karenanya perlu ada upaya penyingkiran diri mereka, jauh di luar kehidupan umum. Mereka terpaksa mengalienasi diri sambil menunggu mati secara perlahan. Terhadap persoalan yang dihadapi ini, memunculkan sebuah pertanyaan sederhana. Masih mungkinkah seorang kusta yang tersembuhkan dapat bergabung kembali dalam kehidupan umum?
Peristiwa penyembuhan kesepuluh orang kusta seperti yang terkisah dalam Lukas 17:11-19, menjadi titik awal bagi mereka dalam merombak pola pandang masyarakat terhadap penyakit yang dianggap kutukan tersebut. Dekonstruksi pemahaman ini dibarengi dengan pentahiran diri mereka oleh Yesus. Yesus, sang Tabib sejati secara revolusioner menyembuhkan diri mereka dengan kuasa Allah. Peristiwa pentahiran ini memberikan pemahaman kepada kesepuluh orang kusta akan arti kehadiran Yesus. Kehadiran Yesus menjadikan diri mereka menjadi bernilai dan sekaligus membangun kesadaran baru tentang “bagaimana membuat orang lain menjadi penting” di mata masyarakat.
Setelah melewati penderitaan yang panjang, orang-orang kusta pada akhirnya menemukan titik cerah ketika berhadapan dengan Yesus. Peristiwa yang menggembirakan ini menjadikan alasan utama untuk bergembira setelah menemukan “sebuah permata” tubuh yang tertahirkan. Tetapi mengapa hanya satu orang saja yang bersujud syukur kepada Tuhan? Di manakah kesembilan yang lain yang juga tersembuhkan?
Allah dalam pelawatan-Nya terhadap orang-orang yang tersisihkan, berani memasuki dunia mereka bahkan mengambil titik lemah mereka sebagai bentuk kekuatan dalam mematahkan pola pandang masyarakat. Seorang kusta yang kembali bersyukur menunjukkan bahwa ia menyadari betapa Allah, lewat putera-Nya telah mentahirkan dirinya dan tidak ada alasan lain baginya untuk menengadahkan rasa syukurnya. Sedangkan kesembilan yang lain, yang umumnya dinilai sebagai orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, tetapi justeru di sini, secara implisit diperalat oleh Allah untuk menunjukkan diri mereka kepada imam-imam. Mengapa mereka harus menunjukkan diri kepada imam-imam dan bukan kepada orang lain yang tidak memiliki kedudukan penting dalam masyarakat?
Imam-imam adalah mereka yang memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam masyarakat. Mereka juga turut berperan dalam menentukan, apakah seseorang yang pernah terkena kusta dan tersembuhkan dapat diterima kembali dalam pergaulan umum atau tidak. Dengan menunjukkan diri kepada imam-imam, secara implisit mereka mewartakan tentang Yesus yang menjadi utusan Allah yang datang ke dunia untuk menyelamatkan seluruh umat manusia. Dalam pola pikir orang-orang kusta terutama kesepuluh orang yang disembuhkan, keselamatan sudah dan sedang terjadi dalam diri mereka. Allah datang mentahirkan diri sekaligus memulihkan kehidupan mereka kembali setelah sekian lama berada dalam penderitaan. Di sini, Allah mau bersolider, terlibat dengan pergumulan hidup mereka sendiri.
Bersyukur a la orang-orang kusta adalah bersyukur setelah melewati sebuah perjuangan yang panjang. Dalam proses perjuangan yang panjang itu, menempatkan kehidupan mereka ke dalam garis ketidakpastian. Ada beban psikologis dan fisik menjadi tanggungan pribadi. Derita yang mereka alami adalah derita kolektif sekaligus memperlihatkan jeritan “perlawanan dalam diam” saat kehidupan mereka tergusur dari pergaulan umum. Keluhan yang dipertunjukkan adalah keluhan kritis dari mereka yang menderita dengan mulut yang membungkam.
Di tengah masyarakat Indonesia yang plural, kehidupan masyarakat (kaum minoritas) merasa diri selalu tersisihkan karena label “katolik”. Menjadi pengikut Kristus berarti bersedia menjadi “manusia kusta” yang terdepak dari pola pikir dan tindakan dari mereka yang menamakan diri sebagai mayoritas. Salahkah aku bila dilahirkan sebagai orang katolik? Menjadi katolik berarti bersedia untuk membuka diri bagi yang lain. Dan dalam keterbukaan itu, seperti kita (orang katolik) menjadi “keranjang sampah” yang siap menerima dan menampung segala resiko, baik positif maupun negatif. Menjadi pengikut Kristus dan katolik memperlihatkan sebuah keterlibatan yang tak pernah mencapai titik akhir. Tetapi dalam perjuangan mempertahankan iman akan Yesus, kita siap dialienasi, dikucilkan dan semakin kita dikucilkan, kita semakin berarti dan nama Kristus sedang dimuliakan.***
J A N J I

Oleh: Valery Kopong*

“Di sebuah paroki di Wina, Austria, terjadi sebuah peristiwa yang membahagiakan tetapi mengundang keanehan. Satu pasangan suami-isteri meresmikan pernikahannya secara gerejani tepat pada saat mereka merayakan HUT ke 25 pernikahan mereka secara sipil. Putra tunggal mereka berusia 23 tahun. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bagi sementara orang membuat sebuah keputusan untuk mengikatkan diri secara abadi pada sesuatu, dengan seseorang tidaklah mudah.”
Model pernikahan di atas menunjukkan sebuah penyelaman secara mendalam akan sebuah kedalaman hati bagi pasangan masing-masing. Dalam rentang waktu 25 tahun hidup di bawah naungan perkawinan sipil, tentu mereka melakukan sebuah refleksi panjang dan mendalam tentang nilai-nilai perkawinan apa yang mau dipersembahkan mereka untuk Tuhan. Bahwa janji untuk hidup semati, setia dalam untung dan malang, merupakan sebuah penggalan hidup yang telah mereka lakoni, sebelum janji itu diikrarkan di altar suci. Bagi mereka, pengalaman suka-duka dalam hidup menjadi landasan baku dan menjadi alasan untuk bergembira dan sebuah kado terindah yang dipersembahkan untuk Tuhan dalam ikrar perkawinan sakramental. Terhadap pasangan yang mengikrarkan janji pada 25 tahun usia perkawinan sipil, memberikan sebuah nokta pertanyaan, apa artinya sebuah janji?
Mengikrar sebuah janji yang membawa sebuah konsekuensi, mengantar kita yang telah dan sedang dalam proses berkeluarga untuk memahami secara bernas akan nilai dan esensi janji itu. Janji tidak hanya menjadi sebuah permainan yang mengasyikan karena hal ini akan mengundang bahaya bahwa penghayatan orang akan janji menjadi kabur makna dan pada akhirnya janji yang merupakan daya ikat tetapi ternyata membawa daya pisah. Dalam drama tragedinya Hamlet, Pangerang Denmark bertanya: Apa artinya sebuah janji? Apa artinya sebuah janji yang pernah diucapkan oleh ibunya kepada ayahnya untuk tidak akan menikah lagi kalau ayah, sang raja itu meninggal? Pertanyaan mendasar ini mengatakan kepada publik bahwa mahalnya sebuah janji dan perlu adanya cara dalam mempertahankannya. Janji berperan sebagai roh yang sanggup menggerak seluruh kesadaran bagi pasangan yang mengikrar janji untuk memahami eksistensi makna dari apa yang diucapkan di sepanjang perjalanan hidup. Apakah nilai sebuah janji terutama perkawinan akan berakhir tatkala salah satu pasangan itu meninggal dunia? Peristiwa meninggalnya salah satu pasangan suami-isteri tidak menjadi alasan dalam pembatalan sebuah esensi janji tersebut. Max Scheller, etikawan Jerman pernah mengatakan bahwa ketika kita mengatakan cinta kepada orang lain, sama halnya dengan mengatakan cinta itu tak akan pernah mati. Di sini, Scheller seakan memburai pemahaman kita akan janji yang sekian banyak ternoda oleh pola tingkah laku yang secara tidak langsung memberikan nokta hitam pada apa yang dijanjikan. Ia (Scheller) dengan gagasan sederhana di atas, menawarkan rasa sanggup kita untuk coba memahami nilai rasa sebuah janji.
Seorang sahabat saya pernah bercerita bahwa suatu ketika isterinya menyadari diri sebagai orang yang tak berarti lagi di hadapan suami dan anaknya karena telah melakukan perselingkuhan. Dia mengatakan, “Pak, aku tidak berarti lagi, aku bagai sampah. Aku tidak layak lagi disebut sebagai isteri.” Dengan santun, suaminya yang dikenal sabar mengatakan bahwa, tidak apa-apa, ibu masih berharga di mata saya. Sampah bisa didaur ulang menjadi pupuk kompos. Ibu akan didaur ulang untuk menjadi manusia yang baik dan berharga di mata semua orang. Aku terkesima mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatku terhadap isterinya. Bahwa karena cinta dan janji suci, apa pun bentuk kesalahan yang dilakukan isterinya dimaafkan secara terbuka sambil menata kehidupan ke depan secara lebih baik. Mungkinkah kita sanggup menempatkan diri sebagai seorang pendaur ulang terhadap kehidupan salah satu pasangan yang barangkali pola tingkah lakunya tidak sesuai jalur yang benar?
Dalam konteks perkawinan katolik yang sifatnya monogam, setidaknya diberi pemahaman secara baru yang dilakukan secara terus-menerus agar para pengucap janji menyadari diri dalam mempertanggung-jawabkan janji itu secara baik. Persoalan-persoalan tentang perkawinan katolik semakin marak terjadi saat ini. Ketika salah satu pasangan melakukan sedikit kesalahan maka hal tersebut membawa dampak yang tidak baik bahkan berujung pada perpisahan (kalau tidak disebut sebagai perceraian). Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat mendatangkan kelanggengan dalam berumah tangga, pertama, perlu adanya pemahaman secara baik tentang nilai dan esensi sebuah perkawinan katolik. Pemahaman ini harus di tata secara beruntun sehingga setiap pasangan tetap menyadari hal tersebut. Kedua, berani menerima pasangannya apabila pasangan tersebut melakukan kesalahan dan ada keberanian dalam menolak sebuah perceraian.
Dalam wilayah YBHK, ada beberapa kasus yang dapat dikatakan sebagai perceraian terselubung, di mana pasangan tersebut hidup terpisah. Bahkan ada yang berani menikah lagi tetapi dilegalkan di luar gereja katolik. Persoalan ini merupakan keprihatinan bersama yang mungkin juga perlu disikapi oleh pihak yayasan. YBHK bukan lembaga religius tetapi dapat memberikan kontribusi terutama daya dorong agar pasangan-pasangan yang tercerai dapat dihimpun kembali. Saya juga mendengar bahwa dalam PUY yang baru direvisi, salah satu point juga berbicara tentang permasalahan perkawinan ini. Hal ini dapat dilihat sebagai bagian dari keterlibatan YBHK dalam menekan angka perceraian yang sedang menghantui pasangan-pasangan yang barangkali masih mencari identitas diri dan keluarga.
Andaikata model perkawinan di Wina, Austria diterapkan di Indonesia, maka apa yang terjadi? Dapatkah orang bertahan di usia 25 tahun dalam perkawinan sipil dan di usia yang sama itu mereka mengikrarkan janji untuk sebuah perkawinan sakramental? Jawabannya adalah mungkin tetapi ingatlah bahwa “apa yang disatukan oleh Allah, tidak dapat diceraikan oleh manusia.” Kemiskinan yang terburuk, demikian Muder Teresa adalah kesepian dan merasa tidak dicintai lagi***