Monday, May 18, 2015

Azizah “Melampaui” Batas


Oleh : Robert Bala
Sudah lama saya kebagian SMS, meminta dukungan kepada Azizah Maumere. Namun baru sempat (itu pun secara kebetulan) menontonnya ‘live’ pada Jumat 15 Mei. Dengan lagu Camelia Malik: “Liku-Liku”, siswi SMK St Yohanes XXIII, menggemparkan.
Robert Bala. Pemerhati Sosial. Tinggal di Jakarta.
Robert Bala. Pemerhati Sosial. Tinggal di Jakarta.
Bisa saja karena keterikatan emocional hingga saya yang tidak terlalu ‘fans’ sama dangdut ikut merasakan getaran emosi pendukung Azizah. Bisa juga puteraku yang masih kecil yang barusan 4 tahun terus bertanya tentang di manakah Maumere, oleh nama yang melekat padanya: Azizah Maumere.
Tetapi apa sebenarnya yang menjadi kekuatan Azizah dan daya magisFlores? Nilai apa yang bisa terus dirawat agar warna-warni bunga itu kian sedap juga di nusantara?
‘Rasa Aneh’
Yang ditampilkan Azizah sebenarnya hal-hal terlampau biasa. Juga tampilkan demam ‘nobar’ di Maumere dan sekitarnya juga tidak terlalu dilebih-lebihkan. Itulah suasana natural yang terjadi di ibu kota kabupaten Sikka.
Tetapi hal itu bisa saja kedengaran aneh oleh orang Jakarta dan kota lainnya di Indonesia. Antusiasme itu terkesan melampaui kewajaran. Pasalnya aneka dukungan mulai dari SMS (darinya Azizah selalu teratas), nobar, dan antusiasme semua kalangan (mulai dari PNS, Gereja (pernyataan dukungan dari Uskup Maumere, Mgr Cherubim Parera, SVD), hingga peran rekan pelajar mengumpul dana dukungan menjadikan rasa penasaran itu kian bertambah.
Mengapa Maumere pada khususnya dan Flores pada umumnya bisa hadir menggugah nusantara? Bagi orang Flores, hal itu sebenarnya bukan pertanyaan. Ia sudah biasa dilaksanakan. Di sana yang muslim merasa seperti di rumahnya sendiri. Inisiatif membangun rumah ibadat bukan saja tidak dilarang tetapi malah kepanitiaan pembangunan mesjid misalnya tak jarang melibatkan orang Katolik.
Tetapi naturalitas dalam kebersamaan dan toleransi terasa begitu alamiah. Seakan ada kesepakatan tak tertulis untuk saling menghargai karena semua orang punya tempat dalam hidup bersama. Orang muslim yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan menyajikan ikan segar di pagi hari sementara orang Katolik menghadirkan makanan dari gunung hal mana menjadi pemandangan indah di pagi hari.
Rasa saling membutuhkan juga dalam bidang seni. Warga muslim yang bergerak di bidang perdagangan banyak memfasilitasi pemasaran produk seni lokal. Tenun ikat bisa dengan mudah dipasarkan oleh kepiawaian orang Binongko yang memfasiltasi. Tetapi hal sederhana nan alamiah ini bisa saja hadir sebagai hal baru untuk tidak mengatakan aneh di negeri ini.
Kenyataan ini menjadi alasan mengapa antusiasme begitu besar. Ketika tampil Azizah di panggung dangdut nasional, maka semua masyarakat tidak mempertanyakan siapa agamanya. Antusiasme dukungan begitu alamiah hadir.
Hal itu bukan baru sekarang. Bahkan dalam keseharian, pertanyaan itu nyaris ada. Terkisah, Azizah bahkan beberapa kali ikut koor di Gereja, membawakan mazmuar, hal mana mungkin dalam agama tertentu dianggap ‘haram’.
Tetapi itulah naturalitas ini bisa saja dilihat oleh orang luar ‘kelewat batas’. Ia melampaui keseringan yang masih saja tersaji di beberapa daerah di negeri ini. Di sana rasa curiga yang diikuti upaya menghalangi masih begitu terasa.
Di beberapa tempat, IMB membangun rumah ibadah malah menjadi kendala. Bahkan ada yang sudah ada IMB, tetapi kemudian digugat karena katanya tidak sesuai prosedur. Padahal meskipun hal itu terjadi, tetapi niat pembangunan rumah ibadah yang mestinya tidak pernah merugikan, didukung.
Singkatnya, di Flores, kebersamaan bukan lagi sesuatu yang aneh. Ia adalah wajar. Di sana semua orang dari berbagai latar belakang, menyatu bak bunga-bunga dari berbagai warna membentuk satu kesatuan.
Membuka Jendela
Kebesamaan Flores, konteks dangdut, kini jadi berita. Ia bisa menggugah tetapi sekaligus jadi pembelajaran berharga.
Pertama, Azizah telah melampaui batas kecurigaan yang selama ini begitu menonjol. Di sana, seakan ada ‘kapling’ orang menurut kepercayaannya. Yang terjadi kini, batas itu diterobos, bukan secara paksa tetapi hadir dari sebuah kesaksian hidup. Orang Flores kini jadi ‘buah bibir’ karena toleransi yang begitu alamiah yang tidak membedakan orang.
Flores pada umumnya dan Maumera khususnya terbukti telah menjadi rumah bagi semua orang. Dalamnya semua orang punya peran tersendiri. Meski ‘terbedakan’ dalam kamar, tetapi semuanya punya atap yang sama. Langit adalah atap bersama. Di sana ada keyakinan bahwa Tuhan yang satu melindungi semua.
Kedua, Azizah menjadi duta Flores yang kini membuka jendela agar daerah lain di Indonesia tidak saja mengenal Maumere sebagai tempat di mana antusiasme nobar itu begitu besar dan dukungan itu begitu kuat tetapi terutama agar orang bisa melihat apa yang terjadi dan menjadi kesaksian hidup orang Flores.
Usaha membuka jendela, sebenarnya bukan hal baru. Sekolah tempat Azizah menimba ilmu, SMK Yohanes XXIII, adalah pribadi yang paling menonjol dalam menggugah Gereja untuk membuka jendela, melihat dunia luar, hal mana menjadi jawaban ketika Ia ditanya alasan menyelenggarakan Konsili Vatikan II.
Baginya, hal terindah yang harusnya dilakukan oleh setiap orang adalah tidak terkapling dalam perbedaan. Lebih lagi menganggap diri sebagai yang paling benar, memonopoli keselamatan, tetapi menempatkan diri sebagai rekan seperjalanan. Dekrit Kebebasan beragama (Dignitatis Humanae), salah satu dokumen controversial dari Vatikan II, berani dilansirkan karena Paus Yohanes XXIII sadar bahwa dalam kembara di dunia ini, semua orang adalah peziarah yang sama.
Kita berterimakasih pada dangdut karena telah melampau batasnya sekedar nyanyi untuk memperkenalkan kerukunan hidup di Flores. Terimakasih pada Azizah yang tidak sebatas menyanyi tetapi melampauinya dengan memperkenalkan indahnya kebersamaan di Nusa Nipa ini. Dengan demikian, hal yang selama ini dinikmati terbatas di Pulau Bunga, kini secara tak terbatas dinikmati (paling kurang diketahui) di seantero jagat.

0 komentar: