“Sebuah
jubin lantai rumahku terpecah. Terlihat, seekor jangkrik keluar dari retakan jubin sambil mengibas
sayap, pratanda ada kebebasan baru yang dialami.”
Langit kota Tangerang-Banten semakin cerah. Sinar mentari pagi perlahan
menyusup menembusi dedauan yang masih
melekat rapih di pohonnya. Kecerahan langit tak secerah langit jiwa sang kelana yang kini mendekap di hotel
prodeo. Langkahku semakin merapat pada pintu besi di Lembaga Pemasyarakatan
Tangerang. Deru mesing-mesin kota dan semburan asap dari knalpot, sepertinya
tidak mengganggu kehidupan mereka yang sangat terbatas. Kerinduan untuk bebas
selalu menggema setiap saat tetapi itu hanya kerinduan. Waktulah yang
menentukan dan memungkinkannya untuk keluar dari arena tak bebas itu.
Di
depan pintu besi Lapas yang sulit didobrak itu, saya menitipkan HP, KTP dan tas
ranselku juga digeledah. Di ruang itu saya menyuruh petugas Lapas untuk
memanggil Didik, (bukan nama sebenarnya) dan beberapa rekannya untuk kami
ngobrol bersama di ruang tunggu. Cukup lama saya menunggu dan tiba-tiba ia dan
beberapa temannya yang Katolik datang dari arah kapel. Di tangan Didik,
tergenggam Injil dan didahinya diberi tanda salib dengan abu. Ketika masuk di
ruangan, beberapa temannya menanyakan soal arti pemberian diri dengan abu di
dahi. Dengan penuh keyakinan, Didik menjelaskan
pada teman-teman narapidana yang muslim, bahwa tanda abu yang dikenakan
pada dahi mengingatkan kita sebagai manusia lemah yang diciptakan dari tanah,
suatu saat akan kembali ke tanah. Mendengar penjelasan itu, saya hanya manggut
sebagai cara untuk mengapresiasi terhadap apa yang dikatakan sebagai kebenaran
dari ajaran yang diterimanya.
Ruang tunggu itu tak beda jauh dengan “ romantic room.” Semua nara pidana yang saya jumpai sedang memeluk isteri atau
anaknya dengan penuh kasih sayang. Kerinduan itu tersembul dari sorotan mata
yang tak bisa menipu realita. Sambil menikmati coca-cola, saya mengobrol
bersama beberapa napi yang katolik. Ketika saya tanya, apakah banyak napi
katolik? Dengan penuh kepastian, ia menjawab, sekitar 30-an orang napi katolik.
Mereka masuk atau dipaksa masuk ke situ dengan beragam masalah. Ada yang
dihukum karena melakukan tindakan kriminal, ada yang terjerat masalah narkoba
dan banyak lagi kasus yang menimpah mereka yang pada akhirnya menyeret mereka
ke Lembaga Pemasyarakatan itu.
Socrates
pernah berujar, “apabila banyak sekolah didirikan maka suatu saat,
penjara-penjara bisa ditutup.” Ungkapan Socrates ini membahasakan bahwa
keberadaan sekolah menjadi jaminan bahwa pola perilaku manusia bisa tertata
rapih dan kejahatan perlahan lenyap dari bumi ini. Tetapi apa realita yang
muncul saat ini? Pendirian sekolah hampir bersamaan dengan pendirian penjara
atau sekarang disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Di depan papan
pengumuman itu aku melihat data-data terutama jumlah orang yang ada dalam
penjara sekitar 1000 lebih orang. Ini belum terhitung dengan jumlah nara pidana
di Lapas wanita dan anak-anak. Sebuah
angka yang menggila dan fantastis. Tetapi apakah mereka adalah orang-orang
terbuang dari pergaulan umum karena ulah tingkah dan salah mereka? Melihat
jumlah napi yang semakin menanjak, menjadi sebuah sindiran bagi lembaga
keluarga, sekolah dan agama yang selalu mendengungkan moralitas dan nilai cinta
kasih. Masing-masing institusi mempertanyakan diri. Seberapa jauh nilai cinta
kasih dan moralitas ditanamkan dalam diri anak-anaknya?
Dalam
rentang waktu yang tidak mengenal titik habis, kita terus bertanya, mengapa
mereka terhempas dan dihempas dalam penjara? Sampai kapan mereka mengalami
pertobatan yang berarti? Inilah pertanyaan yang sederhana terus menggeliat
dalam lika-liku waktu. Didik, walau dianggap sebagai pembunuh kelas kakap,
tetapi beberapa tahun terakhir menunjukkan diri ke arah perubahan yang lebih
baik. Menurut penuturannya dengan saya,
dengan berbekal pengalaman yang tidak bebas di Lapas, ia selalu menasihati
keluarganya agar menghindari hal-hal yang bersentuhan dengan tindakan kriminal.
Pengalaman di Lapas adalah pengalaman yang tidak mengenakkan dan ruang gerak
kebebasan selalu dipantau.
Apa
yang harus dilakukan sebagai upaya dalam mengatasi pelbagai persoalan? Baginya,
hanya satu cara yang ditempuh yaitu mengikuti proses hukum dan menjalaninya
secara normatif. Cara ini memperlihatkan
sebuah upaya untuk bersahabat dengan keputusan hakim yang telah mengetuk
palu. Menghitung hari-hari hidup dibalik
jeruji adalah menghitung sebuah kesia-siaan. Mengapa kesia-siaan? Karena
setelah menghitung, berapa lama lagi saya mendekap dalam penjara, saya tetap
menjalani hidup sebagai napi dan masih menunggu waktu untuk suatu saat keluar
dari penjara. Memang, penjara (Lapas) hanya memenjarakan saya secara fisik
tetapi kerinduan saya tak bisa terpenjara. Kebanyakan napi hidup dalam kerinduan,
rindu untuk pulang rumah, untuk ada bersama dengan anggota keluarga.
Semangat
dan kerinduan menjadi spirit yang menggerakkan kesadaran mereka untuk bertahan
dalam penjara. Tanpa harapan dan kerinduan maka pupus sudah makna hidup yang
dijalaninya. Memang penjara, di mata kebanyakan orang adalah tempat pembuangan
bagi mereka yang menyalahi aturan normatif. Namun penjara juga dilihat sebagai
wadah yang membentuk atau mendaur kembali kehidupan orang-orang yang sudah jauh
dari sentuhan moralitas. Di ujung pertemuan itu, Didik semakin menguatkan diri
dengan melihat figur Paulus, yang dulu dikenal sebagai penjahat dan membunuh
orang-orang yang menamakan diri sebagai pengikut Yesus, tetapi setelah
mengalami pertobatan, ia menjadi rasul terbesar dalam Gereja Katolik. Ia tidak
hanya mewartakan Yesus di kalangan orang Yahudi tetapi melampaui kelompoknya
sendiri.
Penjara
(Lapas) bisa dikatakan sebagai tempat untuk memurnikan kembali nurani agar
setelahnya para mantan napi dapat bertindak secara baik. Seperti emas yang
disepuh dalam tanur api, di sanalah kita temukan kemurnian emasnya. Demikian
juga penjara, telah menyepuh para napi dalam tanur peradaban agar kelak, para
mantan napi menjadi manusia yang utuh kembali.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment