Beberapa
minggu terakhir ini masyarakat Indonesia disuguhkan dengan persidangan
yang dilakukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). MKD berusaha untuk memanggil dan menghadirkan
para saksi yang terkait dengan kasus Freeport.
Dalam persidangan itu, bisa terlihat secara jelas bahwa seorang saksi
berlaku sopan dan berusaha untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
dengan didahului kalimat “Yang
Mulia.” Karena sidang yang dilakukan itu secara terbuka dan ditayangkan secara
LIVE di beberapa TV maka kalimat “Yang Mulia” menjadi menarik dan bahkan
dijadikan sebagai guyonan oleh masyarakat.
Penggunaan kalimat “Yang Mulia” oleh
seorang saksi ataupun seorang terdakwa dalam sebuah persidangan merupakan hal
biasa yang sering dilakukan. Tetapi mengapa kalimat “Yang Mulia” yang dipakai
dalam persidangan di MKD mendapat sorotan dan bahkan dijadikan sebagai lelucon
yang mengundang gelak tawa masyarakat? Penggunaan kalimat “Yang Mulia” ini merupakan bentuk penghormatan seorang saksi ataupun terdakwa
terhadap seorang hakim dalam sebuah persidangan. Tetapi kenyataan yang menarik
dalam persidangan di MKD, kalimat “Yang Mulia” menjadi bahan tertawaan karena
MKD kurang menampilkan rasa hormat kepada para saksi yang dengan tahu dan mau
memberikan informasi tentang kasus yang bergulir itu.
Lebih jauh kita bisa melihat bahwa
secara tersirat, sapaan yang mulia ini
menemukan makna yang sebenarnya sejauh orang yang dimuliakan itu berperilaku
baik dan beretika dalam memulai sebuah persidangan untuk mengadili orang
(terdakwa). Sejauh “Yang Mulia” itu tidak memperlihatkan etika yang baik dalam
proses persidangan dan tidak menghargai para saksi yang memberikan informasi
maka orang yang seharusnya dimuliakan pada akhirnya kurang dihormati dan
dimuliakan, baik oleh saksi persidangan maupun oleh masyakarat umum. Karena itu dalam kasus yang menjerat ketua DPR, mestinya para “Yang
Mulia” berani mengeritik diri sebagai cara sederhana untuk mengembalikan
kehormatannya. Sidang yang seharusnya hanya memfokuskan pada masalah etika
tetapi kenyataannya bisa melebar ke mana-mana, dan keluar dari inti persidangan
mengenai kode etik. Semakin anggota MKD menjauhkan diri dari kebenaran fakta
maka pada saat yang sama mereka kehilangan kehormatan di hadapan masyarakat
umum.***(Valery)
0 komentar:
Post a Comment