Sunday, June 19, 2011

Keluarga: Tak Sepatutnya Vonis Terjadi


BEKASI, KOMPAS.com - Keluarga almarhumah Ruyati binti Satubi (54), menilai eksekusi hukuman pancung oleh pemerintah Arab Saudi, Sabtu (18/6/2011), tidak sepatutnya terjadi bila vonis direspon advokasi Pemerintah Indonesia. Hal itu diungkapkan salah satu anak kandung almarhumah, Evi (32), di rumah duka Jalan Raya Sukatani, Kampung Srengseng Jaya, RT01 RW03, Desa Sukadarma, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Minggu (19/6/2011).

"Sebelum kasus itu terjadi, majikan almarhumah bernama Ipat asal Arab Saudi sering memperlakukan hal-hal yang tidak wajar. Mulai dari pemukulan, pelemparan, dan penendangan hingga menimbulkan patah tulang pada bagian kaki almarhumah dan tidak ada pihak yang peduli," katanya.

Informasi itu, kata dia, diperoleh dari teman seprofesi almarhumah bernama Warni bahwa ibunya kerap diperlakukan dengan tidak wajar oleh ibu majikan selama bekerja sejak Januari 2009. Evi menambahkan, pada komunikasi terakhirnya bersama almarhumah pada Desember 2010, pihak keluarga sudah meminta almarhumah untuk segera pulang ke Indonesia. Sebab, bekerja di Arab Saudi banyak terjadi pelanggaran penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

"Bila hal ini dipertimbangkan hakim dan mendapat bantuan pemerintah seharusnya tidak perlu ada vonis itu," katanya.

Namun demikian, pihak keluarga meminta kepada Kementerian Luar Negeri, Migran Ketenagakerjaan serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) untuk memproses kepulangan almarhumah ke Tanah Air agar dimakamkan di Kampung Ceger, Desa Suka Darma, Kecamatan Sukatani.

"Kami harap mereka juga memberikan kekurangan gaji yang belum dibayarkan selama tujuh bulan," kata Evi.

Almarhumah Ruyati binti Satubi berangkat melalui penyalur tenaga kerja PT Dasa Graha Utama yang berlokasi di wilayah Pondok Gede, Kota Bekasi. Sementara, pengiriman TKI itu langsung dari PT Dasa Graha Utama yang berada di Gambir, Jakarta Pusat. Untuk ketiga kalinya, Ruyati menjadi seorang TKI untuk memenuhi kebutuhan keluarganya setelah bercerai dari suaminya.

Friday, June 17, 2011

AMA BELEN

Ama belen, ama Paya Puru Nama
Kaka yogan kaka Puru Nama Laga

Ama Kopong di Kapitan Sina
Kaka Mamun Saba Poli Murin

Kebe inak, kabe amak, kabe opuk kabe wahek, kabe kakak, kabe arik, melan senaren wahankae, go hulen baat tonga belolo.

Tun pito hiko doan, tobo tabe tika lewo, mio doan ile papa, kame doan ile papa. Wulan lema gela lela, pae tabe bage tana, mio lela woka lola, kame lela woka lola. Pana herunet bo laran laga doni, hala hae bo wulen sugi nuba elun, dimayan ata pata hala. Gawe rupaket bo ewa Tuawolo, hala hae bo lapan peni ero matan, di doen ata bain kurang. Elo pito pai getana kae ni, tobo pai dase mu, ti pia go hiin kai tutu koda. Woken lema haka gelata kae ni, pae haka natanmu, ti pia go hiin kai marin kirin. Ribhun pulo lewo na’an gole, hia Kiwan Lama Doan dano Loba Lama Lewa. Rathun lema tana na’an bue, hia Ekan Lama Lela dano Lewa Liwu Raya. An’am pia mo mabe jadi tali, tawa kala nuba nulan, loge lali tukan buran, ti pana waukek ketaka kadarunu, di peten ka’aro mia take, ti tukan kodi weli kai. Bahim hia me mabe sura lekat, gera kala nara baran, towe teti lolon sabok, ti gawe leleten bo seku lakasao, di sudi ka’aro mirin kuran, ti lolon kode haka kai (bersambung…..)
Leron pito hiko doan, ribhun pulo pia Kiwang Lama Doan dano Loba Lama Lewa, mai buka pita sina, ti ma’an kame pana pai. Hari lema gela lela, rathun lema hia Ekan Lama Lela dano Lewa Liwu Raya, mai balok aran Jawa, ti ma’an kame gawe haka. Weli mai weli uma sika tukan, inak ata ruran puken, na’anek keru dano baki, na’an gatiro ana na nabe jadi tali. Haka mai teti lango losen lolon, binek ata hoi lolon, na’anek wai dano selan, naan heluro bai na nabe sura lekat.
Tekan dike weli uma sika tukan, tekan tao pigan sina, diinak ata ruran puken, nai koda amet, tekan tao kero utan. Tenu sare rae lango losen lolon, tenu liwo makok Jawa, dibinek ata hoi lolon, nai kirin marin, tenu liwo sason baron. Nuba go ata nuba nulan, nuba go mete tobu bangku, ti nuba go ata ola take murek naen, ti bekel ake pate oneke. Nara go ata nara baran, nara go mete pehen pena, ti nara dibelura kuran, ti holat ake helu yoneke. Pi reron hena wa, lera lau seran gere, go guti leik lodo pana, pana peken inak ata ruran puken irae uma sika tukan, nai tobo mete tani mayan. Pi reron he wa, seni weli goran tawan, go semu limak lodo gawe, gawe tulin binek ata hoi lolon, irae lango losen lolon, nai pae mete hutan toen. Pana pai dase mu, ti tena tabe gili wua, papa me mo’on lewo tobo, papa ke moon laran pana. Gawe haka natan mu, ti naot tabe bolak malu, lola me moon tana pae, lola ke moon ewa gawe. Lera weli seran gere, lodo ke moon butu bua, mai sedan ole lagadoni, wutuken oleh Lewotobi, mai sedan saphekem lai sina jawa. Seni lau goran tawan, lodo ke moon bayo dayon, mai gawe wura watopeni, wakonen wura wailebe. Sedan saphekem bo lau tana Jawa, mai gute tutu ama belen pulo kae, budhike dike sumsera Lewo Kiwan Lama Doan dano Loba Lama Lewa. Pai, koda pupuro taan tou sama wua weli wayak. Pai, kirin boitro menoi sama malu weli sepen. (Salam, Kopong ata budi dike)



Ama belen teti kowa kelen tukan
Nobum wato, beledane bala

Kame ata ribhun, leta dike denin sare no’on Mo’e. Mo soron Yesus an’am Mo’en, lodo pia tana ekan. An’a mo’en uhurem tukan, nai huba bolaka no’on suri sangarian. Nai bolak tuberun teti krus kayo bala, ti na’an hipe ata ribhun, lapak ata rathun. Mehin ba hau liwo nuba, lebo nara. Kakan keru arin baki, bekel ake pate oneke. Koda aya-aya ni, ka’an gatiro koda koke liko sina. Holat ake helu yoneke, kirin rain-rain ni, ka’an heluro kirin bale milin jawa.

YLH: ‘Profesor Penulis dari Undana’

Oleh Yusuf Leonard Henuk (Guru Besar Fapet Undana)

JUDUL tulisan ini sengaja dipilih untuk memperkenalkan nama penulis yang telah lama dikenal di dunia maya sebagai To’o YLH dari Universitas Nusa Cendana (Undana) yang kebetulan terpilih mewakili universitas-universitas di wilayah Indonesia Tengah sebagai seorang ‘profesor penulis produktif’ yang telah diwawancarai wartawan Media Indonesia sekaligus menanggapi opini dari Hengky Ola Sura (HOS) yang mengawali opininya dengan mengangkat komentar Bung Joki berjudul: “Guru Besar Hanya Nama” ketika menurunkan opininya berjudul:

“Merindukan Profesor Menulis” (Pos Kupang, Sabtu, 4 Juni 2011: 4). YLH sendiri telah lama menulis opini terkait komentar Bung Joki di media massa yang mungkin komentar ini diambil Bung Joki dari opini YLH berjudul: “Guru Besar Hanya Nama” (Timor Express, Senin, 2 Juni 2008: 4).


Sebagai seorang Guru Besar (GB) dari Undana yang tergolong sebagai ‘profesor penulis’ selain kedua senior YLH yang telah disinggung HOS yaitu: Prof. Dr. Alo Liliweri dan Prof. Dr. Mien Ratoe Odjoe, tapi sayang tak dijumpai namanya bersama seniornya Prof. Dr. Felyanus Sanga oleh HOS yang hanya terfokus pikirannya membaca Pos Kupang dan Flores Pos, walaupun YLH khususnya sudah lama menulis di Pos Kupang sejak opini pertamanya berjudul: ‘Raih Gelar Doktor: Memangnya Gampang?” (Pos Kupang, Senin, 29 April 2002: 4 & 7).


Sedangkan, kedua profesor baru di Undana yang telah dikukuhkan pada tanggal 16 April 2011 telah lama menulis bersama di Pos Kupang untuk kedua opini mereka berikut: (1) Henuk dan Sanga (2006): “Undana: 44 Tahun Belum Publikasi 44 Buku” (Pos Kupang, Jumat, 1 September 2006: 11 & 15) dan (2) Sanga dan Henuk (2006): “Budaya Membaca dan Menulis di Kalangan Dosen” (Pos Kupang, Jumat, 23 September 2006: 11).

Sebagai informasi khusus kepada HOS, YLH hingga kini sudah menulis 20 opininya yang dimuat di Kupang Pos dari total 62 opininya yang tergolong journalistik papers yang terbit di media massa lokal di NTT dan SUMUT.


YLH pun telah mengungkapkan rasa terima kasih pada hari pengukuhan GB-nya pada tanggal 16 April 2011 kepada semua media massa lokal di NTT yang telah ‘membesarkan’ namanya ke mancanegara:

(1) Pos Kupang (www.pos-kupang.com), (2) Timor Express (www.timorexpress.com) dan khususnya (3) Kursor yang rutin meliput dan memberitakan gugatannya melawan Rektor Undana tanpa pengacara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang lalu disusul upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi TUN Surabaya (www.pttun-surabaya.go.id) dan berakhir melakukan upaya hukum kasasi dan penarikannya di Mahkamah Agung RI (www.mahkamahagung.go.id).


Pada kesempatan ini, YLH ingin memperkenalkan dirinya sebagai ‘profesor penulis dari Undana’ agar dikenal dan disayangi para pembaca sesuai kata-kata yang sudah umum dipakai ‘Tak kenal maka tak sayang’ (to know is to love). Perkenalan diri YLH telah dimuat dalam buku terbarunya ke-11 yang memiliki International Series of Book Number (ISBN: 978-979-18254-0-5) yang merupakan judul pidato pengukuhan GB-nya pada tanggal 16 April 2011 berjudul: “Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Penyusunan Ransum Untuk Ternak.”

Acara iring-iringan kendaraan bermotor bernuansa ‘Adat Rote’ dari tempat kediamannya di Kelurahan Maulafa Kota Kupang ke tempat pengukuhan dan selama acara pengukuhan GB berlangsung di Undana telah disiarkan dan ditonton oleh para pemirsa TVRI Stasiun Kupang pada tanggal yang sama dan khusus di halaman 41/terakhir bukunya yang dibacakan penyiar TVRI Kupang (Ina Djara): “..Ia tergolong cukup produktif menulis dan menyajikan karya ilmiah di dalam maupun luar bidang keahliannya di berbagai pertemuan ilmiah internasional maupun nasional serta telah menerbitkan juga beberapa buku disamping aktif mengisi kolom opini berbagai media lokal di NTT [i.e. Pos Kupang, Timor Express, Kursor, Rote Ndao Pos, Ti’i Langga dan Warta Undana] dan SUMUT [i.e. Analisa].


Berdasarkan data dalam buku ini sudah tidak diragukan bahwa YLH tepat sekali memperkenalkan diri sebagai ‘profesor penulis dari Undana’, karena telah menerbitkan: (1) Karya ilmiah di jurnal ilmiah nasional non-akreditasi, nasional akreditasi dan internasional: 80 buah; (2) Tulisan-tulisan di koran: 62 buah; (3) Buku ber-ISBN: 11 buah, termasuk buku: “Pedoman Penulisan Artikel di Rubrik Opini dan Karya Ilmiah di Jurnal Ilmiah” (ISBN: 979-97845-7); dan (4) Edit buku penulis lain ber-ISBN: 4 buah, termasuk buku: “Basic Study Skills Untuk Dosen dan Mahasiswa” (ISBN: 979-97845-6-5).


Sudah tidak dibantah lagi bahwa YLH merupakan seorang GB dari 20 GB di Undana yang kini masih aktif dari 923 dosen Undana sudah lama ‘turun dari menara gading dunia jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku yang memuat tulisannya’, namun tidak begitu dikenal oleh HOS yang masih berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Flores.

YLH perlu menjernihkan pikiran HOS yang masih berpikir hanya sebatas seorang mahasiswa saja dengan menyatakan dengan begitu lugu bahwa ‘Guru besar hendaknya lebih bernas memoles tulisan tentang aneka persoalan dengan langsung memberikan gambaran yang praktis. Penguasaan teori-teori yang hanya disampaikan dalam jurnal dan seminar-seminar, hemat saya, ibaratnya membuang garam di air laut’.


Bagi kami para profesor mana pun di muka bumi ini justru kami merasa lebih bergengsi menulis di jurnal ilmiah internasional untuk dikenal sesama pakar serumpun ilmu sejagat dan khusus di Indonesia dihargai bobot kredit: 40 (empat puluh)/karya ilmiah ketimbang menulis di jurnal ilmiah nasional akreditasi yang memiliki bobot kredit: 25 (dua puluh lima)/karya ilmiah dan jurnal ilmiah nasional non-akreditasi yang memiliki bobot kredit: 10 (sepuluh)/karya ilmiah, sehingga hampir banyak profesor di Indonesia tidak begitu tertarik menulis di koran yang hanya memiliki bobot kredit: 1 (satu) per opini dan justru koran merupakan tempat belajar bagi para mahasiswa seperti HOS untuk belajar menulis.


Sedangkan, tugas utama seorang profesor di Indonesia telah diatur jelas dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 49 Ayat 2) bahwa “Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah untuk mencerahkan masyarakat”, sehingga jelas tidak sesuai dengan pernyataan HOS bahwa “Dan andil seorang profesor salah satunya adalah sumbangan tulisannya pada media massa”.


Kini menjadi lebih jelas bahwa tugas seorang mahasiswa seperti HOS adalah membaca buku atau karya ilmiah seorang profesor lalu menurunkan dalam bentuk opini di media massa.

YLH telah mengajar mahasiswa Fapet Undana seperti Amirudin Bapang untuk menulis karya ilmiah YLH di media massa dalam opininya berjudul: “Fapet Uber Alles” (Timor Express, Selasa, 26 April 2011: 4), artinya: “Fapet Diatas Segala-galanya.”


Sebagai seorang profesor, YLH sudah terbiasa mengutip kata-katanya sendiri dalam menulis ketimbang HOS yang masih banyak belajar menulis, sehingga mengutip kata-kata dari Pramoedya Ananta Toer. Kutipan YLH terbaru dalam mengakhiri opininya ini yang patut disimak oleh para profesor di Indonesia seperti terbaca dalam opininya yang ditulis bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-49 berjudul: “Fapet Undana di Mata Guru Besar Undana” (Timor Express, Kamis, 24 Februari 2011: 4):

“Seorang dosen yang meniti karir sebagai pengajar di perguruan tinggi mana pun dan telah meraih gelar akademik yang tertinggi sekalipun, sebenarnya ia baru mencapai kepuasan batin yang sesungguhnya bila ia telah mempublikasi karya ilmiah yang banyak seperti yang terlihat dalam curriculum vitae (cv) sebanding dengan deretan panjang gelar akademik yang telah diraihnya.” *

Potret Buram Implementasi UU Minerba

Oleh Ferdy Hasiman (Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta dan Alumnus STF Driyarkara)

PASCA pemberlakuan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), investasi tambang memunculkan polemik baru di daerah. UU itu memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah (Pemda) menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Kewenangan pemberian IUP kepada pemda tanpa disertai kerangka acuan strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas, terbukti berpotensi makin tidak terkontrolnya pengelolaan pertambangan di level lokal. Kementerian ESDM melansir, dari 8.475 IUP yang diterbitkan pemda, hanya 3.971 IUP dinyatakan legal dan 4.504 IUP dinyatakan ilegal (Baca, ESDM).


NTT hanyalah sekadar contoh dalam tulisan kecil ini. Data menunjukkan, sebanyak 319 pemegang IUP tidak mengantongi dokumen resmi alias ilegal (Dinas Pertambangan NTT, 2010). Ratusan hektar tanah warga dan hutan lindung disabotase hanya untuk investasi tambang. Akibatnya, masalah sosial pun merebak. Buruh dibayar upah tak wajar, perebutan lahan antarsuku dan proses penambangan rakyat pun tak terbendung.

Hanya untuk mendapat secuil berkah dari batu mangan, warga beralih profesi dari petani penggarap menjadi pengumpul mangan. Alhasil 30 warga meninggal selama pertambangan di Tomor Barat periode tahun 2010. Realitas ini menunjukkan potret buram implementasi UU Minerba di daerah ini. Pertanyannya adalah mengapa tambang ilegal mekar?

Instink ekonomis


Implementasi UU Minerba di tengah desakan liberalisasi sektor energi adalah petaka bagi rakyat. Penegakan hukum dan tingkat korupsi di daerah masih sangat tinggi. Reformasi birokrasi masih stagnan. Banyak daerah mendapatkan rapor merah dalam mewujudkan desentralisasi dan otonomi daerah. Good governance (GG) pun menjadi impian tak bertepi.


Liberalisasi pasar tanpa diikuti GG dan penegakan hukum yang ketat berpotensi menimbulkan pencurian sumber daya alam (SDA) daerah.

Potensi pencurian ini diperkuat dengan paradigma umum pertambangan di Indonesia. Paradigma tambang di Indonesia adalah menjual hasil tambang tanpa pengelolaan terlebih dahulu hanya untuk mengejar pasar ekspor. Orientasi ekspor memicu terjadinya tambang ilegal. Orientasi ekspor dipicu oleh naiknya harga komoditas, seperti mangan di pasar global. Di tengah rapuhnya regulasi hasrat akumulasi pelaku pasar menggelora.


Adam Smith mengatakan, pelaku ekonomi lebih dominan menampilkan watak asosial alias egois. Manusia egois cenderung mencari keuntungan diri (Baca : homo economicus). Karakter pelaku ekonomi yang cenderung asosial ini menurut ekonom Jhon M. Keynes (1983-1946) sebagai animal spirit. Setiap manusia ekonomi pasti memiliki spirit binatang. Maka, maling tambang potret animal spirit.


Kembali pada kondisi lokal NTT. Hampir semua media lokal dan nasional telah mengeskpose penjualan mangan ilegal dari NTT. Kapal hasil penjualan mangan ilegal di tahan aparat kepolisian di pelabuhan Tanjung Perak-Surabaya. Kapal itu berisi muatan mangan sebanyak 3.000 ton milik TNI AD (Timor Expres, 15/5/2011).

Selain itu, sebelumnya, polisi menggagalkan penjualan mangan ilegal dari NTT senilai 132 ton di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Mangan ilegal itu akan dijual ke China atas nama PT Bumi Karya Indonesia (Detik.Com, 3/1/2010).


Maling memang selalu mencari celah untuk mencuri dan itu terdapat pada UU Minerba. Pasal 43 Ayat 1 dan 2 misalnya, memberi kesempatan kepada pemegang IUP Eksplorasi untuk menjual mineral yang sudah tergali, meskipun ada penegasan, tambang hasil eksplorasi yang dijual wajib melapor pemberi izin (gubernur/bupati/menteri). Persoalannya, pemerintah lokal ikut bermain di dalamnya. Kadis Pertambangan NTT dijerat hukum lantaran terlibat kasus penjualan mangan ilegal (Kompas, 25/10/2010).


Menangkal maling sebenarnya mudah jika negara dengan seperangkat alatnya (hukum dan regulasi) selalu siaga. Namun, bagaimana menjaga maling jika aparat negara terlibat dalam penjualan mangan ilegal?

Political finance


Keterlibatan pemerintah lokal dalam penjualan tambang ilegal bukan tanpa alasan. Semua pihak paham, demokrasi kita mulai dari tingkat pusat-daerah telah diselimuti politik uang. Proses politik seperti ini membenarkan tesis Karl Marx (1818-1883) bahwa politik (supra-struktur) adalah hasil derivikasi dari basis (baca : penguasa ekonomi).


Mengikuti Marx, merebaknya tambang ilegal terkait langsung dengan political finance pada pemilu kada. Untuk biaya pemilu kada saja, seorang calon bupati harus mengeluarkan uang senilai Rp 5 miliar. Padahal, gaji bupati hanya mencapai Rp 7 juta per bulan. Di tengah sistem politik yang berhala kepada uang, pemerintah perlu memberi karpet merah kepada investor hanya untuk mencalonkan diri lagi ke pemilu kada berikutnya


Risikonya, rakyat menjadi korban dalam pembangunan. David Harvey dalam Enigma of Capital (2009) mengatakan, modal selalu bergerak mencari bahan baku dan pasar tenaga kerja murah. Di mana negara/daerah tidak melindungi pekerja, di situ modal merentangkan bisnisnya. Dari segi bahan baku, tambang mangan di NTT tidak perlu mengeluarkan biaya investasi besar dan metode peralatan modern. Mangan mudah ditemukan di permukaan tanah. Cukup dikeruk manual, mangan sudah dapat.


Pemegang IUP eksplorasi biasanya membeli mangan dari kerja petani pengumpul mangan seharga Rp 1,8 hingga 2 juta per ton. Harga ini tidak sebanding dengan harga mangan global yang mencapai US$ 2.850 per ton atau Rp 25.650.000 per ton dengan kurs Rp 9.000. Ini artinya petani mangan hanya mendapat secuil berkah dari harga mangan di pasar. Sementara yang mendapat keuntungan besar adalah para broker dan investor.
Dari segi pekerja, mereka tidak mendapatkan perlindungan dan upah tidak terjamin. Upah pekerja tambang di NTT hanya mencapai Rp 25.000-Rp 30.000 per hari.

Mereka hidup tanpa jaminan kesehatan dan jaminan kesejahteraan lainnya. Kondisi kerja buruh pertambangan yang begitu keras, bukan tidak mungkin membuat mereka sakit serta harus menanggung pengobatan dan biaya rumah sakit yang melambung tinggi. Implikasinya, perusahaan mendapat benefit besar, sementara cost ditanggung mahal para buruh.


Pemerintah lokal boleh saja berkilah, investasi tambang akan meningkatkan penerimaan darah karena mendapat royalti dari perusahaan. Namun, pengelolaan SDA di daerah itu tidak pernah transparan. Sampai saat ini, masyarakat tidak pernah paham berapa kapasitas produksi dan penjualan mangan setiap tahun. Jika saja publik paham informasi seputar pembukuan perusahaan, kalkulasi berapa royalti yang masuk ke kantong daerah bisa dilakukan dengan tepat.


Realitas ini disebut ekonom J. Stiglitz (2002) sebagai asimetri kekuasaan. Artinya, kekuasaan lebih memberi akses mudah kepada pemodal daripada rakyat. Akibatnya, konsesi pertambangan yang bertujuan pembangunan jangka panjang hanya dimenangkan penguasa ekonomi dan gagal mengangkat kesejahteraan rakyat.

Competive advantage


Pemerintah pusat tidak bisa menggeneralisasi semua daerah di Indonesia cocok untuk pertambangan. Maka, pemerintah pusat perlu menyusun strategi pembangunan di daerah berdasarkan keunggulan dan kelemahan setiap daerah (competive advantage).

NTT misalnya, hanya cocok untuk sektor pertanian dan periwisata. Potensi pariwisata di daerah itu sangat besar. Angkat saja Taman Nasional Komodo (Manggarai Barat), Danau Kelimutu (Ende) dan beberapa pesona wisata lainnya.


Investasi pertambangan justru merusak pesona wisata dan sektor pertanian yang sangat potensial bagi kemandirian ekonomi rakyat. Padahal, potensi pariwisata bisa meningkatkan devisa dan mengangkat kesejahteraan rakyat. Tinggal sekarang bagaimana pemerintah lokal menarik minat investor dengan cara mengangkat daya saing melalui pembangunan infrastruktur fisik, seperti transportasi, fasilitas listrik, pengaadaan fasilitas air minum dan prasarana fisik lainnya. *

Pemda Bentuk Badan PPPA

Oleh Thomas Todo Tokan (Aktivis Hak Anak dan Perempuan serta Fasilitator ‘Sekolah’ Jurnalistik Bumi Jaya Course Center)

PENGAURUSUTAMAAN hak anak (PUHA) masih asing bagi mayoritas telinga rakyat NTT. Hal demikian dialami mayoritas kalangan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif: penegak hukum: polisi, jaksa, hakim).

Akibatnya, kalangan pemerintah kurang menjadikan hak anak masuk dalam pengarusutamaan intervensi program pembangunan. Hak anak berada pada urutan sekian saat proyeksi program pembangunan. Jelas, hak anak yang seharusnya dimengerti, dihormati, dilindungi dan dipenuhi kita semua masih jauh dari harapan ideal.


Padahal mutu peradaban suatu bangsa ke depan tergantung dari sejauh mana mutu peningkatan perlindungan dan pemenuhan sedikitnya 31 hak anak hari ini. Sebagai perbandingan, PUHA sudah terintegrasi dalam pembangunan Eropa dan Amerika Serikat sejak tahun 1924 (Deklarasi Genewa tentang Hak Anak diadopsi Liga Bangsa-Bangsa = kini PBB, hasilnya, mereka menjajah kita hari ini hampir di segala lini hidup).


Kita tidak pungkiri banyak anak bernasib baik (terpenuhi kebutuhan: kesehatan, pendidikan; ekonomi; terlindungi dari aneka kekerasan; didengar orang dewasa hingga anak berprestasi diakui tingkat nasional seperti Pemimpim Muda Indonesia Terbaik Nasional 2010 adalah darah NTT, Charles Octavianus B. Seran (Ketua Forum Anak Provinsi/Forap NTT asal SMAN I Kota Kupang) pilihan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A). Anak berprestasi bidang pendidikan atau olahraga dengan meraih medali lomba tingkat nasional.

Juga Revolusi KIA, posyandu bertebaran sampai masifnya kegiatan koperasi serta aneka kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat termasuk lewat Desa Mandiri Anggur Merah dan program nasional pemberdayaan masyarakat.


Selain itu, kita mulai mengenal sekolah ramah anak bersinergi dengan pembelajaran aktif, kreatif, efektif, menyenangkan (PAKEM) dalam bingkai sistem manajemen berbasis sekolah (MBS). Ada kelurahan ramah anak, kota layak anak (Kota Kupang), PAUD. Juga ada forum anak desa-kelurahan, kabupaten/kota dan provinsi. Kampanye: akte kelahiran gratis (Sikka jadi rujukan nasional), ASI eksklusif - periksa kehamilan bulanan.


Aneka intervensi pembangunan tersebut langsung atau tidak langsung turut melindungi dan memenuhi hak-hak anak hingga meningkatkan kualitas anak NTT.

Proses positif ini dialami keluarga yang mampu menjangkau atau terjangkau pelayanan. Anak-anak (usia 18 tahun ke bawah termasuk janin) bernasib baik ini akan lebih bermutu ketika orangtua semakin meningkatkan pemenuhan kebutuhan dan pemda gandakan perlindungannya.

Anak malang

Sayang! Sisi positif anak bernasib baik tersebut berjurang dalam dengan nasib anak-anak malang. Karena itu layak perhatian diutamakan kepada anak malang. Angka bayi baru lahir mati (bersama ibu) - secara nasional - posisi kita di urutan puncak. Anak putus sekolah terus berjubel dan kualitas pendidikan di bagian ekor (mungkin terlalu jujur menentukan kelulusan?).

Pekerja anak aneka bentuk bertebaran (PRT, penolak gerobak, nelayan, buruh bangunan, kondektur, petani, loper koran, pengumpul besi tua/bekas, pengais sampah dll). Remaja puteri tereksploitasi seks dan ekonomi (dalam kota di NTT dan saban pekan dijemput kapal Pelni, pesawat keluar NTT sampai manca negara diperdagangkan, dilacurkan, ketika pulang mereka ditemani HIV/AIDS yang ditularkan saat berkeluarga: teknik genosida diam?). Tetapi para perekrut yang mengaku asal PJTKI hanya dilototi penegak hukum.


Waspadai ‘anak puteri menjadi germo sebaya’ saat jam sekolah dijemput mobil avanza misalnya (awas, jika ke sekolah puteri membawa pakaian ganti). Pelecehan sebaya putera terhadap puteri ‘yang di mata mereka’ untuk beli pulsa pun mulai melanda anak SMP. Apalagi gejolak seks kalangan remaja menuju ke area seks bebas pranikah tidak dihiraukan orangtua.


Derita anak bertambah pilu ketika dari usia SD mereka telah dijajah nikotin = perokok anak amat banyak - penyumbang utama rendahnya indeks kualitas SDM NTT ke depan sekaligus sasaran empuk narkoba. Anak dibiarkan mengendarai roda dua -empat oleh orangtua yang tidak bertanggung jawab. Anak menjadi korban pelaku aneka kasus tapi penegak hukum umumnya belum berperilaku ramah. Ratusan anak dipenjara.


Litani ini masih panjang. Ingat! Bencana anak dan perempuan terjadi setiap detik! (Ironi, bencana alam yang hanya tak tentu terjadi tetapi telah memiliki badan tersendiri ditopang banyak dana). Lihat saja sehari-hari, anak bernasib baik ataupun anak malang selalu mendapat kekerasan fisik (ditempeleng, dijambak, ditendang, dicemeti, berlutut, merayap dan lain-lain akibat semboyan ‘di ujung rotan ada emas’ oleh penjahat yang kini sepakat kita ubah ‘di ujung rotan hanya daging rusak, benci, dendam, trauma’).


Anak alami kekerasan psikis (aneka nama jenis binatang melekat pada diri anak, dikurung; dungu; bebal-bodoh - padahal dari sisi ilmu tidak ada manusia yang bodoh: hanya manusia sudah tahu tapi lupa atau memang belum tahu-; nakal - padahal nakal adalah definisi orang dewasa-; dilototi; diteriaki, kurang-ajar - padahal memang orang dewasa kurang mengajarkan-meneladani yang baik kepada anak. Di lingkup sekolah ditemukan sekitar 17 bentuk kekerasan mulai dari pintu masuk si satpam, penjaga sekolah; teman kelas, kakak kelas dan tentu guru.


Malah tanggung jawab guru membimbing karakter anak pun semakin luntur, tapi bukan sebagai ‘tindak protes’ terhadap UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ini butuh penuntasan praktis MBS dan PAKEM di semua kabupaten agar guru proaktif ubah perilaku kasar ke lembut-ramah. Gulita ini diperparah oleh penyalahgunaan kecanggihan media massa: cetak pun elektronik, HP yang sangat merusak karakter dan masa depan anak-anak karena kita tidak membimbing mereka.
Mengalami dan menghadapi kenyataan ini, siapa yang lebih bertanggung jawab jikalau bukan kita orang dewasa: orangtua, keluarga, lingkungan masyarakat dan terutama pemerintah - pemangku tanggung jawab perlindungan anak?


Kini Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota lewat SKPD terkait kesejahteraan (Dinsos, PPO, Dinkes, Biro P3A, juga Nakertrans dll) bekerja sama dengan berbagai NGO internasional serta mitra lokal = LSM peduli anak telah melakukan aneka kegiatan untuk membantu mengatasi nasib kelam anak-anak malang ini.

Penting Badan P3A

Namun jujur, aneka pengentasan itu belum terlalu menggembirakan ketika kita melihat anak malang semakin hari barisannya bertambah panjang. Selain pemda belum mengerahkan segala daya untuk mengatasinya, tetapi jumlah anak malang terus bertambah banyak. Untuk itu patut pemda bertindak cepat tepat kena sasaran lewat kebijakan pamungkas.


Langkah terurgen, pada perubahan anggaran 2011 ini, Pemda Provinsi NTT membentuk Badan P3A. Nomenklatur biro diganti menjadi badan sehingga implikasi positifnya langsung nyata dan berskala luas baik pendanaan maupun mandat (demikian pun di kabupaten-kota). Jika di tingkat provinsi, kita hanya memiliki SKPD Biro dengan dana amat sangat sedikit, kemalangan anak-anak NTT tetap jaya pada masa datang. Tetapi jika biro diganti badan, ke depan sisi-sisi negatif anak diatasi relatif cepat oleh mandat dan dukungan banyak dana aneka kegiatan, efektif efisien terkoordinasi ‘satu atap’ hingga solid bekerja sama dengan tingkat kabupaten/kota.


Dari pergulatan bidang anak dan perempuan dalam 12 tahun terakhir ini, penulis merekam empat kendala utama yakni sikap kurang peduli, minim dana, lemah koordinasi/koordinator dan mandat SKPD tak menggigit. Sekian banyak SKPD bidang kesejahteraan tersebut mengaku bergerak pada tataran ‘ego sektoral dan berlindung pada tupoksi masing-masing instansinya’. Jelas ketika bermitra dengan pemangku kepentingan bidang anak pun tak terkoordinasi baik, malah bisa tumpang tindih. Tetapi dengan kehadiran Badan P3A tingkat propinsi, aneka kendala itu diobati tuntas lewat program strategis preventif termonitor ‘satu atap’.


Pembentukan Badan P3A ini bukan saja kita mempercepat proses pemenuhan tuntutan MDG’s tahun 2015 di wilayah kita dan dalam rangka menyongsong perayaan tahunan: Hari Anak Internasional (1 Juni), Hari Se-Dunia Menentang Pekerja Anak (12 Juni); Hari Anak Nasional (23 Juli) dan Hari Anak Universal (20 November) serta persiapan tahunan mengirim utusan anak ke Kongres Anak Nasional dan Forum Anak Nasional. Tetapi langkah berani Pemda membentuk Badan P3A, amat strategis yakni percepatan pemerataan peningkatan kualitas anak NTT termasuk misalnya mendorong percepatan Perda Wajib Belajar 12 Tahun, Perda Anti-Pekerja Anak, Perda Anak Anti-Rokok serta pencegahan perdagangan remaja puteri dan sebagainya.


Pasti pemda se-NTT bertekad meningkatkan perlindungan purna terhadap anak-anak NTT, maka Badan P3A jawabannya. Keputusan jawaban ini hanya ada di dada terhormat semua anggota DPRD I bersama Gubernur NTT serta semua anggota DPRD II bersama bupati/walikota yang sedang mengabdi di NTT tercinta ini. Selamat merayakan Hari Se-Dunia Menentang Pekerja Anak: 12 Juni dengan harapan tunggal Pemda membentuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. *

Malaria di Sumbaku

Oleh Aryanti Dewi (Dokter Umum PTT di RS Karitas, Sumba Barat Daya)


MALARIA, memang kata yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Sumba. Dari kalangan buruh yang buta huruf sampai pegawai kantoran memang sudah mengakrabkan telinga mereka dengan kata ‘malaria’. Dan memang tidak dapat dipungkiri, kenyataannya malaria adalah penyakit paling popular di wilayah Indonesia bagian timur, termasuk wilayah Sumba, NTT di dalamnya. Tidak dapat disepelekan begitu saja, karena tak jarang pula penyakit ini berujung pada kematian.


Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa Italia yaitu Mal (buruk), dan Area (udara), atau udara buruk. Penyakit ini juga mempunyai banyak nama, antara lain seperti demam roma, demam rawa, demam tropik, demam pantai, demam changes, demam kura, dan palaudisme (Arlan Prabowo 2004,2).


Kalau dicermati, kata ‘demam’ memang hampir selalu menjadi awal dari kata sebelumnya. Karena itu tidak jarang masyarakat Sumba menginterpretasikan bila seseorang sedang demam, berarti dia sedang dilanda malaria. Anggapan tersebut ada benarnya, karena pada kenyataannya memang gejala yang paling menonjol bila seseorang terjangkit malaria adalah demam yang berkepanjangan.


Malaria


Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat yang disebabkan oleh infeksi parasit. Parasit malaria pada manusia yang menyebabkan malaria adalah plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium ovale dan plasmodium malariae. Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah plasmodium falciparum dan plasmodium vivax atau campuran keduanya, sedangkan plasmodium ovale dan plasmodium malariae pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan negara Timor Leste.


Pada kenyataannya, berdasarkan pengalaman kerja di salah satu RS swasta di Sumba Barat Daya, malaria yang menduduki urutan pertama adalah malaria yang disebabkan oleh plasmodium falciparum, disusul oleh malaria yang disebabkan plasmodium vivax. Malaria oleh karena plasmodium ovale dan malariae pernah ditemukan, namun kejadiannya sangat jarang.


Siklus parasit malaria adalah setelah nyamuk anopheles yang mengandung parasit malaria menggigit manusia, maka keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk ke dalam darah dan jaringan hati. Parasit malaria pada siklus hidupnya, membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati (ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah akan keluar merozoit/kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit (stadium eritrositer), mulai bentuk tropozoit muda sampai sison tua/matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merosoit.


Merosoit sebagian besar masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidup di tubuh nyamuk (stadium sporogoni). Pada lambung nyamuk terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot akan berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, maka keluar sporozoit dan masuk ke kelenjar liur nyamuk yang siap ditularkan ke dalam tubuh manusia.


Khusus plasmodium vivax dan plasmodium ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati, sebagian parasit yang berada di dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnys ke sel eritrosit tetapi tertanam di jaringan hati disebut hipnosoit dan bentuk hipnosoit inilah yang menyebabkan kekambuhan malaria. Pada penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah/sibuk/stres atau perubahan iklim yang ekstrim, maka hipnosoit akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dalam sel hati ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul gejala penyakitnya kembali. Misalnya seseorang yang setahun sebelumnya pernah menderita plasmodium vivax/ovale dan sembuh setelah diobati, suatu saat dia pindah ke daerah bebas malaria, dia mengalami kelelahan/stres, maka gejala malaria akan muncul kembali dan bila diperiksa hapusan darah tebalnya akan positif plasmodium vivax/ovale.


Gejala malaria biasanya berlangsung antara hari ketujuh sampai hari kelima belas setelah terjadi inokulasi oleh nyamuk. Tanda dan gejala malaria bervariasi, akan tetapi umumnya sebagian besar pasien akan menderita demam. Biasanya ditandai dengan serangan yang berulang dari menggigil, demam tinggi, dan berkeringat pada saat turunnya demam, serta perasaan yang tidak nyaman. Tanda dan gejala lainnya adalah sakit kepala, mual, muntah dan diare. Sebagian besar pasien yang terinfeksi plasmodium falciparum yang tidak diterapi dapat dengan cepat terjadinya koma, gagal ginjal, udem pulmonal dan bahkan kematian. Malaria berat sebagian besar selalu disebabkan oleh plasmodium falciparum dan jarang malaria berat disebabkan oleh plasmodium vivax, plasmodium ovale ataupun plasmodium malariae.


Pengobatan


Berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan oleh malaria, maka dapat diberikan antipiretik untuk mencegah hipertermia, parasetamol 15 mg/kgBB/kali, beri setiap 4 jam dan bisa dilakukan kompres hangat. Bila kejang, diberikan antikonvulsan, diazepam 5-10 mg intravena secara perlahan, dapat diulang 15 menit bila masih kejang, namun tidak dapat diberikan lebih dari 100 mg/24 jam. Bila tidak tersedia diazepam, sebagai alternatif dapat dipakai Phenobarbital 100 mg intramuskular (dewasa) diberikan 2x sehari.


Sebagai terapi utama, kina intravena masih merupakan drug of choice untuk malaria berat. Dosisnya 10 mg/kg BB atau 1 ampul (isi 2 ml=500mg) dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5% diberikan selama 8 jam dengan kecepatan konstan 2 ml/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat.

Bila penderita sudah dapat minum, kina intra vena diganti dengan kina tablet/per oral dengan dosis 10 mg/kg BB/kali dosis, pemberian 3x sehari ( dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian infus perdrip yang pertama). Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi dengan akibat tokisitas jantung dan kematian. Bila karena berbagai alasan kina tidak dapat diberikan melalui infus, maka dapat diberikan intra muskular dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing sama dosis pada setiap paha.


Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam parenteral, maka dosis pemeliharaan kina diturunkan 1/3-1/2-nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinis. Dosis maksimum untuk dewasa adalah 2000 mg/hari.


Namun tampaknya masyarakat Sumba mempunyai pola tersendiri terhadap pengobatan malaria. Bila seseorang dilanda demam yang kemudian dilabelkan sebagai malaria, biasanya mereka merebus daun pepaya untuk dimakan. Atau ada juga yang membeli obat malaria yang dijual bebas di toko tanpa resep dokter. Mereka biasanya datang ke pusat pengobatan seperti puskesmas atau rumah sakit bila keadaan sudah parah. Salah satu alasan yang dilontarkan oleh keluarga pasien bila ditanya mengenai pertanggungjawaban atas dibawanya pasien pada keadaan yang sudah parah adalah karena masalah biaya dan transportasi.


Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama dalam bidang kesehatan, maka setidaknya kandidat malaria sebagai penyakit terpopular harus segera dienyahkan. Namun penyelesaiannya tidak segampang membalikkan telapak tangan. Penanganannya harus melibatkan segenap unsur atau bersifat paripurna, hingga kelak Sumba bisa berkata “say no to malaria.” *

Tuesday, June 14, 2011

Membangun Rakyat (Pesan untuk Calon Bupati-Wakil Bupati Lembata)

Oleh Yoseph Arakian Ulanaga Bruno Dasion (Putera Lembata, tinggal di Nagoya-Jepang)

RAKYAT Kabupaten Lembata baru saja menyelesaikan festival demokrasinya yang ketiga dengan melaksanakan pemilu kada.
Sayang, festival politik ini gagal mencapai titik finalnya, dan harus dilanjutkan dengan pemilihan ronde kedua pada tanggal 4 Juli 2011 mendatang. Seluruh rakyat Lembata yang tengah mendambakan pemimpin yang sungguh pemimpin tentu sedang bersiap-siap menyongsong hajatan politik ini. Pasangan manakah yang terpantas menggenggam stir pemerintahan lima tahun ke depan. TITEN atau Lembata Baru?

Suara rakyat pada 4 Juli nanti adalah ‘palu’ teradil. Adakah permainan mediakrasi? Era reformasi yang dibungai dengan suasana perpolitikan yang semakin bebas dan demokratis, ditunjang perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih dan meluas, memudahkan semua calon untuk dapat menyosialisasikan manifestasi politik dan program pembangunannya secara lebih luas dan merakyat. Sehubungan dengan literasi informasi, kita hampir tidak lagi mengenal wilayah pelosok terisolasi yang buta informasi.
Pertalian erat antara transmisi informasi dan sukses politik diterima sebagai sebuah kemestian.
Dalam dunia politik dewasa ini, di mana-mana orang mengenal sebuah kata sakral yang sering didengungkan, yakni ‘mediakrasi’ (kekuasaan atau kekuatan media-massa).
Untuk meraih sukses setiap pasang calon harus piawai memanfaatkan faktor media-massa ini. Calon pasangan yang sanggup menggenggam dan memaksimalkan kekuatan dan pengaruh media-massa (TV, radio, koran, cetak dan cyber, HP dan aparatus informasi elektronik lainnya) akan dengan mudah menambang emas sukses dan meraih takhta kekuasaan politis.
Penguasaan media massa tentu saja punya perselingkuhan mahaerat dengan yang namanya ‘duit’. Di satu pihak, bagi calon yang ingin memanfaatkan pengaruh media massa dalam menyalurkan informasi politiknya kepada masyarakat luas harus yakin betul bahwa ia punya uang di kantong.

Dengan kata lain, yang bisa memanfaatkan media massa sebagai kekuatan berpolitik hanyalah mereka yang punya uang. Sementara itu, di pihak lain pegiat media massa pun tentu tidak akan siap memberikan dukungan bagi para calon hanya untuk mendulang kerugian. Maklumlah, kiprah media massa untuk menyalurkan berbagai informasi bukanlah sekadar sebuah kegiatan voluntir murni.
Hubungan dan kesalingbergantungan pengguna jasa media massa (para calon) dan pegiat media massa berbasis uang ini akan turut mempengaruhi seluruh mekanisme pemilihan, dari musim kampanye hingga hasil akhir pemilihan.
Dalam hal ini, bisa saja terjadi bahwa proses pemilihan tidak membawa hasil sebagaimana yang dikehendaki, karena hati nurani pemilih (rakyat) secara psikologis dipengaruhi oleh sepak terjang media massa, yang bukan tak mungkin, lebih sering mempromosikan/mengekpose calon-calon yang punya uang. Calon yang bisa membayar reklame dan tulisan-tulisan promosi tentang dirinya yang saban hari tampil di halaman-halaman strategis koran. Frekuensi kemunculan di dalam acara-acara utama televisi dan radio, pengiriman pesan-pesan politik melalui SMS atau pajangan baliho-baliho di jalan-jalan kota dan kampung adalah bentuk-bentuk permainan taktis mediakrasi, yang sering membuat pilihan rakyat menjadi tidak obyektif.

Keputusan memilih calon hanya karena menerima SMS darinya, atau hanya karena melihatnya di koran atau TV dan kibar-kibar baliho adalah sebuah bentuk keputusan sentimental dan tidak nyata. Ada rakyat yang mengatakan, “kami memilih calon itu karena pernah dapat SMS dari dia” (yang kirim itu bukan dia, bung, sekretaris atau tim pemenangnya. Tahu?).
Mediakrasi ini tentu saja tidak semata menyangkut ulah media massa, tetapi ada juga media media (sarana) lainnya.
Dalam kesempatan-kesempatan kampanye ada calon yang membagikan uang, ada yang mendatangkan isteri pembesar untuk mempimpin tarian politik di atas pangggung sandiwara politik. Dan, konon, ada serangan fajar pada pagi buta hari pemilihan putaran pertama kali lalu. Dalam pemilihan putaran kedua mendatang, rakyat harus lebih pintar untuk menangkap maksud di balik semua bentuk permainan mediakrasi ini. Bahwa pemimpin yang baik tidak harus ditentukan oleh frekuensi kemunculan seseorang di ruang-ruang media massa. Atau, hanya karena dia membagi beras dan uang.

Kalau ada lagi serangan fajar, maka terimalah uang-uang itu, tetapi buatlah pilihan sesuai suara hatimu. Atau, lebih berani lagi kalau pelaku serangan fajar itu dilaporkan ke pihak penegak hukum sebagai kriminal politik supaya dunia tahu bahwa ia tidak layak menjadi bupati atau wakil bupati. Karena ulah calon yang tidak hanya mencuri suara tetapi lebih daripada itu mencuri hati nurani rakyat, adalah pencuri itu sendiri. Dan tahu saja, kalau pencuri menjadi bupati atau wakil bupati. Kerjanya hanya untuk mencuri.

Tahun lalu, ketika berlibur ke rumah di Lamalera, saya sempat melihat tiga calon bupati (waktu itu belum) datang menghadiri resepsi pernikahan seorang saudara saya pada Sabtu malam, 31 Juli. Tentu saja mereka diundang karena kekerabatannya dengan saudara saya itu, tetapi ada juga aroma politik yang tercium ketika mereka diberi kesempatan berbicara. Saya sempat merekam seluruh isi tuturan dalam orasi politik sederhana malam itu dan akan saya perdengarkan kalau mereka sudah duduk di atas kursi bupati.

Dalam kesempatan itu muncul juga gosip-gosip politik manis (mudah-mudahan hanya gosip) bahwa ada seorang calon bupati, yang konon orang kaya, sudah menghembuskan angin janji ke telinga masyarakat, bahwa dirinya bukanlah calon lapar (yang tidak beruang). Oleh karena itu tujuan menjadi bupati bukanlah untuk memperkaya diri, tetapi untuk memperkaya rakyat.
Bukan saja itu, dari kekayaannya itu dia sudah menyisihkan Rp 250 miliar untuk membangun jalan-jalan di Kabupaten Lembata, khususnya jalur-jalur jalan dari dan ke kantong-kantong perekonomian.
Peristiwa kedua, juga terjadi tahun lalu di Lamalera, pada hari Minggu 8 Agustus. Datanglah segerombolan orang, yang menyebut diri utusan pemerintah kabupaten untuk sebuah kegiatan sosialisasi.
Mereka datang dengan membawa sebuah pick-up penuh muatan bahan-bahan makanan yang direncanakan untuk disiapkan bagi masyarakat yang mengadiri acara tersebut. Ternyata masyarakat menolak tegas rencana sosialisasi dan memerintahkan gerombolan itu untuk meninggalkan tempat sakral Neme Baolangu. Masyarakat marah, bukan hanya karena rencana sosialisasi tersebut, tetapi lebih daripada itu karena petugas pemerintah datang ke desa membawa makanan dan minuman.
Dalam teriakan masyarakat menolak rencana pertemuan itu, terdengar kata-kata umpatan: “bagaimana mungkin tamu datang membawa makanan untuk tuan rumah? Adat kami di Lamalera, biar miskin dan hidup apa adanya, tetapi kalau tamu datang kami siap memberinya makan dan minum. Tindakan petugas pemerintah yang membawa makanan dan minuman untuk menjamu masyarakat yang punya desa adalah sungguh sebuah pelecehan.”

Dari dua peristiwa di atas, saya mau menitipkan pesan bagi bupati dan wakil bupati terpilih nanti. Pertama, jangan membangun Lembata dengan uang pribadi. Yang namanya uang pribadi itu cukuplah Anda pakai untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
Itu hak Anda dan keluarga untuk menggunakannnya secara bebas. Karena dengan menomorsatukan uang pribadi dalam membangun Lembata, sadar atau tidak, Anda sudah membelenggu rakyat untuk menuruti kehendakmu sebagai pemimpin. Dan bukan tidak mungkin, rakyat akan mengidolakan Anda sebagai penyelamat. Hal ini bisa melahirkan sikap permisif dalam diri rakyat terhadap setiap kebijakan Anda, mereka menjadi pasif dan kesadaran kritisnya dimatikan.

Kedua, tujuan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat Lembata, bukanlah dengan membawa raskin atau mengemis dana bantuan dari propinsi dan pusat atau menada hibah surplus kekayaan dari propinsi-propinsi kaya.t Tujuan utama pembangunan seyogyanya adalah pemanusiaan manusia Lembata. Artinya, tugas pemimpin adalah membangun kesadaran rakyat untuk menjadi sejahtera dengan apa yang telah mereka miliki, dengan apa yang ada di dalam kabupaten ini. Rakyat harus dididik untuk memiliki rasa bangga dengan apa yang mereka punyai, bukannya dilatih untuk menjadi aktor-aktris yang pandai menangisi kemiskinannya demi menada tangan dan mulut mengumpulkan tetesan hujan bantuan dari luar wilayahnya.
Membangun mentalitas ‘mengharapkan bantuan’ dari pemerintah dan pihak lain adalah salah satu bentuk pembodohan, yang mengekor pada dehumanisasi yang paling keji. Saban tahun, bila terjadi bencana kelaparan di pulau ini, media massa serentak berseruh ‘Rakyat Lembata lapar dan makan buah kwakak (bakau) dan uta keda (kacang besar)!” Lha, kalau itu bisa dimakan mengapa harus menangis?
Saya jadi kasihan sama buah kwakak yang pernah saya makan bersama guru Pranci, Nabas dan Sius di Kimakama. Saya jadi heran, mengapa uta keda dianaktirikan jadi makanan musim lapar? Padahal banyak orang Lembata yang besar dan jadi orang karena makan uta keda (boooooo, ina-ama, ino-amo, kaka-wajin, luku-rubo, jangan terlalu sombong ka).

Sudah 20-an tahun saya tinggal di Jepang dan satu hal yang membuat saya betah tinggal di negeri asing ini adalah makanannya. Ditilik dari bahan dasar pangan yang dikonsumsi orang Jepang, 100% sama saja dengan apa yang kita punyai di NTT. Bedanya adalah cara pengolahannya.
Pemerintah ke depan harus menggiatkan teknologi gizi; bagaimana mengolah buah kwakak dan uta keda dalam kolaborasi dengan bahan makanan lain agar seimbang, sehat dan bergizi. Jadi tidak sekedar pengisi perut kosong. Kalau ada budget dan kesempatan, bupati dan wakil bupati bisa datang ke Jepang, supaya bisa melihat dengan mata dan hati sendiri, bahwa ternyata Lembata tidak kalah dari Jepang dalam hal pemilikan sumber alam, darat dan laut.

Sebagai orang NTT dan Lembata, tanpa tanggung-tanggung dan sedikit sombong, saya mau menegaskan bahwa alam kita jauh lebih kaya-raya daripada Jepang. Membangun dengan kekuatan sendiri untuk memacu laju pembangunan di wilayah ini, dalam batas tertentu, tentu saja kita masih membutuhkan hibah dana dari pusat dan propinsi. Namun ada baiknya pemerintah daerah bertelanjang diri, bersikap terbuka terhadap rakyatnya dengan menjelaskan seberapa kuatnya pendapatan asli Lembata (PAD), yang tentu saja menunjuk pada pajak daerah (pajak dari rakyat Lembata). Hemat saya, dengan mengetahui kekuatan pembangunan asli daerah ini, pada gilirannya akan membangun kesadaran berusaha rakyat.

Membangun dengan uang rakyat Lembata (APBD Lembata) mengimplikasikan pemahaman berikut ini. Pertama, baik rakyat maupun pemerintah harus sadar untuk mulai membangun dengan kemampuan asli yang terbatas. Kita tidak boleh mengimpikan sebuah Kabupaten Lembata yang makmur hanya dalam batas waktu lima atau sepuluh tahun masa pemerintahan. Kedua, mengutamakan bantuan dari luar, di satu pihak akan memanjakan rakyat.
Rakyat harus diajar untuk mengenal diri, mengenal kondisi riil kabupatennya dan tahu apa yang sedang mereka berikan kepada kabupatennya. Bahwa tugas dan tanggung jawab sebagai rakyat dari sebuah wilayah otonomi yang demokratis adalah tekun bekerja dan rajin bayar pajak, bukan hanya bermain-main dengan demonstrasi dan orasi di jalan-jalan menentang pemerintah yang tidak punya uang untuk membangun.
Ada kesan kuat, bahwa di era reformasi politik dan kehidupan bermasyarakat dewasa ini, banyak orang salah kaprah dan dengan paksa mengidentikkan demokrasi dengan demonstrasi liar-liaran. Meminjam kata-kata John F. Kennedy, “Jangan demonstrasi dan berorasi menanyakan apa yang kabupaten buat untuk Anda, tetapi tanyakan apa yang sedang anda buat untuk kabupaten ini?” *

Resistensi Hakim terhadap Komisi Yudisial

Oleh Josef M.Monteiro, Dosen Hukum FH Universitas Nusa Cendana


BURAMNYA potret penegakan hukum terkait keputusan (vonis) hakim yang tidak sesuai dengan doktrin ilmu hukum kian menjadi sorotan publik. Keadaan ini semakin diperparah dengan perilaku hakim yang terjerat mafia hukum (judicial corruption), sehingga menyebabkan lembaga peradilan tidak independen dan imparsial yang mengakibatkan terjadinya eradikasi hukum, yakni minimnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan aparat penegak hukum.

Praktik hakim 'nakal' yang terjerat mafia peradilan ditengarai telah berlangsung cukup lama dan mengalami peningkatan signifikan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2007-2010), yakni sebanyak 138 hakim 'nakal' (Kompas, 25/3). Dalam tahun 2011 ini saja kita telah dikejutkan lagi dengan peristiwa penangkapan hakim pengawas kepailitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syariffudin, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diduga menerima suap dari Puyuh Wirayan, kurator dalam perkara kepailitan PT. Skycamping Indonesia.

Terungkapnya transaksi penyuapan dalam dunia peradilan menunjukkan upaya Mahkamah Agung untuk mereformasi sistem peradilan belumlah optimal. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri pula bahwa Mahkamah Agung kini terus berupaya menindak para hakimnya yang 'nakal' melalui pemberian sejumlah sanksi. Hal ini terbukti dari adanya Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2010 yang disampaikan kepada publik (24/2), yang menyebutkan setidaknya ada 110 hakim yang dikenai sanksi. Perinciannya, sebanyak 33 hakim dihukum berat, 13 hakim dihukum sedang, dan 64 hakim dihukum ringan. Publikasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini sebagai bagian dari transparansi dan pertanggungjawaban kepada publik atas kinerja hakim, sehingga tidak terkesan Mahkamah Agung menghambat hak publik untuk mengontrol secara langsung kinerja hakim.

Publikasi vonis hakim sangat berpengaruh bagi para pencari keadilan (justisiabelen), hal mana sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh filsuf Inggris, Jeremy Bentham, bahwa 'dalam setiap ketertutupan selalu ada kepentingan yang jahat yang menungganginya. Sepanjang tidak ada keterbukaan, selama itu pula keadilan tidak akan tegak. Hanya dengan keterbukaan, kontrol terhadap segala ketidakadilan dapat dilakukan.'

Meskipun Mahkamah Agung telah memperlihatkan transparansi dalam memberikan sanksi kepada para hakimnya, akan tetapi ironisnya muncul kesan adanya sikap resistensi (perlawanan) hakim terhadap pengawasan dari lembaga lain, yakni Komisi Yudisial yang hendak melakukan pemeriksaan atas diri hakim. Padahal keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga kontrol yang eksternal ini, sebenarnya dimaksudkan untuk mengawasi perilaku hakim sehingga dapat mencegah adanya penyimpangan perilaku hakim. Hal ini dapat dipahami mengingat pengawasan yang dilakukan secara internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung belumlah efektif yang diindikasikan dengan masih merajalelanya mafia hukum. Lantas timbul pertanyaan bagi kita apa yang menyebabkan para hakim resisten terhadap Komisi Yudisial?


Berlindung
Independensi peradilan merupakan keniscayaan untuk menghadirkan peradilan yang bersih sehingga independensi ini merupakan asas universal yang dijunjung oleh setiap negara hukum (recht staat). Pada hakikatnya independensi hakim ini diberikan oleh konstitusi kita (Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945), dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga vonisnya mencerminkan perasaan keadilan masyarakat (Sudikno Mertokusumo: 2010).

Berdasarkan kebebasannya itu hakim dapat berbuat apa saja terhadap seorang terdakwa, asal saja punya dasar hukummya dengan vonis hakim tersebut, apakah ia menghukum seseorang dengan hukuman satu hari, satu bulan, atau dua puluh tahun, atau juga seumur hidup. Dalam hal ini kebebasan hakim diartikan bebas dari pengaruh atau tekanan baik dari dalam maupun luar dirinya (ekstra yudisiil).

Namun demikian, hadirnya independensi hakim ini juga bukan tanpa implikasi negatif karena para hakim 'nakal' kerap menjadikan independensi sebagai tameng. Saat ini atas nama independensi, para hakim 'nakal' justru menyalahgunakan kekuasaannya yang bebas (abuse of power) untuk mengamankan para mafia hukum seperti para koruptor. Sebagai contoh kasus Hakim Syariffudin yang pada tahun 2010 membebaskan terdakwa gubernur non aktif Bengkulu, Agusrin M. Najamudin, dalam kasus korupsi dana pajak bumi dan bangunan senilai Rp 22,5 miliar, dan kasus korupsi lain yang telah dibebaskan oleh para hakim 'nakal'.
Selain vonis bebas yang kerap dijatuhkan oleh hakim dalam kasus korupsi, dewasa ini pun terdapat penilaian bahwa jika hakim menjatuhkan vonis hukuman untuk para koruptor, kerap kali vonisnya ringan atau rendah. Tren makin ringannya vonis untuk perkara korupsi ini diakui pula oleh Mahkamah Agung pada tahun 2010.

Mahkamah Agung merilis selama tahun 2010 vonis kasasi Mahkamah Agung terhadap kasus korupsi, yakni 60,68 persen atau 269 kasus korupsi tergolong vonis ringan; antara 1 dan 2 tahun. Disusul 87 kasus atau 19,68 persen divonis 3-5 tahun. Hanya 13 kasus atau 2,94 persen yang divonis 6-10 tahun. Ada pun yang lebih dari 10 tahun hanya 2 kasus atau 0,45 persen. Tidak ada hukuman mati meskipun Undang-Undang Nomor Tahun 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan untuk itu.

Vonis yang dijatuhkan hakim yang dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat ini mencerminkan independensi hakim yang buruk. Meskipun ilmu hukum secara tegas mengatakan bahwa setiap vonis hakim harus dianggap benar dan dihormati (res judicata pro varitate habetur), akan tetapi vonis hakim pada hakikatnya haruslah mencerminkan keadilan. Bagaimanapun juga sangat penting keadilan dalam kehidupan manusia, sehingga Imanuel Kant mengatakan, "If justice is gone, there is no reason for a man to live longer on earth". Oleh karena itu tidak bisa dikatakan bahwa independennya hakim itu mutlak, karena dalam menjalankan tugasnya hakim dibatasi juga oleh Pancasila dan peraturan perundang-undangan, yang sarat akan nilai-nilai keadilan sebagai bagian hakiki dari moralitas. Bagaimanapun juga hukum itu pada dasarnya, menurut HLA. Hart, dalam bukunya

General Theory of Law and State, meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral, dan aturan. Untuk itu hukum tidak dapat dipisahkan dari nilai moral yang dimanifestasikan dalam bentuk penegakan keadilan.

Dilematis
Kehadiran Komisi Yudisial sebagai lembaga kontrol terhadap para hakim pada awalnya dimaksudkan untuk mengatasi perilaku hakim yang menyimpang karena terjerat mafia hukum. Secara fungsional, Komisi Yudisial hanya bersifat penunjang (auxiliary), akan tetapi kemudian muncul resistensi dari para hakim terhadap keberadaan Komisi Yudisial ini.

Menurut para hakim Komisi Yudisial bukan sebagai lembaga penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of etic). Oleh karena itu maka Komisi Yudisial tidaklah dapat secara hukum memeriksa hakim. Bahkan posisi Komisi Yudisial secara perlahan dilumpuhkan setelah kewenangannya dipangkas melalui putusan judicial review Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU-IV/2006 tertanggal 23 Agustus 2006 yang dibuat berdasarkan permohonan pengujian atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, oleh 30 orang hakim agung. Alasan Mahkamah Konstitusi memangkas berbagai kewenangan Komisi Yudisial karena arena Komisi Yudisial bukan berada di ranah teknis yustisial, melainkan di ranah etika yang kriterianya belum jelas untuk menetapkan standar etika perilaku hakim yang bagaimanakah yang dapat dinilai oleh Komisi Yudisial.

Menghadapi sikap resistensi para hakim ini, maka langkah Komisi Yudisial adalah meningkatkan penegakan kode etik dengan mendesain ulang mekanisme penjatuhan sanksi terhadap hakim yang terbukti melakukan penyimpangan hukum. Untuk itu implementasi atas 10 prinsip dasar kode etik sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial, 8/4/2009, dapat dilakukan jika instrumen hukum tersebut disertai pula dengan ketentuan adanya jaminan bahwa penjatuhan sanksi dengan menggunakan kode etik sebagai dasar acuan, mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Alternatif penegakan kode etik dengan jaminan mempunyai kekuatan hukum yang tetap ini diharapkan dapat mencegah corak berpikir hakim yang positivistik-legalistik, yang biasanya hanya memaknai hukum yang terpaku pada norma hukum tertulis, yakni bunyi pasal-pasal dalam kitab undang-undang sehingga memiliki risiko besar untuk meminggirkan keadilan dan hal ikhwal yang masuk akal (reasonableness) yang diatur dalam kode etik.

Selain itu langkah Komisi Yudisial bekerja sama dengan KPK seperti yang telah dilakukannya selama ini merupakan alternatif yang tepat dan bernilai strategis untuk memecahkan kebuntuan dalam memroses hukum para hakim 'nakal'. Upaya memberantas para hakim 'nakal' melalui kerja sama ini efektif untuk mencegah adanya perlakuan istimewa yang menempatkan hakim 'nakal' bebas dari jangkauan hukum. Prinsip setiap orang sama di depan hukum (equality before the law) harus berlaku pada siapa saja karena merupakan pilar utama dalam negara hukum RI, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. *

Berani Berbicara Makna Pentakosta

Oleh Dr. Paul Budi Kleden (Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores)
SETELAH Yesus mati, para murid diliputi ketakutan. Mereka mengunci diri dalam rumah. Demikian diceritakan dalam Injil Yohanes. Kisah para rasul menuturkan bahwa mereka tetap memisahkan diri dari orang-orang lain sampai hari ke-50 setelah kebangkitan guru dan pemimpin mereka.

Ketakutan biasanya muncul sebab orang tidak merasa cukup yakin bahwa kekuatannya sendiri akan memadai mengatasi tantangan dari lawannya. Para murid Yesus itu takut, sebab di satu pihak mereka yakin akan kebenaran apa yang mereka lihat, dengar dan alami bersama Yesus. Pada pihak lain, ada juga kesadaran bahwa apa yang mereka miliki sebagai orang-orang sederhana dari desa tidak akan memadai menghadapi penolakan dari masyarakat luas.

Lazimnya, di dalam suasana ketakutan, sangat mudah orang melihat semua orang lain di luar kelompoknya sendiri sebagai ancaman. Orang yang takut akan menutup diri, tidak mengambil risiko untuk bergaul dengan orang-orang lain. Orang yang takut menarik garis tegas antara kita dan mereka. Ada tembok pemisah yang dibangun. Karena tidak mau disusupi oleh kelompok lain, orang yang takut sering sangat berhati-hati dalam berkomunikasi.
Mereka membatasi diri dalam berbicara dan membentuk ungkapan khusus hanya dimengerti oleh kalangan sendiri. Bahasa isyarat dikembangkan oleh orang-orang yang takut. Mereka takut rahasianya diketahui, keberadaan mereka dideteksi, perbuatan mereka dipantau. Semakin besar ketakutan, semakin besar pula upaya pemisahan diri dari kelompok lain.

Pada latar belakang seperti ini, Pentakosta menunjukkan sebuah peralihan yang radikal. Peristiwa yang menyertai pencurahan Roh Kudus itu digambarkan sekian dahsyat, sehingga sebuah tempat persembunyian menjadi pusat perhatian semua orang. Ketenangan dan keheningan yang diciptakan untuk tidak mengundang perhatian khalayak, berubah menjadi pusat keramaian. Mereka yang sengaja memisahkan diri dari massa, tiba-tiba menjadi titik sentral perhatian massa. Mereka tampil berbicara, mengungkapkan apa yang menjadi isi keyakinan mereka.
Kini tak ada lagi ketakutan. Mereka dikuatkan oleh Roh, merasa yakin bahwa mereka dapat menghadapi tantangan yang datang dari masyarakat. Roh ini membuat mereka tidak lagi meremehkan apa yang ada pada mereka: pengalaman mereka sendiri.
Bahasa sebagai satu elemen yang menjadi kekuatan isolasi diri mereka, kini tiba-tiba dipahami oleh semua orang yang hadir. Tidak ada lagi komunikasi yang hanya dipahami oleh kelompok sendiri.
Apa yang mereka katakan, dimengerti oleh semua orang dalam bahasa ibunya masing-masing. Oleh kekuatan bahasa seperti ini, ruang sempit mereka sungguh diperluas. Orang mulai memahami mereka, menanggapi mereka bukan lagi sebagai sekelompok orang aneh yang berguru pada seorang aneh. Mereka sanggup menemukan di dalam wajah para pendengar itu orang-orang yang memiliki kerinduan yang sama akan pembebasan. Mereka tidak lagi memandang orang-orang luar sebagai musuh yang mesti dijauhi.

Namun, persatuan ini bukanlah satu bentuk mabuk massal yang membangkitkan emosi tanpa isi. Peristiwa Pentakosta bukanlah satu momen psikologisasi massa yang tenggelam dalam satu emosi, seperti massa kampanye yang dihipnotis oleh artis dadakan yang bergoyang ria. Mereka dikumpulkan karena iman yang diwartakan secara lantang dan jelas.
Tali yang mempersatukan mereka didefinisikan secara terang: iman akan keberpihakan Allah kepada manusia khususnya yang miskin dan menderita sebagaimana nyata di dalam diri Yesus Kristus. Allah yang berpihak pada manusia untuk menyelamatkan manusia, itulah inti yang menggerakkan mereka untuk dikumpulkan dalam satu komunitas. Mereka dikumpulkan karena ada sebuah dasar dan tujuan bersama. Dan mereka berbicara secara berani tentang dasar dan tujuan bersama tersebut.

Orang-orang Kristen yang merayakan Pentakosta mestinya menyadari karunia dan panggilan untuk berani berbicara secara jelas dan lantang tentang apa yang benar dan membongkar apa yang salah. Roh Kudus yang dirayakan secara istimewa pada hari ke-50 setelah kebangkitan Yesus adalah RohNya, yang mengajarkan dan mengingatkan apa yang telah dihidupi dan diajarkan oleh Yesus agar orang-orang Kristen sungguh dapat menjadi pengikut Kristus yang setia.
Seperti Yesus, Roh ini menempatkan orang-orang Kristen di tengah masyarakat untuk menjadi suara yang menyingkapkan kebobrokan dan menunjukkan arah perubahan. Kekudusan yang dibawa Roh ini bukanlah pemisahan. Ini adalah sebuah pembalikan, sebab dalam pemahaman biasa kekudusan sering dimengerti sebagai yang dipisahkan dan dibedakan dari yang profan. Yang kudus adalah yang dikhususnya, yang tak tercemar dan tak bercela.

Karena pemahaman tentang kekudusan sebagai pemisahan, maka banyak orang Kristen merasa baru mememuhi panggilan kepada kekudusan kalau mereka pun memisahkan diri dari dunia dan memasang punggung terhadap persoalan kemasyarakatan. Iman dihayati sebagai sesuatu yang tidak bersentuhan dengan dunia.
Untuk memperkuat kekudusan dan kesatuannya dengan Tuhan, mereka memisahkan diri dari manusia lain dan masuk ke dalam tempat keramat, tempat yang dianggap merupakan tempat tinggal Allah. Tidak mustahil, dengan ini mereka mewartakan Allah yang jauh dari manusia, memberi kesan Allah yang angker bagi dunia dan manusia. Palang penghalang hubungan manusia dengan Allah hanya diperjelas tetapi tidak dibongkar.

Tidak jarang pula terjadi, orang Kristen berusaha memenuhi kewajiban imannya dalam kekhusukan ritual, namun dia menjadi pemeras yang tanpa nurani dari masyarakat dan kekayaan alam. Pemisahan ruang kudus dan ruang profan membuat daya kritis iman diredam dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Itulah sebabnya, wilayah yang mayoritas penduduknya orang-orang Kristen yang masih memiliki rasa bersalah kalau tidak menghadiri ibadat pada hari Minggu, korupsi dan budaya kekerasan tidak kunjung berkurang.

Dihadapkan pada model penghayatan kekudusan seperti ini, kehidupan Kristus menampilkan satu pemahaman yang sungguh lain. Dalam Yesus, sang Kristus, Allah sendiri menyerahkan diriNya kepada manusia dan mendamaikan umat manusia dengan diriNya.
Di sinilah terletak inti pembalikan segala peraturan agama. Kristus justru keluar dari kekhususanNya dan masuk ke dalam dunia manusia dan sejarahnya. Dia mencabik tirai pemisah antara Yang Ilahi dan yang insani, antara ruang kudus atau keramat dan ruang umat manusia yang berdosa (bdk Mat 27:51). Yesus Kristus adalah saksi bahwa Allah justru masuk ke dalam tempat kutukan, tempat yang paling berlawanan dengan tempat keramat. Di sanalah Ia mempersem-bahkan diriNya sebagai korban, dibuang dan terkutuk, namun bersatu dengan Bapa dalam ketaatan dan kepasrahan yang tiada bandingan, yang masih bisa menjembatani jurang sedalam itu.

Yesus memperkenalkan Allah yang turun ke dalam dunia dan menerima dunia sampai ke dasarnya yang terdalam dan terjahat. Allah sungguh mencari manusia, sampai ke tempat yang paling terkutuk. Sebab itu semua model lama, segala macam usaha untuk naik dari dunia ini kepada Allah dengan meninggalkan manusia berdosa dan rakyat jelata tidak berlaku lagi.
Sekarang segala jalan kepada Allah mesti melalui Golgota sebagai jurang cinta Allah kepada manusia berdosa. Allah telah turun ke tengah manusia, maka kita hanya menemukan Dia di tengah kehidupan dan perjuangan manusia. Bersatu dengan sesama manusia berarti bersatu dengan Allah dan sebaliknya dipisahkan atau memisahkan diri dari sesama manusia berarti terpisah dari Allah. Sesama kita dalam situasi apa pun adalah tempat keramat baru. Mereka adalah sakramen, di mana kita bisa bertemu dengan Allah.

Tanggung jawab terhadap manusia, khususnya mereka yang martabatnya direndahkan karena terpaksa hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi, mestinya mendorong orang-orang Kristen untuk meninggalkan rasa takutnya dan mulai berbicara melawan berbagai perilaku individu dan sistem politik, ekonomi, budaya serta agama yang menyengsarakan banyak warga. Seperti para murid Yesus, orang-orang Kristen mesti keluar dari benteng rasa nyaman yang dibangunnya untuk dirinya sendiri.

Dewasa ini tampaknya semakin diperlukan keberanian untuk berbicara secara lantang dan jelas. Hanya dengan cara ini berbagai kebohongan, kamuflase dan koalisi kejahatan dapat dibongkar.
Apabila orang berbicara secara berani tentang apa yang penting dan mendesak untuk kehidupan bersama, maka warga dan umat akan tahu dan menangkap dengan jelas apa yang selama ini ditutup-tutupi. Apa yang biasanya dipraktikkan dalam ruang tertutup dengan menggunakan bahasa isyarat yang hanya dipahami orang dalam, dibuka secara terang-terangan kepada publik dengan bahasa yang lugas.

Berbagai praktik penyalahgunaan uang dan kekuasaan yang tampaknya telah membiasa dan diakrabi dalam lingkaran tertentu, dapat menjadi konsumsi publik. Nama baik yang selama ini hendak dipertahankan dengan banyak cara, menjadi tercoreng ketika ada yang berani menyebut nama itu sebagai salah seorang penerima bantuan sosial, padahal dia mestinya merupakan orang lebih pantas memberikan bantuan. Program yang selama ini dijual dengan argumen yang populis, ternyata hanya merupakan kamuflase dari rencana besar memperkaya diri dan para kroni.
Tokoh yang sering mendapat kepercayaan lembaga agama tiba-tiba merasa dipermalukan ketika namanya tertulis pada daftar orang-orang yang meminta bantuan negara untuk menghadiri wisuda anaknya, padahal dia adalah pejabat tinggi yang bergaji tinggi dengan setumpuk tunjangan dan fee halal dan tidak halal. Paket calon pemimpin yang menampilkan wajah yang bersahabat dengan slogan yang ramah lingkungan dan cinta budaya, sebenarnya adalah perpanjangan tangan pengusaha tambang yang rakus keuntungan dan tidak punya kepedulian apa pun terhadap lingkungan dan budaya warga setempat.

Warga yang merayakan Roh Kudus mesti berbicara, juga ketika terdengar ada an-caman yang bisa datang dalam berbagai bentuk.
Pada saat lembaga perwakilan rak-yat hanya berteriak sekadar untuk menaik-kan posisi tawarnya dalam negosiasi pro-yek, tidak ada pilihan lain daripada suara tegas dan jelas dari warga. Ketika panitia khusus yang dibentuk oleh para wakil rak-yat yang tajam bersuara pada awal namun kemudian melempem karena mendapat berbagai perlakuan khusus, keutuhan demokrasi hanya bisa disandarkan pada keberanian warga untuk bersuara. Kalau para pakar yang selama ini terkenal rajin bersuara kritis dan pedas, tiba-tiba diam malah menyatakan sikap membela sebuah dugaan korupsi besar-besaran, maka rakyat mesti kembali sadar akan kedaulatannya dan memperdengarkan suara.

Berani berbicara dan membuka kebo-brokan merupakan sebuah langkah pemur-nian, kendati terasa tidak menyenangkan pada awalnya. Relasi pribadi dan hubungan pribadi dapat menjadi renggang. Orang yang merasa wajahnya tertampar pasti tidak mudah menerima dengan lapang dada pengungkapan kasus kejahatannya. Saking tidak menyenangkan, tidak mustahil pejabat yang sedang menjadi sorotan publik, mem-bawa berkas kasusnya ke lembaga peradil-an, yang sangat boleh jadi dikiranya lebih mudah dikendalikannya.
Atau, pejabat ter-sebut menggunakan relasinya dengan para tokoh agama untuk menegur dan mendiam-kan para petugas agama yang setia pada panggilan kenabiannya dan menyuarakan secara lantang perlawanan terhadap praktik-praktik penyimpangan. Walaupun demikian, konsistensi dalam bersuara pada akhirnya akan membebaskan.

Pentakosta ditandai oleh kelantangan para murid Yesus berbicara di tengah Kota Yerusalem tentang apa yang benar dan apa yang tidak adil. Mereka berani mencerca kasus persekongkolan para penguasa politik dan pembesar agama. Keberanian dan kelantangan ini masih tetap diperlukan dewasa ini. *

Rebut, Sekali Lagi Rebut

Oleh Yoseph G Lema (Novelis, warga Kota Kupang)

SAAT kita sedih karena tak memiliki uang untuk membeli beras, sayuran, lombok, garam, bahkan ubi lapuk, patut diduga semua itu akibat ulah koruptor. Ketika kita cemas, gelisah dan takut karena tak mampu membayar rekening listrik, air dan telepon, yakinlah itu pun mungkin saja dampak dari sadisnya sepak terjang koruptor.
Ketika kita menangis karena tak sanggup membayar biaya sekolah anak-anak, membeli seragam dan alat tulis mereka, ini pun bisa jadi akibat brengseknya para koruptor. Dan ketika kita pasrah menunggu ajal akibat tak sanggup membayar biaya rumah sakit, dokter, bidan, dukun atau orang pintar, bukan tak mungkin ini pun akibat kerakusan koruptor.

Media cetak dan elektronik memberitakan sadisnya perampokan bersenjata, pencurian, copet, mencuri dengan cara hipnotis, bobol mesin ATM, perkelahian antargeng memperebutkan wilayah kekuasaan ekonomi jalanan, penodongan, curanmor, penipuan melalui telepon, gizi buruk, busung lapar, narkotika, miras, judi, jual diri, jual martabat, jual nurani, jual jiwa, jual semuanya, ini pun diyakini sebagai dampak dari kerakusan koruptor.
Demikian pula dengan jalan-jalan rusak di bawah umur teknis, bendungan jebol, jembatan layang ambrol, gedung-gedung runtuh, saluran drainase pecah, jatuhnya pesawat udara, gagal tanam, gagal panen, ketiadaan pupuk dan pestisida, ketiadaan air bersih, hutan-hutan gundul, bencana banjir, bencana alam, semuanya disinyalir akibat ganasnya keserakahan koruptor.
Ilustrasi di atas memperlihatkan Indonesia sebagai negerinya para koruptor. Sarang koruptor. Seluruh denyut kehidupan didominasi hembusan nafas koruptor.
Udara yang mengisi langit di atas nusantara dari Sabang sampai Merauke seolah terbentuk dari bau busuk tarikan nafas koruptor. Koruptor bahkan telah menjadi darah, daging, otot, tulang, saraf dan jantung republik ini. Mereka beranak pinak, membibit virus korupsi dalam diri setiap anak bangsa. Kapan saja, di mana saja virus korupsi menjangkiti seantero negeri.
Dengan gampang kita bisa mengenali para koruptor. Penampilannya selalu menarik. Duit banyak, busana mahal, rumah mewah, mobilnya pasti bagus. Nafas dan tubuhnya wangi. Para penjilat memuji kentut si koruptor, katanya wangi, menebar aroma uang.
Di ujung tanduk
Kita salah satu negara terkorup di dunia. Hukum diperjualbelikan. Si miskin dilindas, ditindas. Kecewa dan sakit hati meradang.
Amuk massa di mana-mana. Neraka jahanam di depan mata. Api menyala, membakar nilai-nilai. Kebaikan, kejujuran, ketulusan, kesucian diberangus. Persatuan retak, sebagian pecah, bahkan hancur berkeping-keping. Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika seperti cawan di ujung tanduk. Oleng, terombang-ambing tak karuan. Sekiranya jatuh, pasti hancur, berantakan, berserakan, berdarah-darah dari Sabang sampai Merauke.

Negeri ini di ujung tanduk. Sekarat, menanti ajal. Masing-masing mulai berkemas. Berjaga-jaga, bila hari itu tiba. Hari naas, bermandi darah dan air mata. Namun, pemudanya masih sibuk berdemo. Masih doyan bermain-main di jalan. Bawa spanduk, plakat, poster, karikatur, sambil menghujat, caci maki lewat pengeras suara. Kemudian bakar ban, bakar aspal, bakar mobil, bakar gedung, bakar nilai-nilai, bakar jiwa, bakar diri, bakar semuanya.

Ternyata visi pemuda kita masih seperti zaman doeloe. Seperti zaman Orde Lama dan Orde Baru. Bisanya cuma jalan bergerombol, berdemo, caci maki, lempar batu dan bakar-bakaran. Malah sebagian berdemo karena dibayar koruptor. Mati-matian membela dan melindungi kepentingan koruptor dan keluarganya. Ironis. Negara sudah bangkrut, pemudanya masih berada di jalan yang salah. Negara di ujung tanduk, pemudanya masih berhamba, menjilat dan menetek pada koruptor.
Rebut
Masih relevankah pemuda turun ke jalan? Masih pantaskah pemuda berdemo, berteriak-teriak, mencaci maki dan bakar-bakaran? Masih pantaskah pemuda saling lempar batu dengan aparat keamanan? Dan terbunuh?
Dalam kondisi negeri serba kacau-balau seperti sekarang sudah saatnya pemuda mengubah haluan perjuangan. Pemuda tidak boleh lagi hanya sekadar menjadi alat. Sebab kondisi republik hari ini menuntut Pemuda tampil sebagai penyelamat dalam artian sebenarnya. Bangsa dan negara ini membutuhkan pemuda sebagai pembuat sejarah baru.

Suka atau tidak suka, pemuda harus mengambil peran sebagai lokomotif perubahan. Hari ini juga, pemuda harus keluar dari jalan raya, sebab disana terbuki tidak memberikan jalan keluar bagi perbaikan nasib bangsa ini.
Berhentilah berbangga karena telah menggulingkan rezim Orde Lama di bawah kepemimpinan Bung Karno pada tahun 1965 silam, yang nyatanya hanya melahirkan rezim Orde Baru yang sama buruknya. Berhentilah menepuk dada karena telah menggulingkan rezim Orde Baru dibawa kepemimpinan Pak Harto pada tahun 1998 silam yang ternyata hanya melahirkan Orde Reformasi yang kebusukannya melebihi dua orde sebelumnya.
Sekali lagi, berhentilah bermain-main di jalan raya.
Berhentilah menggadaikan nyawamu untuk sesuatu yang sia-sia. Hari ini juga, sekarang juga, rebutlah kekuasaan itu. Sudah lama rakyat menunggu tampilnya pemuda sebagai juru selamat. Selamatkan negeri ini dari cengkraman tangan kuat para koruptor. Mereka ada di mana-mana, tiap saat menghisap darah rakyat. Daging, darah dan belulang jelata dijadikan lauknya.

Karena itu, visi pemuda hari ini: Rebut. Sekali lagi, rebut dan rebut. Nyanyikan itu dengan lantang, teriakkan itu kepada angkasa raya. Katakan kepada langit, awan, bintang, matahari, hujan, guntur, kilat, laut, sungai, gunung-gunung dan bumi tempat berpijak, bahwa hari ini kami bertobat. Tobat. Hari ini kami menanggung dosa orang tua kami, leluhur kami, nenek moyang kami yang telah bersalah pada Ilahi, pada alam semesta, pada jagad raya dan bangsa ini. Bersalah pada nurani yang suci, tulus dan putih. Bersalah pada Ibu Pertiwi.
Walikota atau bupati
Indonesia sudah rusak. Ibarat ikan, busuknya dari kepala sampai ekor. Saat ini ‘ikan busuk itu’ mulai hancur dalam genggaman kolaborasi penguasa dan pengusaha. Dari pusat sampai ke daerah-daerah telah terjadi ‘perkawinan jahat’ antara penguasa dan pengusaha. Karenanya, tidak mungkin kita memperbaiki Indonesia dimulai dari pusat. Kenapa? Karena di pusat bukan masalah saja yang melilit bagai benang kusut, tapi kepentingan pun minta ampun kusutnya.

Itu sebabnya, pemuda tak perlu rebut kursi presiden. Tidak penting. Tak perlu merebut kursi menteri. Lebih tak penting. Tak perlu merebut kursi dirjen atau juru bicara. Itu hanya sekadar gaga-gagahan dan membuang-buang waktu. Tak perlu juga merebut kursi gubernur. Kurang penting. Yang harus direbut hari ini, saat ini juga adalah kursi bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Rebut, rebut, rebut. Hari ini, saat ini juga pemuda harus rebut.

Kenapa? Karena otonomi daerah ada di kabupaten/kota. Pemuda mempunyai peluang untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa ini dengan menggunakan teori ‘bubur panas’. Kita memperbaiki bangsa ini dari pinggiran. Dari kabupaten/kota. Yang pasti luas wilayah kabupaten/kota kecil.
Jumlah penduduk pun sedikit. Bila pemuda di suatu kabupaten/kota bersatu padu, berkomitmen mensejaherakan rakyat di daerahnya, yakinlah seluruh rakyat pasti bangkit, bahkan dengan segala kemampuan yang ada akan mendukung. Melalui jalur independen pasangan pemuda berpeluang memenangkan kursi bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Pemuda harus berani memulai, yakinlah rakyat pasti berdiri tepat di belakang kalian.

Kenapa jalur independen? Karena inilah pintu rakyat. Pintu yang bersih. Pintu yang memancarkan energi positip. Pintu lainnya, maaf, sekali lagi maaf, karena aromanya sungguh tak sedap dan tak memberi sedikit pun harapan bagi perbaikan bangsa ini. Dalam jangka panjang pintu-pintu kotor dan busuk ini pun harus direbut dan dibersihkan dari penyakit kotor warisan koruptor.
Musa
Lantas siapakah pemuda itu? Banyak kriteria bisa diperdebatkan. Namun yakinlah pemuda yang saat ini dibutuhkan adalah pemuda yang memiliki kepekaan plus terhadap rakyat. Seperti kisah Musa pada Perjanjian Lama. Musa yang muda belia begitu gelisah hatinya ketika melihat penderitaan bangsanya.
Penderitaan orangtuanya, sanak keluarganya, kaum kerabatnya. Dengan bimbingan Tuhan akhirnya Musa menerima tanggung jawab membawa bangsanya menuju Tanah Terjanji. Empat puluh tahun lamanya mereka berkelana di padang gurun. Akhirnya sampai ke Tanah Terjanji yang bermandikan madu dan susu.

Pemuda seperti itulah yang kini dibutuhkan bangsa ini. Pemuda pemberani, cerdas, bermoral, jiwanya dipenuhi Roh Kudus. Yaitu pemuda yang sedang berada pada usia emas, lelaki atau perempuan, berusia antara 25 sampai 35 tahun. Karena inilah usia yang luar biasa, usia energik dan sarat idealisme. Pada usia ini ada semangat, gairah dan ambisi luar biasa untuk mencetak sejarah baru. Kita butuh pemuda yang mampu membuat sejarah kebaikan bagi bangsanya, bagi daerahnya, bagi tumpah darahnya tercinta.

Karena itu, bila skenario ini bisa dilaksanakan pada hari ini, maka 40 tahun (empat dasawarsa) berselang, ketika lima puluh persen (50 %) dari kabupaten/kota yang dipimpin pemuda mengalami perbaikan, maka yakinlah Indonesia sudah berubah. Bangsa ini sudah berada pada rel menuju kejayaan.
Wariskan yang benar
Kesalahan apa yang dilakukan Indonesia kemarin dan hari ini? Banyak. Salahnya teramat sangat banyak, sampai-sampai tak bisa dihitung. Kasus Bank Century, rekening gendut Polri, Anggodo, BLBI, ilegal loging, Gayus Tambunan, uang palsu dan masih seabrek kasus lainnya hanya merupakan sedikit contoh. Namun kesalahan paling fatal, ketika para pemimpin bangsa ini dari generasi ke generasi gagal mewariskan yang benar kepada generasi berikutnya.

Para pemimpin kita selalu mewariskan yang salah. Selama puluhan tahun para pemimpin bangsa ini berjalan di atas rel kebohongan. Bohong telah menjadi hal yang biasa bagi pejabat di republik ini. Dan semua orang menerimanya sebagai kewajaran, tak kecuali pemuda. Kebohongan berulang dari generasi ke generasi.
Karena itu, mata rantai pewarisan kebohongan harus diputus.
Tugas pemuda hari ini dan besok adalah memutuskan mata rantai itu. Pemuda harus menjadi cahaya yang mewariskan terang kebenaran. Urusan pemerintahan harus ditata secara benar. Urusan politik pun harus diramu dan dimasak dalam belanga nurani kebenaran. Urusan uang harus dikelolah dengan jujur.
Semua harus berjalan di atas rambu-rambu etika, moral, kejujuran dan kebenaran. Nilai-nilai kebaikan inilah yang harus ditumbuh kembangkan di dalam diri setiap anak bangsa, di dalam setiap rumah tangga negeri ini. *