Sunday, August 30, 2009

“MENCURIGAI KEBENARAN”

Oleh: Valery Kopong*

Ketika ledakan Bom bunuh diri membombardir sebuah kehidupan yang mapan, ada segumpal emosi mengental di langit kebencian, sebuah tanda protes atas peristiwa keji itu. Ada gumpalan daging manusia berhambur, ada jerit tangis bagi mereka yang “tertunda kematiannya” dan hanya menderita luka parah. Situasi yang parah ini tidak juga mengundang empati dari kelompok teroris, yang ada dalam diri mereka adalah pesta pora dalam euforia keji. Mengapa dalam kondisi seperti itu para teroris masih mengulum senyum? Apakah senyum yang terumbar adalah senyum yang menyapa ramah atau senyum sinis?
Siapa yang paling dicari oleh pihak kepolisian selama ini? Jawabannya adalah kelompok teroris. Mereka telah terlibat dalam sebuah “jaringan maut” internasional dan menempah mereka menjadi pribadi yang militan, siap membunuh diri dan orang lain. Apa yang mendasari nyali hidup mereka sehingga pada akhirnya memutuskan diri untuk melakukan aksi radikal? Persoalan mendasar terletak pada pemformatan diri mereka dengan ideologi militan yang sedikit dibalut dengan nuansa religius. Janji sorga menjadi tujuan terakhir sangat menghipnotis kehidupannya. Mereka adalah “pengantin” yang siap menempati pelaminan sorga bila berhasil membunuh diri dan orang lain. Pelaminan, the romantic room, menjadi tempat perhelatan akbar setelah melalui perjuangan hidup yang menegangkan. Bagi mereka, perjuangan menuju kematian, barangkali tersulut oleh tasawufnya Martin Heidegger, “zein zum tode, hidup manusia mengarah pada suatu kematian.
Tetapi kehidupan manusia yang mengarah pada suatu kematian seperti yang digagaskan oleh Heidegger, adalah kehidupan yang dijalani secara alamiah, termasuk kematian menjadi tanggung jawab yang Ilahi. Manusia, dalam pemikiran yang jernih, selalu menempatkan Allah sebagai penyelenggara hidup ini. Itu berarti bahwa baik kehidupan maupun kematian selalu berada dalam genggaman-Nya. Apakah kematian yang dipaksa juga merupakan intervensi Allah sendiri? Bagi kelompok teroris, apa yang salah terutama tindakan bunuh diri diyakini sebagai sesuatu yang benar dan mereka yakin bahwa Allah akan menjemput dia yang bunuh diri untuk masuk dalam pelaminan sorgawi.
Arah berpikir yang menegasi kehidupan normatif yang diagungkan oleh kelompok militan ini perlu adanya upaya untuk mengembalikan ke kondisi semula. Ideologi yang dianut oleh kaum teroris harus didekonstruksi supaya ada kemungkinan terjadinya penataan kembali ideologi baru yang lebih humanis, yang lebih menyentuh dasar kemanusiaan manusia. Di sini, dalam upaya dekonstruksi ideologi militan dan konstruksi ideologi humanis, perlu melibatkan kaum agamawan yang moderat dan tahu tentang nilai-nilai keagamaan secara mendalam. Agama dilihat sebagai instrumen penting dalam mengembalikan kehidupan manusia ke arah yang baik. Terapi kehidupan melalui denyut agama sangat penting untuk mengembalikan sebuah arah kehidupan yang telah hilang.
Peranan pemerintah selama proses perburuan kaum teroris, hanyalah upaya dalam melenyapkan aksi terorisme dan tindakan kekerasan. Tentang kekerasan, Dom Helder Camara pernah mengungkapkan bahwa pada dasarnya spiral kekerasan terdiri atas tiga tingkatan. Tingkat pertama, ketidakadilan atau biasa disebut kekerasan struktural. Pada tingkat ini kemungkinan-kemungkinan manusiawi ditekan secara institusional, kecuali bagi mereka yang berkuasa, baik secara politik, sosial maupun ekonomi. Tingkat kedua, pemberontakan. Ketidakadilan yang diciptakan minoritas elite menyebabkan munculnya orang atau kelompok yang merasa tidak puas. Dengan kekerasan atau kekuatan senjata mereka berjuang menegakkan dunia yang lebih adil. Tingkat ketiga, represi. Demi stabilitas umum, pihak otoritas menggunakan kekuatan militer untuk menekan atau membasmi pemberontakan. Tekanan ini dilakukan baik secara fisik maupun mental.
Uraian tingkatan kekerasan di atas membantu kita untuk lebih jauh memahami napak tilas perjalanan hidup kelompok teroris. Seluruh aksi yang diperlihatkan tidak muncul secara spontan tetapi ada situasi yang tidak manusiawi mendorong mereka untuk melakukan sebuah pemberontakan. Sasaran dari aksi ini lebih condong ke Amerika dan negara-negara barat yang dinilai selalu menggenggam negara-negara dunia ketiga dengan kebijakan ekonomi. Tidak hanya ini tetapi para pemimpin dari negara lain yang pro akan kebijakan barat maka akan menjadi sasaran aksi para teroris.
Menghadapi kenyataan ini maka perlu adanya upaya dalam memulihkan situasi ini terutama dalam memandang dunia barat, tidak sebagai rival yang perlu dihanguskan tetapi sebagai sasaran kita dalam mencontohi keberhasilan mereka. Tetapi tetap menjadi persoalan di sini, bersediakah kelompok islam militan untuk membuka diri dan ada bersama yang lain terutama masyarakat barat?
Kaum teroris sepertinya sedang “menjinakkan kematian.” Mereka lebih memuliakan dan mempercepat kematian daripada menyembah dan menghargai kehidupan. Ini menunjukkan sebuah generasi salah arah dan hal ini akan berpengaruh kuat terhadap generasi muda Indonesia. Di tengah gelora romantik Agustusan untuk memperingati hari kemerdekaan, kaum teroris tentu tidak memikirkan bagaimana mengisi kemerdekaan ini secara bertanggung jawab. Mereka tidak sanggup atau tidak disanggupkan untuk melihat masa depan sebagai sebuah kemungkinan yang perlu ditata dalam memaknai kehidupan ini. Wujud kesadaran Indonesia dalam gebiyar kemerdekaan menjadi lain di mata para teroris. Kehidupan bagi dia tidak lagi berupa gugus-gugus penuh makna yang perlu dipertahankan. Yang selalu muncul dalam “file-file” kesadaran mereka adalah rancangan maut dan bayangan kegembiraan akan pelaminan sorga setelah kematiannya secara tragis.
Paham tentang “pengantin” sorga menjadi sebuah daya pikat yang dari waktu ke waktu menyebar ke kehidupan generasi muda Indonesia. Proses penyebaran “virus ideologi” yang dianut oleh kelompok teroris begitu mudah merasuk ke dalam sum-sum kehidupan mereka. Paham yang mematikan ini menjadi sebuah kebenaran untuk sebagian besar kelompok. Tetapi kebenaran ini perlu dicurigai karena menyesatkan sebuah generasi yang sedang terlibat dengan kehidupan. Sasaran terakhir dalam “permainan maut” para teroris adalah “gol kematian.” Semua bergerak dalam rintihan kesakitan dan para teroris tersenyum sipu dalam ragam ekspresi. Bom adalah sebuah keberpihakan pada kelompok kecil dan menjadi momok menakutkan bagi mereka yang menghargai sebuah kehidupan. Dalam penyerangan itu, bom lalu bermetamorfosa menjadi perhatian publik. Bom pada akhirnya menjadi bahasa yang riuh, seperti hidup di terminal dan kota besar dalam nada ketakutan. Tetapi dalam ketakutan itu, mestinya kita selalu mencurigai kebenaran, walaupun kebenaran itu telah menjadi sebuah ideologi baku.***

Monday, August 24, 2009

IDEOLOGI RASA

Oleh: Valery Kopong*

BEDA, nama sahabat saya dari Flores (Adonara). Kami bertemu untuk pertama kalinya di Jakarta. Suatu sore, di bawah gemerlapnya sorotan sinar lampu kota, dengan langkah pasti ia berjalan menelusuri lorong-lorong kota untuk mencari makanan khas Flores. Dalam proses pencarian panjang, ia berjumpa dengan Warteg (warung tegal), Warsun (Warung Sunda), Warung Padang. Lama ia mencari tetapi pada akhirnya ia lelah dan bertanya kepada saya. Di mana letak warung Flores atau NTT yang menghidangkan cita rasa masakan NTT? Aku tersipu dan tersenyum malu karena selama sekian tahun berada di perantauan, tak satu pun orang NTT yang berada di perantauan memperkenalkan jenis-jenis makanan khas kepada publik. Ia pada akhirnya membeli sebungkus nasi yang dilengkapi dengan lauk-pauk di warung tegal. Kita terlalu ego, kataku dalam hati. Kita (orang NTT) selalu memendam rasa yang berbeda dan tak pernah disatukan oleh cita rasa makanan khas NTT.
Pencarian seorang Beda menunjukkan suatu perjuangan untuk mempertahankan aspek rasa lokal yang secara perlahan bisa diperkenalkan ke wilayah publik. Cita rasa yang tertampil lewat masakan khas daerah, terkesan sederhana tetapi lebih dari itu mereka memperkenalkan nama-nama daerah dan masyarakat pembeli dapat menilai, model kepribadian dari sang pemilik warung yang mewakili sebuah etnis secara kolektif. Upaya dalam mencari makanan yang dilakukan Beda, merupakan bentuk terobosan untuk mengenal wilayah-wilayah yang direpresentasikan melalui warung-warung tersebut. Bagi Beda, sebuah cita rasa diberi beban makna oleh pelbagai kekuatan rasa kedaerahan dan dalam cita rasa makanan tersimpan sebuah tanggung jawab dalam mempertahankan nilai khas yang merupakan warisan sejarah.
Tidak memiliki warung dan makanan khas daerah tidak membuat Beda berkecil hati. Ia malah dengan leluasa mencari dalam nilai rasa lain dan berjumpa dengan ciri khas masakan lain. Andaikata, ada warung Adonara, Manggarai, Maumere atau pun Timor, maka ia tak lagi memiliki kesempatan untuk mencari dan berjumpa dengan yang lain. Karena tidak memiliki warung di daerah perantauan maka ia dengan leluasa untuk berani keluar dari dirinya dan menyatu dengan orang-orang lain. Warung adalah ruang publik yang menyuguhkan pelbagai rasa bahkan para politisi mencoba untuk meramu suasana menjadi perdebatan politik sambil menikmati cita rasa daerah.
Memahami cita rasa makanan secara mendalam khas daerah dan bila dikaitkan dengan problematika yang menyerang dan mengganggu kedaulatan negara maka cita rasa kedaerahan perlu sedikit ditinggalkan sambil mecicipi makanan sesuai cita rasa nasionalitas. SBY barangkali memahami cita rasa ini. Ia dan para tim sukses mencoba meramu cita rasa nasional dan memperkenalkan diri melalui iklan milik indomie yang telah disunglap. Banyak perdebatan yang muncul bahwa presiden mencari sesuatu yang instan, yang serba praktis dalam memperkenalkan diri kembali ke hadapan publik. Dengan berlindung dibalik iklan indomie yang disunglap itu, sebenarnya ia (SBY) berpura-pura untuk bersikap adil terhadap semua daerah. Dalam catatan saya, SBY dalam kapasitasnya sebagai presiden, ia baru dua kali ke wilayah NTT. Sebuah kunjungan yang sangat jauh dari nilai empati politik seorang pemimpin. Pertama kali ia mengunjungi Manggarai yang waktu itu terkena bencana. Kunjungan itu pun terkesan ada pemaksaan karena setelah dikritik. Dan kunjungan yang kedua adalah berkampanye di Kupang, itu pun dilakukan untuk mendulang suara. Masih adakah cita rasa seorang pemimpin yang menaruh perhatian pada NTT yang sudah telanjur “dibaptis” sebagai wilayah paling miskin dan terkorup? Berpijak pada cita rasa daerah, SBY bertolak ke cita rasa komersial yang ada dalam indomie. Ia (SBY) tentu tahu bahwa lewat cita rasa kedaerahan tidak menunjukkan solidaritas sebagai bangsa yang utuh. Ia berani merangkum masyarakat lewat “lilitan mie” kepedulian dan menyodok kesadaran masyarakat.
Kehidupan para capres dalam episode politik, memperlihatkan wajah yang penuh pura-pura, jauh dari cita rasa makanan yang tidak dimanipulasi. Atau meminjam bahasa iklan, “soal rasa, lidah tak bisa berbohong.” Momentum pemilu menghantar para capres untuk melakukan sebuah ziarah ke dalam wilayah masyarakat kecil sambil membawa slogan keberpihakkan pada mereka. Politik yang ditampilkan lebih berwajah “warteg,” di mana keberpihakkan berpura-pura melingkar di tengah kehidupan “wong cilik.”
Demokrasi yang hidup memang selalu mengalir dari rakyat tetapi apa artinya demokrasi yang hidup kalau hanya dihidupkan menjelang pilres? Kampanye politik hanyalah sebuah dagelan yang menggelikan tanpa memberi arti bagi kehidupan publik. Visi dan misi yang diusung adalah sesuatu yang biasa tetapi menjadi luar biasa bila sang pemimpin tidak sanggup menerjemahkan visi dan misinya ke dalam kehidupan praksis. Ia (visi-misi) hanyalah jargon politik yang bombastis dan menguap seketika bersama hembusan angin politik kekuasaan.
Tawaran Mega-Prabowo akan perubahan dan membangun ekonomi kerakyatan seakan merobek langit harapan orang-orang kecil. “Dari Bantar Gebang menuju istana,” dari dunia nista menuju tanah terjanji adalah komitmen sentral yang menggerakkan kesadaran orang-orang kecil yang terpinggirkan. Andaikata Mega-Prabowo terpilih, dapatkah mereka mengubah kehidupan para penghuni Bantar Gebang untuk menjadi lebih baik? Andaikata terwujud maka sampah-sampah terus menumpuk karena tidak ada lagi orang miskin yang sebelumnya mengkonsumsi sampah untuk dijadikan sebagai sumber ekonomi.
Kalla tak mau kalah. Berbekal semboyan “lebih cepat lebih baik” dapat memberikan suntikan bagi para pengusaha untuk berpihak padanya. Ia menggerakkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan otak sendiri, menggunakan ilmu sendiri dalam membangun kehidupannya. Sejauh mana negara memberi ruang kebebasan kepada masyarakat dan memberikan suntikan dana? Apakah BLT dapat dijadikan sebagai dana awal dalam membangun kehidupan ekonomi?
Para capres pandai membaca peluang dan meramu situasi politik yang selalu berpihak pada rakyat. SBY dalam iklannya terlihat cemas mengemis suara rakyat, sampai-sampai harus keluar masuk di warung-warung sederhana untuk menjumpai orang-orang kecil. Megawati-Prabowo selalu menjumpai masyarakat di pasar-pasar tradisional sebagai cara pintas dalam mengukuhkan keberpihakkan ekonomi rakyat. Sedangkan Kalla lebih sering menjumpai para Kiay dan Santri yang merupakan basis yang cukup berpengaruh dalam komunitas muslim.
Sebagai calon pemimpin, mestinya berani berbeda namun berani menerima perbedaan sebagai bagian integral dalam mewujudkan cita rasa masyarakat majemuk. SBY tidak hanya berkunjung saja pada warteg dan mencicipi makanan khas Jawa tetapi lebih dari itu berani mencari makanan khas daerah lain yang walaupun tidak terjual di warung-warung publik. Kalla tidak hanya mengunjungi pesantren saja tetapi sesekali bisa mengunjungi biara yang mewakili komunitas agama lain. Dan Mega tidak hanya berpihak pada kekuasaan saja tetapi lebih dari itu harus berpihak pada rakyat sehingga tidak dicap sebagai megawatilomania. Mungkinkah mereka bertarung dan menerima keberbedaan yang lain seperti Beda yang berani menyicip makanan khas lain karena tidak memiliki warung sendiri? Mengolah rasa tidak lebih dari mengolah sebuah ideologi yang selalu menjiwai nafas kehidupan seseorang.***

Thursday, May 28, 2009

JAM DINDING

Oleh: Valery Kopong*

Hampir setiap hari saya selalu melihat jam, entahkah jam dinding atau jam tangan. Bangun pagi aku diingatkan oleh detakan jam dinding yang menunjukkan waktu yang tak lama lagi untuk bergegas menuju tempat kerja. Demikian juga di tempat kerja, aku tak luput dari detakan dinding oleh jarum jam. Memang, membosankan apabila suasana terus berlanjut dalam rutinitas hidup manusia.
Setiap manusia selamanya berada pada rel waktu dan manusia terus diingatkan untuk memanfaatkan waktu secara efektif demi pengembangan diri, sesama dan pada akhirnya bermuara pada waktu keselamatan Allah sendiri. Ketika menjelang sengsaraNya, Yesus selalu mengingatkan para muridNya, saatKu hampir tiba, berjaga-jagalah dan berdoalah. Saat yang dimaksudkan di sini adalah waktu, di mana seorang anak manusia harus diserahkan pada tangan para algoju. Walaupun tidak ada jam dinding yang berdetak menemani saat menjelang sengsara Yesus, tetapi Ia tahu, berapa lama lagi jalan kesengsaraan harus ditapaki.
Waktu, saat yang paling genting akhirnya diterima Yesus dengan lapang dada. Tetapi dalam kemanusiaan Yesus, Ia berani berdoa dalam kesendirian dan ketakutan, “Ya Bapa, kalau mungkin biarlah piala ini berlalu daripadaKu tetapi bukan atas kehendakKu melainkan kehendak Dia yang telah mengutus Aku.” Yesus selalu menunggu saat, menunggu waktu yang pas untuk membiarkan diriNya terbawa dalam arus kehendak Allah. Sebagai manusia yang berada dalam ketakutan, tentunya ada pengharapan akan pembebasan diriNya dari belenggu maut yang bakal mengancam diriNya. “Kalau mungkin, biarlah piala ini berlalu…..” tetapi kuasa Allah lebih besar dan dalam waktu yang berbarengan, jalan kesengsaraan dijalani demi umat manusia yang ditebusNya.
Ketika mengikuti retret di Puspanita, sebuah pertanyaan sederhana tetapi mendesak yang dilontarkan oleh salah seorang panitia retret. “Apabila hidup Anda tinggal 3 hari lagi, apa yang harus engkau lakukan?” Pertanyaan yang terkesan menuding ini membuatku untuk menjawab dengan menuliskannya pada secarik kertas kusam. Apabila hidupku tinggal 3 hari lagi, yang kuperbuat adalah berbuat baik dengan orang lain. Konsep berbuat baik di saat-saat akhir menjadi momentum pembenahan diri sebagai bagian purifikasi diri tetapi lebih dari itu merupakan bentuk pertanggungjawaban hidup. Dalam refleksi yang bernas, ada sebuah kejujuran yang mengental yaitu bahwa setiap manusia perlu bebas dari tekanan tanggung jawab dan dalam “terowongan pertanyaan” yang sama, secara individual sepertinya tergiring untuk masuk ke dalam ruang ketakutan. Tetapi pertanyaan yang diberikan untuk digumuli secara massal maka di sini, ada penegasan kolektif yang seakan menyembunyikan “pemberontakan akhir.”
Melalui puisi Aku, Chairil Anwar pun mengumandangkan kemerdekaan Akunya, Aku yang lepas bebas, Aku yang berani. Namun juga seorang Chairil Anwar ternyata membutuhkan sebuah kelompok, sebuah angkatan, yang siap bersamanya mengangkat suara, agar suaranya sendiri boleh lenyap dalam kebersamaan itu. Dia membutuhkan dan karena itu membentuk sebuah angkatan, yang bersamanya siap mengangkat kepala, supaya kalau hendak dicerca masyarakat karena gagasan individualisme itu, bukan cuma kepalanya sendiri yang dilihat dan dibacok. Chairil mengungkapkan sebuah kerinduan untuk menjadi Aku, namun menyadari perlunya sebuah tembok pelindung bernama kelompok, massa, nafas zaman.
Yesus sendiri, dalam pergulatanNya, secara implisit mengharapkan dukungan dari kelompok muridNya sendiri melalui doa. “Berjaga-jagalah dan berdoalah….” Doa dari murid-muridNya, selain supaya terbebas dari godaan dan dosa tetapi bahwa Yesus melihat doa sebagai pangkal dan benteng terakhir dalam menghadapi sakratul maut. Saat-saat kritis, Ia berdoa dalam kesendirian untuk menunjukkan bahwa pola relasi dengan BapaNya tidak hanya dibangun pada saat-saat normal namun dalam suasana genting pun doa menjadi ‘bekal sandaran’ dalam memaknai “via dolorosa.”
Kristus mengambil waktu yang pas, yang walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan bagiNya namun melalui momentum derita itu Ia selalu mengajarkan tentang bagaimana menghargai waktu. Saat itu, waktu itu, Ia tidak menunda lagi proses penderitaan yang bakal dijalani. Hanya dalam waktu, Ia merunduk pasrah dalam balutan kecemasan. Seluruh hidup Yesus dimulai dalam waktu dan berakhir pada waktunya. Ketika di atas salib, Ia mempertanggungjawabkan seluruh karya dan proses penderitaan yang dijalaniNya. “Bapa, selesailah sudah……” Pada saat itu Ia merunduk kaku di atas salib dan menghembuskan nafas terakhir.
Tidak ada jam dinding yang setia mengontrol seluruh perjalanan hidup Yesus. Namun demikian, dalam waktu yang tidak diwarnai dengan gesekan jarum jam, Ia memulai dan mengakhiri seluruh karyaNya dalam genggaman waktu. Barangkali, suatu saat kita pun mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita di hadapan Allah dalam waktu yang sama. “Bapa, selesailah sudah…..***

MARIA DAN EMPATI SOSIAL

Oleh: Valery Kopong*

Ketika almahrum, Pater Sareng Oringbao, SVD menggagas sebuah pahatan patung Maria dengan mengenakan pakaian adat Sikka-Maumere-Flores, mengundang reaksi dari banyak pihak. Ada perdebatan yang muncul di permukaan silang pendapat. Ada yang mengatakan bahwa pakaian Bunda Maria adalah simbol religius yang dapat merangkul semua orang di bawah kepakan mantel sang Bunda, karena itu pakaiannya tidak perlu digantikan oleh pakaian bermotif lokal.
Perdebatan tentunya berlanjut, tetapi dalam kisaran waktu yang lama, pada akhirnya semua pihak menerima keberadaan patung Maria dalam komunitas biara yang terletak di atas bukit teduh itu. Orang-orang yang bersilang pendapat bahkan bersitegang dengan sang penggagas, pada akhirnya memahami arah idealisme sang pencetus. Satu alasan sederhana dari sang pastor dan antropolog itu yakni bahwa sudah waktunya kita mewajahkan wajah Maria dengan wajah seorang ibu dari Asia. Dengan proses perwajahan ini secara implisit menggambarkan sebuah kepedulian dalam menerima pribadi Maria sebagai bagian dari hidup manusia terutama orang-orang Asia (Indonesia). Bunda Maria yang sebelumnya dirasa jauh jaraknya, tetapi sekarang, dengan modifikasi patung Maria yang mengenakan pakaian daerah, seakan membuka jalan bagi orang kampung untuk berdoa sambil tidak segan-segan mengungkapkan segala persoalan hidup.
Kepribadian Bunda Maria selalu memperlihatkan nilai empati sosial yang sangat kuat. Dalam pesta perkawinan di Kana misalnya, Maria selalu mau bersolider dengan tuan pesta untuk kemudian memperkenalkan Yesus ke hadapan umum dalam peristiwa pengubahan air menjadi anggur. Mujizat pertama yang dilakukan Yesus dapat terselenggara karena kehadiran dan peran serta Maria. Kehadirannya di tengah pesta membawa daya pengubah, yang pada akhirnya setiap undangan berhak menikmati anggur kebaikan yang datang dari sang Ilahi.
Ada beberapa nilai kebaikan sekaligus empati sosial yang perlu dipelajari dari Sang Bunda yaitu: pertama, sikap tanggap darurat. Apabila merujuk pada momentum perkawinan di Kana, jelas terlihat bahwa sikap yang ditunjukkan Maria adalah sikap tanggap darurat. Dikatakan demikian karena dalam hitungan waktu singkat, Maria dapat membantu dalam proses penyelesaian masalah kekurangan anggur bagi tuan pesta. Memang, menanggap situasi darurat seperti yang dialami oleh Maria adalah sesuatu yang tidak mudah. Maria, dengan gaya diplomasi otentik, mencoba untuk memahami kekurangan yang dihadapi oleh tuan pesta. Kedua, memperkenalkan Yesus di hadapan umum. Peristiwa Kana barangkali dilihat sebagai peristiwa publik di mana komunitas yang turut serta dalam pesta dapat mewakili umat manusia lain yang dapat menikmati hasil mukjizat yang diperlihatkan oleh Yesus kepada dunia.
Mukjizat perdana pada pesta perkawinan di Kana merupakan hasil rancangan Allah sendiri. Ia mau memperlihatkan Yesus di hadapan publik melalui Maria. Di sini, Maria dilihat sebagai pintu masuk atau gerbang Ilahi yang siap memperkenalkan Yesus kepada siapa saja yang melewati gerbang dunia ini. Tindakan untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik adalah bagian dari rasa cinta Maria terhadap manusia. Apa yang dilakukan oleh Maria untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik merupakan suatu gerakan Allah untuk keluar dari diriNya dan terlibat dalam suasana pesta. Allah adalah penantang, pendobrak, pembebas dan pencinta. CintaNya kepada manusia adalah cinta yang menantang, membebaskan dan mengubah.
Para ekseget berpendapat bahwa kehadiran Maria di tengah pesta, dia tidak hanya datang sebagai seorang undangan biasa tetapi lebih dari itu Ia adalah bagian dari anggota keluarga si tuan pesta. Dugaan ini kuat mengemuka bertitik tolak dari keterlibatan Maria saat berurusan dengan keluarga ketika menghadapi kekurangan anggur. Secara rasional dapat dikatakan bahwa rasa empati sosial Maria dapat muncul karena adanya unsur kedekatan dengan pemilik pesta.
Melalui mukjizat pertama itu, Allah mau berbicara kepada dunia tentang pengalaman pesta di Kana menjadi pesta umum, pesta rakyat di mana setiap orang dipuaskan oleh anggur terbaik. Dengan menikmati minuman berharga itu, kualitas pesta semakin bernilai di mata para undangan. Apakah kita sekarang yang membaca kembali teks Kitab Suci tentang perkawinan di Kana, seperti siapa kita memposisikan diri? Sebagai tuan pesta yang cemas saat mengalami kekurangan anggur? Ataukah sebagai Maria yang selalu membuka diri bagi keselamatan orang lain? Di sini, Maria menyadari “pentingnya menjadikan orang lain penting” terutama tuan pesta. Dalam bulan Mei sebagai bulan rosario ini kita diajak untuk merenungkan kisah keterlibatan Maria dalam diri dan masyarakat kita. Patung Maria seperti dalam kisah di atas, tidak hanya menjadi monopoli kelompok tertentu, namun kita juga membiarkan Maria masuk ke dalam keluarga dan kita berani menawarkan pakaian bermotif lokal daerah kita untuk dikenakan olehnya. Tetapi dalam proses menawarkan dan memberikan pakaian bermotif lokal kepada Maria, kita terbentur pada sebuah pertanyaan sederhana, untuk apa dan mengapa?**

TITIAN HIDUP

Oleh: Valery Kopong*

“Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas untuk dijalani.” Barangkali benar bahwa ketika menjalani hidup terkadang dilihat sebagai sebuah rutinitas maka ada bahaya yang muncul yaitu kita terjebak dalam sebuah rutinitas yang membosankan. Orang tidak melihat pekerjaan yang dilakukan sebagai bagian dari panggilan hidup tetapi lebih dari itu hanya sekedar untuk mengisi waktu. Untuk apa kita perlu mempertanyakan tentang hidup dan kehidupan ini? Lakon hidup apa yang harus aku lakonkan di bawah terik matahari abadi? Tetapi hidup dan kehidupan yang beragam selalu mewarnai perjalanan ini, yang kaya tetap bertahan dengan kemewahannya dan orang-orang miskin tidak takut lagi menghadapi kemiskinan dirinya.
Ketika membaca dan merenungkan perumpamaan yang ada dalam kitab suci, hatiku menjadi tenang dan percaya diri dalam menjalani hidup ini. Salah satu perumpamaan yang menarik dan menjadi sabda peneguh hidupku adalah: “Lihatlah burung-burung di udara yang tidak bekerja tetapi tak satu pun mati kelaparan. Lihatlah bunga bakung yang begitu indah dan Salomo yang dalam kemewahannya pun kalah dari bunga bakung itu.” Perumpamaan ini menjadi sumber inspirasi dalam proses pertarungan hidup ini. Yang miskin tetap berusaha mengais segumpal rezeki di tong-tong sampah untuk mempertahankan hidup. Tempat-tempat sampah barangkali dilihat sebagai bagian dari Allah menabur rezeki untuk burung-burung (baca: orang-orang miskin) yang kehilangan harapan dengan perputaran roda zaman. Allah tidak mau mereka terhempas tak berdaya di tepian pertarungan hidup. Kehadiran mereka di tengah-tengah kota sebagai praisyarat pada orang-orang kaya untuk mengafirmasi diri sebagai orang kaya karena tanpa mereka tidak ada titik pembeda yang tegas.
Perumpamaan yang dilontarkan oleh Yesus memiliki daya magnetis dan sekaligus memberikan daya rangsang pada orang-orang yang sedang berputus asa dan menderita kelaparan untuk bangkit dari ketakberdayaan sembari menatap sebuah “fatamorgana harapan.” Tetapi apakah dalam kondisi yang lapar, mereka yang menderita dikenyangkan oleh sabda dan perumpamaan yang selalu menggema? Seberapa jauh mereka dapat mengalami sentuhan kasihNya?
Penderitaan yang mendera kehidupan manusia, terutama saat-saat di mana manusia kehilangan daya dalam menggapai kehidupan ekonomi yang layak, perumpamaan ini layak untuk dijadikan sebagai hiburan yang menjanjikan. Tetapi tidak hanya menjadi perumpamaan ini sebagai patokan melainkan Kristus dijadikan sebagai landasan dasar dalam menjalani hidup ini. Dalam diri Yesus, seluruh keterputusasaan manusia selalu tercarikan jalan keluarnya. Dalam diri Yesus tertemukan nilai-nilai perjuangan hidup. Ia mengalami dua situasi yang berbeda, situasi Tabor dan Golgota. Peristiwa Tabor memperlihatkan sebuah suasana hidup yang baik dan menjanjikan sebuah masa depan dan peristiwa Golgota memperlihatkan sebuah pergulatan hidup yang penuh penderitaan. Dua situasi inilah yang membuka kemungkinan bagi kita untuk memahami bahkan mengambil situasi tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari hidup. Dalam iman, peristiwa Golgota tidak mengalami titik stagnasi tetapi menjanjikan harapan baru akan sebuah kebangkitan.
Masyarakat miskin tidak dilihat sebagai “penghuni tetap di titian hidup Golgota” tetapi mereka sedang menunggu sebuah kebangkitan baru yang lebih menjanjikan. Mereka juga tidak hanya memuaskan diri dalam “ruang perumpamaan semu” tetapi melalui perumpamaan ini, sebenarnya Yesus menampilkan sebuah proses pembelajaran hidup. Di dalam perumpamaan itu orang dipacu untuk berpikir, untuk pada akhirnya menilai situasi, menentukan keputusan sendiri dan mulai bertindak. Seperti burung-burung yang berkeliaran di alam bebas tanpa tuan, mereka tidak pernah mengalami kelaparan. Allah sendiri sebagai yang Empunya semesta memberikan makanan lewat tanaman-tanaman yang tumbuh liar di sepanjang hidup mereka. Bukankah manusia lebih berharga daripada burung-burung di udara?
Ketika mendirikan sebuah biara di Jerman, Arnold Janssen, sepertinya menjadi figur yang perlu ditertawakan. Mengapa? Karena ia sendiri mendirikan sebuah biara tanpa adanya modal uang. Bagaimana mungkin mendirikan sebuah biara tanpa adanya uang untuk menopang perjalanan biara? Inilah kata-kata pesimis yang datang, baik dari kalangan biarawan maupun awam. Tetapi hanya ada satu keyakinan bahwa Allah Tri Tunggal pasti menyertainya dalam karya misionernya. Bagi dia, “uang masih ada di saku orang.” Itu berarti bahwa ia yakin, Tuhan akan memberikan jalan untuk menghidupkan biara dan sesama yang peduli pasti memberikan sumbangan untuk kelanjutan biaranya. Karena ketekunan dalam doa-doa dan menaruh harapan yang kuat maka pada akhirnya ia mendirikan tiga biara besar yang dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan iman umat manusia sejagat.***
Tuhan membekaskan
telapak peringatanNya
pada debu refleksiku
memapah jejak kakiku
menelusuri lorong kota sepi
pada ujung lelah sebuah pendakian
dengan jantung setengah berdenyut
kudapati tikaman terakhir dariNya
tikaman pedang bermakna kata

Tuesday, April 28, 2009

BELAJAR DARI SANG GURU

Oleh: Valery Kopong*


KETIKA mengunjungi teman yang sakit, ia selalu mengeluh sakit terutama setelah operasi. Pada operasi pertama yang dianggap gagal, ia kemudian dipindahkan ke rumah sakit lain dan dianjurkan oleh dokter untuk dioperasi lagi karena kondisinya semakin parah. Tindakan dalam pengoperasian ulang dilakukan karena dokter bedah pada rumah sakit sebelumnya salah meletakkan posisi usus yang sebenarnya dalam tubuh si pasien. Awalnya ia menolak saat diminta untuk dioperasi ulang tetapi setelah diberi penguatan oleh teman-teman, ia pada akhirnya meyakinkan diri untuk dioperasi.
Secara pribadi, saya memberikan salut dengan keputusan yang diambil oleh pasien. Keputusan yang diambil ini merupakan keputusan yang sangat riskan dengan mempertimbangkan dua aspek yang sama-sama sulit. Mau bertahan dengan hasil operasi yang pertama maka jelas tidak ada perubahan ke arah kesembuhan. Menurut deteksi dokter pada rumah sakit yang kedua dikatakan bahwa peletakan usus setelah operasi pertama tidak pada tempat yang sebenarnya dan usus tersebut tidak dalam kondisi bersih. Itu berarti ada kemungkinan penyebaran virus ke berbagai anggota tubuh lain. Atas dasar inilah maka para dokter memutuskan untuk dioperasi lagi. Operasi yang kedua berjalan cukup alot dan memakan waktu sebelas jam.
Sebelum menjalani operasi untuk kedua kalinya, ia terlihat lesuh dan sepertinya ada pemberontakan dalam diri untuk mengatakan “tidak”. Namun setelah sehari semalam ia dibujuk maka dengan penuh kepasrahan ia menyerahkan diri untuk dioperasi dengan satu harapan tunggal: sembuh. Harapan untuk hidup lebih baik yang tertanam dalam diri sahabatku dilimpahkan sepenuhnya pada Tuhan yang menjamah dirinya lewat tangan-tangan para dokter. Itu berarti bahwa cara kerja para dokter harus menjanjikan kesembuhan dan dalam diri dokter sendiri dilihat sebagai peluang dalam menggapai kehidupan.
Kami semua yang hadir hanya menghantar dia ke ruang operasi melalui tatapan mata. Dari tatapan mata para sahabatnya yang datang, membersitkan sebuah harapan yang sama yaitu: kesembuhan. Kesembuhan adalah nilai yang sangat berharga untuk seorang pasien. Tetapi apakah proses menuju ke arah kesembuhan semata-mata merupakan daya upaya manusia? Ketika berada dalam kondisi sakit, setiap pasien memperlihatkan diri sebagai manusia yang tak berdaya, lemah dan selalu meminta pertolongan dari siapa pun untuk menghantar dia (pasien) keluar dari lingkaran kesakitan. Orang-orang sakit adalah mereka yang selalu merindukan kesembuhan dan dalam diri mereka terlihat perjuangan untuk mempertahankan hidup. Tetapi untuk menggapai kehidupan yang lebih baik, seorang pasien harus melalui peristiwa derita. Pada momentum derita ini, sebenarnya muncul dua kemungkinan yaitu mau sembuh atau tidak.
Pengalaman sahabat saya tidak menjadi pengalaman pribadi tetapi pengalamannya telah membawa banyak pihak untuk membuka mata sambil merenungkan tentang kehidupan ini. Kehidupan yang dijalani memperlihatkan dua sisi yang berbeda yang mesti dijalani oleh setiap manusia. Ada saat di mana seseorang merasakan kegetiran hidup sebagai tantangan sekaligus cobaan. Ada saat di mana seseorang merasakan kegembiraan. Dua aspek kehidupan ini bukan menjadi pilihan pribadi semata-mata tetapi lebih dari itu ada intervensi Tuhan dalam kehidupan setiap manusia. Tuhan memperlihatkan campur tangan secara pribadi melalui warna-warni kehidupan manusia. Tetapi seberapa jauh manusia merasakan sentuhan kasih Tuhan dalam setiap detak perjalanan hidup manusia?
Pengalaman sakit membawa daya pengubah untuk kehidupan seseorang. Melalui sakit membuat seorang pasien yang peka terhadap sentuhan kasihNya dapat mengadakan sebuah refleksi panjang tentang hidup dan kehidupan ini. Sakit yang membawa penderitaan membuat orang merasakan secara amat nyata ketidakpastian hidup, kegoyahan eksistensi. Penderitaan yang dialami membawa bahaya dan mengancam kehidupan itu sendiri. Dengan demikian muncul sebuah model ketergantungan baku dari sang pasien akan peranan orang lain.
Walaupun dalam kondisi tak berdaya, tetapi harapan baru terus digulirkan oleh para sahabat dan anak didiknya sendiri. Hampir setiap hari, rumah sakit selalu ramai dikunjungi oleh orang-orang yang pernah ia didik. Para siswa dan siswi merasakan pendidikan yang baik tidak hanya dalam ruang kelas tetapi lebih dari itu, si pasien yang adalah guru mereka memberikan pendidikan baru untuk mereka yaitu mendidik mereka untuk bertahan dalam peristiwa derita. Barangkali si pasien sungguh memahami perjalanan hidup Sang Guru Agung, Yesus Kristus. Ia (Yesus) tidak hanya mengalami pengalaman Tabor yang menyenangkan tetapi juga turut merasakan secara mendalam akan peristiwa Golgota. Pengalaman kebangkitan seperti yang dialami oleh Yesus harus dilalui dengan derita dan hal ini menyodok kesadaran pasien untuk boleh berharap akan kesembuhan tetapi langkah pertama yang ditempuh adalah mau menderita.
Ada beberapa nilai yang perlu dipelajari dari perjuangan hidup seorang pasien. Pertama, nilai kepasrahan. Sikap pasrah seorang pasien adalah sikap pasrah dengan suatu harapan lain dibalik kepasrahan itu sendiri. Sikap yang ditunjukkan itu memberikan sebuah pelajaran baru tentang bagaimana bersikap pasrah pada setiap kali menghadapi cobaan hidup. Kedua, nilai kebaikan. Kehadiran para sahabat dan para siswa/siswi yang dididiknya yang tak pernah putus, menunjukkan bahwa si pasien yang adalah guru mereka telah menaburkan kebaikan di sepanjang karirnya.
Pengalaman untuk menghadapi penderitaan adalah pengalaman kesendirian. Hidup para pasien seakan teralienasi dari kehidupan ramai. Dalam kondisi hidup yang sangat sunyi ini mereka butuh uluran tangan, bantuan tidak hanya berupa uang tetapi lebih dari itu memberikan dukungan moril untuk pada akhirnya membangkitkan kembali sebuah harapan baru dalam diri seorang pasien. Dengan dukungan konkrit seperti kehadiran para sahabat, ia (pasien) akan menemukan kembali nilai dan semangat hidup yang paling berharga.**

Thursday, April 2, 2009

PEMILU DAN HARAPAN MESIANIK

Oleh: Valery Kopong*

PEMILU sebagai sebuah “mesin demokrasi” yang mengelola dan menghitung suara, sesungguhnya menjadi pesta perhelatan bagi bangsa yang tengah mencari figur untuk memimpin negara. Ketika negara sedang dalam keadaan “kehilangan harapan” dan tidak memiliki lagi animo untuk memilih, maka jalan pintas yang ditempuh adalah tidak memilih alias golput. Kondisi seperti ini tidak bisa dipungkiri pada setiap kali menyelenggarakan pemilu. Apakah memilih untuk tidak memilih (golput) merupakan jalan terbaik dalam kehidupan berdemokrasi? Ataukah masyarakat harus memilih namun pada akhirnya kondisi bangsa tetap morat-marit seperti sebelumnya?
Menyadari betapa pentingnya pemilu ini maka pada beberapa waktu lalu, keuskupan Agung Jakarta, melalui Romo Vikjen menyerukan agar masyarakat mempergunakan hak pilih sebagai wujud kepedulian terhadap bangsa ini. Di setiap paroki, ditegaskan agar umat memberikan suaranya dalam pemilu untuk menentukan figur-figur yang pantas untuk menjadi presiden. Seruan profetis ini membawa dampak positif bagi angin perubahan di negara ini. Pemikiran yang lahir dari sang gembala ini mau menegaskan bahwa sebagai anggota Gereja, perhatian kita harus meluas dan mengarah pada kepentingan publik. Keberadaan seorang anggota Gereja di tengah masyarakat, memiliki peran yang sangat sentral dalam membangun sebuah peradaban manusia yang humanis.
Walaupun seruan itu lebih terfokus pada “ruang pengharapan” untuk masa yang akan datang, namun pijakannya tetap pada pemilu yang lebih realistis dan elegan. Dengan demikian, ukuran sebuah demokrasi yang dewasa dan pemilu yang berbobot tidak hanya berhenti pada tempat pemungutan suara, tetapi masyarakat perlu mengkawal figur-figur yang dijagokan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Memberikan suara berarti ada kemungkinan untuk setiap pemilih menggantungkan harapan pada “pundak” sang pemimpin.
Ketika sebagian besar masyarakat menjatuhkan pilihan untuk tidak memilih, para politikus ramai-ramai memandang situasi ini sebagai bentuk kezaliman politik dan sekaligus kritik atas proses demokratisasi maka “mungkin” seruan sang gembala di atas menjadi sangat menarik dan inspiratif walaupun seruan itu menggema, berbasis dalam lingkungan Gereja. Keberadaan Gereja yang memposisikan diri sebagai minoritas, namun perlu membangun kembali nuansa peradaban bangsa dengan memanfaatkan hak pilih sebagai sebuah alternatif dalam proses pembenahan hidup berdemokrasi. Kepedulian Gereja merupakan bentuk apresiasi positif dan seruan moral politik sebagai bagian dalam penataan hidup berbangsa dan bernegara.
Walaupun keterlibatan Gereja sebatas “pinggiran politik praktis” tetapi seruan yang dilantunkan tidak berada pada pinggiran masyarakat. Seruannya menusuk masuk ke dalam realitas sosial-politik, di mana masyarakat sedang menunggu dengan harapan yang tidak menentu. Mungkinkah masyarakat luas menerima seruan Gereja ini sebagai langkah awal dalam membangun peradaban politik?
Beberapa waktu lalu, mantan presiden Gus Dur, menyerukan kepada publik untuk memboikot pemilu 2009. Seruan Gus Dur ini dilandasi oleh rasa kecewa terhadap partai yang kalah di hadapan Mahkamah Konstitusi. Apakah dilandasi oleh rasa kecewa memacu seorang Gur Dur untuk memboikot pemilu? Apakah tidak ada cara lain yang lebih elegan untuk mengungkapkan rasa kecewa?
Apabila dicermati dua hal di atas dan dikaitkan dengan realitas sosial, maka akan tertemukan persoalan yang sangat pelik. Masyarakat sendiri dibingungkan oleh seruan-seruan dari lembaga ataupun orang-orang yang berpengaruh. Kebingungan barangkali menjadi faktor utama dalam menentukan proses penilaian dan menentukan sikap yang tegas. Masyarakat sendiri harus jernih melihat dan secara bijak dalam mengambil keputusan sebelum memberikan hak-hak politik pada pemilu mendatang. Di sini, masyarakat sendiri menilai dan secara bebas menentukan arah perjalanan hidup bersama dalam sebuah perahu yang bernama “Indonesia.” Kebebasan dalam menentukan sikap politik terhadap dua model seruan di atas, bukan cuma terlepas dari suatu ikatan, melainkan mengikat diri pada sesuatu untuk sesuatu. Mengikat diri di sini lebih dimaksudkan dengan memberikan keputusan final dalam menyumbangkan suara pada pemilihan umum nanti.
Suara yang disumbangkan pada pemilu dapat memberikan denyut nadi peradaban dan sejarah bangsa ini akan terus berlanjut karena kebulatan suara masyarakat. Seperti para donatur yang menyumbangkan darah untuk mereka yang membutuhkan pada saat-saat kritis dan pada akhirnya menyelamatkan nyawa manusia, demikian juga dalam kehidupan berbangsa, pemilu menjadi momentum berharga, karena pada saat itu, para “donatur” (masyarakat pemilih) memberikan sebagian “darah” (suara) untuk menyelamatkan “nyawa” bangsa yang masih terkapar ini.
Gereja, melalui suara sang gembala (imam) seakan memberikan “suntikan” melalui “jarum seruan” sebagai cara terbaik dalam upaya menyelamatkan bangsa ini. Proses penyelamatan bangsa, dimulai dari lingkup paling kecil yaitu paroki. Lewat basis utama Gereja ini, tertanam sebuah komitmen untuk membangun peradaban, sambil menunggu sang penyelamat (mesias) atau pemimpin yang dirindukan oleh bangsa ini. Bagaimana masyarakat melihat hal berpikir dan mengungkapkan pikiran sebagai satu bentuk kerasulan, sebagai satu bentuk komitmen terhadap persoalan kemasyarakatan dan Gereja?***

MENCARI ORANG JUJUR

Oleh: Valery Kopong*

Komisi pemberantasan korupsi pernah membuka sebuah warung dan diberi nama “warung kejujuran.” Banyak barang yang dijual diletakkan di etalase dan diberi harga masing-masing. Setiap orang yang mengunjungi warung tersebut dibiarkan untuk memilih dan membeli sesuai dengan harga yang tertera pada masing-masing barang dagangan dan uang yang merupakan hasil pembelian diletakkan pada tempat yang telah disediakan. Apa yang merupakan tujuan utama dari adanya pembukaan warung kejujuran tersebut? Apakah cara sederhana ini menjadi sarana pembelajaran bagi warga agar selalu bersikap jujur tanpa perlu dikontrol?
Mencari orang jujur pada saat ini untuk menjadi pemimpin merupakan suatu pekerjaan yang amat sulit. Menjelang pemilu 2009, banyak orang beramai-ramai menampilkan diri sebagai orang baik dan jujur. Ada yang mau mencalonkan diri sebagai calon legislatif, dan ada pula yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Ada kelompok kaum muda yang ingin tampil di atas pentas politik dan menawarkan jalan baru menuju sebuah tujuan yang mau dicapai yaitu kesejahteraan masyarakat. Tawaran yang dikedepankan dibarengi juga dengan afirmasi diri maupun partai. “Pilih aku sebagai caleg yang bersih dan peduli. Atau pilih partai X yang tidak korup.” Apa yang dikatakan oleh caleg maupun partai, hanyalah merupakan jargon politik yang bersifat sesaat dan kemudian lenyap dari permukaan hidup setelah mendulang suara yang mengantarnya pada kursi kekuasaan.
Realitas telah membuktikan bahwa ketika orang terjun ke dalam dunia perpolitikan, secara perlahan menisbikan kejujuran yang seharusnya menjadi bagian penting dalam membangun kesadaran dan moralitas politik. Kejujuran menjadi “batu sendi” dalam menegakan sebuah nurani yang bersih. Berpolitik dengan mengabaikan kejujuran, sama halnya berpolitik tanpa nurani maka akibat yang muncul adalah pengabaian beberapa aspek penting bahkan tujuan yang mau dicapai tidak mengena pada sasaran.
Berpolitik perlu diimbangi dengan tatanan hati nurani yang bersih sebagai bagian integral dalam mewujudkan sebuah masyarakat yang sejahtera. Berpolitik dengan hati tidak lain adalah berpolitik dengan bersikap santun dan humanis. Politik hati nurani, seperti yang digagaskan oleh almahrum Romo Mangunwijaya, lebih menitikberatkan pada hati sebagai pusat dari aktivitas berpolitik. Wacana politik hati nurani seakan membongkar episteme masyarakat bahkan merombak mindset seorang politikus. Apakah pemilu yang berlangsung ini, baik untuk memilih anggota legislatif maupun eksekutif benar-benar berjalan sesuai tuntutan moralitas politik yang bersih?
Moralitas politik yang bersih seperti dicanangkan oleh beberapa partai maupun caleg menjadi sesuatu yang sia-sia. Dikatakan demikian karena ketika seseorang (caleg) atau partai mengatakan diri sebagai partai yang bersih, pada saat yang sama mereka sedang memproklamirkan diri sebagai orang yang tidak bersih, jauh dari sentuhan moral politik. Dengan kata lain, para politikus sedang menegakkan sebuah nilai, tetapi pada saat yang sama mereka sedang menodai nilai itu sendiri. Nilai utama yang sering dikesampingkan adalah nilai kejujuran.
Bangsa Indonesia yang hidupnya sekian parah oleh pelbagai krisis, diakibatkan oleh ketidakjujuran yang diperlihatkan oleh elite politik bangsa ini. Menyadari betapa pentingnya nilai kejujuran sebagai upaya dalam mendongkrak kepercayaan masyarakat, maka tidak mengherankan bahwa para calon politisi yang memanfaatkan momentum pemilu sebagai “peluang reklame” diri dengan mengedepankan nilai-nilai utama kejujuran sebagai koridor politik dalam merebut suara masyarakat.
Seruan politis dari para politisi memberikan warning pada masyarakat tentang sebuah kehilangan akan jati diri bangsa. Di sini, seorang politikus, terlepas dari bombastisnya, tampil sebagai perintis jalan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Boleh jadi, seorang politik, yang karena keberaniannya dapat disejajarkan dengan seorang seniman. Chairil Anwar pernah menulis tentang seniman. Menurutnya, seorang seniman menjadi seorang perintis jalan, penuh keberanian dan tenaga hidup. Ia tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar tak bertepi. Seniman adalah tanda dari hidup yang melepas bebas.
Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa para politikus menjadi seorang perintis sekaligus reformis yang memiliki “daya pangkas” dalam upaya membenah bangsa ini. Mereka (para caleg) akan tampil memangkas segala kepincangan yang terjadi selama ini dan memberikan arah baru dalam menuntun masyarakat luas menuju “rimba negeri” yang makmur. Tetapi dalam proses menuntun masyarakat ini perlu adanya komitmen dan garansi politik sebagai ikatan normatif bagi para politisi agar dalam melaksanakan aktivitasnya, mereka selalu bercermin pada “janji dan komitmen.” Berapa jumlah politisi yang berpegang teguh pada komitmen dan setia pada rakyat yang telah memberikan hak pilih dalam memuluskan jalan politik? Ada waktu lampau yang mendorong kita untuk berseru: “Kami ingin menuntut agar para politisi berlaku jujur dan adil.” Tetapi ada politik ingatan, ada politik melupakan. Keduanya menganggap bahwa “sejarah” adalah semacam fotokopi dari pengalaman yang telah tersimpan.
Dalam sejarah perjalanan “mesin politik” bangsa ini, selalu diwarnai dengan kecurangan. Ada janji yang baik di luar gedung dewan terutama saat kampanye tetapi seketika itu mereka lupa janji seusai pulas duduk di kursi empuk. Maka konklusi politik yang muncul di permukaan yakni bahwa politik Indonesia adalah politik yang absurd yang kini mencapai titik kulminasinya. Istilah politik yang absurd mengungkapkan sebuah kegagalan bahasa seorang politikus yang tidak sanggup menerjemahkan janjinya ke dalam politik praktis. Absurditas politik mengungkapkan secara vulgar tentang kesia-siaan rakyat dalam memberikan suara dan politikus yang gagal dalam menata kehidupan bersama. Yang ada adalah pemutlakan diri untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompok partai. Lalu siapakah pemimpin yang jujur untuk bakal tampil di istana untuk menjawabi kerinduan masyarakat luas? Penulis khawatir, kerinduan masyarakat akan pemimpin yang jujur dan tulus, hanyalah sebuah kerinduan hampa, tidak jauh berbeda dengan “Waiting for Godot,” menunggu lakon yang tak pernah muncul di permukaan pentas.**

CALEG, “FACEBOOK DAN FACE TO FACE”

Oleh: Valery Kopong*

PEMILU sudah diambang pintu. Dengan keterdekatan waktu, sedikitnya memaksa para caleg (calon legislatif) untuk mencari alternatif dalam merebut suara masyarakat terutama daerah pemilih (Dapil). Pemilu dilihat sebagai “pasar politik” yang berani menawarkan pelbagai kemungkinan pada masyarakat pemilih. Tetapi dalam proses tawar-menawar, setiap caleg tentunya mencari terobosan yang berarti. Cara-cara mana saja yang sedikit lebih efektif dalam mempengaruhi massa? Media apa saja yang lebih mempan dalam memasarkan konsep, memasarkan wajah dan program-program yang bakal dilakukan oleh caleg?
Ketika melakukan perjalanan panjang, dari rumah menuju tempat kerja, ada satu pemandangan umum yang terlihat adalah wajah-wajah para caleg bergantungan pada tiang-tiang listrik dan pohon-pohon di tepi jalan. Gambar wajah para caleg sepertinya bergentayangan dan seakan menyapa para pejalan kaki dan orang-orang yang melintasi jalur ramai dengan mengendarai kendaraan. Para caleg berani masuk ke wilayah ramai, tempat kerumunan orang-orang yang barangkali memberikan suara untuk memuluskan perjalanan politik mereka.
Tidak hanya wajah yang terpampang tetapi lebih dari itu ada tulisan-tulisan singkat yang merupakan moto perjuangan mereka dan sekaligus sebagai kalimat sakti yang memiliki daya hipnotis-politis yang tinggi. Ada yang menuliskan kalimat di spanduk: “saatnya hati nurani yang berbicara.” Membaca tulisan sederhana ini memiliki pesan yang syarat makna. Pertama, bertitik tolak dari pengalaman masa lalu, para pejabat yang terlibat dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara ini seolah-olah mengabaikan bisikan nurani sehingga sebagian kebijakan yang diambil agak jauh dari sentuhan kemanusiaan dan mengorbankan masyarakat kecil. Kedua, politik hati nurani seperti yang dikedepankan oleh almahrum Romo Mangunwijaya belum menjadi bagian integral dalam kehidupan politik praktis. Yang lebih ditekankan adalah rasionalitas diri yang berujung pada pembelokan nilai-nilai politik.
Para caleg dan capres maupun cawapres tidak mau ketinggalan dalam penggunaan media sebagai sarana dalam menjalin komunikasi aktif dengan masyarakat luas. Model baru perluasan wilayah politik melalui dunia maya merupakan pengaruh yang dimunculkan oleh Obama dalam berkampanye terselubung melalui facebook. Obama, yang kehadirannya dalam pentas politik seakan menjadi magnet kehidupan bagi para politisi. Tetapi apakah mungkin, target gemilang yang dicapai Obama juga menjadi “mimpi emas” para elite politik kita?
Ketika membuka facebook, aku melihat wajah-wajah para elite politik yang juga nongol di dunia internet dan dijadikan sebagai lahan subur dalam berkampanye. Mereka coba menggugah kesadaran masyarakat terutama pengguna facebook untuk melihat diri mereka, gagasan dan opini yang dibangun bersamaan dengan niat untuk merebut kursi kekuasaan. Para elite politik terutama yang berdomisili di kota-kota, memanfaatkan internet sebagai jaring sosial-politik untuk menggenggam massa dalam menentukan sikap di saat-saat menjelang pemilu. Para elite politik kota lebih cepat dalam bermobilitas. Barangkali mereka tersihir dengan kata-kata Plato, “Mereka yang lambat, tak ikut bermain.” Mereka (para elite) secara sepintas dilihat sebagai orang-orang lihai dalam berkompetisi. Hidup mereka selalu dibayangi dengan kursi kekuasaan yang menjadi sasaran terakhir dari perjuangannya. Karena kursi kekuasaan maka mereka selalu membangun strategi dalam permainan politik. Charles Baudelaire mengatakan bahwa hidup hanya mempunyai pesona tunggal yakni permainan. Jika kita masuk ke dalam suatu permainan maka pertanyaan filosofisnya adalah: “Maukah Anda menang atau kalah?”
Pertanyaan filosofis ini menjadi landasan dasar untuk bertarung dan menguji kedewasaan dalam berpolitik. Para politisi kita kebanyakan menyiapkan diri untuk bertarung di pentas politik tetapi belum sepenuhnya menyiapkan diri untuk menerima kemenangan atau kekalahan. Dua konsekuensi dari pertarungan ini menjadi bagian yang tak terpisahkan. Ketika kemenangan yang diraih, apakah elite politik yang bersangkutan sanggup menerjemahkan seluruh gagasan ke dalam rencana strategis yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat? Tetapi apabila kekalahanlah yang dialami dari proses pertarungan itu, sanggupkah ia (elite politik) menerima dengan lapang dada? Kekalahan menjadi pengalaman yang pahit dan memalukan dan justeru orang-orang Indonesia belum menunjukkan sikap legowo dalam berpolitik untuk menerima kekalahan sebagai proses dalam pendewasaan diri. Para pengamat sosial-politik menilai bahwa tingkat stres masyarakat semakin meningkat setelah pemilihan umum pada bulan April. Analisis yang terkesan dadakan ini dapat diterima dengan melihat fenomena caleg yang semakin menjamur yang kebanyakan tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran. Di sini, mereka membaca peluang untuk memanfaatkan momentum pemilu sebagai bagian dari proses mencari kerja dengan resiko yang begitu berat. Apabila mengalami kegagalan maka hal ini dapat menambah matriks kekecewaan dan stres.
Seminggu yang lalu, aku mendapat SMS dari sahabatku yang menginformasikan bahwa Yos (bukan nama sebenarnya) yang menjadi caleg di kabupaten Tangerang-Banten, meninggal dunia. Diperkirakan ia meninggal karena kecapaian dalam melakukan pendekatan ke masyarakat sebagai calon pemilih. Ia hidup di kota kecil tetapi ia tidak memanfaatkan dunia internet sebagai sarana dalam berkampanye. Baginya, pendekatan pribadi (face to face) jauh lebih berharga dan jarak sosialnya tidak terlalu lebar. Kebetulan dia adalah caleg katolik maka strategi awal yang disusun adalah menemui para ketua lingkungan dan anggota-anggotanya. Ia menunjukkan wajah secara terbuka dan meyakinkan umat dalam menentukan pilihan terhadap dirinya. Sayangnya, Tuhan lebih dahulu memilih dia sebelum ia dipilih oleh masyarakat.
Para politisi meramu metafor untuk kehidupan yang ternyata membawa konsekuensi yang berat. Di dalam perpolitik, ada pergulatan dengan kerasnya kehidupan yang tidak selalu berakhir dengan kemenangan. Ada tragedi dan tangis bagi yang kalah. Ada komedi dan gelak tawa bagi yang menang. Dan karena dinamika kalah menang itulah, maka berpolitik menjadi perhelatan yang paling banyak digemari.***

Friday, December 19, 2008

Kesetiakawanan di Tengah Krisis Global
Jumat, 19 Desember 2008 00:25 WIB

Bambang W Soeharto
Setelah mengampanyekan jargon ”There is No Day Without Solidarity” (2007), tahun ini peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional bertema ”Bersama dan Peduli”.
Tema itu dimaksudkan untuk membangkitkan nilai-nilai solidaritas dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Sebab, kebersamaan sebagai jati diri bangsa amat diperlukan guna menghadapi tiap tantangan kebangsaan.
Perwujudan kesejahteraan rakyat di tengah krisis global saat ini, merupakan tantangan yang harus dihadapi bersama. Dalam situasi yang tidak menguntungkan itu, tak ada pekerjaan yang lebih mulia selain menggerakkan program-program pembangunan yang dijiwai semangat kesetiakawanan sosial nasional.
Terkikis zaman
Gagasan kesetiakawanan berawal dari solidaritas kerakyatan dan kebangsaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Solidaritas muncul karena kesamaan nasib (sejarah), kesamaan wilayah (teritorial), kesamaan kultural, dan bahasa. Menurut Ernest Renan [1823-1892], semua itu merupakan modal untuk membentuk nation. Kesadaran kebangsaan memuncak seiring deklarasi Sumpah Pemuda 1928. Sebuah semangat mengubah ”keakuan” menjadi ”kekamian” menuju ”kekitaan”.
Selanjutnya, kesetiakawanan sosial nasional tumbuh kuat karena faktor penjajahan. Dalam hal ini, kesetiakawanan mengejawantah dalam perjuangan mengusir penjajahan, baik masa prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan. HKSN sendiri bermula dari semangat solidaritas nasional antara TNI dan rakyat dalam mengusir Belanda yang kembali pada 19 Desember 1948. Akhirnya kebersamaan yang dilandasi semangat rela berkorban dan mengutamakan kepentingan bangsa menjadi senjata ampuh untuk memerdekakan bangsa.
Namun, fakta lain menunjukkan, nilai-nilai kesetiakawanan kian terkikis. Saat ini solidaritas itu hanya muncul di ruang politik dengan semangat membela kepentingan masing-masing golongan. Menguat pula solidaritas kedaerahan yang mewujud dalam komunalisme dan tribalisme. Di bidang ekonomi, nilai solidaritas belum menjadi kesadaran nasional, baik di level struktural, institusional, maupun personal.
Menguatnya kesenjangan di berbagai ruang publik merupakan indikator melemahnya kesetiakawanan sosial. Basis-basis perekonomian dikuasai segelintir orang yang memiliki berbagai akses. Juga terjadi kesenjangan antarwilayah, antara pusat dan daerah, antarpulau, antaretnik, dan antargolongan.
Menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah (2006), ada tiga hal yang menggerus nilai kesetiakawanan sosial. Pertama, menguatnya semangat individualis karena globalisasi. Gelombang globalisasi dengan paradigma kebebasan, langsung atau tidak, berdampak pada lunturnya nilai-nilai kultural masyarakat.
Kedua, menguatnya identitas komunal dan kedaerahan. Akibatnya, semangat kedaerahan dan komunal lebih dominan daripada nasionalisme.
Ketiga, lemahnya otoritas kepemimpinan. Hal ini terkait keteladanan para kepemimpinan yang kian memudar. Terkikisnya nilai kesetiakawanan menimbulkan ketidakpercayaan sosial, baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antara masyarakat dan masyarakat, karena terpecah dalam aneka golongan.
Menemukan kembali
Dalam perjalanan sejarah, kita memerlukan momentum untuk membangkitkan semangat dan daya implementasi baru. Di tengah krisis finansial global, mungkin sudah saatnya menemukan kembali nilai-nilai kesetiakawanan sosial guna menjawab aneka masalah kebangsaan.
Saatnya kita menumbuhkan apa yang disebut Komaruddin Hidayat (2008) grand solidarity untuk kemudian diaplikasi ke dalam grand reality. Grand solidarity adalah rasa kebersamaan untuk membangun bangsa, yang didasarkan atas spirit, tekad, dan visi yang diajarkan founding father’s. Adapun grand reality adalah upaya untuk mengaplikasi masa lalu ke konteks masa kini. Pada level praksis, program-program pembangunan harus dilandasi semangat kesetiakawanan yang diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan. Pemerintah wajib memberi umpan (akses permodalan), memandu bagaimana cara memancing (akses SDM), menunjukkan di mana memancingnya (akses teknologi dan informasi), serta menunjukkan di mana menjual ikannya (akses market).
Di tingkat masyarakat, dapat ditradisikan satu orang kaya yang tinggal di permukiman miskin membantu satu orang miskin. Inilah yang disebut kepedulian sosial. Jika hal ini dilakukan secara simultan, akan tercipta keharmonisan di tingkat negara maupun kehidupan masyarakat.
Maka, inilah saatnya kita menemukan kembali solidaritas sosial nasional dan jati diri bangsa. Kita harus menumbuhkan semangat kebersamaan dan kepedulian dalam menghadapi tantangan kebangsaan. Seperti apa yang selalu dikatakan Bung Karno samen bundeling van alle krachten van de natie.
Bambang W Soeharto Ketua Panitia HKSN 2008; Pimpinan Harian Dewan Koperasi Indonesia