
Memang panggilan untuk menjadi
imam, bruder dan suster saat itu, lebih banyak datang dari Eropa, terutama
Belanda. Para misionaris yang berkarya dan mendedikasikan diri secara penuh di
Indonesia, umumnya dari misionaris asal Eropa, dan Belanda menjadi pengirim
misionarisnya dan boleh dibilang misionaris terbanyak, dengan sasaran misinya
di wilayah Indonesia. Tetapi apakah menanggapi panggilan Allah harus mulai
menjalani masa novisiat di negeri
Belanda? Pertanyaan ini menjadi
penting karena waktu itu, masyarakat kita belum tahu tentang apa itu panggilan
imam dan biarawan/i serta bagaimana
caranya menanggapi panggilan Allah itu.
Tetapi dengan mendirikan tarekat ini maka secara tidak langsung, Mgr.
Aerts mulai “membumikan penggilan itu”
di Indonesia dengan titik awalnya di tanah Langgur, Ambon. Panggilan untuk menjadi suster, awalnya
dirasa sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi untuk orang Indonesia dan
Ambon khususnya, perlahan mulai terurai jalan meniti panggilan itu. 1 Mei 1927 adalah sebuah “anamnese” (kenangan) dan tertanam kuat dalam memori para suster
Tarekat Maria Mediatrix. Sebuah kenangan
yang tidak hanya bersejarah tetapi juga
mengingatkan kita akan karya Allah yang bekerja dalam diri Mgr. Aerts
untuk meletakan fondasi untuk dimulainya tarekat Maria Mediatrix.
Nama tarekat yang didirikan oleh Mgr. Aerts
adalah “Maria Mediatrix.” Mengapa nama
“Maria Mediatrix” dipilih sebagai nama tarekat untuk para suster? Seperti Yesus
yang datang ke dunia, dan memulai karya dengan pintu masuk adalah Bunda
Maria. Maria menjadi perantara keselamatan dunia dengan menerima tawaran Allah untuk menjadi Bunda Tuhan lewat
kabar gembira yang disampaikan oleh Malaikat Gabriel. Maria sudah mampu menerjemahkan pesan
malaikat itu dan melahirkan Yesus untuk memulai karya keselamatan.
Para bapa konsili, secara istimewa di bawah bimbingan Paus
Paulus VI, memutuskan bahwa sungguh amat tepat menyampaikan peran Bunda
Maria sebab “ia dianugerahi kurnia serta
martabat yang amat luhur, yakni menjadi Bunda Putera Allah, maka juga menjadi
puteri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus” (LG 53). Konsili Vatikan II sekali lagi mengulangi
gelar-gelar Maria sebagai pengacara (advocata), pembantu (ajutrix), penolong
(auxiliatrix), dan perantara (mediatrix) (LG 62).
Pada titik refleksi terdalam, pendiri Tarekat
Maria Mediatrix melihat Maria tidak
hanya sebagai ibu yang merelakan rahimnya untuk mengandung Sang Putera tetapi
lebih dari itu, melihat peran Maria
untuk memulai karya keselamatan dengan mendorong Yesus ketika menghadiri pesta
perkawinan di Kana. Perkawinan di Kana merupakan awal bagi Maria untuk
memperkenalkan Yesus ke hadapan publik yang mengubah air menjadi anggur. Sebuah
mukjizat perdana yang menyelamatkan tuan pesta yang mengalami kekurangan
anggur.
Tanggal 1 Mei 1927 Tarekat Maria Mediatrix secara resmi berdiri
dengan jumlah keanggotaan suster hanya empat orang. Keempat suster yang menjadi
penghuni pertama biara Tarekat Maria Mediatrix menjadi saksi perjalanan tarekat
ini. Keempat suster yang menjadi suster
TMM pertama adalah Olive Fofid dari Ngilngof dengan nama
Suster Petronela, Tekhla Resubun dari Ngilngof dengan nama Suster Aloysia,
Leonora Kasihiuw dari Haar dengan nama Suster Theresia, dan Maturbongs
dari Kolser dengan nama Suster Clementina.
Peristiwa eksekusi mati Mgr Aerts MSC bersama imam dan bruder MSC di Pantai Langgur itu terjadi saat tarekat itu
sudah memiliki lebih dari 10 calon suster. Kini TMM
sudah berkembang dan memiliki 100 lebih anggota yang tersebar di seluruh
Indonesia dengan pusatnya di Ambon. Semakin hari Tarekat Maria Mediatrix berkembang secara
pesat, tidak hanya dari sisi keanggotaan yang semakin banyak tetapi juga
mengembangkan wilayah pelayanan yang semakin luas menjangkau tanah air ini.
Beberapa wilayah yang menjadi tempat Tarekat Maria Mediatrix bekerja adalah
keuskupan Agats, Amboina, Atambua, Bogor, Jakarta, Manokwari-Sorong, Merauke,
Palangka Raya, Semarang dan Surabaya. Pelayanan penuh pengorbanan selalu
mewarnai kehidupan Tarekat Maria Mediatrix, karena melayani tanpa
pengorbanan maka pelayanan itu sendiri
kehilangan spirit.*** (Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment