Monday, March 2, 2020

Mencari Kebenaran Berita



Perkembangan media, baik media massa maupun media online turut mempengaruhi publik terutama dalam kaitan dengan informasi. Ketika sebelum muncul media-media online maupun media sosial, media mainstream mengolah sebuah kebenaran informasi secara akurat sebelum mempublikasikan berita itu ke hadapan publik. Jumlah media mainstream yang minim waktu itu, menjadikan media itu sebagai sumber pembawa informasi yang benar, setelah awak media berusaha untuk melakukan investigasi tentang kebenaran sebuah peristiwa. Para pewarta berita, tidak lain adalah pewarta tentang kebenaran yang dipublikasikan. Kebenaran sebuah realitas yang dipublikasikan telah melewati proses penyaringan yang ketat dan pada akhirnya media tersebut mempublikasikan sebuah berita dengan merujuk pada fakta sebenarnya.

Apa yang dinarasikan di atas merupakan cerminan dari cara kerja media massa pada beberapa tahun lalu, sebelum munculnya media-media online dan media sosial. Kehadiran media sosial dan media-media online saat ini lebih banyak menularkan sesat pikir dari publik yang melihat dan membaca informasi tanpa disertai dengan daya analisisnya. Kecenderungan umum saat ini ketika berhadapan dengan media online ataupun media sosial adalah animo untuk menyebarkan berita itu begitu menggebu-gebu tanpa melalui proses seleksi yang ketat. Artinya bahwa setiap kita yang hidup di zaman modern ini, hampir setiap detik kita dihujani dengan informasi namun dibalik gundukan informasi itu, berapa persen nilai kebenaran yang terkandung dalam berita tersebut?

Beberapa hari yang lalu, sebuah harian umum terpercaya dan teruji kredibilitasnya di zaman Orde Baru. Bahkan media tersebut beberapa kali dibredel karena berani mengungkap sebuah fakta. Keberanian media massa terpercaya ini patut mendapat apresiasi dari publik. Namun pada belakangan ini, media massa tersebut mendegradasikan kualitas dirinya dengan menyebarkan sebuah informasi sampah. Informasi yang jauh dari sentuhan kebenaran. Apa yang diinformasikan oleh sebuah media terpercaya pada tahun-tahun sebelumnya, tentang Paus Fransiskus yang terkena virus corona, padahal pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia itu hanya menderita sakit flu. Entah dari mana berita itu sampai di redaksi media terpercaya itu? Apakah para redaktur media itu tidak menyortir berita itu sebelum dipublikasikan?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting ketika berhadapan dengan informasi yang disebarkan oleh media terpercaya itu. Dulu, banyak orang begitu kagum akan media terpercaya itu tetapi pada belakangan ini banyak orang sudah mulai kehilangan kepercayaan karena berita-berita sampah menjadi pilihan utama media terpercaya ini. Beberapa hari belakangan ini banyak orang mulai menyerang agama Katolik dengan pelbagai cara. Beberapa di antara mereka menyebut diri sebagai mualaf dan kini memeluk agama Islam. Jika mau memeluk agama apa pun, itu sah-sah saja dan merupakan hak setiap pribadi. Tetapi menjadi persoalan adalah ketika mengatakan diri sebagai mantan pastor, mantan suster  dan bahkan ada yang mengatakan lulusan S3 Vatikan. Apa yang diungkapkan para mualaf ini, jauh dari kondisi sebenarnya. Apa yang dicari para mualaf ini? Yang dicari adalah uang, dengan menghalalkan segala cara, terutama menjual “mantan,” entah mantan suster, entah mantan pastor.

Semua berita yang dipublish ke hadapan publik, semestinya dicerna  secara cermat, untuk pada akhirnya  bisa menentukan nilai kebenaran itu. Tetapi sayang, di Indonesia banyak orang telah mengalami “mati rasa” dan tidak selektif. Kecenderungan umum ketika isu-isu untuk menjelekan agama orang lain yang dibawa oleh “mualaf” seakan menjadi kebenaran yang mesti dipercaya. Hatilah-hatilah mencerna informasi yang ada di media, baik media massa maupun media online yang sedang menggempur  hari-hari hidup kita.***(Valery Kopong)

No comments: