Thursday, October 22, 2020

Kristus dan Api Cinta Kasih

Sejak kita dibabtis, diteguhkan dalam sakramen krisma dan dikuatkan dalam sakramen ekaristi, kita telah menjadi milik Kristus. Kita telah menjadi pengikut Yesus dan kita telah percaya dan beriman pada Tuhan Yesus. Menjadi milik Kristus berarti kita siap sedia untuk hidup sesuai dengan ajaran dan pewartaan Yesus, yaitu sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Allah. Kita siap untuk memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah ini di tengan-tengah dunia.Di sinilah akan sering terjadi pertentangan nilai antara nilai-nilai Kerajaan Allah dengan tawaran-tawaran dan tantangan-tantangan duniawai.Sebagai pengikut Yesus, kita mempunyai konsekwensi untuk setia memegang teguh nilai-nilai Kerajaan Allah. Misalnya, budaya korupsi sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa.

Sebagai orang yang beriman dan percaya pada Yesus, kita hendaknya berani tampil beda untuk berani melawan budaya korupsi itu. Tentu saja ada konsekswensinya, kita bisa saja dimusuhi keluarga, saudara dan teman.Tetapi demi identitas diri kita sebagai pengikut Yesus, kita harus berani berkata " NO" terhadap korupsi. Ajaran dan pewartaan Yesus serta Pribadi Yesus telah menyala dalam hati kita. Dan nyala itu hendaknya selalu terpancar dan menyinari orang -orang yang ada disekitar kita.Api cinta kasih Yesus hendaknya berkobar-kobar dalam kehidupan kita, agar kita tidak mengalami krisis identitas diri, iman dan cinta kasih. (Inspirasi:Lukas 12:49-53, 22 Oktober, Suhardi)

Wednesday, October 21, 2020

Racikan Hidup

 

Hampir setiap pagi dan sore, saya melihat postingan di beberapa WA grup dan wall FB, beberapa teman mengupload gelas kopi dan menuliskan caption bahwa hidup itu seperti kopi hitam pekat. Kopi yang dicarik dengan gula dan air menghasilkan kopi yang sedikit pahit. Pada caption itu tertulis dengan baik, bahwa hidup itu tidak selamanya manis tetapi juga pahit. Dua rasa, pahit dan manis ini juga mewarnai kehidupan manusia. Kopi hitam pekat melambangkan kekelaman hidup yang pasti dilalui oleh setiap orang. Pahit menjadi rasa yang menawarkan sisi lain kehidupan yang lebih bermakna. Pahitnya kopi tidak selamanya melambangkan hal yang tidak baik tetapi memberikan makna terdalam para proses kehidupan. Kepahitan hidup menjadi rasa yang memberi warna tantangan yang mesti dilalui oleh seseorang. Tantangan hidup yang dijumpainya harus dihadapi dan bukannya mengelak bahkan menyerah pada tantangan itu. Tantangan mendewasakan kita untuk terus mengelola hidup dan menjadikan tantangan itu sebagai cambuk untuk terus mendorong kita menatap masa depan yang lebih pasti.

 

Sementara itu manisnya gula menggambarkan sebuah kesuksesan hidup. Kesuksesan itu membawa luapan kegembiraan bagi mereka yang merasakan kegembiraan hidup. Apa tolok ukur  untuk menjadi sukses di dalam hidup ini? Dalam pandangan kaum materialis, melihat kesuksesan selalu diukur dari aspek materi yang dimiliki seseorang. Ketika kita berada di kampung maka kita bisa menilai kesuksesan seseorang dari kepemilikan tanah yang banyak dan juga mempunyai ternak yang banyak pula. Memiliki tanah yang banyak menjadi penentu utama dan memposisikan seseorang di kampung pada kelas atas. Tanah menjadi urat nadi kehidupan karena dari tanah itu, mereka bisa mengolahnya dan memberikan berkah kelimpahan panen.

 

Untuk menilai sukses-tidaknya seseorang pada masyarakat kota, dilihat dari kekayaan yang dimilikinya. Jenis mobil yang dimilikinya menjadi pratanda penting untuk mengklasifikasi orang, apakah orang tersebut menempati posisi kelas atas, menengah atau kelas bawah.  Biasanya orang-orang sekitar yang memberikan stigma tentang orang kaya atau miskin dan hal ini sangat bergantung pada aspek materi yang dimilikinya.

 

Racikan kopi pada penggalan kisah di atas, membersitkan dua warna dan rasa yang berbeda pada kehidupan ini. Kepahitan hidup mengajarkan tentang perjuangan dan mungkin juga berakhir pada kejatuhan manusia akibat tantangan yang dihadapi itu terlalu berat. Tetapi ingat bahwa Tuhan yang memberikan ujian hidup pada manusia tidak melebihi batas kemampuan manusia yang sedang dicobainya. Itu berarti bahwa Tuhan memberikan ujian yang berat sambil mempertimbangkan, seberapa jauh orang yang bersangkutan menanggapi tantangan hidup dalam terang iman. Penderitaan seperti yang dialami oleh Ayub, mengajarkannya untuk tetap bertahan dalam badai cobaan itu. Apakah di dalam hidup, hanya kebaikan saja yang kita terima, sementara tantangan yang diberikan oleh Allah harus saya tolak dan bahkan berontak terhadap Allah?

 

Ketika berada pada puncak gunung Tabor, tiga murid kesayangan Yesus mengalami kegembiraan bersama-Nya. Sebagai murid yang selalu diajarkan oleh Gurunya untuk setia pada cobaan hidup, mereka tidak bertahan pada puncak kegembiraan Tabor untuk selamanya tetapi mereka (murid) harus belajar esensi terdalam dari makna kemuridan adalah mengalami pengalaman Kalvari sebagai jalan sunyi penuh derita yang dilalui oleh Sang Guru. Via Dolorosa yang dijalani Yesus menjadi bukti kesetiaan-Nya pada Allah dan kecintaan-Nya pada manusia.  

 

Melihat racikan kopi yang ada dalam wadah cangkir membersitkan sebuah racikan hidup yang tidak bisa dielak oleh setiap manusia. Pergulatan hidup manusia tidak akan berakhir selama manusia itu hidup. Karena memang hidup itu adalah sebuah perjuangan yang harus diraih dengan nilai sebuah pengorbanan. Pengorbanan menjadi nilai berharga untuk meraih cita-cita. Yesus telah mengajarkan nilai pengorbanan itu untuk menggenapi cita-cita-Nya yakni misi penyelamatan manusia. Mereguk secangkir kopi, tak beda jauh dengan mereguk makna kehidupan yang membersitkan dua rasa.***(Valery Kopong)

Menanti Sang Tuan

 Hidup manusia itu ibarat sebuah jarum jam. Pada mulanya jarum jam berjalan, lalu pada suatu saat jarum jam itu berhenti. Kita tidak tahu persis kapan jarum jam itu berhenti. Itulah perjalanan hidup manusia, kita dilahirkan di dunia ini, dan suatu saat kita akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Kedua peristiwa hidup itu adalah misteri, tiada satu pun manusia yang mampu memilih atas dua peristiwa hidup manusia itu. Kita tinggal pasrah saja sama SANG EMPUNYA KEHIDUPAN, SANG GUSTI. 

Dalam perjalanan dan perjuangan kehidupan di tengah-tengah dunia ini, kita diajak untuk selalu siap-sedia dan berjaga-jaga karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak tersangka-sangka. Sikap dan tindakan siap siaga itu diumpamakan seperti pengurus rumah tangga yang hendaknya setia dan bijaksana menanti sang tuannya datang. Kita yang setia dan bijaksana menanti kedatangan Sang Tuan Agung, Sang Gusti, kita akan digabungkan dalam perjamuan kasih bersamaNya di surga.

Pada akhir jaman kita akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Bapa atas karunia-karunia yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Apakah kita mengembangkan dan memberdayakan karunia-karunia itu ataukah hanya menyimpannya di dalam hati saja ?  Yang diberi banyak karunia, banyak pula tuntutannya. " Barangsiapa diberi banyak, banyak dituntut dari padanya dan barangsiapa diserahi banyak , lebih banyak dituntut lagi."(Inspirasi Lukas 12 : 39-48, 21 Oktober, Suhardi )

Tuesday, October 20, 2020

Peran Kenabian

 

Beberapa tahun yang lalu, ketika mengikuti perlombaan menulis dalam rangka ulang tahun Keuskupan Agung Jakarta, ada sesuatu yang menarik dari hasil perlombaan itu yang perlu dicermati. Tulisanku masuk sepuluh besar dan mendapatkan honorarium dari panitia penyelenggara dan sepuluh tulisan terbaik, dibukukan. Buku itu diterbitkan oleh penerbit Obot Jakarta dengan judul: “Gereja Warteg.”  Judul buku ini diambil dari sebuah tulisan salah satu peserta yang waktu itu masih mengenyam pendidikan di STF Driyarkara – Jakarta. Gereja Warteg, tidak sekedar tulisan biasa dan penulis tidak sekedar beropini tetapi tulisannya berlandaskan pada wawancara dan pengalaman bersama orang tuanya sebagai buruh. Basis tulisan itu lebih bermuara pada bagaimana perhatian Gereja terhadap  kaum buruh yang selama ini bekerja di area Tangerang.

 Penulis Gereja Warteg, selain memawancarai para buruh tetapi juga mengamati perilaku hidup para buruh. Setiap kali pada jam  makan, mereka selalu “menyerbu” warteg  sebagai tempat makan bagi mereka yang mudah dijangkau karena murah harganya. Ketika makan bersama di warteg, para buruh sambil mengobrol tentang pekerjaan dan kehidupan itu. Warteg menjadi tempat yang nyaman dan menjadi ruang komunikasi publik yang bisa dijangkau oleh siapa saja. Warteg juga menjadi ruang perjumpaan sesama  kaum buruh yang hidup dari gaji yang pas-pasan dan saling menguatkan antara satu dengan yang lain.

Apa hubungan antara warteg dan Gereja Warteg? Penulis secara implisit mengajak Gereja untuk membangun hubungan yang komunikatif dan memberikan suport terhadap kaum buruh, yang tidak lain adalah anggota Gereja (terutama buruh Katolik). Di mata para kaum buruh Katolik, mereka menginginkan kehadiran Gereja seperti warteg, tempat berjumpa kaum kecil untuk mendiskusikan tentang hidup dan kehidupan ini. Gereja harus membuka diri dan menampung segala keluhan yang datang dari kaum buruh. Harus diakui bahwa kehadiran Gereja untuk  ada bersama dengan kaum buruh, masih dirasa jauh dari harapan. Setiap tanggal 1 Mei sebagai hari buruh internasional, Gereja masih menghimpun para buruh Katolik untuk adakan seminar dan biasanya ditutup dengan perayaan Ekaristi. Apa yang dilakukan oleh Gereja ini masih sebatas aspek seremonial dan belum menyentuh keberpihakan pada kaum buruh.

Memang  sulit bahwa Gereja tidak bisa tampil sebagai penyelamat kehidupan kaum buruh karena jumlah mereka sangat banyak.  Pesan penting yang perlu diperhatikan adalah Gereja tetap menyuarakan kebenaran dan menyoroti situasi jika pemerintah dan para pelaku bisnis sewenang-wenang mempekerjakan kaum buruh dan sistem pengupahan yang jauh dari yang telah ditetapkan.  Gereja perlu menyuarakan peran kenabian (peran profetis) agar pihak-pihak yang bertanggung jawab atas persoalan berkaitan dengan buruh, berada pada jalur yang benar.

Gereja memiliki dasar yang kuat untuk bersuara dan menyampaikan kepada pihak-pihak terkait dalam menangani persoalan kaum buruh.  Selain mengikuti teladan Yesus yang selalu menyoroti ketimpangan sosial,  Gereja juga  memiliki ensiklik yang berbicara tentang hidupan kaum buruh. Ensiklik Rerum Novarum  merupakan sebuah ensiklik yang diterbitkan oleh Paus Leo XIII pada tanggal 15 Mei 1891. Paus Leo XIII melalui Rerum Novarum, mendukung perjuangan hak-hak kaum buruh dan membahas hubungan antara pemerintah, bisnis dan kaum buruh. Di sini kita bisa melihat bahwa peran Gereja sangat kuat untuk menyuarakan kebenaran agar kelayakan hidup kaum buruh harus diperhatikan oleh pemerintah dan pelaku bisnis. Mengurai persoalan kaum buruh tidak semudah membalikan telapak tangan. Dari tahun ke tahun pasti ada persoalan yang muncul karena mengikuti aturan dan iklim investasi. ***(Valery Kopong)

 

Hamba Yang Selalu Berjaga-jaga


Tadi malam saya menghadiri ibadat arwah yang dipimpin oleh seorang Pastur.Dalam kotbahnya, beliau menyampaikan bahwa kita mengenal kalender liturgi, yang mengatur perayaan liturgi dan bacaan Kitab Suci setiap harinya.Kita juga mengenal kalender pendidikan, yang mengatur proses kegiatan belajar-mengajar setiap hari, minggu, bulan, mid-semester dan semester.Tetapi, kita tidak mampu membuat kalender kematian,yang mengatur jadwal kematian seseorang.Memang,kita sudah ditentukan kalender kematian kita, tetapi hanya Tuhan yang tahu.Maka,kita hendaknya siap sedia menyambut kalender kematian kita itu tiba pada waktunya,sehingga kita akan merasa berbahagia bersama Allah Bapa di surga.Dan Yesus sendiri bersabda, "Berbahagialah hamba yang didapati tuannya sedang berjaga." 

Hidup kita di dunia ini adalah persiapan bagi kita untuk menyambut kalender kematian kita masing-masing, menyambut Sang Gusti, Pemberi dan Pengambil kehidupan kita.Maka, hidup kita, pekerjaan kita, tugas pelayanan dan perutusan kita hendaknya dijiwai oleh  persiapan yang pantas.Hidup sebagai persiapan menuju kematian, menghadap Sang Ilahi berarti hidup yang pantas di hadapan Tuhan dan sesama:hidup yang disemangati oleh sikap dan tindakan cinta kasih dan kebaikan,maaf dan pengampunan,pelayanan dan pengorbanan,syukur dan kekuatan iman, dan lain-lain.Hidup dengan berjaga-jaga berarti siap menyambut sukacita bersama Yesus di Surga.

(Inspirasi:Lukas 12:35-38, 20 Oktober, Suhardi)

Monday, October 19, 2020

Sumber Kebahagiaan Sejati

Saya pernah membaca sebuah kisah hidup seseorang yang kaya.Dengan kekayaannya itu, ia bisa menikmati apapun yang dia mau.Namun,dalam keheningan pribadi,dia tidak merasakan kebahagiaan sejati.Dalam refleksi saya,ternyata harta kekayaan tidak menjamin kebahagiaan hidup kita.

Tiga minggu yang lalu saya melihat sebuah video dalam sebuah Facebook,yang menceritakan sebuah kisah hidup seorang pemuda yang sudah mempunyai mobil terbaru dan termahal,namun ia merasa tidak puas dan ingin memiliki sebuah jet pribadi,karena ia melihat temennya mempunyai jet pribadi.Ternyata saat mengeluh mengenai kendaraannya, ada seorang pemuda yang lain mengeluh mengenai kendaraannya sambil berkata, "Betapa bahagia dan beruntungnya engkau mempunyai mobil terbaru dan termahal.Lihat mobil lamaku yang tidak bagus".Keluhan sang pemuda yang lain itu menyadarkan dirinya bahwa dia hendaknya bersyukur dan merasa bahagia terhadap harta yang telah dimilikinya. Masih ada kelanjutan kisah video itu,tapi pada prinsipnya sama bahwa kalau kita ingin merasa bahagia,kita hendaknya mensyukuri apa yang telah kita miliki.  

Bacaan Injil pada hari ini,mungkin mau mengajarkan kepada kita bahwa harta kekayaan bukan menjadi jaminan kebahagiaan sejati.Kita juga belajar bahwa kita hendaknya mensyukuri kekayaan yang telah kita miliki dan menjadikan kekayaan itu untuk membuat orang lain juga bahagia.
  Satu-satunya kebahagiaan sejati hanya ada dalam diri YESUS.
(Lukas 12: 13-21, 19 Oktober, Suhardi)

Batas Garis Hidup

 

Ketika  subuh datang menjemput, orang-orang pada lelap tertidur. Hanya gema adzan yang menggema,  mengajak kaum muslim berdoa dan setidaknya  membangunkan orang-orang lain dari tidur dan juga turut berdoa  sesuai agamanya masing-masing. Rumahku yang terletak dekat di bibir Mushola Al-Amanah, memberikan peluang bagiku untuk mendapatkan informasi tentang doa dan informasi lainnya.  Sabtu subuh, 17 Oktober 2020,  membawa duka  mendalam bagi warta RW 01. Betapa tidak! Empat orang remaja  diberitakan melalui pengeras suara Musholla Al-Amanah bahwa mereka tewas  terlindas truk  di jalan ke arah puncak – Bogor.

Mendengar berita memilukan itu, semua warga bergegas keluar rumah dan mencari tahu tentang siapa saja yang terkena musibah itu dan di mana rumah mereka. Keempat remaja yang tewas terlindas truk itu, ternyata orang-orang muda yang aktif bermain voley ball. Mereka ke puncak pada malam Sabtu dan merayakan ulang tahun salah seorang teman mereka. Sebuah tujuan yang mulia untuk ada bersama dan merayakan kehidupan bagi sahabat mereka yang berulang tahun. Namun ceritera hidup mereka berbicara lain.  Keempat orang yang mengendarai motor dengan berboncengan harus mengakhiri hidup mereka di ujung maut dengan cara yang tragis.

Memulai hidup ataupun mengakhiri hidup, tak satu pun yang tahu. Tak seorang pun menginginkan bahwa kehidupannya berakhir secara tragis. Hidup dan mati berada dalam genggaman Tuhan. Tuhan yang mengatur seluruh kehidupan manusia di dunia, tanpa ada kompromi dengan manusia. Akhir hidup yang dijemput adalah sebuah misteri. Kehebatan manusia dan kecanggihan peralatan teknologi, tak satu pun yang tahu, kapan hidup seseorang itu harus berakhir dan bagaimana caranya seseorang mengakhiri hidupnya di dunia ini.

Tentang kehidupan manusia di hadapan semesta, sepertinya tidak berarti dan manusia menyadari diri kecil di hadapan Allah.  Pemazmur melukiskan batas usia manusia dan kehidupan itu akan lenyap pada waktunya. “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap” (Mazmur  90:10). Bersama pemazmur, kita juga menyadari diri sebagai makhluk yang rapuh dan tak berdaya. Hidup manusia akan menemukan batas bahkan pada masanya kita dimakan oleh usia.

Memahami Mazmur 90: 10 dalam konteks kematian anak-anak muda, kita hanya berpasrah diri di hadapan Allah dan bahkan orang-orang tua  yang mengalami kehilangan karena kematian orang-orang yang dicintainya secara tragis, hanya bersimpuh dan berdoa di hadapan-Nya. Maut yang menjemput manusia, tidak memilah, mana usia muda dan mana usia tua. Karena itu berbicara tentang kematian, bukan berbicara tentang berapa usia seseorang untuk dijemput maut tetapi kita berbicara tentang kehendak Allah. Allah yang berhak atas kehidupan dan atas kematian ini.***(Valery Kopong)

Friday, October 16, 2020

Karenamu

Sebuah kejadian kecil bisa memberi inspirasi bagi setiap orang yang memandangnya dan melakukan tindakan besar yang bisa berpihak pada banyak orang. Adalah Yuli, nama anak itu yang dilihat sedang membaca sebuah koran terbitan ibu kota, namun ia memegang koran itu secara terbalik sambil membacanya.   Peristiwa kecil itu terjadi di depan sebuah vihara yang ada di Jakarta Barat. Peristiwa unik di atas dilihat secara langsung oleh Ibu Siang Riani atau sering disapa dengan Mami Aysiang. Mami Aysing mendekati anak itu untuk menanyakan lebih jauh tentang kondisi yang sedang dialami. Melihat Yuli yang membaca Koran dengan posisi terbalik itu, mengundang Mami Aysiang untuk bertanya lanjut. Nak, sekolah di mana? Tanya Mami Aysing. Dengan santai pula, ia menjawab, saya tidak sekolah karena tidak ada biaya.  

 

Mendengar jawaban polos ini, menggugah hati Mami Aysing untuk berbuat sesuatu untuk Yuli dan teman-temannya yang tidak bisa mengenyam pendidikan karena ketiadaan biaya pendidikan. Peristiwa unik dan sederhana yang dilihat langsung oleh Mami Aysiang, menggugah kesadaranya untuk mencari para donatur untuk membiayai pendidikan bagi mereka yang nyaring putus sekolah. Selama dua puluh lima tahun, Mami Aysiang mencari para donatur dan mendonorkan donasi dalam bentuk uang pada mereka yang sedang sekolah tetapi memiliki ekonomi yang lemah. Banyak anak yang dulunya nyaris tidak sekolah karena ketiadaan uang tetapi dengan sokongan para donatur melalui orang tua asuh yang digagas oleh Mami Aysiang, mereka pada akhirnya menjadi “orang.” Banyak anak yang dulu disuport oleh para donatur melalui orang tua asuh, mendapatkan masa depan yang cerah. Kini, mereka menempati posisi penting di dunia kerja.

 

Gelora semangat untuk memperhatikan anak-anak “tuna aksara” terus bergulir. Membangun rasa peduli terhadap mereka yang terpinggir dan tidak mendapatkan pendidikan formal terus dirintis. Bertitik pijak pada Vihara Dharma Bhakti, rumah Tuhan yang selalu memberikan pencerahan, tidak cuma doa dan meditasi yang dilakukan tetapi lebih dari itu ia membangun sikap spiritual untuk menyokong segala kegiatan kemanusiaan. Doa dan meditasi saja tidak cukup tetapi yang dibutuhkan adalah “buah-buah” dari doa dan meditasi untuk memancarkan kebaikan kepada mereka yang tidak mampu dan terpinggirkan itu.

Vihara Dharma Bhakti mengajarkan banyak cara untuk berbuat sesuatu. Ketika dipercayakan untuk menjabat sebagai ketua harian di Vihara itu, Mami Aysiang  mencoba untuk menggerakan rasa peduli bagi para donatur  untuk bisa memberikan donasi berupa uang yang bisa menyokong pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu secara ekonomis. Gerakan untuk mengumpulkan dana ini sangat efektif dan dari hasil pengumpulan dana itu, Yuli dan 300 orang anak yang tidak mampu berhasil dibantu agar pendidikan mereka terus berlanjut. Memang, ”untuk melakukan sesuatu tidak harus dengan uang,” demikian kata Bob Sadino, seorang pengusaha terkenal yang memulai sesuatu dari kemauan pribadi.

 

 

Karena kemauan ini pula maka Mami Aysing  terdorong untuk memulai gerakan kemanusiaan ini walaupun tugasnya  mengetuk hati para donatur. “Uang masih ada di saku para donatur” dan dengan berusaha meyakinkan para donatur, mereka bisa memberikan perhatian pada dunia pendidikan, secara khusus membiayai anak-anak yang lemah ekonominya.   

Status anak-anak yang dilayani adalah “anak asuh” karena ia  belum mewujudkan mimpi untuk mendirikan sebuah sekolah untuk menjawabi kebutuhan anak-anak. Perhatian  yang diberikan tidak hanya  sebatas pada 300 anak asuh di bawah naungan Vihara Dharma Bhakti, tetapi perlahan membuka ruang perjumpaan dengan anak-anak lain sebagai anak asuh, seperti ke Vihara lain yang ada di Jelambar dan Tangerang.  
   

Ada bersama dengan mereka yang tidak mampu, sepertinya memberikan energi baru baginya  untuk memulai sesuatu  dalam  mewujudkan mimpi yang belum terwujud. “Aku Ada bukan untuk Ada-ku”, melainkan “Aku Ada  untuk Aku-ku yang lain.” Penggalan kalimat bernada filosofis milik Martin Heidegger, filsuf eksistensialis ini sepertinya dimaknai secara mendalam. Bahwa Ada-ku tidak untuk diriku sendiri namun Ada-ku menjadi lebih bermakna ketika saya berbuat sesuatu untuk orang lain. Pada titik tertentu, orang-orang yang saya layani bisa merasakan getar tulus dari nilai pengorbananku untuk mereka yang terlupakan.

Namun hidupku selalu gelisah  dan kegelisahan itu semakin memuncak ketika melihat begitu banyak anak yang tidak tertangani secara baik sehingga berada pada zona tidak nyaman. Di mana kehadiran negara di tengah ketimpangan sosial ini? Ah, saya tidak perlu bertanya pada negara tentang persoalan pendidikan yang terpuruk ini. Jauh lebih baik saya bertanya pada diri dan bercermin pada apa yang pernah dikatakan oleh John F. Kennedy pada puluhan tahun silam. Apa yang harus saya lakukan untuk negara?   

Dua puluh lima tahun mengabdikan diri sebagai orang tua asuh, Mami Aysiang pada akhirnya memutuskan diri untuk mendirikan sebuah sekolah di Kota Bumi, Tangerang. Sekolah itu diberi nama Insan Teratai.  Setiap kali  memasuki gerbang sekolah  Insan Teratai yang berdiri tegak di tepi kali mati, seolah menatap puncak dari sebuah perjuangan yang melewati jalur-jalur terjal. Gedung sekolah yang berdiri kokoh dan bangunannya seakan “mencakar langit,” menjadi tanda yang tak terlupakan dari mimpi yang terwujud dan begitu banyak orang yang tergiring kesadaran untuk berempati pada perjuangan yang tidak mengenal lelah ini. Seluruh jerih lelah ini sepertinya terbayar ketika melihat sekolah yang menjadi medan pergulatan dan pergumulan anak-anak tentang hidup dan kehidupan mereka. Insan Teratai menjadi muara baru, tempat nyaman untuk mencari ilmu. Mengapa memilih nama bunga teratai? Yah, teratai, bunga yang kurang mendapat perhatian publik tetapi tetap bertahan di tengah genangan air dan lumpur. Kiranya anak-anak yang dididik dari sekolah Insan Teratai tetap memancarkan kembang yang menarik, walau dari kubangan lumpur. ***(Valery Kopong)