Tuesday, March 1, 2016

2 + 2

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat SMS dari salah seorang  teman. SMS-nya singkat dan memberikan pesan  yang kabur padaku. Dia mengatakan, 2+2  hasilnya bukan empat lagi. Membaca pesan singkat ini semakin membuat aku  tak karuan berpikir. Hitungan matematis semenjak dulu, bahwa 2 + 2 sama dengan empat. Lalu mengapa hari ini digugat melalui SMS dan yang menggugat adalah orang yang biasa aja dan bukan ahli matematika?  Kalau seorang ahli matematika yang menggugat, saya melihatnya sebagai hal yang biasa tetapi karena yang menggugat adalah seorang yang biasa maka hal itu dilihat sebagai sesuatu yang luar biasa.
Selang beberapa menit kemudian, dia mengirimkan SMS lagi, bahwa kebenaran tidak sama dengan kebenaran karena kebenaran sedang dipermainkan. Seperti 2 + 2 tidak sama dengan empat lagi, demikian kebenaran sebagai sebuah fakta masih bisa digugat oleh para penggugat sesuai dengan maksud dan tujuan penggugat itu. Ketika membaca dan merenungkan bahkan melihatnya dalam terang filosofis, sadar atau tidak sadar, banyak di antara kita yang sedang mempermainkan kebenaran. Bahwa kebenaran sebagai  sebuah fakta yang merupakan bukti otentik dari sebuah peristiwa dikesampingkan demi sebuah tujuan tertentu, yakni menyelamatkan diri dari jeratan kesalahan yang dituduhkan padanya.
Kebenaran pada masa ini menjadi sebuah “permainan” bagi segelintir orang yang menamakan diri sebagai pemangku kepentingan. Atas nama kepentingan pribadi dan kelompok yang seharusnya terjerat dalam kesalahan tetapi masih mencari celah untuk berkelit. Tetapi seberapa jauh, kelompok ini berkelit?  Dalam dunia yang penuh dengan transparansi, mengungkap sebuah fakta kebenaran didukung oleh banyak hal terutama bukti-bukti  otentik yang menjadi dasar untuk melegitimasi sebuah kebenaran yang diperjuangkan. Semakin orang berkelit dan memutarbalikan fakta, pada saat yang sama kebenaran akan terus mengejar. Apakah nurani masih memperlihatkan kejernihan batin untuk mengatakan benar sebagai yang benar dan salah sebagai yang salah?

Di lembaga pendidikan, nurani seorang siswa terasah secara baik dan selalu berpihak pada kebenaran. Namun ketika sudah menamatkan pendidikan dan berhadapan dengan realitas maka kebenaran bisa dikebiri demi sebuah jabatan dan popularitas diri. Karena itu kebenaran belum tentu benar bila diramu oleh tangan sang penguasa atau mereka yang memegang tampuk kepemimpinan. Mari belajar untuk mengatakan yang benar dengan nurani yang bening.***(Valery Kopong)

No comments: