Perkembangan media, baik media massa maupun media
online turut mempengaruhi publik terutama dalam kaitan dengan informasi. Ketika
sebelum muncul media-media online maupun media sosial, media mainstream
mengolah sebuah kebenaran informasi secara akurat sebelum mempublikasikan
berita itu ke hadapan publik. Jumlah media mainstream yang minim waktu itu,
menjadikan media itu sebagai sumber pembawa informasi yang benar, setelah awak
media berusaha untuk melakukan investigasi tentang kebenaran sebuah peristiwa. Para
pewarta berita, tidak lain adalah pewarta tentang kebenaran yang
dipublikasikan. Kebenaran sebuah realitas yang dipublikasikan telah melewati
proses penyaringan yang ketat dan pada akhirnya media tersebut mempublikasikan
sebuah berita dengan merujuk pada fakta sebenarnya.
Beberapa hari yang lalu, sebuah harian umum
terpercaya dan teruji kredibilitasnya di zaman Orde Baru. Bahkan media tersebut
beberapa kali dibredel karena berani mengungkap sebuah fakta. Keberanian media
massa terpercaya ini patut mendapat apresiasi dari publik. Namun pada
belakangan ini, media massa tersebut mendegradasikan kualitas dirinya dengan
menyebarkan sebuah informasi sampah. Informasi yang jauh dari sentuhan
kebenaran. Apa yang diinformasikan oleh sebuah media terpercaya pada
tahun-tahun sebelumnya, tentang Paus Fransiskus yang terkena virus corona, padahal
pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia itu hanya menderita sakit flu. Entah dari
mana berita itu sampai di redaksi media terpercaya itu? Apakah para redaktur
media itu tidak menyortir berita itu sebelum dipublikasikan?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting ketika
berhadapan dengan informasi yang disebarkan oleh media terpercaya itu. Dulu,
banyak orang begitu kagum akan media terpercaya itu tetapi pada belakangan ini
banyak orang sudah mulai kehilangan kepercayaan karena berita-berita sampah
menjadi pilihan utama media terpercaya ini. Beberapa hari belakangan ini banyak
orang mulai menyerang agama Katolik dengan pelbagai cara. Beberapa di antara
mereka menyebut diri sebagai mualaf dan kini memeluk agama Islam. Jika mau
memeluk agama apa pun, itu sah-sah saja dan merupakan hak setiap pribadi. Tetapi
menjadi persoalan adalah ketika mengatakan diri sebagai mantan pastor, mantan
suster dan bahkan ada yang mengatakan
lulusan S3 Vatikan. Apa yang diungkapkan para mualaf ini, jauh dari kondisi
sebenarnya. Apa yang dicari para mualaf ini? Yang dicari adalah uang, dengan
menghalalkan segala cara, terutama menjual “mantan,” entah mantan suster, entah
mantan pastor.
Semua berita yang dipublish ke hadapan publik, semestinya
dicerna secara cermat, untuk pada
akhirnya bisa menentukan nilai kebenaran
itu. Tetapi sayang, di Indonesia banyak orang telah mengalami “mati rasa” dan
tidak selektif. Kecenderungan umum ketika isu-isu untuk menjelekan agama orang
lain yang dibawa oleh “mualaf” seakan menjadi kebenaran yang mesti dipercaya.
Hatilah-hatilah mencerna informasi yang ada di media, baik media massa maupun
media online yang sedang menggempur hari-hari
hidup kita.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment