Sebuah kejadian kecil bisa memberi inspirasi bagi setiap orang
yang memandangnya dan melakukan tindakan besar yang bisa berpihak pada banyak
orang. Adalah Yuli, nama anak itu yang dilihat sedang membaca sebuah koran terbitan
ibu kota, namun ia memegang koran itu secara terbalik sambil membacanya. Peristiwa
kecil itu terjadi di depan sebuah vihara yang ada di Jakarta Barat. Peristiwa unik
di atas dilihat secara langsung oleh Ibu Siang Riani atau sering disapa dengan
Mami Aysiang. Mami Aysing mendekati anak itu untuk menanyakan lebih jauh
tentang kondisi yang sedang dialami. Melihat Yuli yang membaca Koran dengan
posisi terbalik itu, mengundang Mami Aysiang untuk bertanya lanjut. Nak,
sekolah di mana? Tanya Mami Aysing. Dengan santai pula, ia menjawab, saya tidak
sekolah karena tidak ada biaya.
Mendengar jawaban polos ini, menggugah hati Mami Aysing untuk
berbuat sesuatu untuk Yuli dan teman-temannya yang tidak bisa mengenyam
pendidikan karena ketiadaan biaya pendidikan. Peristiwa unik dan sederhana yang
dilihat langsung oleh Mami Aysiang, menggugah kesadaranya untuk mencari para
donatur untuk membiayai pendidikan bagi mereka yang nyaring putus sekolah. Selama
dua puluh lima tahun, Mami Aysiang mencari para donatur dan mendonorkan donasi
dalam bentuk uang pada mereka yang sedang sekolah tetapi memiliki ekonomi yang
lemah. Banyak anak yang dulunya nyaris tidak sekolah karena ketiadaan uang
tetapi dengan sokongan para donatur melalui orang tua asuh yang digagas oleh
Mami Aysiang, mereka pada akhirnya menjadi “orang.” Banyak anak yang dulu
disuport oleh para donatur melalui orang tua asuh, mendapatkan masa depan yang
cerah. Kini, mereka menempati posisi penting di dunia kerja.
Gelora
semangat untuk memperhatikan anak-anak “tuna aksara” terus bergulir. Membangun
rasa peduli terhadap mereka yang terpinggir dan tidak mendapatkan pendidikan
formal terus dirintis. Bertitik pijak pada Vihara Dharma Bhakti, rumah Tuhan
yang selalu memberikan pencerahan, tidak cuma doa dan meditasi yang dilakukan
tetapi lebih dari itu ia membangun sikap spiritual untuk menyokong segala
kegiatan kemanusiaan. Doa dan meditasi saja tidak cukup tetapi yang dibutuhkan
adalah “buah-buah” dari doa dan meditasi untuk memancarkan kebaikan kepada
mereka yang tidak mampu dan terpinggirkan itu.
Vihara Dharma Bhakti mengajarkan banyak cara untuk berbuat
sesuatu. Ketika dipercayakan untuk menjabat sebagai ketua harian di Vihara itu,
Mami Aysiang mencoba untuk menggerakan
rasa peduli bagi para donatur untuk bisa memberikan donasi berupa uang
yang bisa menyokong pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu secara ekonomis.
Gerakan untuk mengumpulkan dana ini sangat efektif dan dari hasil pengumpulan
dana itu, Yuli dan 300 orang anak yang tidak mampu berhasil dibantu agar
pendidikan mereka terus berlanjut. Memang, ”untuk melakukan sesuatu tidak harus
dengan uang,” demikian kata Bob Sadino, seorang pengusaha terkenal yang memulai
sesuatu dari kemauan pribadi.
Karena kemauan ini pula maka Mami Aysing terdorong untuk memulai gerakan kemanusiaan
ini walaupun tugasnya mengetuk hati para
donatur. “Uang masih ada di saku para donatur” dan dengan berusaha meyakinkan
para donatur, mereka bisa memberikan perhatian pada dunia pendidikan, secara
khusus membiayai anak-anak yang lemah ekonominya.
Status
anak-anak yang dilayani adalah “anak asuh” karena ia belum mewujudkan mimpi untuk mendirikan sebuah
sekolah untuk menjawabi kebutuhan anak-anak. Perhatian yang diberikan
tidak hanya sebatas pada 300 anak asuh di bawah naungan Vihara Dharma
Bhakti, tetapi perlahan membuka ruang perjumpaan dengan anak-anak lain sebagai
anak asuh, seperti ke Vihara lain yang ada di Jelambar dan Tangerang.
Ada bersama dengan mereka yang tidak mampu, sepertinya memberikan
energi baru baginya untuk memulai
sesuatu dalam mewujudkan mimpi yang belum terwujud. “Aku Ada bukan
untuk Ada-ku”, melainkan “Aku Ada untuk Aku-ku yang lain.” Penggalan
kalimat bernada filosofis milik Martin Heidegger, filsuf eksistensialis ini
sepertinya dimaknai secara mendalam. Bahwa Ada-ku tidak untuk diriku sendiri
namun Ada-ku menjadi lebih bermakna ketika saya berbuat sesuatu untuk orang
lain. Pada titik tertentu, orang-orang yang saya layani bisa merasakan getar
tulus dari nilai pengorbananku untuk mereka yang terlupakan.
Namun hidupku selalu gelisah dan kegelisahan itu semakin
memuncak ketika melihat begitu banyak anak yang tidak tertangani secara baik
sehingga berada pada zona tidak nyaman. Di mana kehadiran negara di tengah
ketimpangan sosial ini? Ah, saya tidak perlu bertanya pada negara tentang
persoalan pendidikan yang terpuruk ini. Jauh lebih baik saya bertanya pada diri
dan bercermin pada apa yang pernah dikatakan oleh John F. Kennedy pada puluhan
tahun silam. Apa yang harus saya lakukan untuk negara?
Dua puluh lima tahun mengabdikan diri sebagai orang tua asuh, Mami
Aysiang pada akhirnya memutuskan diri untuk mendirikan sebuah sekolah di Kota
Bumi, Tangerang. Sekolah itu diberi nama Insan Teratai. Setiap kali memasuki gerbang sekolah Insan Teratai yang berdiri tegak di tepi kali
mati, seolah menatap puncak dari sebuah perjuangan yang melewati jalur-jalur
terjal. Gedung sekolah yang berdiri kokoh dan bangunannya seakan “mencakar
langit,” menjadi tanda yang tak terlupakan dari mimpi yang terwujud dan begitu
banyak orang yang tergiring kesadaran untuk berempati pada perjuangan yang
tidak mengenal lelah ini. Seluruh jerih lelah ini sepertinya terbayar ketika
melihat sekolah yang menjadi medan pergulatan dan pergumulan anak-anak tentang
hidup dan kehidupan mereka. Insan Teratai menjadi muara baru, tempat nyaman
untuk mencari ilmu. Mengapa memilih nama bunga teratai? Yah, teratai, bunga
yang kurang mendapat perhatian publik tetapi tetap bertahan di tengah genangan
air dan lumpur. Kiranya anak-anak yang dididik dari sekolah Insan Teratai tetap
memancarkan kembang yang menarik, walau dari kubangan lumpur. ***(Valery Kopong)