Basuh kaki. Sebuah cara sederhana. Tetapi menjadi tidak lazim dan
sederhana ketika Sang Guru melakoni tindakan yang mestinya dilakukan oleh
seorang bawahan. Sang Guru menitipkan pesan tunggal penuh makna, haruslah kamu
saling melayani. Memang, melayani membutuhkan sebuah pengorbanan diri. Sang
Guru harus rela menanggalkan Ke-Allahan-Nya agar disanggupkan untuk berendah
hati. Karena melayani pula, Sang Guru
harus menabrak pola umum, membasuh kaki para murid. Mengapa mesti kaki dan
bukan tangan para murid yang dibasuh? Kaki menjadi penyangga anggota tubuh dan
karenanya setiap saat harus berpijak di tanah. Kalau bersentuhan dengan tanah
berarti ada kotoran berupa debu yang melekat karena itu Sang Guru memilih kaki
para murid untuk dibasuh. Sang Guru yang bertindak sebagai pembasuh juga harus
tunduk ke bawah agar peristiwa pembasuhan kaki bisa terlaksana. Sebuah tindakan
yang benar-benar membutuhkan pengorbanan dan pelayanan menjadi lebih bermakna.
Cinta tulus Sang Guru adalah cinta yang melampaui “ego-diri” karena hanya dengan keluar dari
diri, sebuah cinta bisa menemukan maknanya. Cinta yang hanya menetap dalam diri setiap manusia adalah cinta diri yang masih kabur maknanya
tetapi cinta yang diajarkan oleh Sang Guru adalah cinta yang berkorban, cinta
yang melampaui benteng keakuanku. Karena
itu “onggokan batu” keakuanku mesti
dipecahkan agar bisa keluar menemui aku-ku yang lain. Cinta Kristus adalah
cintah tulus tanpa rekayasa. Cinta dan
pengorbanan yang diwariskan oleh Yesus tak pernah mati di tengah zaman,
melainkan cinta Sang Guru menemukan titik sempurna bagi setiap kita yang terus menghidupi
cinta itu.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment