Sunday, March 27, 2011

“BOSAN MENJADI ORANG INDONESIA”

Oleh: Valery Kopong*

MENYAKSIKAN aksi jahit mulut dari beberapa warga yang terkena saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet), sebenarnya mereka sedang memproklamasikan ketersendatan sebuah komunikasi di negara yang sedang mencari jati diri akan demokrasi. Aksi serupa menyiratkan sebuah kekecewaan mendalam sekaligus mempertaruhkan sisa hidup di republik ini. Pada bagian atas, tepatnya berdampingan dengan kepala orang-orang terbaring dengan mulut terjahit, terpampang nisan makam sebagai praisyarat, kematian bakal datang menjemput. Terhadap aksi yang mengundang perhatian publik ini, menggelitik penulis untuk bertanya lanjut. Mengapa mereka bisa mengorbankan diri mereka dengan cara paling sadis? Sudah buntukah jalan komunikasi antara warga dan pemerintah? Masih pedulikah pemerintah terhadap jeritan orang-orang yang “tidak bermulut itu?”
Persoalan mendasar yang memunculkan aksi itu terletak pada kemandekan komunikasi yang menemukan jalan buntu. Pelbagai upaya barangkali telah dilakukan oleh para korban sutet untuk meminta secara baik agar pemerintah segera memindahkan mereka ke lokasi lain yang bebas dari tegangan arus lisrik. Upaya ini tidak ditanggapi secara serius sehingga pada akhirnya keputusan pahit mesti direguk untuk menuntut “sisa perhatian” dari pemerintah.
Ketika korban mengalami kondisi kritis, kepedulian pemerintah belum tercurah untuk mereka. Harapan mereka di atas “jalan maut” justeru menjadi tontonan menarik para elite. Di sini, kita dapat membaca secara jeli soal lemahnya tanggung jawab pemerintah terhadap keberlangsungan hidup mereka. Nyawa manusia tidak dihargai bahkan tidak dipedulikan saat mana mereka kadang berbaring di gedung dewan dengan membawa tubuh dan jantung “setengah berdenyut.” Inikah sebuah wajah republik yang terus berkoar menghidupkan demokrasi di tanah tumpah “terus berdarah ini?”
Sebuah ciri dari negara yang menyatakan diri berdemokrasi adalah membangun komunikasi. Komunikasi dibangun menjadi penghubung antara masyarakat dan pemerintah terutama berkaitan dengan masalah-masalah publik. Tetapi dari peristiwa tragis itu sebetulnya menggambarkan betapa minimnya komunikasi. Dalam berkomunikasi, begitu banyak ditemukan kekecewaan. Pemerintah mungkin pernah kecewa karena kebijakan yang diturunkan tidak mendapat respon dari masyarakat. Demikian juga dengan masyarakat, mengalami kekecewaan karena banyak kebutuhan dan tuntutan tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Inilah litani kekecewaan sekaligus menggambarkan “komunikasi yang frustrasi.” Dalam bukunya The Miracle of Dialogue, Reuel L. Howe menguakkan rahasia, bahwa mogoknya komunikasi itu disebabkan oleh tertutupnya sebuah hati akan arti yang ditawarkan oleh pihak lain. Bila berkomunikasi dengan pihak lain, kita sebetulnya ingin menunjukkan diri kepadanya dengan harapan supaya ia memberikan jawaban. Kita berharap bahwa arti yang sedang kita coba sampaikan itu akan menggerakkan arti tertentu dalam dirinya sebagai jawaban, sehingga suatu perubahan timbal balik akan arti dari masing-masing pihak menuju pada maksud yang ingin dicapai.
Pada intinya yang terdalam, lanjut Howe, rintangan arti disebabkan oleh kebutuhan ontologis manusia, yakni perhatian dan kepentingan yang diarahkan untuk diri sendiri. Misalnya kecemasan yang merupakan gejala emosional dan psikologis dari kebutuhan ontologis tersebut. Setiap manusia tanpa terkecuali hidup dalam kecemasan dan kekhawatiran akan ancaman terhadap keberlangsungan hidupnya karena pada dasarnya manusia sendiri memiliki keterbatasan sekaligus menyatakan diri untuk tidak dapat memerangi aspek luar yang memiliki daya mati yang lebih dasyat. Kecemasan mereka yang terakumulasi dalam aksi bunuh diri itu juga sedikitnya memancing kecemasan publik untuk senantiasa waspada terhadap setiap aktus pemerintah yang mengarah pada tindakan destruktif.
Kecemasan mereka telah menjadi kecemasan bersama untuk kemudian memancing perhatian pemerintah agar menaruh perhatian atas kecemasan yang mereka miliki. Tetapi aksi yang dipertontonkan itu tidak lebih sebagai “dagelan jalanan’ di mata pemerintah karena tidak ada tanggap balik dari mereka maupun dari anggota dewan terhormat. Kehilangan daya jumpa – arti dalam komunikasi itu terjadi dalam apa yang biasa disebut sebagai “monolog”, sebuah metode komunikasi yang kini bahkan dipersalahkan sebagai pencipta kesakitan komunikasi itu sendiri. Banyak orang menyangka bahwa komunikasi berarti “saya mengatakan kepada orang lain apa yang seharusnya dia tahu.”
Dalam konteks ini, komunikasi selalu mengundang daya tanggap dari komunikan untuk menyelami maksud kedatangan dan pembicaraan dari komunikator. Walaupun dalam berkomunikasi, mulut orang-orang yang terjahit mewakili seribu warganya tetap memberikan contoh pada publik akan gagalnya sebuah komunikasi verbal antara pemerintah dan warganya sendiri. Tetapi dalam arti tertentu, komunikasi tidak harus berbicara di bawah empat mata dengan mulut penuh komat-kamit. Sebuah komunikasi yang mewakili “masyarakat yang sakit” menghadirkan cara lain untuk menyampaikan pesan terdalam dari apa yang tidak didengarkan oleh pemerintah saat mulut-mulut mereka dengan penuh busa menuntut ganti rugi.
Kehadiran mereka dengan kondisi memprihatinkan, memberikan pesan sederhana untuk masyarakat umum yaitu bahwa negara kita juga sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan sebagai akibat dari terkenanya pelbagai krisis yang belum terselesaikan. Dan nisan makam yang tertancap pada sisi mereka yang masih hidup menandakan adanya “kebosanan” mereka untuk tidak mau hidup lagi di negeri ini. Mereka bosan menjadi warga negara Indonesia karena seluruh keluhan kritis tidak tertanggapi secara paripurna.
Kisah tragis yang hadir di panggung Indonesia telah menjadikannya sebagai “kisah terbuka” untuk mengundang publik menafsir secara lebih jauh tentang makna terdalam dibalik aksi tersebut. Kisah mereka tak pernah selesai di sini, walau suatu ketika mereka meninggal dan terkubur di bawah “reruntuhan bumi pertiwi ini” karena kisah perjuangan mereka tetap dipilin sebagai cerita yang hidup, yang selalu memberi daya juang untuk tetap mengkritik penguasa.***

Matinya' Sekolah Swasta

Oleh Valery Kopong*

Rumor yang beredar dan sempat dilansir media, baik cetak maupun online, menyebutkan bahwa ada kebijakan baru dari pemerintah (dalam hal ini dinas pendidikan) akan menarik guru-guru negeri (PNS) yang selama ini diperbantukan di sekolah-sekolah swasta. Belum ada alasan pasti tentang penarikan tersebut tetapi yang jelas bahwa isu tersebut telah menjadi konsumsi publik dan dengannya membuka “ruang pertanyaan” bagi masyarakat yang peduli pendidikan. Mengapa baru terjadi penarikan saat ini dan bukannya jauh sebelum itu? Apa reaksi orang NTT yang secara umum memiliki begitu banyak sekolah swasta?
Sejarah mencatat bahwa pendidikan di NTT dipelopori oleh pihak swasta yang secara umum dikelola oleh Gereja (keuskupan) yang ada di Nusa Tenggara. Para imam dan misionaris luar yang datang ke Indonesia dan NTT khususnya waktu itu, tidak hanya mengedepankan pola pewartaan dengan mekanisme mimbar sentris atau paroki sentris tetapi lebih dari itu mereka memberikan sumbangsih pada masyarakat dengan mendirikan sekolah-sekolah katolik, baik tingkat dasar, menengah dan atas, bahkan perguruan tinggi. Di sini dapat dilihat bahwa sekolah-sekolah swasta katolik memiliki nilai sejarah yang tinggi dan sanggup “memproduksi” manusia-manusia intelektual yang tengah bertarung dengan perubahan zaman.
Sebagai orang yang pernah dididik dalam dunia pendidikan swasta katolik, rumor tentang penarikan guru-guru PNS yang diperbantukan di sekolah swasta membawa keresahan tersendiri. Keresahan kritis masyarakat ini memunculkan pertanyaan untuk digali bersama. Sudah mampukah sekolah-sekolah katolik dapat menjalankan roda pendidikan tanpa bantuan guru-guru yang nota bene PNS? Peristiwa penarikan yang bakal terjadi, memunculkan dua persoalan, yaitu pertama, sekolah-sekolah swasta terutama katolik kekurangan guru dan hal ini akan mengganggu proses pembelajaran dan mengorbankan generasi yang sedang mengenyam pendidikan. Kedua, setelah terjadi penarikan nanti, mau dikemanakan guru-guru PNS-nya? Karena fakta menunjukkan bahwa jumlah guru-guru PNS barangkali lebih banyak ketimbang ketersediaan sekolah-sekolah negeri. Dengan demikian akan menciptakan pengangguran terselubung bagi guru PNS yang tidak mendapat jatah mengajar karena kekurangan sekolah negeri.
Peristwa penarikan ini juga menjadi momentum refleksi bersama, baik di kalangan dinas pendidikan maupun pihak yayasan yang mengelola sekolah-sekolah swasta. Penarikan guru PNS yang bakal dilaksanakan nanti tentu dipicu oleh kerjasama yang mungkin kurang terlaksana secara baik antara pihak swasta dan pemerintah. Saya masih ingat baik peristiwa yang terjadi di tahun 1990-an. Terjadi kerjasama yang disharmonis antara pihak Yapersuktim (sebuah yayasan milik keuskupan Larantuka yang menangani sekolah-sekolah swasta katolik) dengan dinas pendidikan Flores Timur. Ekses dari disharmonitas kerjasama menguat ketika terjadi mutasi guru ke sekolah-sekolah dan yang menjadi korban adalah guru sendiri.
Memang, dalam mengelola sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan dengan guru-gurunya yang kebanyakan pegawai negeri sipil (PNS) membutuhkan kerja sama yang baik, antara dinas pendidikan dan yayasan dalam pelbagai bidang. Tetapi dalam kerja sama tersebut sering mengalami keterbenturan terutama mengenai konsep dan gagasan. Pihak swasta terkadang tidak mau diintervensi oleh dinas, sebaliknya, pihak dinaspun tidak mau didikte oleh pihak swasta, dalam hal ini yayasan sebagai pengelola sekolah. Siapa yang mau mengalah dan sekaligus membangun jalan kompromi?
Penarikan guru-guru PNS dari sekolah swasta, pelan tetapi pasti akan “memuseumkan” sekolah swasta sebagai tanda matinya nurani bangsa yang selalu mendikotomi sekolah swasta dan sekolah negeri. Tetapi harus diingat bahwa para pejabat dan guru-guru negeri sendiri merupakan potret masa lalu dari hasil pendidikan swasta. Karenanya, kebijakan penarikan guru-guru negeri dari sekolah swasta merupakan ciri normatif melupakan jasa sekolah swasta, mirip kacang lupa akan kulitnya. Kebijakan ini juga merupakan buah dari penaklukan dinas pendidikan dan pemerintah umumnya terhadap kenyataan penting peranan swasta dalam memajukan peradaban. Sekolah-sekolah swasta kini berada pada ambang kehancuran kebebasan dalam menentukan sikap yang penuh dilematis.
Situasi ini perlu disikapi secara jernih terutama oleh Gereja. Gereja tidak bisa tinggal diam atau hanya berseru dibalik mimbar sabda. Sudah waktunya Gereja mengkaji persoalan ini dan bila perlu memisahkan secara tegas antara kepentingan pemerintah dan swasta dalam pengelolaan sekolah. Untuk yayasan persekolahan Katolik dan Kristen di NTT, sedikit mengalami posisi dilematis, mengingat bahwa kekuatan finansial tidak mencukupi untuk mengembangkan sekolah dan menggaji guru. Di sinilah pihak swasta memiliki posisi tawar yang lemah karena tidak memiliki dana yang memadai.
Kalau saya membandingkan sekolah-sekolah swasta di kota, masih memiliki kesempatan untuk mengelola sekolah secara baik karena memiliki dana yang memadai. Pihak swasta, sudah waktunya menata kembali yayasannya agar dapat menggaji guru bahkan memikirkan dana pensiunan. Mengapa sekolah swasta di kota sanggup membetahkan gurunya untuk tetap mengajar di swasta tanpa perlu menjadi guru (PNS)? Karena pihak swasta sendiri sanggup mengelola secara baik, tidak hanya menggaji tetapi lebih dari itu memikirkan hari tua bagi guru-guru yang pensiun. Dua aspek ini menjadi dasar yang sangat kuat untuk meletakan fondasi bagi sekolah swasta. Mengapa guru-guru swasta seperti di Jakarta setia dengan sekolah swasta bahkan tidak berminat tes PNS untuk menjadi guru negeri? Jawabannya sederhana karena di swasta mereka sudah diperhatikan secara baik. Sistem penggajian lebih banyak merujuk pada PGPS dan untuk pensiunan, para guru swasta di bawah naungan MPK (Musyarawah Persekolahan Katolik) keuskupan Agung Jakarta diikutkan dana pensiun (YADAPEN).
Memang, mendirikan sekolah itu gampang tetapi menghidupi sekolah di tengah persaingan yang ketat itu tidak gampang. Para misionaris terdahulu cukup banyak memberikan donasi terhadap kelanjutan sekolah-sekolah swasta di NTT. Dan tugas berat yang harus dijalani oleh para imam pribumi terutama yang terlibat langsung dalam mengelola yayasan, yakni bagaimana mempertahankannya sehingga keberadaan sekolah swasta semakin hari mendapat tempat yang bermartabat di mata masyarakat NTT. Bersaing itu penting sebagai bagian dari proses pembenahan diri tetapi bukan mematikannya dengan cara yang terstruktur.

(*Penulis adalah Penyuluh Agama Katolik pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang-Banten)

Thursday, March 24, 2011

LOMBA MENULIS ESAI

(terbuka untuk umum)

Keberadaan VOLUNTAS pada beberapa edisi, telah menghantar kita pada sebuah proses pembelajaran tentang bagaimana menulis. Rubrik-rubrik yang disajikan telah membuka mata kita untuk secara jeli membedakan karakter dari masing-masing rubrik. Kelihatannya sama, tetapi jika menyelami lebih jauh maka kita akan menemukan banyak perbedaan sesuai arah dasar dari jenis tulisan tersebut.
Walaupun VOLUNTAS beberapa edisi sudah menemani pembaca, namun disadari bahwa begitu minimnya penulis-penulis yang mengisi rubrik tersebut dengan tulisan. Atas dasar fakta ini maka VOLUNTAS lagi-lagi memberanikan diri untuk membuka “ruang perlombaan” esai. Memang, masih banyak jenis tulisan yang dipelajari, tetapi untuk lebih fokus pada proses penulisan secara mendalam maka, tahap pertama perlombaan secara online ini dipusatkan pada penulisan esai rohani.

Apa itu esai?
Yang dimaksudkan dengan esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Ada dua aspek yang sangat dibutuhkan adalah fakta dan daya imajinasi. Fakta menjadi sumber inpirasi atau yang memunculkan suatu kisah dan dengan daya imajinasi, seorang penulis esai (esais) sanggup mengungkap sebuah fakta dan menganalisisnya secara tajam.
Jenis-jenis esai:
1. Esai Formal: Pemikiran dan analisisnya sangat dipentingkan, ditulis dalam bahasa lugas dan menggunakan bahasa baku.
2. Esai non Formal atau esai personal, sering disebut karya sastra. Gaya bahasanya lebih bebas, pemikiran dan perasaan lebih leluasa masuk ke dalamnya.
Dilihat dari cara mengupas suatu fakta maka esai dibagi menjadi 4 yaitu:
• Esai deskripsi, yaitu esai yang hanya terdapat penggambaran sesuatu fakta seperti apa adanya tanpa komentar dari penulisnya
• Esai eksposisi, yakni esai yang penulisnya tidak hanya menggambarkan fakta saja, tetapi juga menjelaskan fakta selengkapnya
• Esai argumentasi, yakni esai yang bukan hanya menunjukkan fakta tetapi juga menunjukkan permasalahannya dan kemudian menganalisisnya dan mengambil kesimpulan. Esai ini bertujuan memecahkan masalah.
• Esai narasi, yakni esai yang menggambarkan sesuatu dalam bentuk urutan yang kronologis dalam bentuk cerita.


Beberapa tema yang dilombakan:

1. Salib: Pengalaman Yesus membagi kasih
2. Menjadi garam dan terang dunia
3. Getzemani, taman pergulatan Yesus
4. Gereja Kristus adalah Gereja Martir
5. Mencari wajah Maria
6. Paskah Yesus, puncak iman orang Katolik

Setiap peserta dapat memilih salah satu tema ini untuk digarap. Panjang tulisan, 3 halaman kuarto. Diketik 1,5 spasi dan dikirim paling lambat 5 April 2011. Tulisan yang dikirim, disertai dengan CV lengkap. Dikirim melalui email: gregoriusvoluntas@yahoo.com Ditulis dengan menggunakan bahasa populer. Panitia akan menyeleksi seluruh naskah yang masuk. Panitia memilih 3 orang sebagai pemenang dan akan diberi hadiah oleh VOLUNTAS (bukan dalam bentuk uang). Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat. Hasilnya akan dipublikasikan dalam majalah VOLUNTAS edisi berikutnya.
Contoh Esai rohani:
Z A K H E U S
Oleh: Valery Kopong*
KETIKA saya diminta oleh ketua lingkungan untuk mencari nama pelindung lingkungan yang baru dibentuk waktu itu, saya menyodorkan satu nama sebagai pelindung lingkungan yaitu Zakheus. Nama yang saya tawarkan sepertinya menjadi racun bagi setiap telinga yang mendengarnya. Orang-orang lingkungan secara serta merta menolaknya dengan alasan yang beragam. Ada yang mengatakan bahwa ia (Zakheus) terlalu pendek orangnya sehingga nama ini menjadi bahan tertawaan lingkungan lain. Ada lagi yang mengatakan bahwa ia sang koruptor.
Saya coba menampung aspirasi umat sambil tetap mencari alasan apa yang mendasar sebagai bukti otentik untuk meyakinkan masyarakat bahwa Zakheus juga berharga di mata dunia. Waktu itu, kebetulan seorang pastor menginap di rumahku selama seminggu dan saya coba berkonsultasi dengan dia dan herannya, nama yang saya tawarkan ini menjadi kisah yang menarik dan menjadi bahan diskursus yang hangat antara saya dan romo. Romo sendiri mengiakan kepantasan nama itu (Zakheus) karena walaupun dunia memandangnya dengan sebelah mata, tetapi justeru ia membuka diri bagi Yesus untuk datang dan berada di rumahnya.
Rumah Zakheus adalah sebuah “ruang publik” yang dapat memungkinkan siapa saja yang masuk ke dalamnya. Yesus adalah orang pertama yang berani masuk ke dalam rumahnya. Kehadiran Yesus menjadi tanda yang mengingatkan peristiwa masa lampau yang serba kelam. Dan kehadiran Yesus sendiri seakan merombak pola pikir masyarakat tentang dia dan keluarganya. Labelisasi yang dikenakan padanya yakni sebagai koruptor perlahan hilang oleh sebuah kejujuran yang mengantarnya menuju jalan pulang. Kehadiran Yesus di rumahnya membukakan matanya untuk secara tajam melihat seluruh sepak terjang perjalanan karirnya yang manipulatif dan koruptif. Kehadiran Yesus juga merupakan saat teduh baginya untuk berefleksi serta menuding diri, berapa ribu orang yang telah diselewengkan pajak-pajaknya.
Kerinduan terbesar dalam diri seorang Zakheus adalah mau melihat, siapakah Yesus sebenarnya. Kerinduan ini tersembul dari balik tumpukan uang yang merupakan hasil pemerasan pada rakyatnya. Memang, menjadi pengalaman dilematis seorang pegawai pajak ketika berhadapan dengan tumpukan uang. Mau menghamba pada “mamon” ataukah percaya pada Allah, sumber kekayaan itu sendiri. Peristiwa pertemuan antara Yesus dan Zakheus adalah sebuah peristiwa iman yang sanggup mengembalikan hati yang pernah berpaling dari Allah sendiri. Zakheus, selama dalam menjalani kehidupan yang oleh masyarakat dilihat sebagai pekerjaan haram, menjadikan ia semakin jauh dari sentuhan kasih Allah sendiri. Karena tenggelam dalam perbuatannya yang tak terpuji maka ia sendiri menjadi “buta” dan tidak sanggup melihat Yesus sebagai penyelamat. Badannya yang pendek tidak semata-mata diartikan secara fisik tetapi lebih dari itu membahasakan kekurangan iman sehingga ia harus naik ke pohon ara, “pohon iman” agar mata batinnya dibuka untuk melihat Tuhan yang lewat.
Di tengah jejalan manusia yang ingin melihat Yesus dalam perjalanan-Nya dari desa ke desa, dalam hati Yesus, Ia ingin berjumpa dengan seorang bernama Zakheus. Kalau dianalisis lebih jauh, memunculkan beberapa pertanyaan rujukan untuk memahami kedekatan batin antara sang koruptor dan Mesias. Zakheus tentu sebelumnya menjadi bahan pembicaraan yang menarik dan mungkin menjadi pemberitaan lisan tentang tingkahnya yang mengecewakan masyarakat. Di sini, kontrol sosial menjadi kuat, namun tidak menyanggupkan hati seorang Zakheus untuk berbalik.
Yesus yang lewat, tidak dibiarkan begitu saja menghilang ditengah jubelan manusia namun ia menyadari betapa pentingnya ia mencari seorang penyelamat untuk mengembalikan reputasi dan harga diri yang selama ini jatuh tertindih tumpukan uang. Kehadiran Yesus membuka jalan baru, jalan keselamatan. Kehadiran Yesus tidak bertindak sebagai penggeleda kekayaan Zakheus tetapi hanyalah ungkapan solidaritas dan silahturahmi. Yesus bukanlah penyidik yang menuding, siapa-siapa lagi yang terjebak dalam kasus yang sama. Dengan mengatakan “Zakheus, turunlah, Aku mau ke rumahmu,” dilihat sebagai “interupsi ilahi” di mana Yesus sendiri menciptakan peluang sunyi bagi introspeksi diri seorang Zakheus. Ia mau ke rumahnya, menunjukkan betapa Yesus peduli terhadap pribadi dan keluarganya. Kunjungan Yesus ke rumahnya merupakan titik awal Ia menanamkan nilai-nilai pertobatan. Rumah Zakheus setelah dikunjungi Yesus sepertinya mengalami sebuah transformasi, dari rumah “berlandaskan” strategi kebohongan menjadi rumah “bertiangkan” metanoia. Rumahnya juga menjadi ruang publik dan “ruang produksi nilai-nilai pertobatan” dan akan didistribusikan kepada siapa saja yang membuka diri pada keselamatan.
Yesus sudah berkunjung ke rumahnya, tetapi di mata masyarakat, ia tetap sebagai koruptor. Zakheus menjadi ikon pemanipulasian pajak dan menjadi hidup di setiap generasi yang berbeda. Orang-orang dan dunia umumnya seperti telah memancangkan prasasti abadi tentang Zakheus sehingga orang tidak mudah melupakannya. Tetapi Zakheus mengalami kegembiraan dan kehormatan ketika si Tuhan datang menemui dia dalam kondisi tak berdaya oleh cara pandang yang keliru dari masyarakat umum. Kegembiraan yang dialami juga bukan merupakan “kegembiraan instan” karena ia menghayati kegembiraan ini dalam terang iman pertobatan.
Orang-orang di lingkungan saya menolak keras bila nama Zakeus menjadi pelindung lingkungan itu. Dan apabila setiap instansi pemerintah mencari seorang kudus sebagai pelindung, maka Direktorat Pajak pasti berpelindungkan Zakheus, sebuah nama yang membuka historia biblis dan mengingatkan setiap pegawai pajak akan uang-uang pajak yang ditagih dari masyarakat. Dunia dan Indonesia khususnya membenci Zakheus, tapi herannya pola perilaku koruptif yang merupakan warisannya ditumbuh-suburkan dalam lahan “republik korupsi” ini. Andaikata Zakheus masih hidup sampai dengan saat ini pasti ia berujar, “hari gini masih korupsi, apa kata dunia?” ***

Tuesday, March 22, 2011

PERADABAN LEWOTANAH LAMAHOLOT DALAM TRINITAS KEPEMIMPINAN PURBA INDONESIA TIMUR DAN ATLANTIS YANG HILANG

Oleh Chris Boro Tokan



Adalah seorang F.A.E. van Wouden yang melukiskan Trinitas Kepemimpinan Purba di Indonesia Bagian Timur, melalui data tertulis berdasarkan catatan-catatan Kolonial Belanda saat itu. Walaupun data, laporan-laporan itu berfokus untuk kepentingan pelanggengan kolonialisme di bumi Indonesia, namun sangat penting untuk konteks kekinian. Karena secara tidak langsung melalui kajian data dimaksud, tersirat telah ikut menjelaskan simbolisme Salib Atlantis yang menjadi penunjuk Ibu Kandung Peradaban Dunia. Kajian itu tertemukan dalam Disertasi yang dipertahankan di Universitas Leiden Negeri Belanda, dalam judul: Structuurtypen in de Groote Oost (1935), diindonesiakan: KLEN, MITOS, DAN KEKUASAAN, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur (1985).


Salib Atlantis, Lewotanah: Dualisme Kosmos dan Dualisme Sosial


Dalam kajian F.A.E. van Wouden mengistilahkan Dualisme Kosmos untuk Langit dan Bumi, sedangkan Dualisme Fungsi Sosial untuk peran Laki-laki (Langit) dan peran Perempuan (Bumi). Dualisme peran ini saling memotong, yakni vertikal dan horinsontal menurut Van Wouden, yang oleh Arysio Santos menyebut dengan Salib Atlantis. Simbol Salib Atlantis sebagai keyakinan purba tertemukan dalam kajian "ATLANTIS The Lost Continent Finally Found", The Devinitive Localization of Plato's Lost Civilization (2005), diIndonesiakan menambah subjudul: INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN DUNIA (2009) hal.126-128, 162-278. Hasil elaborasi dari gagasan Filosof besar Plato tentang Tata Peradaban Sipil yang sudah sangat maju (Atlantis yang hilang).


Sampai kekinian Simbol Salib Atalantis itu terpraktekan dalam Peradaban Lamaholot di Nusa Tenggara Timur dengan sebutan LewoTanah. Tentang LEWOTANAH sebagai Peradaban Lamaholot (Kepulauan Solor: Adonara, Solor, Lembata) di Nusa Tenggara Timur, replika Salib Atlantis itu, sesungguhnya Peradaban/keyakinan Dataran Tengah=POROS (NTT, NTB, MALUKU, SULAWESI). Terpahami dalam Peta Purba Indonesia, yang menempatkan wilayah-wilayah ini dalam satu DATARAN TENGAH (POROS). Sedangkan Dataran Sunda (JAWA, BALI, KALIMANTAN, SUMATRA yang menyatu dengan Benua ASIA) itu BARAT. Berikut Dataran Sahul (Kepulauan Aru, Papua/Irian menyatu dengan Benua AUSTRALIA) itu TIMUR (Garis Wallace-Weber). Bandingkan dengan Peta buatan Dr. Harold K. Voris, Kurator dan Kepala Departemen Zoologi pada Field Museum, Chicago, Illinois, termuat dalam Arysio Santos hal. 104 dan 150.


Melalui data tertulis yang dijadikan kajian itu, van Wouden terkesima dengan Ciri-ciri Utama Sistem Sosio-Kekerabatan (hal. 82-92), yang terbentuk dari filosofi Dualisme Kosmos dalam praktek Kepemimpinan Purba dengan Dualisme Fungsi Sosial yang mewujud menjadi Trinitas Kepemimpinan Purba (hal.25-81). Terkesima karena Trinitas Kepemimpinan (dalam Peradaban Lamaholot dikenal: KEPUHUNEN=POROS, TARAN NEKI=PILAR TIMUR, TARAN WANAN=PILAR BARAT) itu ternyata menyebar dalam daerah yang luas, satu sama lain saling berhubungan. Terbentang dari Pulau Timor, Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Rote dan Pulau Flores sampai ke Kepulaun Kai dan Tanimbar, serta juga mencakup Pulau Seram dan Pulau Ambon.


Prinsip pendasaran Dualisme Kosmos dan Dualisme Sosial


Seperti diungkap T.O Ihromi (peletak dasar/pelopor Ilmu Atropologi Hukum di Indonesia) dalam memberikan Kata Pengantar terjemahan karya ini, bahwa suatu hal mendasar dan sangat penting dalam pengkajian ini adalah pengungkapan prinsip-prinsip yang mendasari penggolongan-penggolongan atau klasifikasi dari satuan-satuan sosial yang terdapat di dalam suatu masyarakat setempat. Mengungkapkan dasar-dasar kategori sosial yang komprehensif dalam arti yang mendasari pengaturan masyarakat manusia maupun kosmos atau alam semesta. Seperti ciri-ciri cara penghitungan garis keturunan menurut garis ibu (matrilineal) bersama-sama dengan cara menarik garis keturunan melalui garis ayah (patrilineal).


Bagi van Wouden secara etnografis, wilayah kajian ini bersifat homogen, karena adanya sejumlah ciri bersama seperti kehadiran sistem klen, walaupun kadang-kadang sudah mulai mengabur, dan suatu adat perkawinan di antara dua saudara sepupu silang atau cross-cousin. Adat perkawinan sepupu yang eksklusif itu menjadi sangat penting dalam hubungan dengan semua hubungan sosial. Diibaratkan dengan suatu sumbu dan kegiatan sosial lainnya berkisar sekitar satu sumbu itu.


Dengan demikian adat perkawinan cross-cousin, yaitu antara seorang anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, menjadi model pembinaan hubungan-hubungan sosial seperti adanya trinitas pada struktur sosial masyarakat purba. Kesimpulan van Wouden, bahwa kedua konsepsi yang saling menyilang itu tampaknya lebur menjadi satu dualisme; kelompok langit yang berjenis laki-laki yang lebih muda tetapi lebih mempunyai kemampuan dihadapkan kelompok bumi yang berjenis wanita yang lebih tua dan jauh lebih kuat (hal. 82-159).


Kajian van Wouden perkawinan cross-cousin sebagai sebuah bentuk pekawinan yang eksklusif, karena perkawinan hanya dapat terjadi (bentuk yang dianjurkan, kadang-kadang diwajibkan) di antara satu jenis sepupu silang. Tercermati adat perkawinan di antara dua sepupu silang (cross-coussin) di era sekarang menjadi sebuah kehati-hatian, bahkan telah dilarang karena sangat mempengaruhi faktor intelegensia keturunan (anak), sehingga hampir tidak ditemukan lagi. Namun untuk tetap menjaga model hubungan sosial kekerabatan, tidak terputusnya tali hubungan kekeluargaan yang telah diwariskan secara turun temurun, juga membina adanya tiga pejabat (tritunggal) pada struktur sosial adat warisan purba, senantiasa terjadi perkawinan cross-cousin lintas generasi.


Trinitas Kepemimpinan Purba di Indonesia Bagian Timur


Pembagiaan keseluruhan Liurai di Belu (Timor) secara mistis dalam Waihale-Waiwiku, adalah pembedaan kelompok Timur dan Barat yang menempatkan Liurai sebagai Poros yang puncak mempunyai kekuasaan spiritual yang tertinggi kepada Meromak O’an . Begitupun di Timor Tengah ada pembagiaan keseluruhan Sonnebait yang mistis mengenal Fettor (Timur) dan Fukun (Barat)(hal. 105- 106).


Nusak unsur yang paling menonjol dalam struktur sosial purba di Pulau Rote, membagi paruhan mane dengan paruhan feto dalam pandangan dualistis rangkap (sepasang), yakni masing-masing dengan manedope dengan dae-langgak , termanifestasikan dalam tritunggal. Dae-langgak ditautkan dengan Bumi, konon kalau mane berbicara , seperti guntur menggelegar, Langit. Pertentangan mane dan feto berkaitan dengan pengelompokan dalam leo, sedangkan pertentangan manedope dan dae-langak berlaku di dalam leo (hal. 124-127).


Di Pulau Sabu dikenal pembagiaan antara do’ai dan weto di Seba berkaitan dengan tatanan dualistis dari salah satu genealogi, berkaitan dengan pandangan Dualistis Ganda yang sudah dikenal. Do’ai adalah yang tua dan weto yang lebih muda yang seperti halnya di Timu memegang kekuasaan yang sebenarnya, ini sesuai benar yang terdapat di tempat lain (hal. 128).


Wilayah Pulau Sumba bagian Timur pembagian atas empat yang mula-mula ada merupakan salah satu ciri pengenal utama dari sistem sosial. Keempat ratu dari setiap suku dipandang dari sudut sosial merupakan pejabat yang paling utama. Hubungan antara Raja dan Ratu dengan gamblang disifatkan sebagai hubungan antara Langit dan Bumi. Kedudukan Raja dijunjung tinggi dan dikeramatkan, serta merupakan perwujudan kekuatan keagamaan dari masyarakat setempat (hal 129).


Di Lamboya dan di Anakala wilayah Sumba Barat pembagian tugas kait-mengait dengan pembagiaan atas dua dalam kawasan. Di Napu, Ratu dari anamatiuwa (abang) ditautkan dengan yang bersifat kelangitan. Ratu dari ana ma’ari (adik laki-laki) ditautkan dengan yang bersifat kebumian. Pertama-tama menguasai kekuatan kelangitan yang menentukan berhasil tidaknya panen (hal. 129).


Kesejajaran trias politica yang ada di Pulau Tanimbar dengan yang ada di Pulau Timor mencolok. Seperti mangsombe sebagai tokoh yang sentral berhadapan dengan mangaf wajak dan pnuwe nduan. Di satu pihak dwitunggal pnuwe nduan dan mangaf wajak di pihak lain mangsombe dan mangatanuk, berposisi tempat duduk masing-masing di sisi kiri dan sisi kanan natar yang dianggap sebagai kapal (hal. 131-132).


Kepulauan Kai yang menjadi utama pertentangan antara dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Tonngiil merupakan tokoh sentral di antara Parpara dan Hian yang kegiatannya bertentangan. Dengan demikian termasuk kegiatan kedua kelompok yang dualistis itu, akibat tritunggal yang bertindak sendiri. Kenyataan kasus dalam kelompok kelangitan menunjukan kepriaan yang unggul, dan juga kasus mengenai kelompok kebumian menampilkan aspek wanita yang unggul (hal. 138).


Sebagian besar masyarakat di Pulau Seram terdapat tiga (3) lingkungan sosial yang penting. Perrtama hena atau amani dari Manusela. Dalam kelompok sosial ini suatu sistem kehidupan masyarakat yang serba lengkap dapat berkembang. Dikenal pula dengan sebutan Suku menggambarkan pengelompokan secara genealogis. Kedua Soa merupakan penempatan beberapa hena atau amane, dikenal di sebelah barat dengan nuru, sama dengan lohoki di Manusela (hal. 141).


Ketiga Dati, merupakan pengelompokan sosial yang terlepas dari soa. Terjadinya Soa konon sama dengan terjadinya desa di Kai, distrik di Timor yaitu penggabungan sejumlah kelompok kekerabatan secara kebetulan yang berlainan asal-usul . Ada kalanya sejumlah dati berasal dari moyang yang sama diwakili dalam berbagai hena yang dahulu membentuk sebuah komunitas. Dari sini jelas bahwa pengelompokan dalam soa disilangi oleh pengelompokan dalam dati (hal. 142-143).


Perbedaan mencolok dua macam pejabat, di satu pihak bupati dan kepala soa sebagai penguasa hena, di pihak lain tuan tanah dan kepala dati mempunyai otoritas di bidang tradisi khususnya tanah. Semula di Ambon tidak ada perkebunan Soa, fungsi Kapitan rupanya berurusan dengan pengaturan soa. Barangkali latu dan kapitan raja termasuk soa yang berlainan. Agak tersembunyi di belakang pembedaan pejabat soa dan pejabat dati ternyata terdapat juga tritunggal yang penting terdiri dari bupati, tuan tanah, kapitan raja (hal. 143-144).


Konteks Atlantis Yang Hilang


Dalam konteks Atlantis yang Hilang sebagai sebuah tata peradaban sipil yang sangat maju menurut Plato filosof kesohor Bangsa Yunani, dielaborasi oleh Geolog dan Fisikawan Nuklir asal Brasil Arysio Santos dengan Salib Atlantis. Tentu menempatkan kajian van Wouden dalam relevansi logisnya yang mengemukakan konsep Dualisme Komsos dan konsep Dualisme Sosial sebagai konsep Kelangitan (Laki-laki)yang vertikal saling memotong dengan Konsep Kebumian (Perempuan) yang horisontal, membentuk Salib.


Diakui sendiri oleh van Wouden bahwa hasil kajian dokumen (laporan) yang dilakukannya tidak mengungkap secara rinci semua tautan dari sistem klasifikasi tentang Dualisme Kosmos (Langit dan Bumi) dan Dualisme Sosial (Laki-laki dan Perempuan). Apalagi hasil kajian sejak tahun 1935, berlangsung 76 tahun lalu, namun yang pasti bahwa substansi Dualisme Konsep itu secara nyata, empirik masih ada, terasakan dan menjadi keyakinan setiap komunitas adat (wilayah) yang telah dikaji. Bahkan dipraktekan secara baik oleh Suku Bangsa Lamaholot (Flores Timur Daratan dan Kepulauan Solor: Adonara, Solor, Lembata) dengan sebutan Lewotanah.


Dengan demikian seperti diharapkan van Wouden 76 tahun yang lalu, bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut di tempat (penelitian lapangan, empirik), untuk mengungkapkan lebih nyata banyak hal, antara lain sejumlah kebiasaan dan struktur sosial asli yang terus bertahan dan senantiasa menjadi alam berpikir dan cara pengorganisasian masyarakat. Sekaligus menjadi penandasan pembuktian (Arysio Santos, hal.306-311) bahwa Atalantis Yang Hilang dengan Salib Atlantis sebagai Peradaban Bangsa Atlantis, merupakan Ibu Kandung Peradaban Dunia, sesungguhnya adalah wilayah Bangsa Indonesia sekarang, ufuk Timur Terjauh Dunia, belahan Paling Selatan Garis Khatulistiwa arah Tenggara.***


Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, 21 Maret 2011.

Monday, March 7, 2011

HARAPAN YANG PATAH

Oleh: Valery Kopong*
Langkah gadis bocah itu terhenti di lorong panti yang berada dekat dengan “bibir ibu kota, Jakarta.” Sorotan cahaya terus menembus ruang yang dihuni oleh sekitar duapuluhan orang yang menyandang cacat dan yatim piatu itu. Di bawah rintik-rintik hujan yang sedikit membasahi tanah Bintaro, Tangerang Selatan, seakan membawa “aroma gurau” yang semakin alot. Mereka sepertinya tidak memikirkan tentang masa lampau di mana telah menyeretkan mereka pada panti itu. Mereka juga tidak menyalahkan orang tua bahkan Tuhan sendiri yang mentakdirkan mereka dengan anggota tubuh yang cacat. Di atas kursi roda itu, sebagian orang-orang cacat menghabiskan waktu sambil menatap sebuah masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.
Di titian waktu, mereka terus merenung tentang hidup dan perjuangan yang bermula dari diri mereka. Mengapa perjuangan hidup mesti bermula dari dalam diri mereka? Ya, bertahun-bertahun lamanya mereka bergulat dengan keadaan diri mereka yang cacat dan jauh dari sentuhan kasih sayang orang tua. Karena keadaan diri mereka yang tidak lazim, membuat mereka tersingkir, termarginal dari panggung pergaulan hidup. Mereka coba bertahan dan menerima diri apa adanya. Cara untuk menerima diri apa adanya sebagai jalan terbaik untuk mengobati batin yang terluka dan upaya untuk mensyukuri karya Allah sendiri.
Nasib setiap manusia memang beda. Ada yang terlahir sebagai manusia normal yang memiliki anggota tubuh yang lengkap dan ada yang tidak lengkap, alias cacat. Ada yang terlahir dalam keluarga yang kaya dan tak sedikit orang yang terlahir dalam kemiskinan. Bagi mereka yang terlahir dalam keluarga kaya, seluruh kebutuhan hidup mereka terpenuhi secara paripurna. Sedangkan mereka yang terlahir dalam lingkaran kemiskinan, marginalitas, kekumuhan dan kelatahan terus menggerus hidup di tengah pusaran waktu. Setiap saat adalah “penantian bermakna” sembari membuka diri untuk menerima setiap tawaran kemurahan yang datang dari orang lain. “Kemurahan hati tidak jatuh dari langit. Ia ada karena terus dihidupi oleh orang-orang yang sungguh merindukannya.” Kerinduan orang-orang yang patah semangat karena dijejali oleh kemiskinan, merupakan sebuah undangan, sekaligus “jalan rahmat” yang ditata oleh mereka yang berpunya.
Panti Sayap ibu
Menelusuri kota metropolitan di bawah naungan semburan asap knalpot, begitu banyak orang miskin yang dijumpai. Tangan-tangan mereka terbuka dan wajah mereka menengadah untuk melihat orang-orang yang lewat dihadapannya. Bagi mereka, jubelan manusia yang lewat adalah rejeki yang semakin mendekat. Dengan mengantongi sedikit rupiah yang diberi oleh para pejalan kaki di trotoar atau di bawah traffic light, merupakan bukti bahwa mereka bisa menyambung hidup untuk esok hari. Wajah mereka yang meminta-minta di jalan memperlihatkan kehidupan yang keras dan jauh dari sentuhan perhatian pemerintah dan orang-orang berduit.
Potret orang-orang miskin di atas, sedikitnya berbeda dengan orang-orang yang berada di bawah naungan “Sayap Ibu,” sebuah panti asuhan yang terletak di Bintaro, Tangerang Selatan-Banten. Keberadaan orang-orang yang menghuni panti ini memiliki cerita dan latar belakang tersendiri. Mereka datang dari hampir seantero pelosok tanah air dan membentuk komunitas, sebuah keluarga besar di bawah naungan Yayasan Sayap Ibu. Ada yang berasal dari Kalimatan, Sumatera, Sulawesi, Jawa dan Madura. Dengan latar belakang daerah yang berbeda ini, menampakkan miniaturnya Indonesia yang terbentuk dari “ketakberdayaan” mereka yang terhempas.
Mengapa mereka datang dan membentuk komunitas dalam panti asuhan itu? Adakah sejarah yang melatarinya sehingga mereka dengan terpaksa tercerabut dari keluarga dan melanglang buana hingga membentuk kelompok baru di bawah “kepakan Sayap Ibu?” Dari hasil penuturan penulis dengan beberapa penghuni dan pengelola panti itu ditemukan akar persoalan, mengapa mereka tidak dikehendaki orang tua dan hidup bersama mereka. Ada beberapa alasan yang muncul, pertama, ada yang kelahirannya tidak diinginkan oleh orang tuanya (hubungan diluar pernikahan resmi). Hasil hubungan gelap yang membentuk anak manusia ini pada akhirnya dibuang di jalan dan didapatkan orang, lalu bayi tersebut dibawa ke panti untuk dirawat. Kedua, ada anak lahir cacat dan hal ini tidak dihendaki oleh orang tua. Menurut pandangan orang tua yang datang mengantarkan anaknya yang cacat bahwa keberadaan anak yang lahir cacat membawa beban bagi keluarga dan karena itu tidak perlu dirawat di tengah keluarga. Anak yang lahir cacat ini lebih pantas untuk diasuh di panti. Ketiga, ada anak yang diserahkan ke panti asuhan “Sayap Ibu” dengan kondisinya yang baik tetapi karena alasan ekonomi yang kurang mampu dari orang tua maka mereka diserahkan pada panti asuhan untuk dirawat, layaknya sebagai seorang manusia.
Belitan Gurita Kemiskinan
Kemiskinan di negeri ini tak akan pernah terhapus. Malah, dari tahun ke tahun tingkat kemiskinan itu terus bertambah seiring dengan kebijakan pemerintah yang menaikan harga BBM dan listrik. Di “pergelangan malam,” saat menanti datangnya tahun yang baru, banyak orang bersikap pesimis bahkan enggan untuk memasuki tahun yang baru itu. Entah pesimis atau enggan menerima pergantian tahun, waktu tak pernah berkompromi dengan siapa pun. Jarum jam tak bisa dijegal perjalanannya dan kalender 2010 yang masih tergantung di dinding terpaksa “turun tahta” untuk digantikan oleh pangerang baru bernama “tahun baru.” Ya, tahun baru membawa beban baru. Tahun baru hanya menggelorakan situasi sesaat, persis di persimpangan waktu. Setelah gebyar malam dengan lampu-lampu kota yang gemerlap, orang hanyut dalam euforia semu.
Kemiskinan, sebuah kata yang menetap bersama dengan terbentuknya bumi ini. Akar kemiskinan terus digali oleh pelbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta tetapi tak satu pun sanggup memberantas kemiskinan itu sendiri. Semakin digali akar kemiskinan itu, pada saat yang sama kemiskinan terus tumbuh dan berkembang. Bahkan pada era modern ini kemiskinan menjadi sebuah komoditi politik yang menarik. Atas nama kemiskinan, beberapa pegiat LSM mengusung proposal atas nama mereka yang tak berdaya untuk mencairkan dana. Atas nama kemiskinan, pemerintah terus menggulirkan program keberpihakkan tetapi nyatanya setelah program itu terlaksana, tak satu pun orang miskin yang mendapat dana dari program tersebut. Lalu di mana komitmen para pejuang keadilan untuk menyatakan keberpihakan terhadap mereka yang lemah dan membangkitkan mereka dari keterpurukan?
Panti asuhan “Sayap Ibu” sedang melebarkan sayapnya untuk terbang setinggi dan sejauh mungkin untuk mencari mereka yang terpinggirkan. Kemiskinan menurut salah satu suster pengelola panti “Sayap Ibu” bahwa kemiskinan tidak semata-mata karena orang tidak memiliki kekayaan tetapi kemiskinan yang dihadapi saat ini adalah “miskin kepekaan dan miskin solidaritas.” Anak-anak yang tertampung dalam panti tersebut merupakan bukti bahwa mereka terpaksa didepak dari keluarga yang merupakan basis utama seorang anak untuk tumbuh dan berkembang dalam menggapai harapan. “Harapan mereka patah atau sengaja dipatahkan dengan alasan tertentu tetapi di panti ini kami berusaha untuk mengembalikan jati diri dan terlebih membangkitkan semangat serta gairah hidup.”
Cara pandang para pengelola panti membawa spirit baru bagi negeri ini. Andaikan di negeri ini, di setiap lingkungan RT atau RW didirikan panti asuhan maka mungkin para kaum miskin bisa tertangani secara baik. Dan dalam mengelola panti asuhan seperti “Sayap Ibu,” perlu adanya spiritualitas yang sanggup menjiwai seluruh pola pelayanan atas dasar kasih. Tanpa kasih, kita kehilangan daya hening, kehilangan spirit untuk membagi. Dalam bahasa ekaristi, melayani berarti membagi diri bagi mereka yang sangat membutuhkan.***

Saturday, December 18, 2010

TRADISI JUMAT AGUNG:

Prosesi Tuan Meninu

Larantuka, kota kecil di bibir pantai paling timur Pulau Flores, menjadi pusat perhatian umum setiap menjelang hingga puncak perayaan Paskah. Sejak Rabu hingga Jumat Agung, dalam pekan suci umat Katolik itu, kota nan indah di kaki gunung Ile Mandiri ini disesaki seluruh penduduk kota, pemudik dan peziarah dari kota-kota lain di NTT, Jawa, Bali, Kalimantan, bahkan dari luar negeri.

Mereka tenggelam dalam sebuah prosesi bernuansa Portugis yang digelar setiap perayaan Paskah. Itulah prosesi Semana Santa (bahasa Portugis berarti Pekan Suci), sebuah tradisi unik, satu-satunya di dunia, yang telah berlangsung selama lima abad di Larantuka. Prosesi tersebut berintikan penyertaan pada penderitaan Yesus Kristus dan devosi kepada Maria Dolorosa— Maria Berdukacita, yang kehilangan Yesus, putranya yang mati demi penebusan dosa.

Belum lama ini, wartawan floresnews Alex Dungkal berada di tengah-tengah puluhan ribu peziarah, mengikuti dari dekat seluruh ritual Pekan Suci yang berjalan hikmat, khusyuk, dan menggetarkan itu. Selama Pekan Suci itu, Larantuka benar-benar steril dari raungan bunyi kendaraan bermotor, hiruk-pikuk penduduknya yang mencari nafkah, dan kesibukan para pegawai pemerintahan daerah yang sehari-hari melayani kepentingan warganya.

Mirip Bali menyambut Hari Raya Nyepi, begitulah Larantuka saat rangkaian prosesi Semana Santa berlangsung. Kota yang sempat porak-poranda oleh bencana tanah longsor pada 1992 ini, seketika sepi, tanpa geliat apa pun. Hanya terdengar untaian doa dan nyanyian-nyanyian rohani dari Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka, Kapel Tuan Ma (Bunda Maria), Kapel Tuan Ana (Tuhan Yesus), dan tori-tori (tempat sembayang) yang menyebar di kota itu.

Semuanya satu dalam ziarah iman untuk mengenang penderitaan Yesus dan duka Bunda Maria yang begitu sabar dan setia menyertai karya keselamatan puteranya itu.

Prosesi Bahari

Dimulai pada Rabu trewa atau Rabu terbelenggu, para peziarah memasuki Pekan Suci dengan sebuah kebaktian khusus yang diadakan di Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka pada petang menjelang malam hari. Di sini diperdengarkan lamentasi, ratapan Nabi Yeremia, yang dinyanyikan secara syahdu oleh para konfreria.

Konfreria adalah sebuah serikat persaudaraan yang sangat berperan dalam perkembangan gereja Katolik di Larantuka dan Flores Timur umumnya. Perserikatan yang berasal dari tradisi Portugis ini sangat berperan dalam setiap upacara Pekan Suci. Mereka juga disebut “Lasykar Maria”. Bunda Maria menjadi sumber mata air kekuatan mereka. Hidup dan pengabdiannya pun sepenuhnya demi kebaikan bagi orang lain.

Selanjutnya, Kamis Putih adalah upacara hari berikutnya. Pada hari ini, patung Maria Bunda Berduka (Mater Dolorosa) yang ditahtakan di Kapel Tuan Ma dibersihkan dan dimandikan lalu dihiasi. Setelah selama setahun ditutup, Kapel Tuan Ma yang terletak di Pantai Kebis ini pun dibuka pada petang harinya oleh keturunan Raja Larantuka Diaz Viera de Godinho. Bersamaan itu, kapel Tuan Ana, yang terletak tak jauh dari Kapel Tuan Ma juga dibuka untuk umum.

Inilah salah satu momen yang paling ditunggu-tunggu ribuan umat dan peziarah. Mereka memanfaatkan kesempatan emas ini untuk bersujud, mohon berkat dan rahmat Tuhan, serta menyampaikan intensi-intensi khusus mereka dalam doa dan lagu. Para peziarah diberi kesempatan mencium patung Sang Bunda yang dianggap suci dan keramat ini.

Mereka umumnya datang dengan suatu keyakinan bahwa Bunda Maria akan membawa doa dan permohonannya kepada Tuhan Yesus (Per Mariam ad Yesum). Mereka yakin dalam iman: yang sakit disembuhkan, yang susah mendapat penghiburan, yang kehilangan pekerjaan akan mendapatkannya lagi melalui doa kepada Bunda Maria. “Niat yang kita sampaikan kepada Bunda Maria dengan penuh keyakinan pasti akan mendapat jawaban,” ucap Lindawati, peziarah asal Batam, Kepulauan Riau.

Pembukaan dua kapel ini berlangsung hingga keesokan harinya, sampai para peziarah kemudian larut dalam prosesi puncak Jumat Agung, yang disebut Sesta Vera.

Namun, sebelum prosesi Jumat Agung berlangsung, digelar pula sebuah prosesi yang juga tak kalah uniknya, yakni perarakan bahari Tuan Menino (patung kanak-kanak Yesus dalam bahasa setempat). Ini benar-benar perarakan lintas laut, di mana patung kanak-kanak Yesus dibawa dari Kapel Tuan Menino di kampung Rowido yang terletak di sebelah Timur Larantuka, ke pusat kota, dengan menyeberangi selat antara ibu kota Kapubaten Flores Timur itu dan Pulau Adonara.

Patung anak-anak Yesus ini dibawa dalam berok, kapal bercadik, yang diiringi puluhan perahu dan beberapa kapal lain di belakang dan di sekelilingnya. Sementara itu, ribuan umat telah berkumpul di Pantai Pohon Sirih, di depan istana Raja Larantuka menanti arak-arakan laut ini. Setelah mendarat, patung ini diarak menyusuri jalan-jalan di Larantuka, untuk kemudian ditahtakan di armida khusus Tuan Menino.

Di tempat lain, ada arak-arakan membawa patung Tuan Ma dan Tuan Ana dari kapel persemayamannya ke Gereja Katedral Larantuka. Arak-arakan ini terdiri atas beberapa unsur, mulai dari anak-anak, pembawa genderang, dan alat-alat lain.



Keagungan Jumat Agung

Tentu saja, puncak dari seluruh rangkaian prosesi Semana Santa Larantuka adalah Jumat Agung. Inilah inti atau pusat dari seluruh prosesi untuk mengenang pengantaran jenazah Yesus ke pemakamannya di luar kota Yerusalem. Hari Jumat Agung ini juga disebut “proses pemakaman Yesus”.

Makanya tak heran bila warna kedukaan menyelimuti rangkaian prosesi ini. Busana hitam, doa-doa duka, dan lagu-lagu ratapan, mendominasi prosesi yang dimulai dari Gereja Katedral Larantuka hingga melintasi jalan utama kota ini sejauh sekitar empat kilometer. Puluhan ribu peziarah berarakan mengiringi “prosesi pemakaman Yesus” yang hadir dalam wujud sebuah peti jenazah yang berisikan patung Yesus, juga patung Tuan Ma, yang masing-masing diusung oleh lakademu (orang khusus yang disumpah) dan para konfreria.

Dalam prosesi Jumat Agung malam itu, patung jenazah Yesus berada di urutan depan, disusul patung Tuan Ma di belakangnya. Ini memperlihatkan posisi dan peran Bunda Maria sebagai Bunda Berdukacita yang berjalan mengikuti Yesus di jalan salib sampai ke Kalvari.

Perjalanan prosesi mengelilingi Kota Larantuka itu menyinggahi delapan (8) armida atau perhentian. Selain menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam perjalanan hidup Yesus, ke-8 armida tersebut sekaligus melambangkan peran dan fungsi delapan suku yang terlibat dalam siar keagamaan dan tradisi kehidupan sosial masyarakat di kota itu.

Kedelapan armida yang disinggahi itu adalah armida Suku Mulawato (Pantai Besar) di Kelurahan Lohayong dan Pohon Sirih, armida Suku Sarotari di Pohon Sirih dan Balela, armida Suku Amakelen dan Hurint, armida Suku Kapitan Jentera, armida Suku Riberu/da Gomes, armida Suku Sau/Diaz, armida keluarga Raja Diaz Viera de Godinho, armida Suku Amakelen Lewonama di Kapela Tuan Ana. Di Armida ini, prosesi berarak kembali menuju Gereja Katedral sebagai akhir dan pusat dari prosesi Jumat Agung.

Larantuka, selama prosesi Jumat Agung malan itu, benar-benar seperti kota duka. Puluhan ribu peziarah dibawa larut ke suasana begitu mencekam oleh suara wanita berbusana dan berkerudung serba hitam yang menggemakan lagu ratapan nan liris, O Vos Omnes Qui transitis, pada setiap perhentian. Begitu pula lagu Signor Deo yang dinyanyikan puluhan konfreria membawa suasana Larantuka jadi “kota magis”.

Sekitar 50 ribu peziarah pun hanyut dalam suasana syahdu. Dengan lilin-lilin yang bernyala di tangan para peziarah dan ribuan lainnya yang dipasang sepanjang jalan yang dilalui, Larantuka jadi kota sejuta lilin.

Selama enam jam perarakan Jumat Agung, Larantuka benar-benar sunyi senyap. Hanya terdengar derap langkah ribuan peziarah yang setia menelusuri jalan penderitaan Yesus. Hanya ada doa dan lagu-lagu pujian yang menggema ke mana-mana. Hanya ada cahaya lilin yang membuat Larantuka bercahaya di tengah kegelapan malam.

Pemandangan malam itu sungguh menakjubkan: Kota Larantuka yang mengekspresikan keagungan Jumat Agung – peringatan tentang sengsara dan wafat Kristus -- dalam lautan cahaya lilin, kekusyukan doa-doa, serta lagu-lagu pujian.
Last Updated ( Friday, 23 April 2010 15:11 )

Memandang Tuhan



Pada awalnya, aku memandang Tuhan sebagai seorang pengamat; seorang hakim yang mencatat segala kesalahanku, sebagai bahan pertimbangan apakah aku akan dimasukkan ke surga atau dicampakkan ke dalam neraka pada saat aku mati. Dia terasa jauh sekali, seperti seorang raja. Aku tahu Dia melalui gambar-gambar-Nya, tetapi aku tidak mengenal-Nya.

Ketika aku bertemu Yesus, pandanganku berubah. Hidupku menjadi bagaikan sebuah arena balap sepeda, tetapi sepedanya adalah sepeda tandem, dan aku tahu bahwa Yesus duduk di belakang, membantu aku mengayuh pedal sepeda.

Aku tidak tahu sejak kapan Yesus mengajakku bertukar tempat, tetapi sejak itu hidupku jadi berubah. Saat aku pegang kendali, aku tahu jalannya. Terasa membosankan, tetapi lebih dapat diprediksi … biasanya, hal itu tak berlangsung lama. Tetapi, saat Yesus kembali pegang kendali, Ia tahu jalan yang panjang dan menyenangkan. Ia membawaku mendaki gunung, juga melewati batu-batu karang yang terjal dengan kecepatan yang menegangkan. Saat-saat seperti itu, aku hanya bisa menggantungkan diriku sepenuhnya pada-Nya! Terkadang rasanya seperti sesuatu yang 'gila', tetapi Ia berkata, “Ayo, kayuh terus pedalnya!”

Aku takut, khawatir dan bertanya, “Aku mau dibawa ke mana?” Yesus tertawa dan tak menjawab, dan aku mulai belajar percaya. Aku melupakan kehidupan yang membosankan dan memasuki suatu petualangan baru yang mencengangkan. Dan ketika aku berkata, “Aku takut!” Yesus menurunkan kecepatan, mengayuh santai sambil menggenggam tanganku.

Ia membawaku kepada orang-orang yang menyediakan hadiah-hadiah yang aku perlukan … orang-orang itu membantu menyembuhkan aku, mereka menerimaku dan memberiku sukacita. Mereka membekaliku dengan hal-hal yang aku perlukan untuk melanjutkan perjalanan … perjalananku bersama Tuhanku. Lalu, kami pun kembali mengayuh sepeda kami.

Kemudian, Yesus berkata, “Berikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang membutuhkannya; jika tidak, hadiah-hadiah itu akan menjadi beban bagi kita.” Maka, aku pun melakukannya. Aku membagi-bagikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang kami jumpai, sesuai kebutuhan mereka. Aku belajar bahwa ternyata memberi adalah sesuatu yang membahagiakan.

Pada mulanya, aku tidak ingin mempercayakan hidupku sepenuhnya kepadaNya. Aku
takut Ia menjadikan hidupku berantakan; tetapi Yesus tahu rahasia mengayuh sepeda. Ia tahu bagaimana menikung di tikungan tajam, Ia tahu bagaimana melompati batu karang yang tinggi, Ia tahu bagaimana terbang untuk mempercepat melewati tempat-tempat yang menakutkan. Aku belajar untuk diam sementara terus mengayuh … menikmati pemandangan dan semilir angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku selama perjalanan bersama Sahabatku yang setia: Yesus Kristus.

Dan ketika aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan, Yesus akan tersenyum dan berkata … “Mengayuhlah terus, Aku bersamamu.”

Sumber : Thoughts for the day, 19 Feb 2003 by Chuck Ebbs
Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Friday, December 17, 2010

Bahasa Inggris Mengenal, Menguasai dan Miliki

Apolonia Dhiu

Bedah SKL dan Kisi-Kisi UN 2011
Kamis, 16 Desember 2010 | 11:51 WIB

KUPANG, POS KUPANG.com--Banyak guru yang mengajar Bahasa Inggris hanya menjalankan dua tahap yaitu mengenal dan menguasai. Padahal, katanya, mengajar bahasa Inggris harus melalui tiga tahap, yakni mengenal, menguasai dan memiliki.

Demikian Ketua Panitia Workshop Bedah Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan kisi-kisi Ujian Nasional (UN) Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Inggris Kota Kupang, Hendrik Nesimnasi, S.Pd, di Aula SMP Negeri 5 Kupang, Rabu (15/12/2010).

Hendrik, yang ditemui menjelang pembukaan kegiatan ini, mengatakan, dari pengalamannya banyak guru yang mengajar bahasa Inggris hanya dua tahap saja, yakni mengenal dan menguasai. Padahal, katanya, mengajar bahasa Inggris harus melalui tiga tahap, yakni kenal, kuasai dan miliki.

"Saya melihat para guru mengajar bahasa Inggris baru sebatas mengenalkan dan menguasai dan belum menjadikan anak-anak ini belajar untuk memiliki bahasa ini. Karena, jika anak-anak merasa memiliki bahasa Inggris, mereka akan berupaya untuk mempelajari dan bahkan menjadikan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari baik kepada sesama temannya, guru maupun lingkungan sekitarnya," kata Nesimnasi.

Ia mengatakan, selama ini bahasa Inggris selalu menjadi momok sehingga banyak yang mengatakan pelajaran ini sangat sulit. Hal ini juga berpengaruh kepada para siswa karena banyak tidak lulus mata pelajaran ini pada saat UN. Menurutnya, orang yang hebat adalah orang yang membuat hal yang sulit menjadi gampang dan bukanya membuat hal yang mudah menjadi sulit.

Lebih lanjut kepada Pos Kupang ia menjelaskan, bedah standar SKL dan kisi-kisi UN MGMP Bahasa Inggris Kota Kupang ini ini diikuti oleh guru-guru mata pelajaran bahasa Inggris yang tergabung dalam MGMP di Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan Kabuaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Nesimnasi mengatakan, workshop ini dilakukan berawal dari para guru yang mengikuti bedah SKL dan kisi-kisi soal UN tahun 2011 di Kota Kupang. Kegiatan ini mendorong MGMP bahasa Inggris untuk mendalami lebih jauh tentang bedah SKL dan kisi- kisi soal UN. MGMP mendatangkan pembicara dari Semarang, yakni Nur Zaidah, S.Pd, M.Pd, yang berbicara soal penyusunan soal UN bahasa Inggris.

Pada kesempatan itu, Nur Zidah mengatakan, anjloknya kelulusan siswa pada mata pelajaran bahasa Inggris pada saat UN memang sangat tergantung pada proses pembelajaran di kelas dimana guru tidak saja mengejar hasil akhir yakni UN tetapi bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga siswa benar-benar memahami dan mampu mengkomunikasikan bahasa Inggris.

Untuk itu, katanya, membutuhkan kerja keras dan proses yang panjang dari pada guru sehingga bisa menerima hasil akhir yang memadai. Dalam bedah SKL ini, katanya, para guru tidak saja dilatih untuk tahu membuat soal sesuai dengan SKL tetapi juga bagaimana guru melakukan proses belajar mengajar di kelas.
Ia berharap, setelah mengikuti kegiatan workshop bedah SKL ini, para guru mampu mengembangkannya di sekolah masing- masing. (nia)

DPRD NTT Dukung Program Pendidikan untuk Nutrisi

Kamis, 16 Desember 2010 | 13:53 WIB

KUPANG, POS KUPANG.Com---Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Nusa Tenggara Timur siap memberikan dukungan politis bagi program pendidikan untuk nutrisi yang akan dikembangkan Unicef Perwakilan NTT. Disadari bahwa nutrisi yang baik sangat menentukan tingkat kecerdasan anak-anak NTT di masa mendatang.

Dukungan politis itu disampaikan Ketua Komisi D DPRD NTT, Hendrik Rawambaku, saat memberikan pandangannya pada diskusi Pengembangan Program Pendidikan untuk Nutrisi di Hotel Orchid, Kupang, Rabu (15/12/2010). Selain Rawambaku, anggota Komisi D DPRD NTT yang juga hadir kemarin adalah Emeliana Nomleni, Hironinus Banafanu dan Alfridus Seran.

Ikut hadir anggota DPRD Kota Kupang, Frans Fanggi.
Menurut Rawambaku, pendidikan harus dilihat sebagai sebuah aktivitas human investment (investasi manusia). Karena itu, nutrisi yang baik sangat diperlukan anak-anak usia sekolah.
"Tetapi pada etnis-etnis tertentu di NTT, pendidikan hanya dilihat sebagai aktivitas sosial semata," katanya.

Sektor kesehatan, kata Rawambaku, harus juga dilihat sebagai human investment. "Makin baik gizi, orang akan semakin sehat, semakin sehat pendidikannya semakin baik," katanya.

Dia agak menyesalkan diskusi dan workshop tentang pendidikan dan nutrisi diselenggarakan saat pembahasan ABPD di Dewan hampir rampung. "Sayang, workshop seperti ini digelar setelah kami tinggal satu dua hari selesai bahas APBD," kata Rawambaku.

Meski begitu, Rawambaku mengatakan, Dewan tetap akan memberikan dukungan politis bagi setiap upaya peningkatan dan perbaikan gizi anak-anak NTT. Pernyataan dukungan politis itu juga disampaikan Emeliana Nomleni, Hironinus Banafanu dan Alfridus Seran.

Rekomendasi
Workshop yang berlangsung selama dua hari, Selasa-Rabu (14- 15/12/2010), itu berakhir dengan diskusi untuk mengidentifikasi masalah dan jalan keluar yang bisa dilakukan untuk memperbaiki pemahaman ihwal tentang gizi.

Para peserta workshop yang datang dari kabupaten-kabupaten tempat Unicef bekerja itu sepakat bahwa elemen masyarakat seperti orangtua, guru harus mendapat pemahaman dan pengetahuan yang memadai tentang gizi.

Dari aneka masalah itu, para peserta merumuskan design program yang bisa diterapkan di NTT. Ada banyak masalah ditampilkan para peserta. Melui diskusi kelompok, aneka masalah itu kemudian dicarikan alternatif pemecahan yang masih tentatif.

Pemecahan masalah itu kemudian dipadatkan dalam rekomendasi. Rekomendasi paling banyak digagas dan paling penting untuk perbaikan gizi adalah bahwa gizi harus bisa masuk ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah. (len)

Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Kupang

Harus Dirumuskan dalam Satu Sistem
ilustrasi
AIDS
Jumat, 17 Desember 2010 | 13:11 WIB

KUPANG, POS KUPANG.Com -- Upaya penanggulangan masalah HIV/AIDS di Kota Kupang sudah saatnya dirumuskan dalam satu sistem. Semua stakeholder harus duduk bersama dan membahas sistem yang digunakan karena dari segi kuantitas intervensi sudah cukup banyak.

Demikian dikatakan Ketua Komisi C DPRD Kota Kupang, Nikolaus Fransiskus, yang ditemui di ruang rapat Komisi C DPRD Kota Kupang, Kamis (16/12/2010). Niko didampingi Sekretaris Komisi, Johnis Imanuel Haning, dan Samuel Taklale.
Niko mengatakan, bersama Sekretaris Komisi C, mereka pernah mendatangi Yayasan Tanpa Batas dan di sana mereka mendapatkan gambaran yang sangat fantastis mengenai HIV/AIDS.

"Untuk Kota Kupang sudah sampai pada tahap yang membutuhkan perhatian yang sangat serius dari semua pihak. Orang yang terinfeksi HIV/AIDS pada usia yang produktif, bahkan ada yang sudah terinfeksi sejak usia 13 tahun," ujarnya.

Menurutnya, sudah banyak pihak yang melakukan intervensi dan dari segi kuantitas sudah cukup banyak. Hanya saja semua pihak harus duduk bersama untuk membicarakan mengenai sistem yang dilakukan agar tidak berjalan sendiri-sendiri. Contohnya KPAD Kota Kupang sudah melakukan berbagai upaya termasuk sosialisasi, dari dinkes, KBKS, Pemberdayaan Perempuan dan masih banyak LSM yang peduli terhadap HIV/AIDS yang juga melakukan kegiatan untuk antisipasi.

"Meski banyak kegiatan tetapi ada kecenderungan orang yang terinfeksi jumlahnya meningkat terus. Berarti harus ada yang dibenahi. Karena itu KPAD harus memfasilitas semua stakeholder untuk rumuskan sistem kerja yang lebih baik," sarannya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, informasi, edukasi dan sosialisasi harus lebih efektif kepada kelompok sasaran potensial dengan berbagai cara dan media. Namun di satu pihak juga harus ada peran serta dari keluarga di mana keluarga bisa memberikan informasi kepada anggotanya mengenai HIV/AIDS ini.

Mengenai anggaran, Haning mengatakan bahwa KPAD Kota Kupang mendapat dana bantuan sebesar Rp 600 juta untuk tahun 2010 dalam rangka penanggulangan HIV/AIDS di Kota Kupang. Sementara dukungan dari DPRD Kota Kupang, Niko Frans mengungkapkan, selama yang diajukan pemerintah itu rasional dan jelas, maka pasti akan menyetujuinya. (ira)