Friday, May 17, 2013

MENGHIDUPKAN SPIRITUALITAS PELINDUNG



Tanggal  18 dan 25 November 2012 yang lalu, penulis dan beberapa anggota dewan Paroki Santo Gregorius-Tangerang mengikuti rapat karya  yang diselenggarakan oleh Paroki Ibu Teresa Cikarang. Rapat karya yang diselenggarakan ini merupakan momentum untuk berefleksi terdapat program yang telah terlaksana dan menyusun program baru yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya.  Keikutsertaan kami dari Tangerang tidak lain adalah mau mengadakan sebuah studi banding dan mau belajar tentang kehidupan di Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang. Memang kedengaran aneh, di Gereja kok ada studi banding? Studi banding tidak hanya dilakukan oleh elit birokrat saja tetapi juga dalam lingkup Gereja, kegiatan pembelajaran seperti ini merupakan hal yang penting karena dalam studi banding itu, kita bisa belajar, bagaimana membuat program, penataan pola pastoral yang benar-benar menyentuh umat. Paroki kami (Santo Gregorius-Tangerang) masih baru, diresmikan tanggal 23 september 2012. Karena itu sangat wajar kalau anggota dewan paroki mencoba untuk belajar dari paroki lain sebagai cara sederhana dalam proses pembenahan diri dan pada akhirnya menumbuhkan iman umat akan Yesus sendiri.
                Ada beberapa keunikan dari Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang, salah satunya adalah menghidupkan peran umat dalam kehidupan menggereja. Para pengurus Gereja (dewan paroki)  hanya berperan sebagai fasilitator sedangkan yang bergerak penuh adalah umat sendiri. Sistem yang berlaku adalah piramida terbalik, artinya bahwa peran serta umat berada pada posisi yang teratas, sedangkan dewan paroki berada di tengah-tengah umat. Memang, mengupayakan tumbuh-kembangnya  kehidupan umat dengan pola seperti ini sangat sulit. Mengapa sulit? Karena kondisi seperti ini memerlukan  penataan dan persiapan secara matang.
                Kalau saya mengamati, kehadiran sang gembala (pastor) sangat penting karena memberikan spirit dan nuasa baru dalam hidup menggereja. Gereja menyadari bahwa  Gereja bisa hidup karena kekuatan keluarga yang membentuk lingkungan dan pada akhirnya menyokong kehidupan sebuah paroki. Maka langkah utama yang ditempuh adalah membangun kekuatan umat basis yang dimulai dari keluarga.

Menghidupkan Spiritualitas Pelindung
                Ciri khas dalam kehidupan menggeraja secara umum, yakni memiliki pelindung, entahkah nama pelindung untuk pribadi maupun institusi religius. Tetapi menjadi pertanyaan, seberapa jauh, orang menghidupkan spiritualitas atau semangat hidup dari sang pelindung? Jangankan menghidupkan spiritualitas, mengetahui riwayat hidup sang pelindung, mungkin juga belum. Tetapi gejala ini sudah ada dalam kehidupan kita. Kita dengan seenaknya mencari dan menggunakan santo-santa pelindung namun kurang mendalami kehidupan mereka.
                Untuk apa mendalami spiritualitas hidup mereka? Seberapa pengaruhnya terhadap individu ataupun instansi religius yang menggunakan nama pelindung tersebut?  Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang, sungguh-sungguh menghidupi semangat hidup  pelindung paroki. Hal ini jelas terlihat dalam rumusan visi dan misi paroki. Visi Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang merupakan suatu paguyuban umat beriman yang mau berbagi dan merakyat. Sedangkan misinya adalah Gereja Paroki Ibu Teresa berkehendak untuk membangun paguyuban umat beriman (komunitas basis beriman penuh harapan) dalam ikatan persaudaraan sejati murid-murid Kristus, yang dijiwai oleh Roh Kudus, berani berkata “cukup” kepada godaan duniawi, mempunyai spiritualitas berbagi dan jiwa merakyat (inkarnatoris) sehingga kehadirannya merupakan rahmat bagi masyarakat sekitar.   
                Visi dan misi yang digulirkan itu memiliki landasan spiritual yang sangat kuat dengan mencontohkan apa yang dilakukan oleh Ibu Teresa dari Calcuta semasa hidupnya dan kesalehan sosial yang telah ditunjukkan kepada dunia. Tetapi lebih dari itu, Gereja dalam pola pastoralnya berusaha mengikuti teladan Yesus Kristus sebagai Gembala yang baik (bdk. Yoh.10). Gembala yang selalu murah hati, penuh kasih dan mencari domba yang hilang serta menyelamatkan semua orang. 
                Kehendak Sang Gembala ini perlu diwujudkan dalam suatu paguyuban umat beriman yang berpadan dengan komunitas umat perdana (Kis 2: 41-47). Paguyuban umat beriman di Cikarang yang sehati sejiwa berkumpul dalam kesatuan iman karena telah ditebus oleh Yesus. Pengalaman iman tersebut memampukan umat (Gereja) untuk berempati satu sama lain dalam persaudaraan sejati dengan siapa saja  (penderitaanmu adalah penderitaanku, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku, bdk. GS 1).
                Dalam evaluasi program yang telah terselenggara, ada dua hal yang menjadi program unggulan Paroki Ibu Teresa Cikarang, yakni memberikan pelayanan kesehatan dan santunan pendidikan kepada masyarakat. Apa yang dilakukan ini mencontohkan apa yang sudah dilakukan oleh Ibu Teresa semasa hidupnya. Kepedulian terhadap mereka yang tersisih karena sakit dan tidak diperhatikan menjadi prioritas perhatian Ibu Teresa. “Teresa adalah salah satu titik perenungan tentang  kemanusiaan yang terabaikan. “ Mengenang Teresa dan perjuangan mengumpulkan orang-orang terbuang di Calcuta, adalah mengenang kemanusiaan yang terabaikan hingga titik nadir. Tindakan kemanusiaan yang dilakukan, tidak membuat orang memuji kebaikannya, tetapi lebih banyak orang mencela bahkan mencibir kebaikan yang ia curahkan kepada orang-orang miskin di sudut-sudut kota.
                Cikarang bukanlah Calcuta namun tentu memiliki kesamaan yakni masih dijumpai orang-orang miskin dan sederhana di wilayah itu. Apa yang dilakukan oleh pihak paroki memang jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ibu Teresa di Calcuta. Ibu Teresa melakukan semua itu dalam purna waktu, seluruh perhatian dan cinta kasih dicurahkan kepada orang-orang miskin. Sedangkan apa yang dilakukan oleh Gereja Paroki Ibu Teresa, walaupun di selah-selah kesibukan namun perhatian terhadap orang-orang kecil tidak dengan setengah hati tetapi dengan sepenuh hati. Apa yang dilakukan itu merupakan cara sederhana untuk memperkenalkan Kristus kepada mereka yang menderita. Suatu waktu, mereka (orang-orang miskin) lebih tahu dan mengenal, siapa itu Yesus Kristus dan tujuan utama kedatangan-Nya ke dunia.***(Valery Kopong)

Sunday, April 28, 2013

TAWA SANG GURU


Oleh: Valery Kopong*
Setiap orang yang masuk biara tua itu, pertama-tama yang diperhatikan adalah lukisan Yesus yang tertawa. Memandang lukisan itu secara mendalam, terus melahirkan pertanyaan-pertanyaan seputar lukisan itu. Mengapa Yesus tertawa? Apa yang membuat Yesus tertawa?  Adakah teks Kitab Suci yang menceritakan Yesus tertawa? Inilah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang lahir dari kedalaman batin para tamu di biara itu. Lukisan yang terpampang di dinding biara tua itu sepertinya, menawarkan nalar refleksi untuk mempertanyakan lukisan yang tidak umum itu.
                Memang, Yesus sendiri, seperti yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, kita tidak pernah menemukan teks yang berbicara tentang Yesus yang tertawa saat berhadapan dengan murid-murid-Nya maupun kelompok-kelompok yang membenci kehadiran-Nya. Tertawa, seperti yang terlukis itu,  mengisahkan  kemanusiaan seorang Yesus yang tidak dihadirkan oleh penulis Kitab Suci. Yesus terkesan sangat serius menghadapi situasi di tengah karya pewartaan-Nya. Karena itu yang lebih ditonjolkan adalah kehidupan doa Yesus dan ajaran-ajaran-Nya.
                Pelukis yang melukis Yesus yang sedang tertawa sangat memahami kemanusiaan Yesus. Ketika berhadapan dengan murid-murid-Nya dan para pengikut-Nya, sebagai manusia pasti Yesus pernah mengumbar senyum bahkan tertawa lepas sebagai ungkapan kegembiraan terhadap suatu hal. Tetapi tertawanya  Yesus dapat dilihat dari dua sisi yang berlainan, tertawa sinis atau tertawa karena merasa gembira. Inilah nilai terdalam kemanusiaan Yesus yang tidak terlepas dari kehidupan-Nya. Sang pelukis mengangkat aspek manusiawi yang sederhana dan tidak tersentuh dalam konteks teologi-biblis.
                Tertawa ala Yesus menjadi konsumsi rohani yang baik, karena dalam tertawa itu orang merasa lepas bebas dan tidak terikat oleh beban penderitaan yang lain. Di sini, tertawa dilihat sebagai bentuk pembebasan batin dan dengannya orang bisa mengalami kesembuhan diri. Melalui lukisan sederhana yang terpampang rapi di biara itu, tetap mengundang para tamu, tidak hanya datang dan bertemu para biarawan tetapi lebih dari itu bisa mengalami kegembiraan saat mengingat kembali lukisan Yesus yang sedang tertawa. Mungkin Yesus mengajarkan kepada umat-Nya agar selalu ceria ketika menghadapi setiap persoalan hidup. Persoalan itu dapat teratasi apabila semuanya dihadapi dengan senyum bahkan tertawa agar tidak membawa beban batin pada setiap orang yang berhadapan dengan masalah.
                Tawa tidak Cuma berarti menertawakan, merendahkan orang lain dan larut dalam tendensi masyarakat totaliter. Tapi tawa juga merupakan bentuk pembebasan manusia dari pelbagai larangan dan tekanan yang membuat dirinya menderita. Tawa para penderita dan kaum terdepak seperti yang diupayakan Yesus dapat mengurangi beban dan menjadi sebuah substitusi agar gerak perlawanan orang-orang terdepak tidak perlu harus dengan kekerasan. Tetapi sambil tertawa, orang dapat menyampaikan sebuah kritik. Tawa Yesus yang sinis seperti yang ada dalam lukisan membawa sebuah kritik yang mendalam terhadap penguasa yang memerintah dengan tangan besi dan mereka yang selalu merancang strategi untuk mendepak orang lain dari panggung pergaulan umum. Tawa penuh kritik tidak sepenuhnya untuk merendahkan dan mematikan orang lain, melainkan mengungkapkan kebutuhan orang-orang lemah akan sebuah perubahan.  Kalau tertawa merupakan ungkapan kebutuhan akan perubahan maka ia sekaligus menjadi sebuah permintaan kepada penguasa untuk memenuhinya. Kritik seperti ini bukanlah sebuah tuntutan frontal melainkan sebuah undangan untuk penguasa dalam memikirkan seluruh kebijakan yang tidak bijak yang telah dikonstruksinya.
                Sang pelukis telah mengangkat persoalan manusiawi Yesus yang tidak dilihat secara jeli oleh para penulis Kitab Suci. Kemanusiaan Yesus dalam tawa menjadi bentuk keberpihakkan kepada orang-orang pinggiran yang disisihkan oleh masyarakat umum. Sang pelukis telah membantu kita untuk memahami kehidupan yang hakiki dan lepas bebas dari persoalan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap kelompok-kelompok tertentu. “Iri hatikah engkau karena Aku murah hati?” Membaca Kitab Suci tentang keberpihakkan Yesus terhadap orang-orang kecil,  sepertinya membaca sebuah teater yang menyuguhkan peran yang antagonistis. Dalam teater, tokoh-tokoh baik protagonis maupun antagonis menampilkan wajah dan peran yang berbeda sesuai dengan tuntutan karakter tokoh yang diperankannya.
                Memang di dalam teater, sering ditampilkan adegan-adegan dalam nuansa yang kocak dan sering mengundang tawa para penonton. Tetapi apa yang ditertawakan itu menawarkan isi yang mendalam yang kadang jauh dari jangkauan refleksi para penonton. Isi sebuah teater tak selamanya menjadi sebuah model baku dalam penyelesaian konflik sosial yang baik. Yang terpenting dalam sebuah teater adalah pengangkatan peristiwa ke atas panggung pentas dan dengan demikian ke atas kesadaran, berbagai pertentangan di dalam diri dan masyarakat yang tidak dihadirkan secara dangkal. Sebab itu kualitas sebuah teater tidak ditentukan oleh bentuk solusi yang ditawarkannya melainkan gugahan yang memungkinkannya bagi para penonton untuk menentukan sikap sendiri.
                Sikap penonton yang penuh tawa ketika penggalan kisah hidupnya diangkat, dibiarkan untuk terus bergumul dalam penemuan jati diri kembali sebagai manusia.   Memang, tidak semua teater mengundang tawa dan tawa yang dimunculkan bukanlah kriteria untuk menentukan nilai sebuah teater. Namun dalam sejarah penghadapannya dengan kekuasaan, tawa justeru menjadi alasan yang sering menimbulkan ketegangan antara penguasa dan tukang kritik.
Dalam lukisan sederhana itu, barangkali tawanya Sang Guru  memberi kritik pada penguasa karena tertawa agak sinis ataukah Ia tertawa bersama orang-orang kecil yang dibebaskan-Nya? Memang tawa Sang Guru seperti yang ada dalam lukisan itu membawa dua motif yang berbeda. Kadang, tawa Sang Guru bersifat destruktif dan merendahkan. Tetapi pada kesempatan lain, Ia memperlihatkan tawa yang membebaskan, yang memberi harapan, yang menularkan daya kesembuhan.***

PASKAH: PAS KAH?


Di Gerbang Yerusalem, umat bagai lautan menyambut kedatangan Yesus. Dengan mengendarai keledai, simbol kendaraan orang-orang miskin, Yesus memasuki kota tua itu. Orang-orang yang hadir waktu itu melambaikan daun-daun palma bahkan menghamparkan pakaian di jalan. Suasana gembira ini hanya dirasakan oleh mereka yang hadir tetapi bagi Yesus, hal ini merupakan permulaan untuk memasuki gerbang derita. Ia tahu bahwa dibalik kegembiraan dan sorak gempita, tersembul sebuah niat untuk menghukum Sang Raja yang dieluk-elukannya.

ROMO PEMBAHARU

Sabtu, 12 Maret 2011, bertempat di aula Stasi Gregorius diadakan perpisahan dengan Romo Sriyanto, SJ yang dikemas secara sederhana. Romo Sri, demikian panggilan Romo Maximianus Sriyanto, SJ yang sudah kurang lebih 4 tahun bekerja sebagai pastor kepala Paroki Hati Maria Tak Bernoda-Tangerang, kini berakhir sudah. Memang mutasi di kalangan para pastor adalah sesuatu yang biasa terjadi. Tetapi mutasi yang terjadi terutama terhadap Romo Sri yang akan menjalani tahun sabatikal (penyegaran rohani) merupakan suatu hal yang dianggap oleh umat Stasi Gregorius sebagai suatu kehilangan. Betapa tidak! Keberadaan Romo Sri yang masih diharapkan oleh umat untuk mengantar stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri, ternyata cita-cita itu, sepertinya pupus sudah. Tetapi kepindahan Romo Sri tidak menyurutkan semangat para penggantinya untuk memberdayakan umatnya agar lebih mandiri.
            

Thursday, April 25, 2013

UN Terakhir?


Saat menulis artikel ini, wajah cemas sekitar 2,7 juta siswa kelas 12 (SMA/SMK), 3,7 juta siswa kelas 9 yang mengikuti UN mulai 15/3 hadir secara spontan. Meski sudah dijejali aneka pemantapan dan try out, tetapi UN masih menakutkan.
 
Tidak hanya itu. Terbayang juga wajah suram siswa di 11 propinsi, termasuk NTT terpaksa harus menunda pelaksanaan UN. Alasannya, demikian M Nuh,  karena ‘kesalahan tekhnis’.
 
Rangkaian tragedi seperti ini yang mestinya tidak terjadi apalagi mengingat dasar pedagogis (pendidikan) yang sangat minim, memunculkan pertanyaan: akankah tragedi tahunan ini terus berlanjut? Atau ada harapan, UN bakal dihapus?
 
Mustahil bertanya demikian. Sudah ada payung hukum yakni keputusan MA yang membatalkan pelaksanaan UN. Lebih lagi, dengan  kurikulum 2013 yang (katanya) lebih menjanjikan, mestinya ada model UN lebih menarik dari yang sekarang.
 
Kurikulum Teknis
 
Dalam bukunya El Currículo: un campo de conocimiento, un ámbito de Debate (1989), Diaz Barriga mengeritik kurikulum. Berkaca pada pengelaman di Kolumbia, ia menyimpulkan, kurikulum yang tidak didisain secara baik bukan tak mungkin menjadi sarana mempermiskin pengetahuan dalam pendidikan.
 
Mengapa demikian? Ia dirancang secara teknis, terlepas dari konteks historis yang melingkupinya. Ia disusun sebagai idealisme indah tanpa memperhitungkan realitas sosial. Akibatnya saat diimplementasikan, ia ompong tak bergigi.
 
Sebagai jalan keluar, disusun rencana kurikulum yang lebih baik. Tapi dalam proses ini pun masih ada pemikiran fragmentaris dan dispesif. Analisis terhadap pembaharuan masih bersifat jangka pendek dan didasarkan pada sudut pandang tertentu tanpa melihatnya sebagai satu kesatuan.
 
Pengakuan M Nuh (Kompas 8/3) tentang implementasi KTSP yang terkesan dipaksakan, padahal KBK belum terselesaikan, adalah contohnya. Kekuasaan yang ada pada menteri (saat itu) memungkinkan ia mengaplikasikan hal yang dianggapnya paling baik tapi kini harus diubah lagi.
 
Hal ini mestinya menyadarkan dunia pendidikan, demikian Barriga, bahwa kurikulum adalah sebuah politik akademis. Ia harus dirancang sebagai strategi terencana dan terukur dengan sebuah orientasi jangka panjang dan tidak sekedar diganti karena didasarkan pada cara pandang tertentu yang belum tentu benar.
 
Dalam konsep berpikir ini, patut kita akui,  kurikulum 2013, bisa saja telah memenuhi kriteria untuk ditempatkan sebagai sebuah politik akademis. Dukungan dasar filosofis (yang elektis?) dan yuridis maupun jaminan otput berkualitas oleh keunggulan akhlak dan penguasaan keterampilan akan membungkam semua kritik.
Tapi, apakah hal itu sebuah jaminan? Ide secermerlang apa pun perlu daya dukung berupa pemahaman yang tepat (melaui sosialisasi) dan buku yang menunjang. Hanya dengan demikian anggaran sekitar 2,4 triliun benar-benar tepat sasar dan tidak terkesan mubasir karena tidak efisien dan efektif.
Lebih lagi penerapan sebuah ide di negeri kepualauan seperti Indonesia, tentuk butuh persiapan ekstra. Ia tidak bisa ‘sekedar’ diterapkan, apalagi ada pertimbangan lain yang bisa saja bersifat sampingan. Tak akan lari gunung dikejar, meski diakui, jabatan (menteri) itu sementara dan sebentar lagi selesai.
 
Setengah Hati
 
Lalu, bagaimana kita menempatkan UN pada konteks kurikulum 2013? Meskipun tahun kurikulum ini identik dengan angka sial, tetapi ia lebih memberikan kegembiraan khusus bagi siswa kelas 11 dan kelas 8 kini. Bakal tidak ada UN lagi.
 
Mengapa? metode penilaian yang diterapkan nanti akan lebih otentik. Yang dievaluasi bukan saja aspek kognitif, seperti yang selama ini dilaksanakan tetapi diseimbangkan dengan penilaian kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Malah ada juga penilaian portofolio.
 
Kalau demikian maka model UN seperti yang diterapkan hingga kini akan terakhir. Kesedihan seputar UN, ritual zikir dan istighosah yang selalu diwarnai duka, bakal tidak terjadi lagi. Ujian akan lebih gembira disambut, ibarat petani yang rindu menantikan panen tiba.
 
Sayangnya penafsiran ini bisa saja kandas ketika dikaitkan dengan otoritas pengelola kurikulum. Jelasnya, jika dalam KTSP saja, otoritas (katanya) ada di sekolah, tetapi ujung-ujungnya ada UN, apalagi dalam kurikulum 2013. Pemerintah pusat dan daerah memegang kendalinya.

Di sini, (rasa-rasanya) UN akan dipertahankan. Dan lebih menyayat hati kalau modelnya seperti sekarang ini akan terus digunakan mengingat lebih ‘praktis’ dan yang tidak bisa dilupakan, ia telah menjadi proyek dengan anggaran yang tidak sedikit.  Lalu, mengapa pembaharuan kurikulum?

Masih ada kejanggalan lain. Di tengah persiapan ‘apa adanya’, bila akhirnya hanya diterapkan di sekitar 10% di SD dan 20% di SMP (syukur bahwa di SMA/SMK 100%) maka apa yang akan terjadi di tahun 2015, terutama ketika siswa 7 menghadapi UN? Apakah ada dua model ujian bagi yang sudah dan belum menerapkan Kurikulum 2013? Atau, apakah ketika tiba tahun 2014, menteri baru akan begitu saja menerima kejanggalan yang ada?

Inilah pertanyaan yang mesti disadari betul oleh para pengambil keputusan mengingat tidak terjawabnya pertanyaan ini bisa saja memberi kesan kita masih setengah hati saat menerapkan kurikulum baru. Atau kita lebih sibuk dengan hal-hal tekhnis pinggiran ketimbang memprioritaskan masa depan bangsa yang nota bene perencanaannya tidak bisa setengah hati, apalagi main-main.

Dalam kerangka berpikir ini, desakan penundaan tentu tidak bisa sekedar disinyalir bermuatan politis yang diartikan taktis tak sehat menjegal inisiatif kemendikbud. Hal itu bisa saja ada tetapi bersifat pinggiran. Yang paling penting, kesadaran akan keberadaan kurikulum sebagai politik akademis menjadi kata kunci untuk mengadakan pembaharuan, entah sekarang, atau nanti.

Robert Bala, Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol. Pengajar Spanyol pada Lembaga Budaya Trisakti.

__._,_.___





__,_._,___


Tuesday, March 26, 2013

MEMAHAMI DASAR-DASAR LITURGI



Judul          : BUKU SAKU MISDINAR
Penulis                      : Leonardus Amuristian Daely
                     T.Subaryani D.H.Soediro
Penerbit    :  OBOR, Jakarta: 2012
Tebal          : xviii + 135 halaman

                Gereja Katolik dikenal sebagai Gereja yang memiliki begitu banyak simbol yang digunakan dalam kehidupan rohani. Simbol-simbol itu sebagai sarana yang bisa membantu umat dalam memahami arti dan tata gerak dalam liturgi. Banyak sarana dan simbol yang dipakai,  tidak semua umat tahu tentang fungsi dan kegunaannya. Pengetahuan dasar tentang liturgi mesti diketahui oleh umat agar dalam menghadiri sebuah perayaan Ekaristi, umat bisa mendalami makna dibalik Ekaristi itu.
                Yani dan Leo, penyusun “Buku Saku Misdinar” mempunyai pengalaman tersendiri ketika mereka terlibat sebagai misdinar. Keterlibatan mereka tidak hanya sebagai pelaku  yang pasif tetapi juga kritis dalam  menemui pelbagai persoalan terutama pengetahuan yang minim dari para misdinar. Memang, liturgi menjadi hidup ketika seluruh tata perayaan tertata rapih dan petugas misdinar sudah mempersiapkan diri secara baik.
                Dalam pengantar buku ini, RD. Fabie Sebastian.H menegaskan bahwa suasana sakral atau kacaunya perayaan liturgi juga amat dipengaruhi oleh mereka. “Para misdinar yang ngawur, ceroboh, gugup, bingung dan tidak paham tentang perannya akan mengacaukan sebuah upacara yang agung dan mulia. Para misdinar yang “ketawa-ketiwi,” bercanda dengan teman lainnya di sekitar altar, dengan sendirinya akan merusak kesakralan perayaan liturgi.” Apa yang dikatakan oleh RD. Fabie Sebastian.H merupakan suatu fenomena yang sedang terjadi di seputar altar. Apa yang harus dilakukan supaya situasi-situasi yang semrawut di sekitar altar tidak terulang lagi? Cara paling sederhana adalah memberikan pemahaman tentang pentingnya perayaan Ekaristi sebagai jantung kehidupan iman orang Katolik  karena di dalamnya  Kristus sendiri “membagi diri” sebagai santapan rohani.
                Melalui buku sederhana ini, penulis mengajak para misdinar dan siapa pun yang ingin mengetahui secara pasti tentang tata perayaan Ekaristi untuk memahami seluruh simbol yang digunakan dalam perayaan tersebut. Dengan memaknai simbol tersebut maka umat terhantar untuk mendalami misteri Ekaristi. Manusia sebagai homo symbolicum, tak pernah berhenti memaknai simbol-simbol itu karena dari simbol itu bisa membuka memori untuk mengenang dan memaknai peristiwa-peristiwa dalam perayaan Ekaristi sebagai warisan berharga. ***(Valery Kopong)  

Thursday, March 21, 2013

Chavez dan Mosaik Sosialisme Kerakyatan

  
                                                      Kamis, 14 Maret 2013 | 02:36 WIB
                                                              Oleh Martin Bhisu SVD
Hugo Chavez sebelum dan sesudah wafat mendapat perhatian istimewa. Alasan utama: wawasan dan praktik politiknya merupakan tanda perbantahan dari sebuah tatanan yang peninggalannya adalah sebuah mosaik sosialisme kerakyatan.
 
Eduardo Galeano, penulis prestisius asal Uruguay, pernah menjuluki Amerika Latin sebagai benua dengan urat nadi yang terbuka. Sebuah metafora tentang luka lama benua ini sebagai akibat penjajahan yang ragamnya sekarang disebut neokolonialisme, penjajahan baru. Istilah ini terhubung dengan kondisi Amerika Latin: ibarat sapi perah yang susunya, hasil pertumbuhan ekonomi, dinikmati perusahaan-perusahaan multinasional.
 
Venezuela bukan kekecualian. Akibat rontoknya boom minyak pada 1970-an, negara vino tinto ini mengalami krisis ekonomi. Presiden Andres Perez waktu itu mengikuti resep dogmatis IMF yang bukan solusi, melainkan problem. Pada akhirnya yang meningkat adalah angka kemiskinan yang memprihatinkan, sementara perdagangan minyak Venezu- ela di tangan perusahaan asing.
 
Runtuhnya ekonomi mendapat protes masyarakat yang berakhir dengan kudeta militer yang mengusung Chavez pada 1993. Meritokrasi Chavez untuk menyembuhkan urat nadi yang terbuka patut dicemburui pemimpin negara apa pun yang menganggap diri pujangga ekonomi kapitalis.
 
Menurut laporan Komisi PBB bagi Ekonomi Amerika Latin (CEPAL), Venezuela berhasil menurunkan 44 persen angka kemiskinan: 5 juta jiwa dari total penduduk tidak lagi miskin. Dalam hal kesadaran berdemokrasi, partisipasi elektoral mencapai lebih dari 88 persen penduduk, yang pada pemilu terakhir 55 persen suara untuk Chavez.
 
Menyangkut anggaran dana sosial, negara-negara sosial demokrat Eropa tak bisa menyaingi Venezuela yang mengalokasikan 60 persen dari total produk domestik bruto. Sebanyak 14 juta penduduk mendapat subsidi pangan, dan tahun ini 61 persen penduduk membeli pangan di pusat- pusat perbelanjaan milik negara. Selama 2011 Chavez menyerahkan 146.022 rumah kepada penduduk paling miskin.
 
Rekam jejak terpuji di atas menjadikan Chavez seorang pemimpin politik yang diterima di kalangan rakyat kecil dan berhasil memenangi pemilu empat kali beruntun. Sangat lumrah bila ada kelompok yang punya barometer politik ekonomi yang berseberangan dengannya, terutama yang kepentingan mereka dirugikan karena negara mengambil alih kendali PDVSA, perusahaan minyak Venezuela.
 
Sosialisme kerakyatan
 
Chavez pernah mengatakan, ”Tak bisa dimengerti bagaimana dapat mendistribusikan kekayaan negara kalau institusi tak diubah. Apakah ada alternatif lain?” Pertanyaan yang dituntun oleh jawaban yang hendak dicari. Model negara sosialis dan sosialisme kerakyatan merupakan dua pokok penting yang harus tepat diartikulasi menjadi jawaban alternatif terhadap ekonomi laissez- faire.
 
Negara dengan para pemimpinnya yang dipilih rakyat untuk memerintah atas nama rakyat tidak melayani kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional, melainkan melayani rakyat. Rancang bangun sebuah ekonomi sosial pertama-tama ditempuh Chavez adalah dengan merombak institusi negara yang birokratis dan koruptif menjadi negara sosialis yang kerakyatan. Dalam tahun-tahun pertama, Chavez tak mudah menempuh jalan ini, bahkan kudeta sekelompok militer yang didukung oposisi hampir menjatuhkannya.
 
Peran negara tidak seperti dalam paham sosialisme terpimpin dan doktriner (model sosialisme bekas Uni Soviet), tetapi memberi peran yang lebih besar, dinamis, dan relevan kepada pemerintah untuk mengatur ekonomi. Dengan PDVSA sebagai jantung ekonomi, Chavez memilih cara klasik: menaikkan permintaan agregat. Artinya, negara mengeluarkan banyak anggaran untuk sektor-sektor pembangunan padat karya sehingga meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan per kapita. Perusahaan swasta dapat untung juga karena saat konsumsi meningkat (faktor yang sangat bergantung pada pendapatan per kapita), permintaan akan barang dan jasa juga meningkat. Akhirnya produksi terdongkrak.
 
Di samping itu, meningkatnya anggaran dana sosial sangat membantu masyarakat miskin. Politik sosial seperti ini memberi warna khusus bagi Chavez karena mayoritas orang miskin di banyak negara maju sekalipun tak disentuh kebijakan ekonomi pemerintah.
 
Faktor rakyat sangat menentukan dalam ekonomi sosialis. Selama politik ekonomi yang berciri karitatif dan asistensialistis merupakan pilihan utama, kega- galan mudah diprediksi sebab yang hilang ialah gejala dari kemiskinan, bukan sebabnya. Chavez mengorganisasikan koperasi produktif yang dibantu kredit lunak untuk memberantas sebab kemiskinan. Ke dalam koperasi itu demokratis, ke luar kompetitif sesuai dengan hukum pasar.
 
Peran pemerintah dan rakyat yang proaktif dalam produksi dan distribusi barang dan jasa sungguh merupakan mosaik ekonomi sosial kerakyatan. Indonesia mungkin tak dapat meniru model ini karena banyak sebab. Di anta- ranya mental kerakyatan yang minim dari pemerintah. Dengan sistem pemerintah yang sangat parlementaristis, kekuasaan eksekutif ke dalam takut akan teka- nan primordial sejumlah golongan; ke luar berkiblat ke negara Barat dan bangsa kita terbiasa dengan apa yang ada.
 
Sebab kedua adalah kurangnya pengalaman signifikan bagai- mana hidup cukup sejahtera. Kecuali sampai akhir 1980-an, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan secara akumulatif, tetapi ekonomi yang trickle down seperti ini tak menyentuh periuk nasi orang miskin. Berbeda dengan Venezuela, sebelum krisis minyak, pertumbuhan ekonomi berkarakter sosial, dan masyarakat tahu bagaimana dampak positif ekonomi kerakyatan. Hal ini menjadi pembelajaran kolektif yang ujungnya adalah revolusi sosial melawan pemerintah koruptif selama krisis minyak.
 
Mungkin mosaik sosialisme kerakyatan Venezuela bisa menjadi inspirasi bagi Pemerintah Indonesia mendatang. Namun, ini bergantung sepenuhnya kepada rakyat yang berwawasan sosialis memilih orang yang berpihak kepada kaum jelata.
 
Martin Bhisu SVD Rohaniwan: Berkarya di Paraguay
 

Friday, February 15, 2013

JATUH-BANGUN DALAM DOSA




Judul Buku : Pertobatan dalam Tradisi Katolik
Penulis : Al. Purwa Hardiwardoyo, MSF
Penerbit : Kanisius -Yogyakarta

Masih ada minatkah umat Katolik mengakukan dosa? Pihak Gereja sudah menyediakan waktu untuk mendengarkan pengakuan dosa, tetapi hanya sedikit orang yang datang. Apa yang menjadi penyebab utama sehingga menurunnya minat umat Katolik untuk tidak mengakukan dosa? Dari mana tradisi pertobatan Katolik ini muncul?
Seseorang yang telah dibaptis tidak hanya resmi masuk menjadi anggota Gereja tetapi juga bebas dari noda dosa asal. Tetapi hal itu tidak berarti seseorang yang telah dibaptis steril dari dosa-dosa pribadi. Kenyataan berbicara lain, bahwa dalam setiap waktu dan zaman, terjadi peristiwa jatuh-bangun dalam kubangan dosa. Peristiwa jatuh-bangunnya manusia dalam dosa ini menyebabkan renggangnya hubungan, bahkan putusnya hubungan dengan Allah.
Untunglah bahwa Gereja Katolik menyediakan ruang pengakuan, di mana seseorang dengan lepas-bebas mengakukan dosa. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk pemulihan kembali hubungan yang renggang akibat dosa dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan selama hidup. “Jatuh..., bangun, jatuh..., bangun dan jatuh lagi.” Itulah ciri kemanusiaan yang rapuh dan seluruh hidupnya tidak luput dan godaan-godaan duniawi yang menjerumuskannya dalam lembah nista.  
Jatuh ke dalam dosa tidak merupakan akhir dari segalanya. Seorang Kristen yang jatuh ke dalam dosa tetap dikasihi Allah. Pendosa itu dipanggil untuk kembali bersatu dengan-Nya. Bahkan, Allah menganugerahkan rahmat khusus, yakni rahmat pertobatan sejati. Tentang kenyataan ini, tokoh-tokoh Gereja Katolik telah merenungkannya selama berabad-abad. Berdasarkan  pewahyuan ilahi yang tersimpan dalam Kitab Suci, mereka berusaha memahami makna dosa dan pertobatan seorang Kristen. Berdosa adalah ciri kemanusiaan yang rapuh. Dan pertobatan dibarengi dengan rasa sesal yang mendalam di panti pengakuan, menjadi momentum merekatkan kembali hubungan antara manusia dan Allah. ***

Wednesday, February 6, 2013

TOBAT


                Ritus tobat menjadi saat umat beriman menyampaikan penyesalan dan pertobatan atas dosa dan kesalahannya kepada Tuhan dan sesama. Tobat yang sejati mengalir dari tanggapan kita atas kasih dan kebaikan Allah yang lebih dahulu kita alami. Jadi, pertobatan kita bukanlah pertobatan demi menimbulkan belas kasih Allah, melainkan justeru karena telah disapa oleh belas kasih Allah tersebut.
                TPE 2005 menyampaikan 4 bentuk ritus tobat. Tiga bentuk pertama memiliki struktur yang sama, yaitu ajakan untuk bertobat, hening, pernyataan tobat dan permohonan pengampunan (absolusi). Absolusi ini tidak memiliki kuasa pengampunan seperti absolusi dalam sakramen tobat. Itu berarti, imam tidak boleh membuat gerakan yang sama seperti saat ia memberikan absolusi dalam penerimaan sakramen tobat.
                Cara 1: Imam mengajak umat menyesali dan mengakui dosa. Menanggapi ajakan tersebut, umat (berlutut dan ) hening sejenak. Kemudian, seluruh umat mengakui dosanya disertai sikap tobat, yakni dengan rumusan kata-kata: Saya mengaku – kepada Allah yang mahakuasa….Baris berikut diucapkan sambil menebah dada. Saya berdosa, saya sungguh berdosa…….Sesudah pernyataan tobat, imam memohonkan pengampunan. Perlu dicamkan bahwa pengampunan di sini berbeda dengan absolusi yang diberikan imam dalam sakramen tobat. Maka, kita (imam dan umat) tidak membuat tanda salib ketika imam mengucapkan permohonan ampun. Dalam Tata Perayaan Ekaristi dengan jelas ditulis. “Dengan tangan terkatup” imam mengucapkan rumus absolusi. Kebiasaan tanda salib ini berasal dari rumus tobat Misale Trente yang sudah dihapus dalam Missale Romanum 1970. Tobat cara 1 ini disusul Tuhan, kasihanilah kami.
                Cara 2: Ciri khas tobat cara 2 ialah umat menyatakan tobat dengan mendaras mazmur tobat. TPE 2005 menyediakan 4 macam tobat cara 2 yaitu yang diambil dari Missale Romanum, Mzm 32, mzm 51, Mzm 103. Tobat cara 2 disusul, Tuhan kasihanilah kami.
                Cara 3: Tobat cara 3 menggunakan pola litani kyrie. Artinya, imam mengucapkan suatu pernyataan iman mengenai Kristus dan kemudian disambung dengan seruan pernyataan tobat yang bersifat penghormatan dan permohonan kepada Kristus: Tuhan (atau Kristus) kasihanilah kami dan dijawab oleh umat: Tuhan (atau Kristus) kasihanilah kami. Kalau dipakai tobat 3, tidak lagi diucapkan / dilagukan Tuhan kasihanilah kami secara tersendiri karena tercakup dalam tobat cara 3.
                Cara 4: Tobat cara 4 ini cocok digunakan pada hari Minggu atau hari raya, terutama masa Paskah karena menggunakan pemercikan air suci sebagai peringatan akan pembaptisan.