Monday, October 28, 2019

Mencontohi Paulus


Minggu, 27 Oktober 2019 merupakan hari yang istimewa bagi Paroki Kutabumi, Gereja Santo Gregorius Agung, Tangerang. Paroki Kutabumi mendapatkan kunjungan dari Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo untuk menerimakan sakramen krima bagi 282 calon krisma yang sudah dipersiapkan secara baik oleh para katekis. Walaupun kedatangan Bapak Kardinal ke paroki tepat pukul 07.00 tetapi anak-anak calon krisma dan para pendamping sudah siap di gereja mulai pukul 06.00.
Setibanya di area paroki dan saat turun dari mobil, Bapak Kardinal disambut dengan tarian penjemputan yang dibawakan oleh kelompok Ikatan Keluarga Sumatera Utara (IKSU) yang ada di Gereja Santo Gregorius Agung. Setelah tarian khas Batak Karo dan Toba disuguhkan, Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo dikalungi dengan ulos oleh Bapak Jaipin Simarmata dan Ibu Frida Sinaga. Seusai pengalungan dengan ulos, Bapak Kardinal diperkenankan untuk berdoa di depan gua Maria yang terletak tidak jauh dari tempat penjemputan.

Gereja Perlu Bermimpi

Beberapa waktu lalu, Keuskupan Agung Jakarta sudah mencanangkan gerakan “Ayo Sekolah.” Gerakan ini lahir dari suatu keprihatinan di mana banyak orang-orang Katolik belum mengenyam pendidikan karena terganjal oleh persoalan perekonomian yang sulit. Gerakan ini juga merupakan jawaban atas  tema prapaskah yang dua tahun berturut-turut diusung, yakni  “Mari Berbagi.” Banyak umat bertanya, apa yang mau dibagi? Atas pertanyaan yang sederhana ini bisa dijawab lewat gerakan “Ayo Sekolah,” yang tidak lain adalah ajakan bagi setiap umat untuk membuka diri dan membuka “dompet” untuk membantu para siswa-siswi yang tidak mampu.

Apakah gerakan “Ayo Sekolah” merupakan jalan terakhir menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi umat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya? Ataukah gerakan ini hanyalah bentuk penyadaran sesaat  dan kemudian lenyap? Harus diakui bahwa dunia pendidikan sekarang begitu mahal. Terlebih lagi sekolah Katolik yang menawarkan mutu pendidikan  yang baik, sekaligus biaya sekolahnya begitu mahal. Sekolah berlabel “Katolik” tidak memberikan keberpihakkan pada orang Katolik sendiri. Akibatnya orang-orang katolik tidak mampu menyekolahkan anaknya, terpaksa mencari  sekolah-sekolah negeri. Dampak dari anak yang disekolahkan di sekolah negeri adalah tidak mendapat pelayanan pelajaran agama Katolik. Anak menjadi buta terhadap agama dan doa-doa pokok gerejani. Iman anak menjadi rapuh di tengah pusaran pergaulan dengan orang-orang lain bahkan banyak yang memilih berpindah ke agama lain karena lebih sering disentuh dengan ayat-ayat suci agama lain.


Wednesday, October 23, 2019

Kepulan Asap

Di traffic lightdengan lampu-lampunya kian redup itu. Deru knalpot-knalpot kota terus membahana mengusik ketenangan manusia-manusia puntung. Deburan asap membubung ke langit semesta, membuat kota itu semakin kabut lantaran jemari sang mentari sulit menggapai bumi. Tetapi apakah di tengah hiruk-pikuk kota yang semrawut semakin memastikan mereka dengan tangan terulur terus meminta-minta? Sampai kapankah tangan mereka berhenti meminta?Hanya waktulah yang memastikan denyut nadi kehidupan mereka, entah kapan.
Tak pernah sepi ruas jalan utama memasuki gerbang ibu kota itu. Ibu kota kian keras menantang kehidupan mereka. Baginya, sejahat-jahatnya ibu tiri, jauh lebih jahat dari ibu kota. Ibu kota yang tidak memberi rasa aman, tidak memberikanperlindungan yang manusiawi. Di tangan mereka hanya tergenggam harapan kosong. Yang ada adalah jeritan luka yang terus menganga menanti harap untuk dipenuhi. 

Hampir setiap hari, orang-orang kusta tidak pernah sepi menjejali jalan utama. Mereka terbuang dari bibir nestapa dan penyakit yang terus menggerogoti hidup yang kian kejam. Orang-orang kusta sepertinya sudah ditakdirkan sebagai manusia sisa yang terkena kutuk dari Allah. Mereka tersingkir dari pergaulan umum karena masyarakat jijik dan takut terjangkit penyakit yang parah itu. Saya melihat dan membandingkan kehidupan orang kusta di Tangerang dan Lembata (Flores) yang terhimpun pada Rumah Sakit Lepra, Santo Damian, terkesan ada perbedaan yang sangat tajam. Perbedaan itu terlihat dari perhatian dan pemberian hidup yang layak bagi mereka yang sudah menjadi eks kusta. 

Saturday, September 14, 2019

FILOSOFI BOLA KAKI DAN IDEOLOGI GOL


Oleh: Valery Kopong

“Setiap detik adalah final bagi kehidupan,” demikian Penyair Frans Kafka. Ketika setiap orang melihat lini kehidupan adalah final maka masing-masing orang mempersiapkan diri secara matang dalam proses pertarungan hidup. Frans Kafka memposisikan diri sebagai bek kanan untuk mempertahankan gawang dari bobolan lawan yang mungkin juga menembus kelambu yang terlilit rapih melalui tendangan pisang (babana kick). Tetapi untuk meraih titik kulminasi (final) perlu adanya kegesitan. “Mereka yang lambat tak ikut bermain, demikian kata Plato, si filsuf dari Yunani, negara pendekar demokrasi pertama. Plato, dalam susunan the dream team ala Kolumnis Thomas Grassberger, ia mendapat kehormatan sebagai kapten kesebelasan. Ia terpilih karena menyukai tempo yang tinggi, sekaligus idealis dan desainer dalam menata pola permainan yang artistik. Dalam pola penataan permainan, barangkali ia tersulut oleh pendamping Kafka di sektor kiri yakni Arno Schmidt. Arno Schmidt dikenal sebagai pendekar apokaliptik yang terus menuntut manusia untuk tergesa-gesa. Bagi Schmidt, setiap hari Sabtu adalah musim kompetisi di mana setiap manusia harus bertanding dan bertanding. Dan di arena permainan, kata Charles Baudelaire, Pelapis Schmidt di bagian depan, selalu mengingatkan para pemain bahwa hidup hanya mempunyai sebuah pesona tunggal yakni permainan. Dan jika kita masuk atau terperangkap masuk dalam pola permainan maka masing-masing orang harus mengantongi pertanyaan filosofis ini: “Maukah Anda menang atau kalah?”

Wednesday, September 11, 2019

Tawa Sang Guru


Setiap orang yang masuk ke biara tua itu, pertama-tama yang diperhatikan adalah lukisan wajah Yesus yang sedang tertawa. Memandang lukisan itu secara mendalam terus melahirkan pertanyaan-pertanyaan seputar lukisan itu. Mengapa Yesus tertawa? Apa yang membuat Yesus tertawa? Adakah teks kitab suci yang mengisahkan Yesus sedang tertawa? Inilah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang lahir dari kedalaman batin para tamu di biara itu. Lukisan yang terpampang di dinding biara tua itu sepertinya menawarkan nalar refleksi untuk mempertanyakan lukisan yang tidak umum itu.  Memang, Yesus sendiri seperti yang tertulis dalam kitab suci Perjanjian Baru, kita tidak pernah menemukan teks yang berbicara tentang Yesus yang tertawa saat berhadapan dengan murid-murid-Nya maupun kelompok-kelompok yang membenci kehadiran-Nya. Tertawa seperti yang terlukis itu mengisahkan kemanusiaan seorang Yesus yang tidak dihadirkan oleh penulis kitab suci. Yesus terkesan sangat serius menghadapi situasi di tengah karya pewartaan-Nya. Karena itu yang lebih ditonjolkan adalah kehidupan doa dan ajaran-ajaran-Nya.

Friday, August 23, 2019

Sepotong Doa

Di Getzemani dalam balutan ketakutan
Engkau bersandar pada sepotong doa
“Ya, Bapa, kalau mungkin, biarlah piala ini berlalu daripada-Ku
Tetapi bukan atas kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu”

Dalam peluh-Mu berdarah
Kutemukan kemanusiaan-Mu terdalam
Namun atas kehendak Bapa-Mu
Engkau mereguk perintah-Nya
dan melumat kebenaran
Pasrah-Mu membawa selamat bagi kami

Tangerang, 20 Agustus 2019
Valery Kopong

Tuesday, August 20, 2019

Hidup Di Alam Kemerdekaan


Bangsa pilihan Allah bertahun-tahun hidup dan menetap di Mesir. Sejak Yusuf menjadi petinggi di negeri itu dan pada peristiwa kelaparan, Yusuf menyuruh saudara-saudaranya serta orang tuanya untuk segera ke Mesir agar terbebas dari ancaman kelaparan. Titik awal untuk tinggal di Mesir,  memberikan peluang bagi mereka untuk bisa hidup.  Semakin lama mereka semakin berkembang bahkan menyaingi jumlah penduduk Mesir. Apakah mereka hidup di Mesir maka mereka berada pada situasi yang menyenangkan? Tidak!! Banyak perlakuan di luar batas kemanusiaan dan bahkan mereka tetap diminta untuk kerja paksa. Sebagai bangsa pilihan Allah, Israel tidak dibiarkan untuk tetap berada dalam penindasan.

Friday, August 16, 2019

Jadilah Kehendak-Mu


Berbicara tentang Bunda Maria, berarti berbicara tentang tawaran keselamatan. Allah  mengutus malaikat Gabriel untuk menyampaikan kabar gembira bahwa Maria dipilih oleh Allah untuk menjadi ibu Tuhan. Kabar gembira ini bisa dikatakan juga sebagai “kabar yang membawa kegalauan” bagi Maria.  Mengapa Maria mengalami kegalauan saat menerima tawaran untuk menjadi ibu Tuhan? Karena menerima tawaran ini penuh dengan pelbagai resiko, yakni bersedia mengandung seorang anak yang akan diberi nama Yesus walaupun belum bersuami. Resiko sosial  menjadi titik pergulatan seorang Maria dalam menerima tawaran menjadi ibu Tuhan. Menerima kabar dari malaikat Gariel berarti menerima “tawaran keselamatan” sekaligus berani menghadapi resiko sosial yang akan menimpahnya.
 Kesannya kabar yang diterima Maria sederhana. Seolah-olah Maria sekedar mengatakan “ya” atas tawaran itu. Kitab suci tidak mendeskripsikan secara detail tentang bagaimana pergulatan batin seorang Maria sebelum memutuskan diri untuk menerima tawaran itu. Namun dalam kepasrahan penuh pada Allah, Maria akhirnya juga mengatakan “Fiat Voluntas Tua.” Jadilah kehendak-Mu menjadi sebuah bentuk kepasrahan diri Maria pada kehendak Allah dan sekaligus membiarkan Allah bekerja dalam dirinya. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.” Kalimat ini mengungkapkan kehampaan diri Maria di tengah pergulatan dan menentukan sikap.

Thursday, August 15, 2019

Atas Nama Cinta Untuk Berkorban


Ketika pertama kali terbentuknya lingkunganku sekitar empat belas tahun silam, saya diminta untuk mencari nama orang-orang kudus untuk menjadi nama pelindung lingkungan. Ada beberapa nama  orang kudus dan latar belakang kehidupannya menjadi bahan pertimbanganku, apakah bisa dijadikan sebagai nama pelindung atau tidak. Menarik bahwa ada nama Zakheus dalam pusaran pemilihan nama-nama itu. Saya sendiri tertarik apabila nama Zakheus menjadi nama lingkunganku. Alasan sederhana bahwa Zakheus, walaupun diberi label sebagai manusia pendosa tetapi berani membuka diri di hadapan Yesus. Berkat keterbukaannya maka ia mendapat pengampunan dari Tuhan.
         

Friday, July 26, 2019

“Kematian Penulis Katolik”


Arswendo 
Pater A.Heuken, SJ
Mendengar berita meninggalnya Arswendo dan Pater Heuken, SJ . Kepergian mereka untuk selamanya, tidak sekedar meninggalkan duka bagi keluarga yang ditinggalkan tetapi lebih dari itu ada “kematian” penulis. Bagi saya, dua orang yang meninggalkan ini merupakan representasi dari penulis-penulis Katolik yang selama ini mewartakan kasih dan kebaikan Kristus melalui tulisan-tulisan, entah buku-buku maupun artikel lainnya. Kehadiran mereka di dunia kepenulisan membawa pengaruh yang luar biasa. Pater Adolf Heuken, SJ misalnya berusaha menulis tentang Jakarta dan membuat kamus Jerman – Indonesia. Sedangkan Arswendo adalah seorang wartawan dan sastrawan yang tulisan-tulisan berupa novel diangkat ke layar lebar, seperti ”Keluarga Cemara.”
          Apa peran para penulis Katolik? Berapa penulis Katolik yang masih aktif menulis di media maupun buku-buku? Dua pertanyaan ini menjadi pertanyaan kunci dalam menggumuli peran penulis dan nilai-nilai pewartaan  yang harus disampaikan ke hadapan publik. Dengan cara yang unik mereka mewartakan nilai-nilai Injili kepada para pembaca  yang setia. Kemasan tulisan yang ditawarkan kepada para pembaca dibungkus dengan nilai-nilai cinta kasih yang bersumber pada Kristus sendiri. Dan kemasan yang tidak menonjolkan Kekatolikan ini membuat masyarakat umum bisa menerima secara baik.