Oleh Steph Tupeng Witin (Jurnalis, sedang meriset media di NTT (Pos Kupang dan Flores Pos))
PADA Sabtu (4/6/2011) lalu, penulis menghadiri diskusi draft buku ‘Ekologi Savana Kepulauan di Zona Tropika Semi Arid, Indonesia (Tipikal, Pemanfaatan dan Pengelolaan)’ di ruang rapat redaksi Pos Kupang.
Buku yang ditulis Dr. Ludji Michael Riwu Kaho ini menuntun peserta, khususnya penulis untuk menjelajahi lekak lekuk bentangan savana yang menyarungi kurang lebih 33,5 juta hektar wilayah NTT. Data ini menunjukkan bahwa savana (campuran hutan dan akar rumput) mendominasi wilayah NTT dan terus mengalami peningkatan sebanyak 126 juta hektar. Provinsi NTT berada pada urutan pertama proses penggurunan. Sebanyak 80% lahan berada pada tahap kritis dengan total hutan NTT hanya 12%.
Savana merupakan sumber daya dan potensi terluas di NTT yang bisa dimanfaatkan secara bijaksana untuk pengembangan pertanian, peternakan dan kehutanan.
Selain sebagai sumber daya untuk sektor kemakmuran, savana juga merupakan basis keanekaragaman hayati yang bisa menyimpan keanekaragaman hayati yang membentuk jejaring dan rantai kehidupan. Hal ini mesti dipahami secara benar sehingga kebijakan pembangunan tidak berlangsung secara serampangan atas nama proyek yang lebih mementingkan angka laporan di atas kertas sebagai medium pertanggungjawaban pragmatis minim realisasi tetapi pada saat yang memutus jejaring relasi hayati yang akan berdampak pada hancurnya ekosistem savana kita.
Pemahaman yang mendalam peri-hal realitas savana NTT sesungguhnya akan membentuk paradigma berpikir di kalangan elite politik birokrasi di NTT untuk merancang dan mengga-gas pembangunan yang khas ‘savana’ NTT.
Artinya, NTT tidak hanya seka-dar lahan untuk uji coba berbagai pro-yek mulia atas nama kelestarian ling-kungan tanpa memperhatikan konteks savana NTT. Proyek-proyek itu umumnya dilaksanakan hanya untuk mengamankan dana yang dikucurkan dari pusat (sebelum masuk kantong elite) untuk pertanggungjawaban birokratis yang berakhir dengan kegagalan yang beruntun.
Di berbagai belahan NTT ini kita akan mendengar kisah memalukan serupa: bagaimana proyek-proyek dinas kehutanan dan perkebunan lebih banyak gagal karena memaksakan menanam sebuah jenis pohon di atas tanah yang tidak cocok dengan tanaman proyek hasil kongkalikong dengan pengusaha sponsor dari luar NTT itu.
Buku yang akan terbit ini, merupakan sebuah karya gemilang dari putera NTT yang memiliki kepedulian tulus untuk keberlanjutan eksistensi tanah dan kehidupan rakyat. Sebagai karya ilmiah, buku ini membuka relung kesadaran segenap komponen NTT untuk lebih berempati dengan konteks tanah NTT sebagai investasi masa depan yang bernilai kekal. Buku ini merupakan kampanye ilmiah yang terbuka sebagai perlawanan kreatif terhadap kebijakan salah urus tanah NTT ini yang lebih berorientasi proyek, bermental pragmatis ala politisi murahan dan kehilangan kenegarawanannya untuk berpikir lebih subtil dan prospektif.
Buku ini adalah kampanye terbuka untuk melawan mental kapitalis yang membungkus dam membusuki banyak kebijakan pembangunan di NTT yang lebih pro investor ketimbang mengapresiasi berbagai potensi savana yang bisa dikembangkan secara arif selaras dengan falsafah lokalitas NTT.
Lebih tegasnya, buku ini mengeritik ‘kemurahan hati’ para pejabat (gubernur dan para bupati se-NTT) yang atas nama otonomi daerah dan peningkatan PAD yang tidak pernah meningkat-meningkat itu membiarkan tangan-tangan investor tambang mencabik dan merobek-robek ibu bumi NTT yang sudah kering dan tandus serta telanjur digeneralisir sebagai provinsi gagal panen dan busung lapar tiap tahun.
Dampak dari ‘kemurahan hati’ itu adalah hancurnya bentangan savana di beberapa bagian tubuh Pulau Flores, Timor dan Sumba dengan lobang-lobang besar yang menganga. Kita tidak bisa membayangkan lagi nasib NTT ini 10 tahun ke depan ketika tangan-tangan investor semakin serampangan mengeruk tubuh savana lalu pergi meninggalkan kehancuran.
Maka, buku ‘Ekologi Savana Kepulauan’ adalah gugatan intelektual anak NTT yang gelisah menyaksikan para korban tambang mangan di Timor yang hingga detik ini menurut catatan Pos Kupang telah merenggut 32 orang yang meninggal di lubang tambang. Inilah prestasi pemerintah Provinsi NTT sebagai implementasi konkret dari ‘kemurahan hati’ untuk memberikan izin kuasa pertambangan.
Buku ini mengajak rakyat NTT khususnya para elite birokrasi untuk lebih membumikan kepedulian dan solidaritas empatiknya terhadap realitas tanah NTT ini demi keberlanjutan generasi masa depan. Buku ini adalah ajakan profetis bagi kita semua untuk menjaga dan merawat tanah ‘savana’ NTT ini dari bencana kehancuran yang akan mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati akibat keserakahan ekonomis tak terkendali yang merasuki segelintir warga NTT yang kebetulan punya kuasa intelektual, politik dan uang.
Aksiologi
Buku adalah bank yang menerbitkan idealisme dan gagasan demi menata kehidupan. Tetapi buku tidak berhenti pada gagasan. Ia membutuhkan ruang impelementasi dan aksi konkret. Dia hadir tepat waktu ketika bumi NTT sedang dieksploitasi beramai-ramai oleh investor yang bersembunyi di balik ‘keluguan’ pemilik tanah dan ‘kemurahan hati’ para gubernur dan bupati yang tidak pada tempatnya.
Hal penting dari buku ini adalah inspirasi bernilai untuk lebih cepat bertindak demi mencegah bencana kehancuran yang lebih dahsyat lagi di masa depan. Ketika kita diam, kita sedang menyetujui proses penghancuran alam lingkungan sekaligus membuka gerbang kiamat ekologis yang lebih dahsyat. Gerbang kiamat ekologis adalah bencana bagi generasi masa depan yang akan lahir dari rahim keluarga-keluarga kita.
Komponen-komponen kritis NTT: pers/media, LSM, agama dan kaum intelektual ‘berhati populis’ dituntut untuk keluar dari menara status quo yang terasing dari dunia nyata tempat ilmu mereka mesti membumi.
Universitas-universitas kita, terutama fakultas-fakultas pertanian dan peternakan mesti lebih agresif merespon kenyataan savana NTT lalu berpikir mengembangkan pertanian dan peternakan untuk menjadikan NTT ini lumbung pangan lokal dan ternak. Kita harapkan agar universitas-universitas kita menghasilkan ahli pertanian dan peternakan ketimbang menghasilkan konsultan pertambangan.
And the last but not least! Ajakan kepada Gubernur NTT dan para elitenya (bupati) agar selaras antara kata/pidato dan tindakan. Gubernur NTT mengajak rakyat untuk mengem-bangkan pangan lokal (jagung), ternak dan cendana.
Tapi persis pada saat yang sama mereka menganjurkan pertambangan dan terus saja mener-bitkan izin kuasa pertambangan. Kontradiktif! Mungkinkah jagung, cendana dan ternak bisa hidup di dalam lubang bekas tambang? Jika izin kuasa pertambangan terus digelontorkan, di mana Angur Merah bisa didapat? Yang jelas : anggur tidak pernah tumbuh di lubang bekas tambang mangan.
Jika ini yang terjadi maka pidato gubernur dan para bupati persis baliho reklame di Jalan El Tari Kupang yang mengajak rakyat NTT untuk mencintai pangan lokal khas NTT: dia cuma pepesan kosong hanya untuk menggelikan nurani rakyat yang sudah muak dengan ketidakselarasan antara pidato dan implementasi konkret. *
PADA Sabtu (4/6/2011) lalu, penulis menghadiri diskusi draft buku ‘Ekologi Savana Kepulauan di Zona Tropika Semi Arid, Indonesia (Tipikal, Pemanfaatan dan Pengelolaan)’ di ruang rapat redaksi Pos Kupang.
Buku yang ditulis Dr. Ludji Michael Riwu Kaho ini menuntun peserta, khususnya penulis untuk menjelajahi lekak lekuk bentangan savana yang menyarungi kurang lebih 33,5 juta hektar wilayah NTT. Data ini menunjukkan bahwa savana (campuran hutan dan akar rumput) mendominasi wilayah NTT dan terus mengalami peningkatan sebanyak 126 juta hektar. Provinsi NTT berada pada urutan pertama proses penggurunan. Sebanyak 80% lahan berada pada tahap kritis dengan total hutan NTT hanya 12%.
Savana merupakan sumber daya dan potensi terluas di NTT yang bisa dimanfaatkan secara bijaksana untuk pengembangan pertanian, peternakan dan kehutanan.
Selain sebagai sumber daya untuk sektor kemakmuran, savana juga merupakan basis keanekaragaman hayati yang bisa menyimpan keanekaragaman hayati yang membentuk jejaring dan rantai kehidupan. Hal ini mesti dipahami secara benar sehingga kebijakan pembangunan tidak berlangsung secara serampangan atas nama proyek yang lebih mementingkan angka laporan di atas kertas sebagai medium pertanggungjawaban pragmatis minim realisasi tetapi pada saat yang memutus jejaring relasi hayati yang akan berdampak pada hancurnya ekosistem savana kita.
Pemahaman yang mendalam peri-hal realitas savana NTT sesungguhnya akan membentuk paradigma berpikir di kalangan elite politik birokrasi di NTT untuk merancang dan mengga-gas pembangunan yang khas ‘savana’ NTT.
Artinya, NTT tidak hanya seka-dar lahan untuk uji coba berbagai pro-yek mulia atas nama kelestarian ling-kungan tanpa memperhatikan konteks savana NTT. Proyek-proyek itu umumnya dilaksanakan hanya untuk mengamankan dana yang dikucurkan dari pusat (sebelum masuk kantong elite) untuk pertanggungjawaban birokratis yang berakhir dengan kegagalan yang beruntun.
Di berbagai belahan NTT ini kita akan mendengar kisah memalukan serupa: bagaimana proyek-proyek dinas kehutanan dan perkebunan lebih banyak gagal karena memaksakan menanam sebuah jenis pohon di atas tanah yang tidak cocok dengan tanaman proyek hasil kongkalikong dengan pengusaha sponsor dari luar NTT itu.
Buku yang akan terbit ini, merupakan sebuah karya gemilang dari putera NTT yang memiliki kepedulian tulus untuk keberlanjutan eksistensi tanah dan kehidupan rakyat. Sebagai karya ilmiah, buku ini membuka relung kesadaran segenap komponen NTT untuk lebih berempati dengan konteks tanah NTT sebagai investasi masa depan yang bernilai kekal. Buku ini merupakan kampanye ilmiah yang terbuka sebagai perlawanan kreatif terhadap kebijakan salah urus tanah NTT ini yang lebih berorientasi proyek, bermental pragmatis ala politisi murahan dan kehilangan kenegarawanannya untuk berpikir lebih subtil dan prospektif.
Buku ini adalah kampanye terbuka untuk melawan mental kapitalis yang membungkus dam membusuki banyak kebijakan pembangunan di NTT yang lebih pro investor ketimbang mengapresiasi berbagai potensi savana yang bisa dikembangkan secara arif selaras dengan falsafah lokalitas NTT.
Lebih tegasnya, buku ini mengeritik ‘kemurahan hati’ para pejabat (gubernur dan para bupati se-NTT) yang atas nama otonomi daerah dan peningkatan PAD yang tidak pernah meningkat-meningkat itu membiarkan tangan-tangan investor tambang mencabik dan merobek-robek ibu bumi NTT yang sudah kering dan tandus serta telanjur digeneralisir sebagai provinsi gagal panen dan busung lapar tiap tahun.
Dampak dari ‘kemurahan hati’ itu adalah hancurnya bentangan savana di beberapa bagian tubuh Pulau Flores, Timor dan Sumba dengan lobang-lobang besar yang menganga. Kita tidak bisa membayangkan lagi nasib NTT ini 10 tahun ke depan ketika tangan-tangan investor semakin serampangan mengeruk tubuh savana lalu pergi meninggalkan kehancuran.
Maka, buku ‘Ekologi Savana Kepulauan’ adalah gugatan intelektual anak NTT yang gelisah menyaksikan para korban tambang mangan di Timor yang hingga detik ini menurut catatan Pos Kupang telah merenggut 32 orang yang meninggal di lubang tambang. Inilah prestasi pemerintah Provinsi NTT sebagai implementasi konkret dari ‘kemurahan hati’ untuk memberikan izin kuasa pertambangan.
Buku ini mengajak rakyat NTT khususnya para elite birokrasi untuk lebih membumikan kepedulian dan solidaritas empatiknya terhadap realitas tanah NTT ini demi keberlanjutan generasi masa depan. Buku ini adalah ajakan profetis bagi kita semua untuk menjaga dan merawat tanah ‘savana’ NTT ini dari bencana kehancuran yang akan mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati akibat keserakahan ekonomis tak terkendali yang merasuki segelintir warga NTT yang kebetulan punya kuasa intelektual, politik dan uang.
Aksiologi
Buku adalah bank yang menerbitkan idealisme dan gagasan demi menata kehidupan. Tetapi buku tidak berhenti pada gagasan. Ia membutuhkan ruang impelementasi dan aksi konkret. Dia hadir tepat waktu ketika bumi NTT sedang dieksploitasi beramai-ramai oleh investor yang bersembunyi di balik ‘keluguan’ pemilik tanah dan ‘kemurahan hati’ para gubernur dan bupati yang tidak pada tempatnya.
Hal penting dari buku ini adalah inspirasi bernilai untuk lebih cepat bertindak demi mencegah bencana kehancuran yang lebih dahsyat lagi di masa depan. Ketika kita diam, kita sedang menyetujui proses penghancuran alam lingkungan sekaligus membuka gerbang kiamat ekologis yang lebih dahsyat. Gerbang kiamat ekologis adalah bencana bagi generasi masa depan yang akan lahir dari rahim keluarga-keluarga kita.
Komponen-komponen kritis NTT: pers/media, LSM, agama dan kaum intelektual ‘berhati populis’ dituntut untuk keluar dari menara status quo yang terasing dari dunia nyata tempat ilmu mereka mesti membumi.
Universitas-universitas kita, terutama fakultas-fakultas pertanian dan peternakan mesti lebih agresif merespon kenyataan savana NTT lalu berpikir mengembangkan pertanian dan peternakan untuk menjadikan NTT ini lumbung pangan lokal dan ternak. Kita harapkan agar universitas-universitas kita menghasilkan ahli pertanian dan peternakan ketimbang menghasilkan konsultan pertambangan.
And the last but not least! Ajakan kepada Gubernur NTT dan para elitenya (bupati) agar selaras antara kata/pidato dan tindakan. Gubernur NTT mengajak rakyat untuk mengem-bangkan pangan lokal (jagung), ternak dan cendana.
Tapi persis pada saat yang sama mereka menganjurkan pertambangan dan terus saja mener-bitkan izin kuasa pertambangan. Kontradiktif! Mungkinkah jagung, cendana dan ternak bisa hidup di dalam lubang bekas tambang? Jika izin kuasa pertambangan terus digelontorkan, di mana Angur Merah bisa didapat? Yang jelas : anggur tidak pernah tumbuh di lubang bekas tambang mangan.
Jika ini yang terjadi maka pidato gubernur dan para bupati persis baliho reklame di Jalan El Tari Kupang yang mengajak rakyat NTT untuk mencintai pangan lokal khas NTT: dia cuma pepesan kosong hanya untuk menggelikan nurani rakyat yang sudah muak dengan ketidakselarasan antara pidato dan implementasi konkret. *