Thursday, October 22, 2020

Ruang Hening

 

Selama saya berkarya di dunia pendidikan sebagai pengajar di beberapa sekolah, tugas utamanya adalah mengajar dan mendidik anak-anak murid. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di sekolah berjalan secara normatif dan pihak sekolah lebih banyak berkonsentrasi pada aspek akademik yang bisa membantu nalar anak-anak untuk berpikir kritis dan cerdas. Apa yang dilakukan ini memang tidak salah karena tuntutan akademik menjadi prioritas utama untuk mengembangkan kemampuan akademik.

Ketika diminta untuk membantu mendampingi anak-anak Katolik di Sekolah Insan Teratai, ada sesuatu yang berbeda dan sekaligus menampilkan keunikan dari sekolah-sekolah lain. Kalau sekolah-sekolah sebelumnya, tempat saya mengabdi lebih banyak menampilkan sisi akademiknya, namun di sekolah Insan Teratai, yang ditekankan adalah keseimbangan hidup akademik dan pengembangan karakter anak-anak didik. Proses pengembangan karakter pada anak-anak lebih didasari pada pengenalan nilai-nilai kemanusiaan dan bagaimana menerapkan nilai-nilai kemanusiaan itu dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam lingkup keluarga dan sekolah. Nilai-nilai umum dan normatif terus-menerus diulang dan diperkenalkan kepada anak-anak didik.  

Salah satu daya dukung dari proses penanaman karakter adalah program rutin “silent sitting” (duduk hening) yang dilaksanakan setiap pagi sebelum dimulainya kegiatan belajar mengajar. Silent sitting tidak sekedar menjadi sebuah rutinitas tetapi lebih dari itu merupakan proses internalisasi (proses pembatinan diri) akan nilai-nilai kemanusiaan yang telah ditanamkan dalam diri setiap anak didik. Dengan duduk hening, anak-anak didik akan memahami daya hening dan melatih konsentrasi dan disiplin diri.   

Keheningan merupakan ruang  dari sebuah pergulatan batin. Dalam bentang keheningan memanjang itu, anak-anak sanggup melihat dan memaknai diri dari aspek kemanusiaan yang utuh dan pada akhirnya membangun relasi dengan Tuhan. Keheningan yang dilakoni menjadi titik temu pada mereka yang berbeda agama dan pada keheningan itu, mereka bisa menyapa teman-teman yang tidak seagama dengannya. Keheningan tidak saja membawa imajinasi  tentang bayang-bayang masa lampau tetapi dengan berada dalam ruang pergulatan hening, nurani terasa dan menjadi bening untuk semesta dan menatap masa depan dengan penuh optimisme. “Keheningan adalah sastra terindah yang dikaruniakan Tuhan, pada saat mencapai titik keheningan kita akan terasa tanpa adanya beban yang harus ditanggung pikiran, ibaratnya kita sedang mengatur ritme untuk kembali menjadi nol, kesadaran ini dibentuk sebagai jalan "kepasrahan aktif.”

Ketika melihat kegiatan rutin yang disebut sebagai “duduk hening”  dalam  terang refleksi biblis, kita melihat bagaimana Yesus selalu mencari waktu sunyi untuk berdoa, mengambil energi baru setelah lelah mewartakan  Kerajaan Allah. Yesus adalah Sahabat Keheningan karena Ia tak pernah  takut untuk bergumul dalam keheningan. Dalam sunyi dan hening Ia mengambil waktu untuk berdoa dan pada akhirnya Ia bertindak untuk menyelamatkan orang-orang yang tengah mengalami kekurangan  anggur   dan memuaskan orang dari rasa lapar. Keheningan juga menjadi jembatan utama bagi-Nya untuk membangun relasi dengan Allah.***(Valery Kopong)

 

Kristus dan Api Cinta Kasih

Sejak kita dibabtis, diteguhkan dalam sakramen krisma dan dikuatkan dalam sakramen ekaristi, kita telah menjadi milik Kristus. Kita telah menjadi pengikut Yesus dan kita telah percaya dan beriman pada Tuhan Yesus. Menjadi milik Kristus berarti kita siap sedia untuk hidup sesuai dengan ajaran dan pewartaan Yesus, yaitu sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Allah. Kita siap untuk memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah ini di tengan-tengah dunia.Di sinilah akan sering terjadi pertentangan nilai antara nilai-nilai Kerajaan Allah dengan tawaran-tawaran dan tantangan-tantangan duniawai.Sebagai pengikut Yesus, kita mempunyai konsekwensi untuk setia memegang teguh nilai-nilai Kerajaan Allah. Misalnya, budaya korupsi sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa.

Sebagai orang yang beriman dan percaya pada Yesus, kita hendaknya berani tampil beda untuk berani melawan budaya korupsi itu. Tentu saja ada konsekswensinya, kita bisa saja dimusuhi keluarga, saudara dan teman.Tetapi demi identitas diri kita sebagai pengikut Yesus, kita harus berani berkata " NO" terhadap korupsi. Ajaran dan pewartaan Yesus serta Pribadi Yesus telah menyala dalam hati kita. Dan nyala itu hendaknya selalu terpancar dan menyinari orang -orang yang ada disekitar kita.Api cinta kasih Yesus hendaknya berkobar-kobar dalam kehidupan kita, agar kita tidak mengalami krisis identitas diri, iman dan cinta kasih. (Inspirasi:Lukas 12:49-53, 22 Oktober, Suhardi)

Wednesday, October 21, 2020

Racikan Hidup

 

Hampir setiap pagi dan sore, saya melihat postingan di beberapa WA grup dan wall FB, beberapa teman mengupload gelas kopi dan menuliskan caption bahwa hidup itu seperti kopi hitam pekat. Kopi yang dicarik dengan gula dan air menghasilkan kopi yang sedikit pahit. Pada caption itu tertulis dengan baik, bahwa hidup itu tidak selamanya manis tetapi juga pahit. Dua rasa, pahit dan manis ini juga mewarnai kehidupan manusia. Kopi hitam pekat melambangkan kekelaman hidup yang pasti dilalui oleh setiap orang. Pahit menjadi rasa yang menawarkan sisi lain kehidupan yang lebih bermakna. Pahitnya kopi tidak selamanya melambangkan hal yang tidak baik tetapi memberikan makna terdalam para proses kehidupan. Kepahitan hidup menjadi rasa yang memberi warna tantangan yang mesti dilalui oleh seseorang. Tantangan hidup yang dijumpainya harus dihadapi dan bukannya mengelak bahkan menyerah pada tantangan itu. Tantangan mendewasakan kita untuk terus mengelola hidup dan menjadikan tantangan itu sebagai cambuk untuk terus mendorong kita menatap masa depan yang lebih pasti.

 

Sementara itu manisnya gula menggambarkan sebuah kesuksesan hidup. Kesuksesan itu membawa luapan kegembiraan bagi mereka yang merasakan kegembiraan hidup. Apa tolok ukur  untuk menjadi sukses di dalam hidup ini? Dalam pandangan kaum materialis, melihat kesuksesan selalu diukur dari aspek materi yang dimiliki seseorang. Ketika kita berada di kampung maka kita bisa menilai kesuksesan seseorang dari kepemilikan tanah yang banyak dan juga mempunyai ternak yang banyak pula. Memiliki tanah yang banyak menjadi penentu utama dan memposisikan seseorang di kampung pada kelas atas. Tanah menjadi urat nadi kehidupan karena dari tanah itu, mereka bisa mengolahnya dan memberikan berkah kelimpahan panen.

 

Untuk menilai sukses-tidaknya seseorang pada masyarakat kota, dilihat dari kekayaan yang dimilikinya. Jenis mobil yang dimilikinya menjadi pratanda penting untuk mengklasifikasi orang, apakah orang tersebut menempati posisi kelas atas, menengah atau kelas bawah.  Biasanya orang-orang sekitar yang memberikan stigma tentang orang kaya atau miskin dan hal ini sangat bergantung pada aspek materi yang dimilikinya.

 

Racikan kopi pada penggalan kisah di atas, membersitkan dua warna dan rasa yang berbeda pada kehidupan ini. Kepahitan hidup mengajarkan tentang perjuangan dan mungkin juga berakhir pada kejatuhan manusia akibat tantangan yang dihadapi itu terlalu berat. Tetapi ingat bahwa Tuhan yang memberikan ujian hidup pada manusia tidak melebihi batas kemampuan manusia yang sedang dicobainya. Itu berarti bahwa Tuhan memberikan ujian yang berat sambil mempertimbangkan, seberapa jauh orang yang bersangkutan menanggapi tantangan hidup dalam terang iman. Penderitaan seperti yang dialami oleh Ayub, mengajarkannya untuk tetap bertahan dalam badai cobaan itu. Apakah di dalam hidup, hanya kebaikan saja yang kita terima, sementara tantangan yang diberikan oleh Allah harus saya tolak dan bahkan berontak terhadap Allah?

 

Ketika berada pada puncak gunung Tabor, tiga murid kesayangan Yesus mengalami kegembiraan bersama-Nya. Sebagai murid yang selalu diajarkan oleh Gurunya untuk setia pada cobaan hidup, mereka tidak bertahan pada puncak kegembiraan Tabor untuk selamanya tetapi mereka (murid) harus belajar esensi terdalam dari makna kemuridan adalah mengalami pengalaman Kalvari sebagai jalan sunyi penuh derita yang dilalui oleh Sang Guru. Via Dolorosa yang dijalani Yesus menjadi bukti kesetiaan-Nya pada Allah dan kecintaan-Nya pada manusia.  

 

Melihat racikan kopi yang ada dalam wadah cangkir membersitkan sebuah racikan hidup yang tidak bisa dielak oleh setiap manusia. Pergulatan hidup manusia tidak akan berakhir selama manusia itu hidup. Karena memang hidup itu adalah sebuah perjuangan yang harus diraih dengan nilai sebuah pengorbanan. Pengorbanan menjadi nilai berharga untuk meraih cita-cita. Yesus telah mengajarkan nilai pengorbanan itu untuk menggenapi cita-cita-Nya yakni misi penyelamatan manusia. Mereguk secangkir kopi, tak beda jauh dengan mereguk makna kehidupan yang membersitkan dua rasa.***(Valery Kopong)

Menanti Sang Tuan

 Hidup manusia itu ibarat sebuah jarum jam. Pada mulanya jarum jam berjalan, lalu pada suatu saat jarum jam itu berhenti. Kita tidak tahu persis kapan jarum jam itu berhenti. Itulah perjalanan hidup manusia, kita dilahirkan di dunia ini, dan suatu saat kita akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Kedua peristiwa hidup itu adalah misteri, tiada satu pun manusia yang mampu memilih atas dua peristiwa hidup manusia itu. Kita tinggal pasrah saja sama SANG EMPUNYA KEHIDUPAN, SANG GUSTI. 

Dalam perjalanan dan perjuangan kehidupan di tengah-tengah dunia ini, kita diajak untuk selalu siap-sedia dan berjaga-jaga karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak tersangka-sangka. Sikap dan tindakan siap siaga itu diumpamakan seperti pengurus rumah tangga yang hendaknya setia dan bijaksana menanti sang tuannya datang. Kita yang setia dan bijaksana menanti kedatangan Sang Tuan Agung, Sang Gusti, kita akan digabungkan dalam perjamuan kasih bersamaNya di surga.

Pada akhir jaman kita akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Bapa atas karunia-karunia yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Apakah kita mengembangkan dan memberdayakan karunia-karunia itu ataukah hanya menyimpannya di dalam hati saja ?  Yang diberi banyak karunia, banyak pula tuntutannya. " Barangsiapa diberi banyak, banyak dituntut dari padanya dan barangsiapa diserahi banyak , lebih banyak dituntut lagi."(Inspirasi Lukas 12 : 39-48, 21 Oktober, Suhardi )

Tuesday, October 20, 2020

Peran Kenabian

 

Beberapa tahun yang lalu, ketika mengikuti perlombaan menulis dalam rangka ulang tahun Keuskupan Agung Jakarta, ada sesuatu yang menarik dari hasil perlombaan itu yang perlu dicermati. Tulisanku masuk sepuluh besar dan mendapatkan honorarium dari panitia penyelenggara dan sepuluh tulisan terbaik, dibukukan. Buku itu diterbitkan oleh penerbit Obot Jakarta dengan judul: “Gereja Warteg.”  Judul buku ini diambil dari sebuah tulisan salah satu peserta yang waktu itu masih mengenyam pendidikan di STF Driyarkara – Jakarta. Gereja Warteg, tidak sekedar tulisan biasa dan penulis tidak sekedar beropini tetapi tulisannya berlandaskan pada wawancara dan pengalaman bersama orang tuanya sebagai buruh. Basis tulisan itu lebih bermuara pada bagaimana perhatian Gereja terhadap  kaum buruh yang selama ini bekerja di area Tangerang.

 Penulis Gereja Warteg, selain memawancarai para buruh tetapi juga mengamati perilaku hidup para buruh. Setiap kali pada jam  makan, mereka selalu “menyerbu” warteg  sebagai tempat makan bagi mereka yang mudah dijangkau karena murah harganya. Ketika makan bersama di warteg, para buruh sambil mengobrol tentang pekerjaan dan kehidupan itu. Warteg menjadi tempat yang nyaman dan menjadi ruang komunikasi publik yang bisa dijangkau oleh siapa saja. Warteg juga menjadi ruang perjumpaan sesama  kaum buruh yang hidup dari gaji yang pas-pasan dan saling menguatkan antara satu dengan yang lain.

Apa hubungan antara warteg dan Gereja Warteg? Penulis secara implisit mengajak Gereja untuk membangun hubungan yang komunikatif dan memberikan suport terhadap kaum buruh, yang tidak lain adalah anggota Gereja (terutama buruh Katolik). Di mata para kaum buruh Katolik, mereka menginginkan kehadiran Gereja seperti warteg, tempat berjumpa kaum kecil untuk mendiskusikan tentang hidup dan kehidupan ini. Gereja harus membuka diri dan menampung segala keluhan yang datang dari kaum buruh. Harus diakui bahwa kehadiran Gereja untuk  ada bersama dengan kaum buruh, masih dirasa jauh dari harapan. Setiap tanggal 1 Mei sebagai hari buruh internasional, Gereja masih menghimpun para buruh Katolik untuk adakan seminar dan biasanya ditutup dengan perayaan Ekaristi. Apa yang dilakukan oleh Gereja ini masih sebatas aspek seremonial dan belum menyentuh keberpihakan pada kaum buruh.

Memang  sulit bahwa Gereja tidak bisa tampil sebagai penyelamat kehidupan kaum buruh karena jumlah mereka sangat banyak.  Pesan penting yang perlu diperhatikan adalah Gereja tetap menyuarakan kebenaran dan menyoroti situasi jika pemerintah dan para pelaku bisnis sewenang-wenang mempekerjakan kaum buruh dan sistem pengupahan yang jauh dari yang telah ditetapkan.  Gereja perlu menyuarakan peran kenabian (peran profetis) agar pihak-pihak yang bertanggung jawab atas persoalan berkaitan dengan buruh, berada pada jalur yang benar.

Gereja memiliki dasar yang kuat untuk bersuara dan menyampaikan kepada pihak-pihak terkait dalam menangani persoalan kaum buruh.  Selain mengikuti teladan Yesus yang selalu menyoroti ketimpangan sosial,  Gereja juga  memiliki ensiklik yang berbicara tentang hidupan kaum buruh. Ensiklik Rerum Novarum  merupakan sebuah ensiklik yang diterbitkan oleh Paus Leo XIII pada tanggal 15 Mei 1891. Paus Leo XIII melalui Rerum Novarum, mendukung perjuangan hak-hak kaum buruh dan membahas hubungan antara pemerintah, bisnis dan kaum buruh. Di sini kita bisa melihat bahwa peran Gereja sangat kuat untuk menyuarakan kebenaran agar kelayakan hidup kaum buruh harus diperhatikan oleh pemerintah dan pelaku bisnis. Mengurai persoalan kaum buruh tidak semudah membalikan telapak tangan. Dari tahun ke tahun pasti ada persoalan yang muncul karena mengikuti aturan dan iklim investasi. ***(Valery Kopong)

 

Hamba Yang Selalu Berjaga-jaga


Tadi malam saya menghadiri ibadat arwah yang dipimpin oleh seorang Pastur.Dalam kotbahnya, beliau menyampaikan bahwa kita mengenal kalender liturgi, yang mengatur perayaan liturgi dan bacaan Kitab Suci setiap harinya.Kita juga mengenal kalender pendidikan, yang mengatur proses kegiatan belajar-mengajar setiap hari, minggu, bulan, mid-semester dan semester.Tetapi, kita tidak mampu membuat kalender kematian,yang mengatur jadwal kematian seseorang.Memang,kita sudah ditentukan kalender kematian kita, tetapi hanya Tuhan yang tahu.Maka,kita hendaknya siap sedia menyambut kalender kematian kita itu tiba pada waktunya,sehingga kita akan merasa berbahagia bersama Allah Bapa di surga.Dan Yesus sendiri bersabda, "Berbahagialah hamba yang didapati tuannya sedang berjaga." 

Hidup kita di dunia ini adalah persiapan bagi kita untuk menyambut kalender kematian kita masing-masing, menyambut Sang Gusti, Pemberi dan Pengambil kehidupan kita.Maka, hidup kita, pekerjaan kita, tugas pelayanan dan perutusan kita hendaknya dijiwai oleh  persiapan yang pantas.Hidup sebagai persiapan menuju kematian, menghadap Sang Ilahi berarti hidup yang pantas di hadapan Tuhan dan sesama:hidup yang disemangati oleh sikap dan tindakan cinta kasih dan kebaikan,maaf dan pengampunan,pelayanan dan pengorbanan,syukur dan kekuatan iman, dan lain-lain.Hidup dengan berjaga-jaga berarti siap menyambut sukacita bersama Yesus di Surga.

(Inspirasi:Lukas 12:35-38, 20 Oktober, Suhardi)

Monday, October 19, 2020

Sumber Kebahagiaan Sejati

Saya pernah membaca sebuah kisah hidup seseorang yang kaya.Dengan kekayaannya itu, ia bisa menikmati apapun yang dia mau.Namun,dalam keheningan pribadi,dia tidak merasakan kebahagiaan sejati.Dalam refleksi saya,ternyata harta kekayaan tidak menjamin kebahagiaan hidup kita.

Tiga minggu yang lalu saya melihat sebuah video dalam sebuah Facebook,yang menceritakan sebuah kisah hidup seorang pemuda yang sudah mempunyai mobil terbaru dan termahal,namun ia merasa tidak puas dan ingin memiliki sebuah jet pribadi,karena ia melihat temennya mempunyai jet pribadi.Ternyata saat mengeluh mengenai kendaraannya, ada seorang pemuda yang lain mengeluh mengenai kendaraannya sambil berkata, "Betapa bahagia dan beruntungnya engkau mempunyai mobil terbaru dan termahal.Lihat mobil lamaku yang tidak bagus".Keluhan sang pemuda yang lain itu menyadarkan dirinya bahwa dia hendaknya bersyukur dan merasa bahagia terhadap harta yang telah dimilikinya. Masih ada kelanjutan kisah video itu,tapi pada prinsipnya sama bahwa kalau kita ingin merasa bahagia,kita hendaknya mensyukuri apa yang telah kita miliki.  

Bacaan Injil pada hari ini,mungkin mau mengajarkan kepada kita bahwa harta kekayaan bukan menjadi jaminan kebahagiaan sejati.Kita juga belajar bahwa kita hendaknya mensyukuri kekayaan yang telah kita miliki dan menjadikan kekayaan itu untuk membuat orang lain juga bahagia.
  Satu-satunya kebahagiaan sejati hanya ada dalam diri YESUS.
(Lukas 12: 13-21, 19 Oktober, Suhardi)

Batas Garis Hidup

 

Ketika  subuh datang menjemput, orang-orang pada lelap tertidur. Hanya gema adzan yang menggema,  mengajak kaum muslim berdoa dan setidaknya  membangunkan orang-orang lain dari tidur dan juga turut berdoa  sesuai agamanya masing-masing. Rumahku yang terletak dekat di bibir Mushola Al-Amanah, memberikan peluang bagiku untuk mendapatkan informasi tentang doa dan informasi lainnya.  Sabtu subuh, 17 Oktober 2020,  membawa duka  mendalam bagi warta RW 01. Betapa tidak! Empat orang remaja  diberitakan melalui pengeras suara Musholla Al-Amanah bahwa mereka tewas  terlindas truk  di jalan ke arah puncak – Bogor.

Mendengar berita memilukan itu, semua warga bergegas keluar rumah dan mencari tahu tentang siapa saja yang terkena musibah itu dan di mana rumah mereka. Keempat remaja yang tewas terlindas truk itu, ternyata orang-orang muda yang aktif bermain voley ball. Mereka ke puncak pada malam Sabtu dan merayakan ulang tahun salah seorang teman mereka. Sebuah tujuan yang mulia untuk ada bersama dan merayakan kehidupan bagi sahabat mereka yang berulang tahun. Namun ceritera hidup mereka berbicara lain.  Keempat orang yang mengendarai motor dengan berboncengan harus mengakhiri hidup mereka di ujung maut dengan cara yang tragis.

Memulai hidup ataupun mengakhiri hidup, tak satu pun yang tahu. Tak seorang pun menginginkan bahwa kehidupannya berakhir secara tragis. Hidup dan mati berada dalam genggaman Tuhan. Tuhan yang mengatur seluruh kehidupan manusia di dunia, tanpa ada kompromi dengan manusia. Akhir hidup yang dijemput adalah sebuah misteri. Kehebatan manusia dan kecanggihan peralatan teknologi, tak satu pun yang tahu, kapan hidup seseorang itu harus berakhir dan bagaimana caranya seseorang mengakhiri hidupnya di dunia ini.

Tentang kehidupan manusia di hadapan semesta, sepertinya tidak berarti dan manusia menyadari diri kecil di hadapan Allah.  Pemazmur melukiskan batas usia manusia dan kehidupan itu akan lenyap pada waktunya. “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap” (Mazmur  90:10). Bersama pemazmur, kita juga menyadari diri sebagai makhluk yang rapuh dan tak berdaya. Hidup manusia akan menemukan batas bahkan pada masanya kita dimakan oleh usia.

Memahami Mazmur 90: 10 dalam konteks kematian anak-anak muda, kita hanya berpasrah diri di hadapan Allah dan bahkan orang-orang tua  yang mengalami kehilangan karena kematian orang-orang yang dicintainya secara tragis, hanya bersimpuh dan berdoa di hadapan-Nya. Maut yang menjemput manusia, tidak memilah, mana usia muda dan mana usia tua. Karena itu berbicara tentang kematian, bukan berbicara tentang berapa usia seseorang untuk dijemput maut tetapi kita berbicara tentang kehendak Allah. Allah yang berhak atas kehidupan dan atas kematian ini.***(Valery Kopong)