Pengantar Redaksi: Paulus
yang sebelum pertobatannya dikenal sebagai Saulus, lahir di Tarsus, Kilikia,
sebuah pusat perdagangan terkenal di bagian Tenggara Asia Kecil (sekarang
wilayah Turki). Tanggal lahir Paulus tidak diketahui secara pasti tapi
diperkirakan ia dilahirkan sekitar tahun
10 sesudah Masehi. Paulus adalah seorang
Israel dari suku Benyamin dan disunat pada hari kedelapan (Filipi 3:5). Dalam
teks yang sama ini Paulus mengatakan bahwa ia adalah seorang Farisi yang
berpendirian teguh. Dikatakan bahwa Paulus menyandang dua nama yakni nama
Romawi (Paulus) dan nama Yahudi (Saulus) (Kis 7:58; 8:1). Melalui proses tawar-menawar waktu yang sangat lama, tim Redaksi Voluntas
berhasil mewawancarainya di selah-selah keheningan. Sayangnya, fotografer tidak
bisa membidik wajahnya karena memang ia tak kelihatan lagi di muka bumi ini.
Monday, March 19, 2018
Friday, March 16, 2018
Janda
![]() |
| Ilustrasi foto diambil dari Merdeka |
Yesus mengadakan banyak mukjizat, salah satunya
adalah membangkitkan anak muda di Nain. Mukjizat yang diperlihatkan oleh Yesus adalah
cara sederhana untuk mengingatkan manusia akan datangnya kerajaan Allah . Kerajaan Allah yang ditawarkan oleh Yesus
bukanlah kerajaan yang akan terjadi tetapi sedang terlibat dan dirasakan oleh
manusia sendiri. Peristiwa Yesus membangkitkan anak muda di Nain merupakan
tanda yang menghadirkan Allah dan kasihnya di tengah dunia.
Monday, March 12, 2018
TARIAN “HEDUNG”: CERMIN KEBUASAN MANUSIA
( Sebuah Analisis Sosio-kultural)
Oleh: Valery Kopong*
Friday, March 9, 2018
Kerinduan Seorang Narapidana
“Sebuah
jubin lantai rumahku terpecah. Terlihat, seekor jangkrik keluar dari retakan jubin sambil mengibas
sayap, pratanda ada kebebasan baru yang dialami.”
Langit kota Tangerang-Banten semakin cerah. Sinar mentari pagi perlahan
menyusup menembusi dedauan yang masih
melekat rapih di pohonnya. Kecerahan langit tak secerah langit jiwa sang kelana yang kini mendekap di hotel
prodeo. Langkahku semakin merapat pada pintu besi di Lembaga Pemasyarakatan
Tangerang. Deru mesing-mesin kota dan semburan asap dari knalpot, sepertinya
tidak mengganggu kehidupan mereka yang sangat terbatas. Kerinduan untuk bebas
selalu menggema setiap saat tetapi itu hanya kerinduan. Waktulah yang
menentukan dan memungkinkannya untuk keluar dari arena tak bebas itu.
Di
depan pintu besi Lapas yang sulit didobrak itu, saya menitipkan HP, KTP dan tas
ranselku juga digeledah. Di ruang itu saya menyuruh petugas Lapas untuk
memanggil Didik, (bukan nama sebenarnya) dan beberapa rekannya untuk kami
ngobrol bersama di ruang tunggu. Cukup lama saya menunggu dan tiba-tiba ia dan
beberapa temannya yang Katolik datang dari arah kapel. Di tangan Didik,
tergenggam Injil dan didahinya diberi tanda salib dengan abu. Ketika masuk di
ruangan, beberapa temannya menanyakan soal arti pemberian diri dengan abu di
dahi. Dengan penuh keyakinan, Didik menjelaskan
pada teman-teman narapidana yang muslim, bahwa tanda abu yang dikenakan
pada dahi mengingatkan kita sebagai manusia lemah yang diciptakan dari tanah,
suatu saat akan kembali ke tanah. Mendengar penjelasan itu, saya hanya manggut
sebagai cara untuk mengapresiasi terhadap apa yang dikatakan sebagai kebenaran
dari ajaran yang diterimanya.
Ruang tunggu itu tak beda jauh dengan “ romantic room.” Semua nara pidana yang saya jumpai sedang memeluk isteri atau
anaknya dengan penuh kasih sayang. Kerinduan itu tersembul dari sorotan mata
yang tak bisa menipu realita. Sambil menikmati coca-cola, saya mengobrol
bersama beberapa napi yang katolik. Ketika saya tanya, apakah banyak napi
katolik? Dengan penuh kepastian, ia menjawab, sekitar 30-an orang napi katolik.
Mereka masuk atau dipaksa masuk ke situ dengan beragam masalah. Ada yang
dihukum karena melakukan tindakan kriminal, ada yang terjerat masalah narkoba
dan banyak lagi kasus yang menimpah mereka yang pada akhirnya menyeret mereka
ke Lembaga Pemasyarakatan itu.
Socrates
pernah berujar, “apabila banyak sekolah didirikan maka suatu saat,
penjara-penjara bisa ditutup.” Ungkapan Socrates ini membahasakan bahwa
keberadaan sekolah menjadi jaminan bahwa pola perilaku manusia bisa tertata
rapih dan kejahatan perlahan lenyap dari bumi ini. Tetapi apa realita yang
muncul saat ini? Pendirian sekolah hampir bersamaan dengan pendirian penjara
atau sekarang disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Di depan papan
pengumuman itu aku melihat data-data terutama jumlah orang yang ada dalam
penjara sekitar 1000 lebih orang. Ini belum terhitung dengan jumlah nara pidana
di Lapas wanita dan anak-anak. Sebuah
angka yang menggila dan fantastis. Tetapi apakah mereka adalah orang-orang
terbuang dari pergaulan umum karena ulah tingkah dan salah mereka? Melihat
jumlah napi yang semakin menanjak, menjadi sebuah sindiran bagi lembaga
keluarga, sekolah dan agama yang selalu mendengungkan moralitas dan nilai cinta
kasih. Masing-masing institusi mempertanyakan diri. Seberapa jauh nilai cinta
kasih dan moralitas ditanamkan dalam diri anak-anaknya?
Dalam
rentang waktu yang tidak mengenal titik habis, kita terus bertanya, mengapa
mereka terhempas dan dihempas dalam penjara? Sampai kapan mereka mengalami
pertobatan yang berarti? Inilah pertanyaan yang sederhana terus menggeliat
dalam lika-liku waktu. Didik, walau dianggap sebagai pembunuh kelas kakap,
tetapi beberapa tahun terakhir menunjukkan diri ke arah perubahan yang lebih
baik. Menurut penuturannya dengan saya,
dengan berbekal pengalaman yang tidak bebas di Lapas, ia selalu menasihati
keluarganya agar menghindari hal-hal yang bersentuhan dengan tindakan kriminal.
Pengalaman di Lapas adalah pengalaman yang tidak mengenakkan dan ruang gerak
kebebasan selalu dipantau.
Apa
yang harus dilakukan sebagai upaya dalam mengatasi pelbagai persoalan? Baginya,
hanya satu cara yang ditempuh yaitu mengikuti proses hukum dan menjalaninya
secara normatif. Cara ini memperlihatkan
sebuah upaya untuk bersahabat dengan keputusan hakim yang telah mengetuk
palu. Menghitung hari-hari hidup dibalik
jeruji adalah menghitung sebuah kesia-siaan. Mengapa kesia-siaan? Karena
setelah menghitung, berapa lama lagi saya mendekap dalam penjara, saya tetap
menjalani hidup sebagai napi dan masih menunggu waktu untuk suatu saat keluar
dari penjara. Memang, penjara (Lapas) hanya memenjarakan saya secara fisik
tetapi kerinduan saya tak bisa terpenjara. Kebanyakan napi hidup dalam kerinduan,
rindu untuk pulang rumah, untuk ada bersama dengan anggota keluarga.
Semangat
dan kerinduan menjadi spirit yang menggerakkan kesadaran mereka untuk bertahan
dalam penjara. Tanpa harapan dan kerinduan maka pupus sudah makna hidup yang
dijalaninya. Memang penjara, di mata kebanyakan orang adalah tempat pembuangan
bagi mereka yang menyalahi aturan normatif. Namun penjara juga dilihat sebagai
wadah yang membentuk atau mendaur kembali kehidupan orang-orang yang sudah jauh
dari sentuhan moralitas. Di ujung pertemuan itu, Didik semakin menguatkan diri
dengan melihat figur Paulus, yang dulu dikenal sebagai penjahat dan membunuh
orang-orang yang menamakan diri sebagai pengikut Yesus, tetapi setelah
mengalami pertobatan, ia menjadi rasul terbesar dalam Gereja Katolik. Ia tidak
hanya mewartakan Yesus di kalangan orang Yahudi tetapi melampaui kelompoknya
sendiri.
Penjara
(Lapas) bisa dikatakan sebagai tempat untuk memurnikan kembali nurani agar
setelahnya para mantan napi dapat bertindak secara baik. Seperti emas yang
disepuh dalam tanur api, di sanalah kita temukan kemurnian emasnya. Demikian
juga penjara, telah menyepuh para napi dalam tanur peradaban agar kelak, para
mantan napi menjadi manusia yang utuh kembali.***(Valery Kopong)
Thursday, March 8, 2018
Belajar Dari Sang Guru
KETIKA mengunjungi teman yang
sakit, ia selalu mengeluh sakit terutama setelah operasi. Pada operasi pertama
yang dianggap gagal, ia kemudian dipindahkan ke rumah sakit lain dan dianjurkan
oleh dokter untuk dioperasi lagi karena kondisinya semakin parah. Tindakan
dalam pengoperasian ulang dilakukan karena dokter bedah pada rumah sakit
sebelumnya salah meletakkan posisi usus yang sebenarnya dalam tubuh si pasien.
Awalnya ia menolak saat diminta untuk dioperasi ulang tetapi setelah diberi
penguatan oleh teman-teman, ia pada akhirnya meyakinkan diri untuk dioperasi.
Friday, March 2, 2018
"Orang-Orang Kalah"
Beberapa
waktu yang lalu, saya menerima sebuah pesan singkat dari seorang teman yang
memberitakan pada saya mengenai judul
bukunya yang mau diterbitkan di Yogyakarta. Judul bukunya “Orang-orang Kalah.” Saya lalu bertanya, kira-kira apa isi
dari buku yang diberi judul orang-orang
kalah? Dia lalu memberikan jawaban bahwa bukunya itu menceritakan tentang seluruh pewartaan dan pengorbanan Yesus yang
selalu mengendepankan diri sebagai
orang yang mengalah pada situasi, demi
sebuah nilai yang lebih tinggi. Ketika kehadiran Yesus sebagai Mesias (penyelamat dunia) di dunia, Ia ditolak oleh orang-orang
Israel karena konsep kemesiasan orang Israel adalah seorang pemimpin yang tampil dengan gagah
perkasa dan bisa menumpas para penjajah
agar mereka terhindar dari tekanan kolonial.
Thursday, March 1, 2018
"Bapa Kami Yang Ada di Bumi"
“Bapak kami
yang ada di surga.” Itulah penggalan awal doa Bapak Kami, sebuah doa yang
diajarkan oleh Yesus sendiri kepada kita. Ketika mendaraskan doa ini, terasa
Bapa itu masih jauh dari hadapan manusia, Allah yang transenden. Sepertinya ada
paradox antara pemahaman Katolik tentang Allah yang imanen, yang menetap di
hati kita tetapi pada saat yang sama ketika doa Bapa Kami itu didaraskan, orang
merasa bahwa Allah itu masih jauh, kurang terlibat dengan kehidupan manusia.
Doa menjadi titik simpul setiap
manusia yang memohon keberpihakkan Allah dalam hidupnya. Permohonan konkret
yang dibuat manusia melalui doa Bapa Kami adalah memohon kerajaan Allah yang
berpihak dan rejeki yang berlimpah. Kerajaan Allah bukanlah kerajaan utopia,
tetapi Allah sedang hadir dan ada dalam kehidupan manusia ketika pesan
pewartaan Yesus yang berpihak pada yang lemah, miskin dan tersingkir.
Wednesday, February 28, 2018
Lelaki "Menopause"
Langit
kota Tangerang masih sedikit kabut, walau jam yang terpampang pada dinding
tembok Lapas Pemuda Tangerang itu
menunjukkan pukul 08.30. Jarum jam
berdetak dalam keheningan, seakan bersolider dengan para penghuni Lapas yang sering berontak dalam keheningan
batin. Hari itu, hari Rabu di bulan
Januari 2016, kami berjumpa lagi setelah ia bebas dari kurungan penjara. Ketika bertemu denganku, ingatannya akan masa lalu seakan muncul
kembali. Dahulu kami mengunjungi dia sebagai salah satu anggota Lapas Pemuda
Tangerang. Tetapi kali ini lain. Ia bersama team pengunjung dari kelompok Legio
Maria, Paroki Hati Santa Perawan Maria
Tak Bernoda-Tangerang, mengunjungi para narapidana. Tuesday, February 27, 2018
TV: Sebuah Tabernakel?
Beberapa
tahun yang lalu, di kalangan umat katolik beredar tulisan-tulisan yang
menyoroti kehidupan doa keluarga. Sorotan terhadap kehidupan keluarga karena sampai saat ini masih terdapat
pemilahan yang tidak proporsional antara ranah hiburan dan doa. Dua hal ini
menampilkan kesenjangan yang berarti. Terhadap persoalan yang mengemuka ini
menggiring kita untuk bertanya lebih jauh. Mengapa umat kristiani saat ini
sulit meluangkan waktu untuk bertemu
Tuhan lewat untaian doa? Atau mengapa doa yang dilakukan kurang intensif bahkan
porsi waktu yang disediakan sangat sedikit?
Melihat pengalaman hidup harian,
kecenderungan yang kuat dan selalu menggoda yakni setiap orang sepertinya
“terpanggil” menjadi penonton yang pasif terhadap acara-acara yang ditayangkan
di TV. Suguhan acara tentu menarik dan memiliki daya magnetis sehingga mudah
memberi ruang tontonan daripada masuk ke dalam ruang sunyi. Ruang sunyi yang
menawarkan keheningan seakan kalah di hadapan ranah hiburan bahkan sunyi itu
sendiri menawarkan rasa takut bila berada dalam kesunyian doa. Doa dalam
konteks tertentu “tidak bernyawa” lagi karena dipengaruhi oleh kecenderungan
untuk terlibat dalam gebiyarnya kehidupan metropolitan. Monday, February 19, 2018
PANGGILANKU TERHAMBAT
Setiap kali bertemu dengan Romo Dan di ruang sakristi,
sepertinya naluri panggilanku untuk menjadi calon imam semakin terasa. Khotbah Romo Dan yang selalu berapi-api memberikan semangat bagiku
dan ingin mengikuti jejak Kristus
menjadi calon imam. Apakah benih panggilan yang mulai terpupuk sejak aku
terlibat dalam kegiatan sebagai putera altar bisa terwujud? Pertanyaan
sederhana ini sepertinya sedang membenturkan dinding cita-citaku.


