Tuesday, March 29, 2016

DUA SAHABAT BERBEDA WAJAH TAPI JUMPA WAKTU KEMBALI


(Obituari Buat Sahabat Rm. Frans Amanue, Pr dan Bapak Felix Fernandez)
Sabtu siang, 26 Maret 2016, selagi mempersiapkan diri untuk perayaan Malam Paskah, saya tersentak mendapat kiriman sms dari seorang sahabat di paling ujung Timur Nusantara. “Sahabat Amanue telah kembali kepada Yang Benar … di RSUD Larantuka. Barusan. Doakan !”. Tiga hari sebelumnya, Rabu siang, 23 Maret 2016, saya sudah dikejutkan dengan sms dari sahabat yang sama, “Mohon doa 1 x Bapa Kami dan 3 x Salam Maria untuk Sahabat Bapak Felix Fernandez”. Dia merasa terdorong untuk menyampaikan kepada saya dan teman-teman yang lain berita duka tentang dua sosok pribadi ini. Mereka berdua pernah berbeda bahkan berseberangan dan jadi catatan sejarah Lewotanah Flores Timur, dan kami terlibat dan menjadi bagian di dalamnya. Rm. Frans Amanue, Pr menjadi sahabat kami dalam MENSA (Menjadi Sahabat), kelompok pastor Keuskupan Larantuka yang mengambil posisi penyuara kritis terhadap Bapak Felix Fernandez, “sahabat” yang menjadi Bupati Flores Timur kala itu. Kedua sms itu seakan membawa saya kembali membuka catatan sejarah itu sekedar mengenang lagi kedua sahabat terkasih.
Dua Wajah Berseberangan
Yang bisa dibilang sebagai casus belli perseberangan adalah banjir badang yang melanda kota Larantuka di awal tahun 2003. Sebagai Bupati, Bapak Felix Fernandez, SH CN (FF) melaporkan dan mengajukan proposal ke pusat untuk penanganan tanggap darurat dan rehabilitasi-rekonstruksi Kota Reinha. Usulan anggaran biaya tak tanggung-tanggung untuk kurun waktu itu, yakni 90 miliar lebih. Oleh Rm. Frans Amanue, Pr (Amanue), perhitungan yang jadi dasar proposal dianggap tidak masuk akal. Semisal, ruas panjang jalan tidak mungkin lebih dari 10 km karena de facto tak sampai 100 meter. Tapi bumbu pernyataan Amanue berikut justru jadi pemicu, “FF hanya mau mengeruk dana pusat untuk memperkaya diri dan kroni”. Merasa tak berniat begitu, FF melapor ke kepolisian sebagai delik aduan pencemaran nama baik.
Sebetulnya benih perseberangan sudah ada dalam hari-hari bahkan tahun sebelumnya. Sejak naik ke tampuk orang nomor satu Flores Timur, FF menggebrak lewotanah Flotim dengan seabrek program yang terbilang spektakuler, seperti pembelian kapal cepat, reklamasi pantai, pembangunan taman doa dengan patung Maria Reinha Rosari atau Yesus Gembala Baik, pemberian bantuan bagi armida dan tuan mardomu-nya, pembangunan perumahan bagi korban banjir, dan sebagainya. Semua program itu bagus dan visioner. Itu terbukti dalam kondisinya sekarang. Kita harus berujar jujur, “Seandainya tidak dilakukan FF kala itu, bagaimana wajah kota Reinha sekarang”. Sejak FF, Nagi berubah wajah dan bisa lebih tertata. PDAM bisa berkibar dan nagi tidak diwarnai pick up – pick up yang menjajakan air seperti sekarang. Campur tangan FF membuat PLN tak bermasalah serius. Bahkan ada rencana mau membeli genset dengan kekuatan besar sehingga listrik “tidak ilang timbo” seperti sekarang.
Namun harus diakui, berkenaan dengan program-program itu ada masalah yang lebih pokok yang dihadapi masyarakat yang seharusnya dilirik lebih dulu dan menjadi prioritas perhatian dan penanganan. Para pastor se-Dekenat Larantuka dan Adonara dalam beberapa kali pertemuan berdiskusi dan membahas mendalam persoalan primer keseharian yang dihadapi masyarakat itu. Sebagai hasil interaksi dan pergumulan dengan masyarakat di kampung-kampung, terungkap aspirasi bahwa masyarakat butuh pembangunan infrastruktur jalan agar kendaraan mulus menjangkau hingga ke kampung-kampung mereka di pedalaman. Lebih urgen dan mendesak membangun pelabuhan kecil di Sagu - Adonara, Kolidaten dan Basira – Tanjung Bunga agar selain terbuka wilayah terisolir, juga akses dan mobilitas ke pasar menjadi mudah. Sejalan dengan itu, pasar rakyat perlu direnovasi sehingga menjadi pusat perdagangan yang lebih menghidupkan perekonomian mikro sebagai urat nadi yang terbukti bertahan dalam krisis ekonomi skala global. Sarana kesehatan (Puskesmas, Pustu, dsb) perlu dibangun di seantero Lewotanah dan serentak dengan itu pemberdayaan tenaga medis dan peningkatan pelayanan sehingga masyarakat bisa mendapat pelayanan kesehatan dasar. PD Gemohing sebagai badan usaha milik daerah harus ditata dan dikelola dengan manajemen yang profesional dan baik agar bisa menjadi garda terdepan yang bisa turut mengontrol tata niaga komoditi, khusus jambu mete. Saat itu, sudah ramai diwacanakan jaminan sosial kesehatan bagi masyarakat kecil walau belum sekonkrit KJS-nya Jokowi dan Ahok di Jakarta. Penting mengembangkan pendidikan karakter. Untuk yang terakhir ini, diusulkan agar bisa menggunakan wadah struktural dan sarana Gereja/Keuskupan. Sebut saja APP dan KBG bisa dipakai sebagai kesempatan dan wadah untuk mendidik masyarakat soal disiplin, kebersihan, kejujuran, budaya kerja, ekonomi mikro. Sekretariat Pastoral bisa diminta tolong untuk membuat modul-modul dan berbagai hal lain untuk itu. Semua yang disebut ini sekedar beberapa contoh. Buah dari pertemuan demi pertemuan dan diskusi panjang itu terbingkai dalam “Catatan Reflektif Kritis Para Pastor se-Dekenat Larantuka dan Adonara”. Dalam kerangka itu, dihimbau agar pemerintahan di bawah FF hendaknya sungguh-sungguh pro rakyat, berjalan on the track, berbasiskan clean government dan good governance, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Dalam bidikan Amanue pribadi, di balik semua program itu terlihat jelas adanya sejumlah masalah yang tidak bisa tidak perlu dikritisi. Katakanlah, persoalan kultural di balik pembelian kapal cepat. Sebagai Antropolog dan putera Lewotanah, ia paham betul bahwa orang Flotim masih bersifat komunal. Berangkat pergi untuk berkunjung ke tempat famili di Kupang, tak mungkin hanya membawa 20 kg barang, karena pasti harus membawa pisang, kelapa, jagung, ubi dan sebagainya sebagai buah tangan. Maka yang paling relevan dan dibutuhkan adalah kapal ferry penyeberangan. Di matanya, Flotim butuh kapal barang antar pulau yang bisa membawa hasil bumi ke Makasar atau Surabaya sehingga bisa menekan ekonomi biaya tinggi. Ide brilian ini persis sama dengan yang sekarang sedang dikembangkan oleh Jokowi dengan Tol Laut. Di sisi lain, Amanue sendiri memiliki sejumlah berkas yang menurutnya bisa menjadi bukti permulaan, yang memperlihatkan bahwa program bagus itu beraroma kurang sedap dan tidak heran mengundang suara sumbang, bisik-bisik, isu tali aga dalam istilah orang nagi. Grosse akta kapal ferry cepat Mitra 45 dan Andhika Express serta Surat Pernyataan pelepasan hak atas tanah Batuata, bisa disebut sebagai contoh.
Perseberangan ini tidak hanya terungkap dalam pernyatan demi pernyataan, wawancara dan siaran pers, tapi juga muncul dalam penanganan terhadap kasus demi kasus. Yang paling hangat adalah kasus pembebasan lahan di Batuata untuk pembangunan perumahan bagi korban banjir. Atas dasar alasan konflik tak berujung antara suku Labina dan Suku Langkamau, lahan sekian hektar hendak dibebaskan dengan melibatkan aparat TNI yang diminta tolong untuk ambil bagian dalam proyek reklamasi pantai. Terbayang kembali sangat jelas peristiwa itu. Pagi-pagi saat baru selesai misa di kapel Keuskupan – San Dominggo, saya didatangi sepasang suami isteri sederhana. Sambil memeluk diriku dan menangis mereka berseru minta tolong karena tanah dan rumah Bapak Liung (penjual tuak) akan digusur. Saya langsung kontak Amanue. Selanjutnya kami bersama terjun ke lokasi, bersatu dengan masyarakat kecil dan nyaris tiap hari harus berjaga sambil menikmati ubi dan pisang rebus. Di tempat lain, di rumah jabatan Bupati, FF mengumpulkan sejumlah MUSPIDA dan mengirimkan utusan untuk bernegosiasi dengan kami. Bahkan suatu malam rombongan MUSPIDA memenuhi ruang tamu Keuskupan. Mereka datang melapor kepada Bapak Uskup bahwa Amanue dan saya telah bertindak sebagai provokator untuk menghambat program pembangunan. Padahal kami diminta masyarakat suku untuk mendengar cerita tentang status tanah itu dan permasalahan yang sedang meliliti mereka. Klimaks perseberangan adalah proses hukum yang dijalani Amanue dari penyidikan di Kepolisian hingga penuntutan dan vonis hakim dengan efek lanjut kebakaran Kantor Pengadilan Negeri Larantuka.
Dua Wajah Tapi Hati Satu
De facto mereka berdua memang berseberangan. Namun aneh - sejauh yang saya alami sendiri – ternyata keduanya hanya berbeda wajah, pandangan, sikap dan kebijakan. Soalnya ketika bertemu mereka tetap bisa saling berjabat tangan dengan senyum merekah di wajah. Seakan tidak ada permusuhan yang melibatkan hati dengan rasa benci, amarah dan dendam. Pernah FF diundang khusus untuk hadir dalam pertemuan para pastor se-Dekenat Larantuka dan menjelaskan posisi, dasar dan tujuan program kebijakan beliau. Seperti biasa Amanue tetap kritis memberi tanggapan. Di akhir acara keduanya tetap saling menyapa, bersalaman bahkan berpelukan sebagai sahabat. Kali lain, Amanue dan saya pernah diminta FF datang ke Kantor Bupati untuk berdiskusi tentang tanah HGU kebun kopi Hokeng dan kami diterima secara pribadi dalam keakraban persahabatan sambil menikmati hidangan makan siang di ruang kerjanya. Padahal kala itu suasana konflik terasa tajam dengan tensi tinggi.
Lebih jauh dari itu, walau berbeda dan berseberangan, mereka berdua sesungguhnya punya hati yang sama, yakni hati untuk Lewotanah, nagi tercinta. Keduanya ingin agar Flotim bisa bergerak maju dan sejahtera. Keduanya punya niat hati yang sama mau gelekat lewo gewayan tanah.
Ketika berbicara dalam acara Reuni Rohaniwan/ti se-Paroki Katedral Larantuka, FF mengungkapkan isi hatinya bahwa setelah merantau dan berhasil di tanah orang, saatnya beliau ingin serewi nagi. Beliau bilang selalu terkenang lagu Bale Nagi dengan syairnya, “No e … inga pesan ema mo pa; kalo so bae di tanah orang, jangan lupa bale”. Hal yang sama disampaikan secara pribadi ketika kami berdua sama-sama satu pesawat dari Jakarta. Beberapa orang pun pernah diutus oleh beliau untuk bertemu saya di rumah Keuskupan Larantuka sekedar mengatakan untuk meyakinkan saya dan teman-teman bahwa beliau punya hati untuk nagi dan ingin membawa Flotim untuk maju selangkah ke depan.
Sedangkan mengenai Amanue, sebagai adik yang sangat dekatnya, saya pernah tidak ditegur-sapa olehnya lantaran tidak mendengar nasihatnya. Dia pernah berpesan, “Jangan tinggalkan Nagi … kita harus berbuat untuk Nagi”. Tapi saya mengambil keputusan “merantau dan berusaha menjadi tanda berkat” di negeri orang seperti leluhur kita Abraham. Tapi saat mengunjungi saya di Padang beberapa waktu yang lalu, sambil memelukku dia justru bilang, “Ade … engkau kerja bae-bae sini Padang e… biar saya yang jaga urus nagi”. Ya … Amanue sangat Lamaholot, dia cinta Lewotanah. Saya tahu persis bahwa demi Lewotanah dan orang Lamaholot, khususnya yang kecil dan menderita dia rela pasang badan dan berkorban apa saja, pun dirinya sendiri.
Tidak disangka kedua orang yang berbeda wajah dan berseberangan itu ternyata adalah dua sahabat, ber-hati satu dan sama. Saya dengar Amanue trenyuh dan sedih dengan kepergian mendadak FF. Dan akhirnya Amanue pun menyusul sahabatnya itu. Keduanya pergi dalam Pekan Suci. FF pergi pada hari Rabu Trewa siang dan Amanue pada hari Sabtu Paskah siang. Bahkan kedua sahabat itu jumpa pada saat yang bersamaan waktu kembali. Saat upacara pemakaman FF sedang berlangsung, Amanue menghembuskan nafas terakhir. Menyadari kejadian istimewa itu, sahabatku di Papua mengirim sms lagi, “Dua orang sahabat pernah berbeda … namun bertemu waktu kembali”. Selamat jalan sahabat-sahabat seniorku. Selamat menjalani persahabatan abadi di Rumah Bapa. Requescat in pace.
Kus Aliandu, Pr
Ketua MENSA (Menjadi Sahabat)
Kini tinggal dan berkarya di Padang

No comments: