Komisi
pemberantasan korupsi pernah membuka sebuah warung dan diberi nama “warung
kejujuran.” Banyak barang yang dijual diletakkan di etalase dan diberi harga
masing-masing. Setiap orang yang mengunjungi warung tersebut dibiarkan untuk
memilih dan membeli sesuai dengan harga yang tertera pada masing-masing barang
dagangan dan uang yang merupakan hasil
pembelian diletakkan pada tempat yang telah disediakan. Apa yang merupakan
tujuan utama dari adanya pembukaan warung kejujuran tersebut? Apakah cara
sederhana ini menjadi sarana pembelajaran bagi warga agar selalu bersikap jujur
tanpa perlu dikontrol?
Mencari orang jujur pada saat ini
untuk menjadi pemimpin merupakan suatu pekerjaan yang amat sulit. Menjelang
Pilkada, banyak orang beramai-ramai menampilkan diri sebagai orang baik dan
jujur dan layak menjadi pemimpin. Ada pula yang menjagokan figur yang digadang
sebagai calon pemimpin yang bersih dan berkualitas. Ada banyak calon pemimpin yang ingin tampil di atas pentas politik dan
menawarkan jalan baru menuju sebuah tujuan yang mau dicapai yaitu kesejahteraan
masyarakat. Tawaran yang dikedepankan dibarengi juga dengan afirmasi diri
maupun partai. “Pilih aku sebagai calon pemimpin yang bersih dan peduli. Atau
pilih partai X yang tidak korup.” Apa yang dikatakan oleh calon pemimpin maupun partai, hanyalah merupakan jargon
politik yang bersifat sesaat dan kemudian lenyap dari permukaan hidup setelah
mendulang suara yang mengantarnya pada kursi kekuasaan.
Berpolitik
perlu diimbangi dengan tatanan hati nurani yang bersih sebagai bagian integral
dalam mewujudkan sebuah masyarakat yang sejahtera. Berpolitik dengan hati tidak
lain adalah berpolitik dengan bersikap santun dan humanis. Politik hati nurani,
seperti yang digagaskan oleh almahrum Romo Mangunwijaya, lebih menitikberatkan
pada hati sebagai pusat dari aktivitas berpolitik. Wacana politik hati nurani
seakan membongkar episteme masyarakat bahkan merombak mindset seorang politikus. Apakah pemilu yang berlangsung ini, baik
untuk memilih anggota legislatif maupun eksekutif benar-benar berjalan sesuai
tuntutan moralitas politik yang bersih?
Moralitas
politik yang bersih seperti dicanangkan oleh beberapa partai maupun caleg
menjadi sesuatu yang sia-sia. Dikatakan
demikian karena ketika seseorang (caleg) atau partai mengatakan diri sebagai
partai yang bersih, pada saat yang sama mereka sedang memproklamirkan diri
sebagai orang yang tidak bersih, jauh dari sentuhan moral politik. Dengan kata
lain, para politikus sedang menegakkan sebuah nilai, tetapi pada saat yang sama
mereka sedang menodai nilai itu sendiri. Nilai utama yang sering dikesampingkan
adalah nilai kejujuran.
Bangsa
Indonesia
yang hidupnya sekian parah oleh pelbagai krisis, diakibatkan oleh
ketidakjujuran yang diperlihatkan oleh elite politik bangsa ini. Menyadari
betapa pentingnya nilai kejujuran sebagai upaya dalam mendongkrak kepercayaan
masyarakat, maka tidak mengherankan bahwa para calon politisi yang memanfaatkan
momentum pemilu sebagai “peluang reklame” diri dengan mengedepankan nilai-nilai
utama kejujuran sebagai koridor politik dalam merebut suara masyarakat.
Seruan
politis dari para politisi memberikan warning
pada masyarakat tentang sebuah kehilangan akan jati diri bangsa. Di sini,
seorang politikus, terlepas dari bombastisnya, tampil sebagai perintis jalan
untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Boleh jadi, seorang politisi,
yang karena keberaniannya dapat disejajarkan dengan seorang seniman. Chairil
Anwar pernah menulis tentang seniman. Menurutnya, seorang seniman menjadi
seorang perintis jalan, penuh keberanian dan tenaga hidup. Ia tidak segan
memasuki hutan rimba penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar tak
bertepi. Seniman adalah tanda dari hidup yang melepas bebas.
Tidak
berlebihan apabila dikatakan bahwa para politikus menjadi seorang perintis
sekaligus reformis yang memiliki “daya pangkas” dalam upaya membenah bangsa
ini. Mereka (para caleg) akan tampil memangkas segala kepincangan yang terjadi
selama ini dan memberikan arah baru dalam menuntun masyarakat luas menuju
“rimba negeri” yang makmur. Tetapi dalam
proses menuntun masyarakat ini perlu adanya komitmen dan garansi politik
sebagai ikatan normatif bagi para politisi agar dalam melaksanakan aktivitasnya, mereka selalu bercermin pada
“janji dan komitmen.” Berapa jumlah politisi yang berpegang teguh pada komitmen
dan setia pada rakyat yang telah memberikan hak pilih dalam memuluskan jalan
politik? Ada
waktu lampau yang mendorong kita untuk berseru: “Kami ingin menuntut agar para
politisi berlaku jujur dan adil.” Tetapi ada politik ingatan, ada politik
melupakan. Keduanya menganggap bahwa “sejarah” adalah semacam fotokopi dari
pengalaman yang telah tersimpan.
Dalam sejarah
perjalanan “mesin politik” bangsa ini, selalu diwarnai dengan kecurangan. Ada janji yang baik di
luar gedung dewan terutama saat kampanye tetapi seketika itu mereka lupa janji
seusai pulas duduk di kursi empuk. Maka konklusi politik yang muncul di
permukaan yakni bahwa politik Indonesia
adalah politik yang absurd yang kini mencapai titik kulminasinya. Istilah
politik yang absurd mengungkapkan sebuah kegagalan bahasa seorang politikus
yang tidak sanggup menerjemahkan janjinya ke dalam politik praktis. Absurditas
politik mengungkapkan secara vulgar tentang kesia-siaan rakyat dalam memberikan
suara dan politikus yang gagal dalam menata kehidupan bersama. Yang ada adalah
pemutlakan diri untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompok partai. Lalu
siapakah pemimpin yang jujur untuk bakal tampil di istana untuk menjawabi
kerinduan masyarakat luas? Penulis khawatir, kerinduan masyarakat akan pemimpin
yang jujur dan tulus, hanyalah sebuah kerinduan hampa, tidak jauh berbeda
dengan “Waiting for Godot” menunggu
lakon yang tak pernah muncul di permukaan pentas.**
0 komentar:
Post a Comment