Friday, October 16, 2020

Karenamu

Sebuah kejadian kecil bisa memberi inspirasi bagi setiap orang yang memandangnya dan melakukan tindakan besar yang bisa berpihak pada banyak orang. Adalah Yuli, nama anak itu yang dilihat sedang membaca sebuah koran terbitan ibu kota, namun ia memegang koran itu secara terbalik sambil membacanya.   Peristiwa kecil itu terjadi di depan sebuah vihara yang ada di Jakarta Barat. Peristiwa unik di atas dilihat secara langsung oleh Ibu Siang Riani atau sering disapa dengan Mami Aysiang. Mami Aysing mendekati anak itu untuk menanyakan lebih jauh tentang kondisi yang sedang dialami. Melihat Yuli yang membaca Koran dengan posisi terbalik itu, mengundang Mami Aysiang untuk bertanya lanjut. Nak, sekolah di mana? Tanya Mami Aysing. Dengan santai pula, ia menjawab, saya tidak sekolah karena tidak ada biaya.  

 

Mendengar jawaban polos ini, menggugah hati Mami Aysing untuk berbuat sesuatu untuk Yuli dan teman-temannya yang tidak bisa mengenyam pendidikan karena ketiadaan biaya pendidikan. Peristiwa unik dan sederhana yang dilihat langsung oleh Mami Aysiang, menggugah kesadaranya untuk mencari para donatur untuk membiayai pendidikan bagi mereka yang nyaring putus sekolah. Selama dua puluh lima tahun, Mami Aysiang mencari para donatur dan mendonorkan donasi dalam bentuk uang pada mereka yang sedang sekolah tetapi memiliki ekonomi yang lemah. Banyak anak yang dulunya nyaris tidak sekolah karena ketiadaan uang tetapi dengan sokongan para donatur melalui orang tua asuh yang digagas oleh Mami Aysiang, mereka pada akhirnya menjadi “orang.” Banyak anak yang dulu disuport oleh para donatur melalui orang tua asuh, mendapatkan masa depan yang cerah. Kini, mereka menempati posisi penting di dunia kerja.

 

Gelora semangat untuk memperhatikan anak-anak “tuna aksara” terus bergulir. Membangun rasa peduli terhadap mereka yang terpinggir dan tidak mendapatkan pendidikan formal terus dirintis. Bertitik pijak pada Vihara Dharma Bhakti, rumah Tuhan yang selalu memberikan pencerahan, tidak cuma doa dan meditasi yang dilakukan tetapi lebih dari itu ia membangun sikap spiritual untuk menyokong segala kegiatan kemanusiaan. Doa dan meditasi saja tidak cukup tetapi yang dibutuhkan adalah “buah-buah” dari doa dan meditasi untuk memancarkan kebaikan kepada mereka yang tidak mampu dan terpinggirkan itu.

Vihara Dharma Bhakti mengajarkan banyak cara untuk berbuat sesuatu. Ketika dipercayakan untuk menjabat sebagai ketua harian di Vihara itu, Mami Aysiang  mencoba untuk menggerakan rasa peduli bagi para donatur  untuk bisa memberikan donasi berupa uang yang bisa menyokong pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu secara ekonomis. Gerakan untuk mengumpulkan dana ini sangat efektif dan dari hasil pengumpulan dana itu, Yuli dan 300 orang anak yang tidak mampu berhasil dibantu agar pendidikan mereka terus berlanjut. Memang, ”untuk melakukan sesuatu tidak harus dengan uang,” demikian kata Bob Sadino, seorang pengusaha terkenal yang memulai sesuatu dari kemauan pribadi.

 

 

Karena kemauan ini pula maka Mami Aysing  terdorong untuk memulai gerakan kemanusiaan ini walaupun tugasnya  mengetuk hati para donatur. “Uang masih ada di saku para donatur” dan dengan berusaha meyakinkan para donatur, mereka bisa memberikan perhatian pada dunia pendidikan, secara khusus membiayai anak-anak yang lemah ekonominya.   

Status anak-anak yang dilayani adalah “anak asuh” karena ia  belum mewujudkan mimpi untuk mendirikan sebuah sekolah untuk menjawabi kebutuhan anak-anak. Perhatian  yang diberikan tidak hanya  sebatas pada 300 anak asuh di bawah naungan Vihara Dharma Bhakti, tetapi perlahan membuka ruang perjumpaan dengan anak-anak lain sebagai anak asuh, seperti ke Vihara lain yang ada di Jelambar dan Tangerang.  
   

Ada bersama dengan mereka yang tidak mampu, sepertinya memberikan energi baru baginya  untuk memulai sesuatu  dalam  mewujudkan mimpi yang belum terwujud. “Aku Ada bukan untuk Ada-ku”, melainkan “Aku Ada  untuk Aku-ku yang lain.” Penggalan kalimat bernada filosofis milik Martin Heidegger, filsuf eksistensialis ini sepertinya dimaknai secara mendalam. Bahwa Ada-ku tidak untuk diriku sendiri namun Ada-ku menjadi lebih bermakna ketika saya berbuat sesuatu untuk orang lain. Pada titik tertentu, orang-orang yang saya layani bisa merasakan getar tulus dari nilai pengorbananku untuk mereka yang terlupakan.

Namun hidupku selalu gelisah  dan kegelisahan itu semakin memuncak ketika melihat begitu banyak anak yang tidak tertangani secara baik sehingga berada pada zona tidak nyaman. Di mana kehadiran negara di tengah ketimpangan sosial ini? Ah, saya tidak perlu bertanya pada negara tentang persoalan pendidikan yang terpuruk ini. Jauh lebih baik saya bertanya pada diri dan bercermin pada apa yang pernah dikatakan oleh John F. Kennedy pada puluhan tahun silam. Apa yang harus saya lakukan untuk negara?   

Dua puluh lima tahun mengabdikan diri sebagai orang tua asuh, Mami Aysiang pada akhirnya memutuskan diri untuk mendirikan sebuah sekolah di Kota Bumi, Tangerang. Sekolah itu diberi nama Insan Teratai.  Setiap kali  memasuki gerbang sekolah  Insan Teratai yang berdiri tegak di tepi kali mati, seolah menatap puncak dari sebuah perjuangan yang melewati jalur-jalur terjal. Gedung sekolah yang berdiri kokoh dan bangunannya seakan “mencakar langit,” menjadi tanda yang tak terlupakan dari mimpi yang terwujud dan begitu banyak orang yang tergiring kesadaran untuk berempati pada perjuangan yang tidak mengenal lelah ini. Seluruh jerih lelah ini sepertinya terbayar ketika melihat sekolah yang menjadi medan pergulatan dan pergumulan anak-anak tentang hidup dan kehidupan mereka. Insan Teratai menjadi muara baru, tempat nyaman untuk mencari ilmu. Mengapa memilih nama bunga teratai? Yah, teratai, bunga yang kurang mendapat perhatian publik tetapi tetap bertahan di tengah genangan air dan lumpur. Kiranya anak-anak yang dididik dari sekolah Insan Teratai tetap memancarkan kembang yang menarik, walau dari kubangan lumpur. ***(Valery Kopong)

 

 

0 komentar: