Monday, July 13, 2020

Elegi Sang Perantau

Siapa yang tahu persis, kapan kematian itu menjemput seseorang? Di pagi yang cerah dengan awan sisa menggelantung di tangkai langit, seolah menerima keramahan dan senyuman terakhir bagi mereka yang bergabung dalam acara goes bersama. Pada video terakhir pada menjelang detik-detik kejatuhannya dari sepeda, ia melambaikan tangannya dari atas sepeda untuk terakhir kali. Semua pada panik karena kondisinya kejang. Ia dilarikan ke klinik  tapi dalam perjalanan sepertinya ia menghembuskan nafas terakhir. Para sahabatnya  yang menunggu dengan jantung setengah berdenyut, tiba-tiba hanyut dan larut dalam kemelut dingin. Ia meninggal dalam damai. Ia hanyut terbawa dalam arus sakratul maut. Ia mati selamanya. Dan tentang kematian, seorang sahabat saya yang meninggal setelah menulis puisi ini, menuangkan nilai-nilai puitis bernada demikian:


Kuusung jenasahku sendiri
Menyinggung tepian samudra
Angin yang mengawal pantai
Menebar bau kematian ini
Kumakamkan diriku sendiri di sini
Tanpa kembang seribu janji
Tiada pula syair-syair kebangkitan…

 

Puisi yang bernilai eskatologis ini ditulis oleh teman kelas saya waktu ia masih hidup dan bergelut dengan panggilan hidupnya sebagai calon imam tetapi gagal di persimpangan kebingunan. Kematian menjadi sebuah pilihan yang mau tidak mau diterima sebagai bagian dari hidup itu sendiri. Apa gunanya berbicara tentang hidup kalau kita takut berbicara tentang kematian? Kematian itu pasti, ia (kematian) lebih pasti daripada ilmu pasti. Seperti dalam urat nadi puisi di atas yang menggambarkan secara implisit tentang heroisme seorang seniman yang tidak takut akan kematian yang digambarkan pada kalimat “kuusung jenasahku sendiri.” Ini menunjukkan bahwa ia sedang mempersiapkan diri menuju hidup yang lain. Ia berpihak pada kehendak-Nya dan mengusung kesadaran untuk pada akhirnya menerima kematian yang waktu itu terjadi secara tragis sebagai sesuatu yang terberi. Kekuatan bagi seorang seniman mengandalkan puisi sebagai benteng harapan dan meneguhkan imannya sendiri. Puisi itu lahir dari kesadaran dan karenanya kekuatan puisi itu dapat menembus ruang-ruang sunyi, seperti sinyal yang menembus ke segala arah.


“Hidup mengarah pada kematian” (Zein Zum Tode), demikian kata filsuf Martin Heidegger, yang  memproklamirkan tentang jejak terakhir dari hidup ini. Kematian bagi saudara kita Ino Madur  hanyalah sebuah langkah awal untuk memulai hidup baru. Semasa hidupnya, ia selalu menyempatkan diri untuk berdoa dan bahkan terlibat aktif di gereja. Ia yakin bahwa kekuatan doa sanggup memulihkan hidupnya dan pada akhirnya ia diterima dalam pangkuan-Nya. Allah tentu tidak bertanya, berapa kali Anda berdoa tetapi Ia bertanya berapa kali Anda berbuat baik dengan orang selama hidup.

 

Saya membayangkan Nestor, lelaki semata wayang kelihatan tegar tetapi semestinya ia belum paham arti kepergian dalam konteks kematian yang dialami ayahnya.  Ia mungkin  baru sadar dan menangis ketika peti jenazah itu  ditutupi tanah. Ia pasti menangis bersama ibunya dan dua kakaknya  sambil memegang salib yang belum kuat berdiri di timbunan tanah yang lembab. Apa yang kita kenang pada sosok seorang Ino Madur? Ia bukan seorang penyair seperti Gorki, Tolstoi yang walaupun sudah meninggal tetapi masih dikenang denyut nadi mereka pada karya-karya sastera bahkan orang-orang yang mengaguminya membuat patung untuk mengabadikan sosok orang yang pernah hidup dan berkarya. Ino Madur  hanyalah seorang perantau dari tepian kampung dan bekerja tanah rantau. Yang dikenang adalah keramahan terakhir dan senyumnya yang begitu memukai beberapa orang di saat-saat menjelang kepergian terakhir.


            Tak ada karya sastera yang terbaca dan tak ada catatan perjalanan yang ternoktah pada selembar kertas, yang mengisahkan liku-liku hidup sebagai perantau. Tapi amat menyedihkan ketika sidang perkabungan datang melayat, menatap rumahnya yang baru dibangun.  Tapi dalam kesederhanaan itu membahasakan sebuah filosofi hidup yang mendalam bahwa ia dan keluarganya hidup apa adanya. Kesederhanaan menjadi puncak pertarungan hidup dan mungkin ia mengalami “kekayaan baru” di tanah seberang. Di liang lahat dengan kembang melati yang harum menyengat, seakan membuka diri menerima anggota komunitas baru. Kita  semua khusyuk dalam doa runduk pasrah. “Tanpa kembang seribu janji. Tiada pula syair-syair kebangkitan…” Hampir seminggu ia meninggal, tak ada tanda-tanda kebangkitan yang berarti. Seperti ingatan yang kabur tentang kapan kematian itu menjemput? Hanya hamburan semerbak bunga mewangi yang paham tentang kematian sebagai titik akhir di dunia ini.

 

            Saudara-saudari yang terkasih. Bacaan pertama dan Injil yang barusan diperdengarkan tadi, bisa kita temukan benar merah, yakni kuasa Allah melampaui maut sehingga Allah membangkitkan Puteranya pada hari ketiga. Kitab suci tidak secara kronologis mengisahkan tentang kebangkitan Yesus tetapi kekosongan kubur menjadi tanda bahwa ada kebangkitan Yesus. Peristiwa lain yang mengungkapkan iman kita kepada Kristus, adalah penampakkan diri Yesus setelah kebangkitan-Nya dari alam maut. Iman para murid yang sebelumnya runtuh oleh karena kematian yang dialami oleh Yesus, tetapi setelah penampakkan diri-Nya kepada para murid, maka iman mereka mulai tumbuh kembali dan bahkan berkobar-kobar setelah peristiwa pentakosta.

 

            Saudara-saudari yang terkasih. Pengalaman kepergian saudara Ino Madur yang begitu cepat, sepertinya menyiutkan nyali iman kita juga terhadap Yesus. Kita sepertinya berada pada suasana Jumat Agung, namun ketika kita berpasrah diri pada-Nya, suasana akan berganti menjadi minggu kebangkitan, minggu sukacita.  (Valery Kopong)***

No comments: