Thursday, April 12, 2018

Mengenal Tarekat Maria Mediatrix

Tarekat Maria Mediatrix merupakan tarekat pribumi pertama di Indonesia. Tarekat ini berdiri pada 1 Mei 1927  dengan pendirinya  Mgr. Aerts, MSC.  Tarekat suster-suster Maria Mediatrix yang kini berkembang pesat ini  memulai karyanya di tanah Ambon, setelah didirikan oleh Mgr. Aerts. Berawal dari niat seorang gadis Ambon ingin menjadi suster. Namun panggilan Olive Fofid  itu masih menunggu keputusan Mgr. Aerts  Olive Fofid saat itu  bersama anak-anak gadis lain dididik di sebuah asrama dengan  para pendidiknya  yang adalah suster-suster berkebangsaan Belanda.
          
  Panggilan untuk mengikuti  Yesus secara total sebagai seorang suster dimulai dari sebuah ketertarikan akan pola didik para suster asal Belanda itu. Karena panggilan itu kian mendesak, pada akhirnya Olive Fofid mengungkapkan keinginannya  kepada para suster bahwa ia  (Olive Fofid) ingin mengikuti panggilan Yesus  untuk   menjadi seorang  suster.  Para suster  asal Belanda  yang mendidik Olive Fofid dan teman-temannya, menyampaikan keinginan dan niat baik Olive Fofid yang mau menjadi seorang suster.  Keinginan  Olive Fofid untuk menjadi suster  mendapat  tanggapan baik dari Mgr. Aerts, hanya saja harus menunggu empat orang calon suster. Apabila  calon suster  sudah  genap empat  orang  maka akan diterima  oleh Mgr. Aerts, hanya saja uskup tidak mengirim mereka untuk menjalani masa novisiat di Belanda.   Ketika  genap  empat orang calon suster itu, sebuah karya besar  mesti dilakukan oleh Mgr. Aerts . Mgr. Aerts memutuskan untuk mendirikan sebuah tarekat suster  yang dimulai di Indonesia, tepatnya di  Ambon.  Keputusan untuk mendirikan tarekat suster ini,  berarti menandakan lahirnya tarekat suster pribumi pertama di Indonesia.  
Memang  panggilan untuk menjadi imam, bruder dan suster saat itu, lebih banyak datang dari Eropa, terutama Belanda. Para misionaris yang berkarya dan mendedikasikan diri secara penuh di Indonesia, umumnya dari misionaris asal Eropa, dan Belanda menjadi pengirim misionarisnya dan boleh dibilang misionaris terbanyak, dengan sasaran misinya di wilayah Indonesia. Tetapi apakah menanggapi panggilan Allah harus mulai menjalani masa novisiat di negeri  Belanda?  Pertanyaan ini menjadi penting karena waktu itu, masyarakat kita belum tahu tentang apa itu panggilan imam dan biarawan/i  serta bagaimana caranya menanggapi panggilan Allah itu.
Tetapi dengan mendirikan tarekat ini maka secara tidak langsung, Mgr. Aerts  mulai “membumikan penggilan itu” di Indonesia dengan titik awalnya di tanah Langgur, Ambon.  Panggilan untuk menjadi suster, awalnya dirasa sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi untuk orang Indonesia dan Ambon khususnya, perlahan mulai terurai jalan meniti panggilan itu.  1 Mei 1927  adalah sebuah “anamnese” (kenangan)  dan tertanam kuat dalam memori para suster Tarekat Maria Mediatrix.  Sebuah kenangan yang tidak hanya bersejarah tetapi juga  mengingatkan kita akan karya Allah yang bekerja dalam diri Mgr. Aerts untuk meletakan  fondasi  untuk  dimulainya tarekat Maria Mediatrix.
            Nama tarekat yang didirikan oleh Mgr. Aerts adalah “Maria Mediatrix.”  Mengapa nama “Maria Mediatrix” dipilih sebagai nama tarekat untuk para suster?  Seperti Yesus  yang datang ke dunia, dan memulai karya dengan pintu masuk adalah Bunda Maria. Maria menjadi perantara keselamatan dunia dengan menerima  tawaran Allah untuk menjadi Bunda Tuhan lewat kabar gembira yang disampaikan oleh Malaikat Gabriel.   Maria sudah mampu menerjemahkan pesan malaikat itu dan melahirkan Yesus untuk memulai karya keselamatan.   
           Para bapa konsili, secara istimewa di bawah bimbingan Paus Paulus VI, memutuskan bahwa sungguh amat tepat menyampaikan peran Bunda Maria  sebab “ia dianugerahi kurnia serta martabat yang amat luhur, yakni menjadi Bunda Putera Allah, maka juga menjadi puteri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus” (LG 53). Konsili Vatikan II sekali lagi mengulangi gelar-gelar Maria sebagai pengacara (advocata), pembantu (ajutrix), penolong (auxiliatrix), dan perantara (mediatrix) (LG 62).  
Pada titik refleksi terdalam, pendiri Tarekat Maria Mediatrix  melihat Maria tidak hanya sebagai ibu yang merelakan rahimnya untuk mengandung Sang Putera tetapi lebih dari itu,  melihat peran Maria untuk memulai karya keselamatan dengan mendorong Yesus ketika menghadiri pesta perkawinan di Kana. Perkawinan di Kana merupakan awal bagi Maria untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik yang mengubah air menjadi anggur. Sebuah mukjizat perdana yang menyelamatkan tuan pesta yang mengalami kekurangan anggur.  
           Tanggal 1 Mei 1927  Tarekat Maria Mediatrix secara resmi berdiri dengan jumlah keanggotaan suster hanya empat orang. Keempat suster yang menjadi penghuni pertama biara Tarekat Maria Mediatrix menjadi saksi perjalanan tarekat ini. Keempat suster  yang menjadi suster TMM pertama adalah Olive Fofid dari Ngilngof dengan nama Suster Petronela, Tekhla Resubun dari Ngilngof dengan nama Suster Aloysia, Leonora Kasihiuw dari Haar dengan nama Suster  Theresia, dan Maturbongs dari Kolser dengan nama Suster Clementina.

Peristiwa eksekusi mati Mgr Aerts MSC bersama imam dan bruder MSC  di Pantai Langgur itu terjadi saat tarekat itu sudah memiliki  lebih dari 10 calon suster. Kini TMM sudah berkembang dan memiliki 100 lebih anggota yang tersebar di seluruh Indonesia dengan pusatnya di Ambon. Semakin hari Tarekat Maria Mediatrix berkembang secara pesat, tidak hanya dari sisi keanggotaan yang semakin banyak tetapi juga mengembangkan wilayah pelayanan yang semakin luas menjangkau tanah air ini. Beberapa wilayah yang menjadi tempat Tarekat Maria Mediatrix bekerja adalah keuskupan Agats, Amboina, Atambua, Bogor, Jakarta, Manokwari-Sorong, Merauke, Palangka Raya, Semarang dan Surabaya. Pelayanan penuh pengorbanan selalu mewarnai kehidupan Tarekat Maria Mediatrix, karena melayani tanpa pengorbanan  maka pelayanan itu sendiri kehilangan spirit.*** (Valery Kopong) 

No comments: