Thursday, March 31, 2016

“API UNGGUN” ITU TERUS MENYALA

Membaca tiga buku, yakni Api Unggun, Be a Leader (Sang Pemimpin) dan Surau Kecil Berdinding Bilik, pikiran pembaca terus tertuju pada penulisnya, Drs.H.Teteng Jumara, MM.  Memang sudah lama beliau menggeluti dunia sastra dan sastrawan yang mengilhami dan menginspirasinya adalah Pramoedya Ananta Toer, Sutardji Calzoum Bachri dan Ernest Hemingway. Tiga sastrawan kawakan ini memang memberikan spirit tulisan yang berbeda. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang pernah dibuang di pulang Buru itu sangat kritis terhadap pemerintah melalui novel-novel yang dihasilkannya. Sedangkan Sutardji Calzoum Bachri adalah penyair kontemporer yang mendobrak kemapanan dalam berkreasi. Karena itu di tangan Sutardi, ada kreasi baru dalam berpuisi.

Wednesday, March 30, 2016

DEWASA DALAM COBAAN HIDUP


                Kisah perjanjian Lama, melukiskan pengalaman iman umat Israel tentang Yahwe (Allah orang Israel) yang senantiasa menyertai mereka dalam setiap detak kehidupan. Pengalaman perjumpaan dan keterlibatan Yahwe dalam kehidupan bangsa Israel, dituturkan  secara turun-temurun dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Kisah Bapa-Bapa bangsa dan peristiwa eksodus bani Israel dari Mesir dan disusul dengan pengembaraan mereka selama 40 tahun, menjadikan pengalaman ini sebagai pengalaman kolektif yang tidak pernah hilang dari ingatan sejarah.
                Kisah yang ditutur secara lisan ini bertahan untuk beberapa generasi dan selanjutnya ditulis sebagai cara untuk mendokumentasi seluruh pengalaman hidup itu. Kisah penciptaan alam semesta dan manusia, ditulis dengan amat baik dalam kitab genesis (kejadian). Allah berperan penting dan yang  menjadi tokoh sentral dari narasi penciptaan itu. Allah dilukiskan sebagai Allah yang berperan, terlibat dalam seluruh peta penciptaan alam semesta. Mengapa Allah terlebih dahulu  mempersiapkan alam semesta dan isinya dan manusia diciptakan Allah paling akhir?
               

Tuesday, March 29, 2016

DUA SAHABAT BERBEDA WAJAH TAPI JUMPA WAKTU KEMBALI


(Obituari Buat Sahabat Rm. Frans Amanue, Pr dan Bapak Felix Fernandez)
Sabtu siang, 26 Maret 2016, selagi mempersiapkan diri untuk perayaan Malam Paskah, saya tersentak mendapat kiriman sms dari seorang sahabat di paling ujung Timur Nusantara. “Sahabat Amanue telah kembali kepada Yang Benar … di RSUD Larantuka. Barusan. Doakan !”. Tiga hari sebelumnya, Rabu siang, 23 Maret 2016, saya sudah dikejutkan dengan sms dari sahabat yang sama, “Mohon doa 1 x Bapa Kami dan 3 x Salam Maria untuk Sahabat Bapak Felix Fernandez”. Dia merasa terdorong untuk menyampaikan kepada saya dan teman-teman yang lain berita duka tentang dua sosok pribadi ini. Mereka berdua pernah berbeda bahkan berseberangan dan jadi catatan sejarah Lewotanah Flores Timur, dan kami terlibat dan menjadi bagian di dalamnya. Rm. Frans Amanue, Pr menjadi sahabat kami dalam MENSA (Menjadi Sahabat), kelompok pastor Keuskupan Larantuka yang mengambil posisi penyuara kritis terhadap Bapak Felix Fernandez, “sahabat” yang menjadi Bupati Flores Timur kala itu. Kedua sms itu seakan membawa saya kembali membuka catatan sejarah itu sekedar mengenang lagi kedua sahabat terkasih.
Dua Wajah Berseberangan
Yang bisa dibilang sebagai casus belli perseberangan adalah banjir badang yang melanda kota Larantuka di awal tahun 2003. Sebagai Bupati, Bapak Felix Fernandez, SH CN (FF) melaporkan dan mengajukan proposal ke pusat untuk penanganan tanggap darurat dan rehabilitasi-rekonstruksi Kota Reinha. Usulan anggaran biaya tak tanggung-tanggung untuk kurun waktu itu, yakni 90 miliar lebih. Oleh Rm. Frans Amanue, Pr (Amanue), perhitungan yang jadi dasar proposal dianggap tidak masuk akal. Semisal, ruas panjang jalan tidak mungkin lebih dari 10 km karena de facto tak sampai 100 meter. Tapi bumbu pernyataan Amanue berikut justru jadi pemicu, “FF hanya mau mengeruk dana pusat untuk memperkaya diri dan kroni”. Merasa tak berniat begitu, FF melapor ke kepolisian sebagai delik aduan pencemaran nama baik.

FOTO-FOTO PERJUANGAN ROMO FRANS AMANUE, PR MENEGAKKAN KEADILAN DAN KEBENARAN




Monday, March 28, 2016

Online


Beberapa waktu lalu,  terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para sopir taxi konvensional yang menuntut kepada pihak pemerintah agar segera memblokir aplikasi yang selama ini dipakai sebagai jaringan untuk menghubungkan para pelanggan. Tuntutan ini memperlihatkan dua hal yang bertolak belakang. Pertama, para pendemo merupakan cerminan kelompok orang yang tidak mau  tahu tentang perkembangan teknologi. Kedua, ketidaksanggupan untuk mengikuti arus perkembangan zaman. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa mengapa aplikasi secara online dibuat oleh mereka yang melek teknologi? Mengapa pula para pengguna jasa online itu lebih nyaman ketimbang harus mengikuti trasportasi yang dikelola secara konvensional?
Pertanyaan sederhana ini seolah menjadi daya kritis bagi situasi yang sedang dialami oleh bangsa ini. Transportasi masal yang menjadi andalan masyarakat belum memberikan rasa aman bagi para penumpang, Karena itu kehadiran internet  dan penyediaan aplikasi online memberi arti baru bagi perkembangan masa kini dan untuk seterusnya menjadi sebuah gaya hidup masyarakat modern. Kalau melihat aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para sopir taxi, semestinya tidak menyelesaikan masalah karena sulit untuk mengontrol lalu lintas transaksi online yang dilakukan oleh para calon penumpang dengan angkutan yang berbasis aplikasi online.

Thursday, March 24, 2016

BASUH KAKI: TUMBUHKAN CINTA


Basuh kaki. Sebuah cara sederhana. Tetapi menjadi tidak lazim dan sederhana ketika Sang Guru melakoni tindakan yang mestinya dilakukan oleh seorang bawahan. Sang Guru menitipkan pesan tunggal penuh makna, haruslah kamu saling melayani. Memang, melayani membutuhkan sebuah pengorbanan diri. Sang Guru harus rela menanggalkan Ke-Allahan-Nya agar disanggupkan untuk berendah hati. Karena melayani  pula, Sang Guru harus menabrak pola umum, membasuh kaki para murid. Mengapa mesti kaki dan bukan tangan para murid yang dibasuh? Kaki menjadi penyangga anggota tubuh dan karenanya setiap saat harus berpijak di tanah. Kalau bersentuhan dengan tanah berarti ada kotoran berupa debu yang melekat karena itu Sang Guru memilih kaki para murid untuk dibasuh. Sang Guru yang bertindak sebagai pembasuh juga harus tunduk ke bawah agar peristiwa pembasuhan kaki bisa terlaksana. Sebuah tindakan yang benar-benar membutuhkan pengorbanan dan pelayanan menjadi lebih bermakna.

Wednesday, March 23, 2016

TITIAN HIDUP


Oleh: Valery Kopong*

 “Hidup yang tidak pernah dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas untuk dijalani.”   Barangkali benar bahwa ketika menjalani hidup terkadang dilihat sebagai sebuah rutinitas maka ada bahaya yang muncul yaitu kita terjebak dalam sebuah rutinitas yang membosankan. Orang tidak melihat pekerjaan yang dilakukan sebagai bagian dari panggilan hidup tetapi lebih dari itu hanya sekedar untuk mengisi waktu. Untuk apa kita perlu mempertanyakan tentang hidup dan kehidupan ini? Lakon hidup apa yang harus aku lakonkan di bawah terik matahari abadi?  Tetapi hidup dan kehidupan yang beragam selalu mewarnai perjalanan ini, yang kaya tetap bertahan dengan kemewahannya dan orang-orang miskin tidak takut lagi menghadapi kemiskinan dirinya.

Tuesday, March 22, 2016

MENGEMBARA


                Lama saya bermenung sembari diterpa angin malam. Rasanya tak pernah ngantuk ketika menelusuri sejarah Gregorius. Banyak pelaku sejarah yang diwawancarai memberikan kesaksian yang  biasa-biasa saja tetapi justeru kesaksian yang biasa ini memiliki nilai sejarah yang luar biasa. Berawal dari lingkungan Bernadus, kemudian berkembang menjadi sebuah wilayah yang melintasi Kota Bumi. Umat yang hadir tidak lain adalah masyarakat perantau yang keluar  dari rumah dan  kampung halaman untuk merantau jauh.
                Kisah ini coba dirunut dalam terang Kitab Suci, mirip umat Israel yang semula hanya satu keluarga Yakub yang menetap di Mesir  untuk mencari kelimpahan makanan. Mereka kemudian hidup menetap dan beranak cucu. Keberadaan umat Israel di Mesir bukanlah sebuah kebetulan tetapi berada tepat pada rencana Allah sendiri. Dari Mesir, Allah, lewat Musa, umat Israel dibimbing keluar dengan melewati pelbagai tantangan.  Laut merah menjadi sebuah tantangan berat bagi mereka karena tidak ada jalan lain untuk meloloskan diri dari kejaran serdadu Firaun. Melalui tongkat Musa, laut merah dibelah dan umat Israel berjalan dengan telapak yang kering.
               

SAATKU BELUM TIBA


 (Sumber inspirasi Yohanes, 2:1-11)
Setiap kali Yesus mengucapkan kata-kata, tersembul sebuah kekuatan yang luar biasa. Kata-kata yang diucapkan memiliki daya atau energi tersendiri. Apa yang dikatakan-Nya ketika Maria memintanya, Ia tidak menerima tawaran itu secara langsung. Ia harus mengelola tawaran itu dalam terang tuntunan Allah. Karena itu apa yang dikatakan-Nya, walaupun keluar dari mulut-Nya sendiri tetapi Allah yang sedang berbicara di dalam-Nya.
                Tentang “saat” seperti yang tertulis dalam Injil Yohanes memang perlu dipahami secara mendalam terutama dalam dimensi waktu yang selalu mengitari kehidupan Yesus.  Yesus selalu menyebut waktu ketika perutusan-Nya sebagai “saat”-Nya. Dalam peristiwa perkawinan di Kana, kata “saat” ini muncul  lagi sebagai pemenuhan tawaran dari ibu-Nya untuk menyelamatkan tuan pesta yang kehabisan anggur. Jawaban Yesus terhadap permintaan yang diberikan oleh ibu-Nya kedengaran aneh. Tetapi apakah ini merupakan jalan dan saat yang tepat bagi-Nya untuk memperkenalkan diri-Nya di hadapan publik?
               

Friday, March 18, 2016

KEBERHASILAN DONA


            Pada suatu hari, ada seorang anak yang bernama Dona. Dia tinggal sebatang kara karena  kedua orang tuanya telah meninggal. Dia tinggal di sebuah rumah kecil, kumuh dan tak layak untuk menjadi tempat tinggalnya. Walaupun dia hidup sebatang kara, ia tidak patah semangat dalam kehidupan sehari-harinya dan ia terus berusaha untuk mencapai cita-cita sebagai chef yang terkenal. Di usia yang beranjak 14 tahun, ia tidak meneruskan sekolahnya  karena tidak mempunyai biaya yang cukup. Semenjak itu, Dona mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dan ia diterima di sebuah rumah mewah sebagai pembantu rumah tangga. Keesokan harinya Dona bekerja di rumah yang mewah itu dengan mencuci piring, mencuci pakaian, mengepel lantai serta menyetrika pakaian.
            Dia sudah terbiasa dengan semua pekerjaan itu karena sejak usia 7 tahun, ia sudah diajarkan mengenai hidup mandiri. Ia bekerja dengan penuh semangat setiap hari di rumah mewah itu.  Walaupun  merasa cape, ia tetap semangat dan tersenyum dalam menjalani pekerjaannya itu. Dan sampai suatu hari, Dona mendapat upah karena pekerjaannya itu. Meski upah yang didapat itu tidak terlalu banyak, ia tetap bersyukur  dan sisa upahnya itu ditabung untuk persiapan masa  depannya.