Beberapa waktu yang lalu, saya
mendapat SMS dari salah seorang teman.
SMS-nya singkat dan memberikan pesan
yang kabur padaku. Dia mengatakan, 2+2
hasilnya bukan empat lagi. Membaca pesan singkat ini semakin membuat
aku tak karuan berpikir. Hitungan
matematis semenjak dulu, bahwa 2 + 2 sama dengan empat. Lalu mengapa hari ini
digugat melalui SMS dan yang menggugat adalah orang yang biasa aja dan bukan
ahli matematika? Kalau seorang ahli
matematika yang menggugat, saya melihatnya sebagai hal yang biasa tetapi karena
yang menggugat adalah seorang yang biasa maka hal itu dilihat sebagai sesuatu
yang luar biasa.
Selang beberapa menit
kemudian, dia mengirimkan SMS lagi, bahwa kebenaran tidak sama dengan kebenaran
karena kebenaran sedang dipermainkan. Seperti 2 + 2 tidak sama dengan empat
lagi, demikian kebenaran sebagai sebuah fakta masih bisa digugat oleh para
penggugat sesuai dengan maksud dan tujuan penggugat itu. Ketika membaca dan
merenungkan bahkan melihatnya dalam terang filosofis, sadar atau tidak sadar,
banyak di antara kita yang sedang mempermainkan kebenaran. Bahwa kebenaran
sebagai sebuah fakta yang merupakan
bukti otentik dari sebuah peristiwa dikesampingkan demi sebuah tujuan tertentu,
yakni menyelamatkan diri dari jeratan kesalahan yang dituduhkan padanya.
Di lembaga pendidikan, nurani
seorang siswa terasah secara baik dan selalu berpihak pada kebenaran. Namun
ketika sudah menamatkan pendidikan dan berhadapan dengan realitas maka
kebenaran bisa dikebiri demi sebuah jabatan dan popularitas diri. Karena itu
kebenaran belum tentu benar bila diramu oleh tangan sang penguasa atau mereka
yang memegang tampuk kepemimpinan. Mari belajar untuk mengatakan yang benar dengan
nurani yang bening.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment