Oleh: Valery Kopong*
MENYAKSIKAN aksi jahit mulut dari beberapa warga yang terkena saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet), sebenarnya mereka sedang memproklamasikan ketersendatan sebuah komunikasi di negara yang sedang mencari jati diri akan demokrasi. Aksi serupa menyiratkan sebuah kekecewaan mendalam sekaligus mempertaruhkan sisa hidup di republik ini. Pada bagian atas, tepatnya berdampingan dengan kepala orang-orang terbaring dengan mulut terjahit, terpampang nisan makam sebagai praisyarat, kematian bakal datang menjemput. Terhadap aksi yang mengundang perhatian publik ini, menggelitik penulis untuk bertanya lanjut. Mengapa mereka bisa mengorbankan diri mereka dengan cara paling sadis? Sudah buntukah jalan komunikasi antara warga dan pemerintah? Masih pedulikah pemerintah terhadap jeritan orang-orang yang “tidak bermulut itu?”
Persoalan mendasar yang memunculkan aksi itu terletak pada kemandekan komunikasi yang menemukan jalan buntu. Pelbagai upaya barangkali telah dilakukan oleh para korban sutet untuk meminta secara baik agar pemerintah segera memindahkan mereka ke lokasi lain yang bebas dari tegangan arus lisrik. Upaya ini tidak ditanggapi secara serius sehingga pada akhirnya keputusan pahit mesti direguk untuk menuntut “sisa perhatian” dari pemerintah.
Ketika korban mengalami kondisi kritis, kepedulian pemerintah belum tercurah untuk mereka. Harapan mereka di atas “jalan maut” justeru menjadi tontonan menarik para elite. Di sini, kita dapat membaca secara jeli soal lemahnya tanggung jawab pemerintah terhadap keberlangsungan hidup mereka. Nyawa manusia tidak dihargai bahkan tidak dipedulikan saat mana mereka kadang berbaring di gedung dewan dengan membawa tubuh dan jantung “setengah berdenyut.” Inikah sebuah wajah republik yang terus berkoar menghidupkan demokrasi di tanah tumpah “terus berdarah ini?”
Sebuah ciri dari negara yang menyatakan diri berdemokrasi adalah membangun komunikasi. Komunikasi dibangun menjadi penghubung antara masyarakat dan pemerintah terutama berkaitan dengan masalah-masalah publik. Tetapi dari peristiwa tragis itu sebetulnya menggambarkan betapa minimnya komunikasi. Dalam berkomunikasi, begitu banyak ditemukan kekecewaan. Pemerintah mungkin pernah kecewa karena kebijakan yang diturunkan tidak mendapat respon dari masyarakat. Demikian juga dengan masyarakat, mengalami kekecewaan karena banyak kebutuhan dan tuntutan tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Inilah litani kekecewaan sekaligus menggambarkan “komunikasi yang frustrasi.” Dalam bukunya The Miracle of Dialogue, Reuel L. Howe menguakkan rahasia, bahwa mogoknya komunikasi itu disebabkan oleh tertutupnya sebuah hati akan arti yang ditawarkan oleh pihak lain. Bila berkomunikasi dengan pihak lain, kita sebetulnya ingin menunjukkan diri kepadanya dengan harapan supaya ia memberikan jawaban. Kita berharap bahwa arti yang sedang kita coba sampaikan itu akan menggerakkan arti tertentu dalam dirinya sebagai jawaban, sehingga suatu perubahan timbal balik akan arti dari masing-masing pihak menuju pada maksud yang ingin dicapai.
Pada intinya yang terdalam, lanjut Howe, rintangan arti disebabkan oleh kebutuhan ontologis manusia, yakni perhatian dan kepentingan yang diarahkan untuk diri sendiri. Misalnya kecemasan yang merupakan gejala emosional dan psikologis dari kebutuhan ontologis tersebut. Setiap manusia tanpa terkecuali hidup dalam kecemasan dan kekhawatiran akan ancaman terhadap keberlangsungan hidupnya karena pada dasarnya manusia sendiri memiliki keterbatasan sekaligus menyatakan diri untuk tidak dapat memerangi aspek luar yang memiliki daya mati yang lebih dasyat. Kecemasan mereka yang terakumulasi dalam aksi bunuh diri itu juga sedikitnya memancing kecemasan publik untuk senantiasa waspada terhadap setiap aktus pemerintah yang mengarah pada tindakan destruktif.
Kecemasan mereka telah menjadi kecemasan bersama untuk kemudian memancing perhatian pemerintah agar menaruh perhatian atas kecemasan yang mereka miliki. Tetapi aksi yang dipertontonkan itu tidak lebih sebagai “dagelan jalanan’ di mata pemerintah karena tidak ada tanggap balik dari mereka maupun dari anggota dewan terhormat. Kehilangan daya jumpa – arti dalam komunikasi itu terjadi dalam apa yang biasa disebut sebagai “monolog”, sebuah metode komunikasi yang kini bahkan dipersalahkan sebagai pencipta kesakitan komunikasi itu sendiri. Banyak orang menyangka bahwa komunikasi berarti “saya mengatakan kepada orang lain apa yang seharusnya dia tahu.”
Dalam konteks ini, komunikasi selalu mengundang daya tanggap dari komunikan untuk menyelami maksud kedatangan dan pembicaraan dari komunikator. Walaupun dalam berkomunikasi, mulut orang-orang yang terjahit mewakili seribu warganya tetap memberikan contoh pada publik akan gagalnya sebuah komunikasi verbal antara pemerintah dan warganya sendiri. Tetapi dalam arti tertentu, komunikasi tidak harus berbicara di bawah empat mata dengan mulut penuh komat-kamit. Sebuah komunikasi yang mewakili “masyarakat yang sakit” menghadirkan cara lain untuk menyampaikan pesan terdalam dari apa yang tidak didengarkan oleh pemerintah saat mulut-mulut mereka dengan penuh busa menuntut ganti rugi.
Kehadiran mereka dengan kondisi memprihatinkan, memberikan pesan sederhana untuk masyarakat umum yaitu bahwa negara kita juga sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan sebagai akibat dari terkenanya pelbagai krisis yang belum terselesaikan. Dan nisan makam yang tertancap pada sisi mereka yang masih hidup menandakan adanya “kebosanan” mereka untuk tidak mau hidup lagi di negeri ini. Mereka bosan menjadi warga negara Indonesia karena seluruh keluhan kritis tidak tertanggapi secara paripurna.
Kisah tragis yang hadir di panggung Indonesia telah menjadikannya sebagai “kisah terbuka” untuk mengundang publik menafsir secara lebih jauh tentang makna terdalam dibalik aksi tersebut. Kisah mereka tak pernah selesai di sini, walau suatu ketika mereka meninggal dan terkubur di bawah “reruntuhan bumi pertiwi ini” karena kisah perjuangan mereka tetap dipilin sebagai cerita yang hidup, yang selalu memberi daya juang untuk tetap mengkritik penguasa.***
MENYAKSIKAN aksi jahit mulut dari beberapa warga yang terkena saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet), sebenarnya mereka sedang memproklamasikan ketersendatan sebuah komunikasi di negara yang sedang mencari jati diri akan demokrasi. Aksi serupa menyiratkan sebuah kekecewaan mendalam sekaligus mempertaruhkan sisa hidup di republik ini. Pada bagian atas, tepatnya berdampingan dengan kepala orang-orang terbaring dengan mulut terjahit, terpampang nisan makam sebagai praisyarat, kematian bakal datang menjemput. Terhadap aksi yang mengundang perhatian publik ini, menggelitik penulis untuk bertanya lanjut. Mengapa mereka bisa mengorbankan diri mereka dengan cara paling sadis? Sudah buntukah jalan komunikasi antara warga dan pemerintah? Masih pedulikah pemerintah terhadap jeritan orang-orang yang “tidak bermulut itu?”
Persoalan mendasar yang memunculkan aksi itu terletak pada kemandekan komunikasi yang menemukan jalan buntu. Pelbagai upaya barangkali telah dilakukan oleh para korban sutet untuk meminta secara baik agar pemerintah segera memindahkan mereka ke lokasi lain yang bebas dari tegangan arus lisrik. Upaya ini tidak ditanggapi secara serius sehingga pada akhirnya keputusan pahit mesti direguk untuk menuntut “sisa perhatian” dari pemerintah.
Ketika korban mengalami kondisi kritis, kepedulian pemerintah belum tercurah untuk mereka. Harapan mereka di atas “jalan maut” justeru menjadi tontonan menarik para elite. Di sini, kita dapat membaca secara jeli soal lemahnya tanggung jawab pemerintah terhadap keberlangsungan hidup mereka. Nyawa manusia tidak dihargai bahkan tidak dipedulikan saat mana mereka kadang berbaring di gedung dewan dengan membawa tubuh dan jantung “setengah berdenyut.” Inikah sebuah wajah republik yang terus berkoar menghidupkan demokrasi di tanah tumpah “terus berdarah ini?”
Sebuah ciri dari negara yang menyatakan diri berdemokrasi adalah membangun komunikasi. Komunikasi dibangun menjadi penghubung antara masyarakat dan pemerintah terutama berkaitan dengan masalah-masalah publik. Tetapi dari peristiwa tragis itu sebetulnya menggambarkan betapa minimnya komunikasi. Dalam berkomunikasi, begitu banyak ditemukan kekecewaan. Pemerintah mungkin pernah kecewa karena kebijakan yang diturunkan tidak mendapat respon dari masyarakat. Demikian juga dengan masyarakat, mengalami kekecewaan karena banyak kebutuhan dan tuntutan tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Inilah litani kekecewaan sekaligus menggambarkan “komunikasi yang frustrasi.” Dalam bukunya The Miracle of Dialogue, Reuel L. Howe menguakkan rahasia, bahwa mogoknya komunikasi itu disebabkan oleh tertutupnya sebuah hati akan arti yang ditawarkan oleh pihak lain. Bila berkomunikasi dengan pihak lain, kita sebetulnya ingin menunjukkan diri kepadanya dengan harapan supaya ia memberikan jawaban. Kita berharap bahwa arti yang sedang kita coba sampaikan itu akan menggerakkan arti tertentu dalam dirinya sebagai jawaban, sehingga suatu perubahan timbal balik akan arti dari masing-masing pihak menuju pada maksud yang ingin dicapai.
Pada intinya yang terdalam, lanjut Howe, rintangan arti disebabkan oleh kebutuhan ontologis manusia, yakni perhatian dan kepentingan yang diarahkan untuk diri sendiri. Misalnya kecemasan yang merupakan gejala emosional dan psikologis dari kebutuhan ontologis tersebut. Setiap manusia tanpa terkecuali hidup dalam kecemasan dan kekhawatiran akan ancaman terhadap keberlangsungan hidupnya karena pada dasarnya manusia sendiri memiliki keterbatasan sekaligus menyatakan diri untuk tidak dapat memerangi aspek luar yang memiliki daya mati yang lebih dasyat. Kecemasan mereka yang terakumulasi dalam aksi bunuh diri itu juga sedikitnya memancing kecemasan publik untuk senantiasa waspada terhadap setiap aktus pemerintah yang mengarah pada tindakan destruktif.
Kecemasan mereka telah menjadi kecemasan bersama untuk kemudian memancing perhatian pemerintah agar menaruh perhatian atas kecemasan yang mereka miliki. Tetapi aksi yang dipertontonkan itu tidak lebih sebagai “dagelan jalanan’ di mata pemerintah karena tidak ada tanggap balik dari mereka maupun dari anggota dewan terhormat. Kehilangan daya jumpa – arti dalam komunikasi itu terjadi dalam apa yang biasa disebut sebagai “monolog”, sebuah metode komunikasi yang kini bahkan dipersalahkan sebagai pencipta kesakitan komunikasi itu sendiri. Banyak orang menyangka bahwa komunikasi berarti “saya mengatakan kepada orang lain apa yang seharusnya dia tahu.”
Dalam konteks ini, komunikasi selalu mengundang daya tanggap dari komunikan untuk menyelami maksud kedatangan dan pembicaraan dari komunikator. Walaupun dalam berkomunikasi, mulut orang-orang yang terjahit mewakili seribu warganya tetap memberikan contoh pada publik akan gagalnya sebuah komunikasi verbal antara pemerintah dan warganya sendiri. Tetapi dalam arti tertentu, komunikasi tidak harus berbicara di bawah empat mata dengan mulut penuh komat-kamit. Sebuah komunikasi yang mewakili “masyarakat yang sakit” menghadirkan cara lain untuk menyampaikan pesan terdalam dari apa yang tidak didengarkan oleh pemerintah saat mulut-mulut mereka dengan penuh busa menuntut ganti rugi.
Kehadiran mereka dengan kondisi memprihatinkan, memberikan pesan sederhana untuk masyarakat umum yaitu bahwa negara kita juga sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan sebagai akibat dari terkenanya pelbagai krisis yang belum terselesaikan. Dan nisan makam yang tertancap pada sisi mereka yang masih hidup menandakan adanya “kebosanan” mereka untuk tidak mau hidup lagi di negeri ini. Mereka bosan menjadi warga negara Indonesia karena seluruh keluhan kritis tidak tertanggapi secara paripurna.
Kisah tragis yang hadir di panggung Indonesia telah menjadikannya sebagai “kisah terbuka” untuk mengundang publik menafsir secara lebih jauh tentang makna terdalam dibalik aksi tersebut. Kisah mereka tak pernah selesai di sini, walau suatu ketika mereka meninggal dan terkubur di bawah “reruntuhan bumi pertiwi ini” karena kisah perjuangan mereka tetap dipilin sebagai cerita yang hidup, yang selalu memberi daya juang untuk tetap mengkritik penguasa.***