Monday, February 29, 2016

“YANG MULIA”

Beberapa minggu terakhir ini masyarakat Indonesia disuguhkan dengan  persidangan  yang dilakukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).  MKD berusaha untuk memanggil dan menghadirkan para saksi yang terkait dengan kasus Freeport.  Dalam persidangan itu, bisa terlihat secara jelas bahwa seorang saksi berlaku sopan dan berusaha  untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan  dengan didahului  kalimat “Yang Mulia.” Karena sidang yang dilakukan itu secara terbuka dan ditayangkan secara LIVE di beberapa TV maka kalimat “Yang Mulia” menjadi menarik dan bahkan dijadikan sebagai guyonan oleh masyarakat.
            Penggunaan kalimat “Yang Mulia” oleh seorang saksi ataupun seorang terdakwa dalam sebuah persidangan merupakan hal biasa yang sering dilakukan. Tetapi mengapa kalimat “Yang Mulia” yang dipakai dalam persidangan di MKD mendapat sorotan dan bahkan dijadikan sebagai lelucon yang mengundang gelak tawa masyarakat? Penggunaan kalimat “Yang Mulia”  ini merupakan  bentuk penghormatan seorang saksi ataupun terdakwa terhadap seorang hakim dalam sebuah persidangan. Tetapi kenyataan yang menarik dalam persidangan di MKD, kalimat “Yang Mulia” menjadi bahan tertawaan karena MKD kurang menampilkan rasa hormat kepada para saksi yang dengan tahu dan mau memberikan informasi tentang kasus yang bergulir itu.      
           
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kalimat “Yang Mulia” dipakai untuk menghormati orang yang kedudukannya lebih tinggi dan terhormat.    Kata “mulia” dipakai untuk menunjuk pada orang yang memiliki kedudukan, pangkat dan martabat yang lebih tinggi dan terhormat.  Secara sederhana, melalui definini ini kita bisa mengatakan bahwa orang yang dimuliakan karena memiliki jabatan tertentu yang oleh masyarakat dianggap sebagai jabatan terhormat dan karenanya masyarakat berperilaku hormat terhadap orang yang memangku jabatan itu.
            Lebih jauh kita bisa melihat bahwa secara tersirat, sapaan  yang mulia ini menemukan makna yang sebenarnya sejauh orang yang dimuliakan itu berperilaku baik dan beretika dalam memulai sebuah persidangan untuk mengadili orang (terdakwa). Sejauh “Yang Mulia” itu tidak memperlihatkan etika yang baik dalam proses persidangan dan tidak menghargai para saksi yang memberikan informasi maka orang yang seharusnya dimuliakan pada akhirnya kurang dihormati dan dimuliakan, baik oleh saksi persidangan maupun oleh masyakarat  umum. Karena itu dalam kasus  yang menjerat ketua DPR, mestinya para “Yang Mulia” berani mengeritik diri sebagai cara sederhana untuk mengembalikan kehormatannya. Sidang yang seharusnya hanya memfokuskan pada masalah etika tetapi kenyataannya bisa melebar ke mana-mana, dan keluar dari inti persidangan mengenai kode etik. Semakin anggota MKD menjauhkan diri dari kebenaran fakta maka pada saat yang sama mereka kehilangan kehormatan di hadapan masyarakat umum.***(Valery)    


No comments: