Ketika
menerima SK pertama sebagai CPNS dan ditempatkan sebagai Penyuluh Agama
Katolik, sebuah tantangan baru sedang
aku hadapi. Sebagai Penyuluh Agama Katolik dengan label PNS, aku berdiri pada titik tengah, antara
pemerintah dan Gereja. Apakah Gereja
antusias atau berusaha “senyum” melihat Penyuluh Agama Katolik yang bekerja untuk mewartakan kabar baik?
Pertanyaan ini menggelitik karena ketika
ditempatkan pertama kali sebagai penyuluh agama di wilayah Kecamatan
Pamulang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melaporkan diri pada
pimpinan Kantor Urusan Agama di
Kecamatan Pamulang-Tangerang Selatan dan juga bertemu dengan Pastor kepala
Paroki Barnabas-Pamulang.
Dua
instansi yang aku lapori ini sepertinya tidak memberikan respek tentang
keberadaanku sebagai Penyuluh Agama Katolik. Bisa dipahami bahwa satu-satunya Penyuluh
Katolik di wilayah Tangerang, hanyalah aku. Pertama kali aku ditempatkan di
Kantor Urusan Agama, Kecamatan Pamulang-Tangeran Selatan. Beberapa teman penghulu
agama Islam di KUA Pamulang, ketika tahu bahwa aku Penyuluh Katolik, mereka langsung menitipkan pesan, “tolong bereskan
gereja-gerejamu yang ada di ruko-ruko.” Aku lalu menjelaskan bahwa itu bukan
gerejaku tetapi gereja Kristen Protestan. Aku berusaha untuk menjelaskan secara
detail mengenai letak perbedaan antara Katolik dan Kristen Protestan dan dari
situ, mereka mulai mengetahui tentang
perbedaan kedua agama itu.