Beberapa tahun yang lalu, ketika mengikuti perlombaan
menulis dalam rangka ulang tahun Keuskupan Agung Jakarta, ada sesuatu yang
menarik dari hasil perlombaan itu yang perlu dicermati. Tulisanku masuk sepuluh
besar dan mendapatkan honorarium dari panitia penyelenggara dan sepuluh tulisan
terbaik, dibukukan. Buku itu diterbitkan oleh penerbit Obot Jakarta dengan
judul: “Gereja Warteg.” Judul buku ini
diambil dari sebuah tulisan salah satu peserta yang waktu itu masih mengenyam
pendidikan di STF Driyarkara – Jakarta. Gereja Warteg, tidak sekedar tulisan
biasa dan penulis tidak sekedar beropini tetapi tulisannya berlandaskan pada
wawancara dan pengalaman bersama orang tuanya sebagai buruh. Basis tulisan itu
lebih bermuara pada bagaimana perhatian Gereja terhadap kaum buruh yang selama ini bekerja di area
Tangerang.
Apa hubungan antara warteg dan Gereja Warteg? Penulis secara implisit mengajak Gereja untuk membangun hubungan yang komunikatif dan memberikan suport terhadap kaum buruh, yang tidak lain adalah anggota Gereja (terutama buruh Katolik). Di mata para kaum buruh Katolik, mereka menginginkan kehadiran Gereja seperti warteg, tempat berjumpa kaum kecil untuk mendiskusikan tentang hidup dan kehidupan ini. Gereja harus membuka diri dan menampung segala keluhan yang datang dari kaum buruh. Harus diakui bahwa kehadiran Gereja untuk ada bersama dengan kaum buruh, masih dirasa jauh dari harapan. Setiap tanggal 1 Mei sebagai hari buruh internasional, Gereja masih menghimpun para buruh Katolik untuk adakan seminar dan biasanya ditutup dengan perayaan Ekaristi. Apa yang dilakukan oleh Gereja ini masih sebatas aspek seremonial dan belum menyentuh keberpihakan pada kaum buruh.
Memang sulit bahwa Gereja tidak bisa tampil sebagai penyelamat kehidupan kaum buruh karena jumlah mereka sangat banyak. Pesan penting yang perlu diperhatikan adalah Gereja tetap menyuarakan kebenaran dan menyoroti situasi jika pemerintah dan para pelaku bisnis sewenang-wenang mempekerjakan kaum buruh dan sistem pengupahan yang jauh dari yang telah ditetapkan. Gereja perlu menyuarakan peran kenabian (peran profetis) agar pihak-pihak yang bertanggung jawab atas persoalan berkaitan dengan buruh, berada pada jalur yang benar.
Gereja memiliki dasar yang kuat untuk bersuara dan menyampaikan kepada pihak-pihak terkait dalam menangani persoalan kaum buruh. Selain mengikuti teladan Yesus yang selalu menyoroti ketimpangan sosial, Gereja juga memiliki ensiklik yang berbicara tentang hidupan kaum buruh. Ensiklik Rerum Novarum merupakan sebuah ensiklik yang diterbitkan oleh Paus Leo XIII pada tanggal 15 Mei 1891. Paus Leo XIII melalui Rerum Novarum, mendukung perjuangan hak-hak kaum buruh dan membahas hubungan antara pemerintah, bisnis dan kaum buruh. Di sini kita bisa melihat bahwa peran Gereja sangat kuat untuk menyuarakan kebenaran agar kelayakan hidup kaum buruh harus diperhatikan oleh pemerintah dan pelaku bisnis. Mengurai persoalan kaum buruh tidak semudah membalikan telapak tangan. Dari tahun ke tahun pasti ada persoalan yang muncul karena mengikuti aturan dan iklim investasi. ***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment