KETIKA mengunjungi teman yang
sakit, ia selalu mengeluh sakit terutama setelah operasi. Pada operasi pertama
yang dianggap gagal, ia kemudian dipindahkan ke rumah sakit lain dan dianjurkan
oleh dokter untuk dioperasi lagi karena kondisinya semakin parah. Tindakan
dalam pengoperasian ulang dilakukan karena dokter bedah pada rumah sakit
sebelumnya salah meletakkan posisi usus yang sebenarnya dalam tubuh si pasien.
Awalnya ia menolak saat diminta untuk dioperasi ulang tetapi setelah diberi
penguatan oleh teman-teman, ia pada akhirnya meyakinkan diri untuk dioperasi.
Secara pribadi, saya memberikan salut dengan keputusan yang diambil oleh pasien. Keputusan yang diambil ini merupakan keputusan yang sangat riskan dengan mempertimbangkan dua aspek yang sama-sama sulit. Mau bertahan dengan hasil operasi yang pertama maka jelas tidak ada perubahan ke arah kesembuhan. Menurut deteksi dokter pada rumah sakit yang kedua dikatakan bahwa peletakan usus setelah operasi pertama tidak pada tempat yang sebenarnya dan usus tersebut tidak dalam kondisi bersih. sehingga ada kemungkinan penyebaran virus ke berbagai anggota tubuh lain. Atas dasar inilah maka para dokter memutuskan untuk dioperasi lagi. Operasi yang kedua berjalan cukup alot dan memakan waktu sebelas jam.
Sebelum
menjalani operasi untuk kedua kalinya, ia terlihat lesuh dan sepertinya ada
pemberontakan dalam diri untuk mengatakan “tidak”. Namun setelah sehari semalam
ia dibujuk maka dengan penuh kepasrahan ia menyerahkan diri untuk dioperasi
dengan satu harapan tunggal: sembuh. Harapan
untuk hidup lebih baik yang tertanam dalam diri sahabatku dilimpahkan
sepenuhnya pada Tuhan yang menjamah dirinya lewat tangan-tangan para dokter. Itu
berarti bahwa cara kerja para dokter harus menjanjikan kesembuhan dan dalam
diri dokter sendiri dilihat sebagai peluang dalam menggapai kehidupan.
Kami
semua yang hadir hanya menghantar dia ke ruang operasi melalui tatapan mata.
Dari tatapan mata para sahabatnya yang datang, membersitkan sebuah harapan yang
sama yaitu: kesembuhan. Kesembuhan adalah nilai yang sangat berharga untuk
seorang pasien. Tetapi apakah proses menuju ke arah kesembuhan semata-mata
merupakan daya upaya manusia? Ketika berada dalam kondisi sakit, setiap pasien
memperlihatkan diri sebagai manusia yang tak berdaya, lemah dan selalu meminta
pertolongan dari siapa pun untuk menghantar dia (pasien) keluar dari lingkaran
kesakitan. Orang-orang sakit adalah mereka yang selalu merindukan kesembuhan dan dalam diri mereka terlihat perjuangan
untuk mempertahankan hidup. Tetapi untuk menggapai kehidupan yang lebih baik,
seorang pasien harus melalui peristiwa derita. Pada momentum derita ini,
sebenarnya muncul dua kemungkinan yaitu mau sembuh atau tidak.
Pengalaman
sahabat saya tidak menjadi pengalaman pribadi tetapi pengalamannya telah
membawa banyak pihak untuk membuka mata sambil merenungkan tentang kehidupan
ini. Kehidupan yang dijalani memperlihatkan dua sisi yang berbeda yang mesti
dijalani oleh setiap manusia. Ada
saat di mana seseorang merasakan kegetiran hidup sebagai tantangan sekaligus
cobaan. Ada
saat di mana seseorang merasakan kegembiraan. Dua aspek kehidupan ini bukan
menjadi pilihan pribadi semata-mata tetapi lebih dari itu ada intervensi Tuhan
dalam kehidupan setiap manusia. Tuhan memperlihatkan
campur tangan secara pribadi melalui warna-warni kehidupan manusia. Tetapi
seberapa jauh manusia merasakan sentuhan kasih Tuhan dalam setiap detak
perjalanan hidup manusia?
Pengalaman sakit
membawa daya pengubah untuk kehidupan seseorang. Melalui sakit membuat seorang
pasien yang peka terhadap sentuhan kasihNya dapat mengadakan sebuah refleksi
panjang tentang hidup dan kehidupan ini. Sakit yang membawa penderitaan membuat
orang merasakan secara amat nyata ketidakpastian hidup, kegoyahan eksistensi.
Penderitaan yang dialami membawa bahaya dan mengancam kehidupan itu sendiri. Dengan demikian muncul
sebuah model ketergantungan baku
dari sang pasien akan peranan orang lain.
Walaupun dalam
kondisi tak berdaya, tetapi harapan baru terus digulirkan oleh para sahabat dan
anak didiknya sendiri. Hampir setiap hari, rumah sakit selalu ramai dikunjungi
oleh orang-orang yang pernah ia didik. Para
siswa dan siswi merasakan pendidikan yang baik tidak hanya dalam ruang kelas tetapi
lebih dari itu, si pasien yang adalah guru mereka memberikan pendidikan baru
untuk mereka yaitu mendidik mereka untuk bertahan dalam peristiwa derita.
Barangkali si pasien sungguh memahami perjalanan hidup Sang Guru Agung, Yesus
Kristus. Ia (Yesus) tidak hanya mengalami pengalaman Tabor yang menyenangkan
tetapi juga turut merasakan secara mendalam akan peristiwa Golgota. Pengalaman
kebangkitan seperti yang dialami oleh Yesus harus dilalui dengan derita dan hal
ini menyodok kesadaran pasien untuk boleh berharap akan kesembuhan tetapi
langkah pertama yang ditempuh adalah mau menderita.
Ada beberapa nilai yang
perlu dipelajari dari perjuangan hidup seorang pasien. Pertama,
nilai kepasrahan. Sikap pasrah seorang pasien adalah sikap pasrah dengan suatu
harapan lain dibalik kepasrahan itu sendiri. Sikap yang ditunjukkan itu
memberikan sebuah pelajaran baru tentang bagaimana bersikap pasrah pada setiap
kali menghadapi cobaan hidup. Kedua,
nilai kebaikan. Kehadiran para sahabat dan para siswa/siswi yang dididiknya
yang tak pernah putus, menunjukkan bahwa si pasien yang adalah guru mereka
telah menaburkan kebaikan di sepanjang karirnya.
Pengalaman
untuk menghadapi penderitaan adalah pengalaman kesendirian. Hidup para pasien
seakan teralienasi dari kehidupan ramai. Dalam kondisi hidup yang sangat sunyi
ini mereka butuh uluran tangan, bantuan tidak hanya berupa uang tetapi lebih
dari itu memberikan dukungan moril untuk pada akhirnya membangkitkan kembali
sebuah harapan baru dalam diri seorang pasien. Dengan dukungan konkrit seperti
kehadiran para sahabat, ia (pasien) akan menemukan kembali nilai dan semangat hidup yang paling berharga.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment