Tuesday, June 14, 2011

Resistensi Hakim terhadap Komisi Yudisial

Oleh Josef M.Monteiro, Dosen Hukum FH Universitas Nusa Cendana


BURAMNYA potret penegakan hukum terkait keputusan (vonis) hakim yang tidak sesuai dengan doktrin ilmu hukum kian menjadi sorotan publik. Keadaan ini semakin diperparah dengan perilaku hakim yang terjerat mafia hukum (judicial corruption), sehingga menyebabkan lembaga peradilan tidak independen dan imparsial yang mengakibatkan terjadinya eradikasi hukum, yakni minimnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan aparat penegak hukum.

Praktik hakim 'nakal' yang terjerat mafia peradilan ditengarai telah berlangsung cukup lama dan mengalami peningkatan signifikan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2007-2010), yakni sebanyak 138 hakim 'nakal' (Kompas, 25/3). Dalam tahun 2011 ini saja kita telah dikejutkan lagi dengan peristiwa penangkapan hakim pengawas kepailitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syariffudin, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diduga menerima suap dari Puyuh Wirayan, kurator dalam perkara kepailitan PT. Skycamping Indonesia.

Terungkapnya transaksi penyuapan dalam dunia peradilan menunjukkan upaya Mahkamah Agung untuk mereformasi sistem peradilan belumlah optimal. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri pula bahwa Mahkamah Agung kini terus berupaya menindak para hakimnya yang 'nakal' melalui pemberian sejumlah sanksi. Hal ini terbukti dari adanya Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2010 yang disampaikan kepada publik (24/2), yang menyebutkan setidaknya ada 110 hakim yang dikenai sanksi. Perinciannya, sebanyak 33 hakim dihukum berat, 13 hakim dihukum sedang, dan 64 hakim dihukum ringan. Publikasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini sebagai bagian dari transparansi dan pertanggungjawaban kepada publik atas kinerja hakim, sehingga tidak terkesan Mahkamah Agung menghambat hak publik untuk mengontrol secara langsung kinerja hakim.

Publikasi vonis hakim sangat berpengaruh bagi para pencari keadilan (justisiabelen), hal mana sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh filsuf Inggris, Jeremy Bentham, bahwa 'dalam setiap ketertutupan selalu ada kepentingan yang jahat yang menungganginya. Sepanjang tidak ada keterbukaan, selama itu pula keadilan tidak akan tegak. Hanya dengan keterbukaan, kontrol terhadap segala ketidakadilan dapat dilakukan.'

Meskipun Mahkamah Agung telah memperlihatkan transparansi dalam memberikan sanksi kepada para hakimnya, akan tetapi ironisnya muncul kesan adanya sikap resistensi (perlawanan) hakim terhadap pengawasan dari lembaga lain, yakni Komisi Yudisial yang hendak melakukan pemeriksaan atas diri hakim. Padahal keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga kontrol yang eksternal ini, sebenarnya dimaksudkan untuk mengawasi perilaku hakim sehingga dapat mencegah adanya penyimpangan perilaku hakim. Hal ini dapat dipahami mengingat pengawasan yang dilakukan secara internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung belumlah efektif yang diindikasikan dengan masih merajalelanya mafia hukum. Lantas timbul pertanyaan bagi kita apa yang menyebabkan para hakim resisten terhadap Komisi Yudisial?


Berlindung
Independensi peradilan merupakan keniscayaan untuk menghadirkan peradilan yang bersih sehingga independensi ini merupakan asas universal yang dijunjung oleh setiap negara hukum (recht staat). Pada hakikatnya independensi hakim ini diberikan oleh konstitusi kita (Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945), dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga vonisnya mencerminkan perasaan keadilan masyarakat (Sudikno Mertokusumo: 2010).

Berdasarkan kebebasannya itu hakim dapat berbuat apa saja terhadap seorang terdakwa, asal saja punya dasar hukummya dengan vonis hakim tersebut, apakah ia menghukum seseorang dengan hukuman satu hari, satu bulan, atau dua puluh tahun, atau juga seumur hidup. Dalam hal ini kebebasan hakim diartikan bebas dari pengaruh atau tekanan baik dari dalam maupun luar dirinya (ekstra yudisiil).

Namun demikian, hadirnya independensi hakim ini juga bukan tanpa implikasi negatif karena para hakim 'nakal' kerap menjadikan independensi sebagai tameng. Saat ini atas nama independensi, para hakim 'nakal' justru menyalahgunakan kekuasaannya yang bebas (abuse of power) untuk mengamankan para mafia hukum seperti para koruptor. Sebagai contoh kasus Hakim Syariffudin yang pada tahun 2010 membebaskan terdakwa gubernur non aktif Bengkulu, Agusrin M. Najamudin, dalam kasus korupsi dana pajak bumi dan bangunan senilai Rp 22,5 miliar, dan kasus korupsi lain yang telah dibebaskan oleh para hakim 'nakal'.
Selain vonis bebas yang kerap dijatuhkan oleh hakim dalam kasus korupsi, dewasa ini pun terdapat penilaian bahwa jika hakim menjatuhkan vonis hukuman untuk para koruptor, kerap kali vonisnya ringan atau rendah. Tren makin ringannya vonis untuk perkara korupsi ini diakui pula oleh Mahkamah Agung pada tahun 2010.

Mahkamah Agung merilis selama tahun 2010 vonis kasasi Mahkamah Agung terhadap kasus korupsi, yakni 60,68 persen atau 269 kasus korupsi tergolong vonis ringan; antara 1 dan 2 tahun. Disusul 87 kasus atau 19,68 persen divonis 3-5 tahun. Hanya 13 kasus atau 2,94 persen yang divonis 6-10 tahun. Ada pun yang lebih dari 10 tahun hanya 2 kasus atau 0,45 persen. Tidak ada hukuman mati meskipun Undang-Undang Nomor Tahun 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan untuk itu.

Vonis yang dijatuhkan hakim yang dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat ini mencerminkan independensi hakim yang buruk. Meskipun ilmu hukum secara tegas mengatakan bahwa setiap vonis hakim harus dianggap benar dan dihormati (res judicata pro varitate habetur), akan tetapi vonis hakim pada hakikatnya haruslah mencerminkan keadilan. Bagaimanapun juga sangat penting keadilan dalam kehidupan manusia, sehingga Imanuel Kant mengatakan, "If justice is gone, there is no reason for a man to live longer on earth". Oleh karena itu tidak bisa dikatakan bahwa independennya hakim itu mutlak, karena dalam menjalankan tugasnya hakim dibatasi juga oleh Pancasila dan peraturan perundang-undangan, yang sarat akan nilai-nilai keadilan sebagai bagian hakiki dari moralitas. Bagaimanapun juga hukum itu pada dasarnya, menurut HLA. Hart, dalam bukunya

General Theory of Law and State, meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral, dan aturan. Untuk itu hukum tidak dapat dipisahkan dari nilai moral yang dimanifestasikan dalam bentuk penegakan keadilan.

Dilematis
Kehadiran Komisi Yudisial sebagai lembaga kontrol terhadap para hakim pada awalnya dimaksudkan untuk mengatasi perilaku hakim yang menyimpang karena terjerat mafia hukum. Secara fungsional, Komisi Yudisial hanya bersifat penunjang (auxiliary), akan tetapi kemudian muncul resistensi dari para hakim terhadap keberadaan Komisi Yudisial ini.

Menurut para hakim Komisi Yudisial bukan sebagai lembaga penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of etic). Oleh karena itu maka Komisi Yudisial tidaklah dapat secara hukum memeriksa hakim. Bahkan posisi Komisi Yudisial secara perlahan dilumpuhkan setelah kewenangannya dipangkas melalui putusan judicial review Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU-IV/2006 tertanggal 23 Agustus 2006 yang dibuat berdasarkan permohonan pengujian atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, oleh 30 orang hakim agung. Alasan Mahkamah Konstitusi memangkas berbagai kewenangan Komisi Yudisial karena arena Komisi Yudisial bukan berada di ranah teknis yustisial, melainkan di ranah etika yang kriterianya belum jelas untuk menetapkan standar etika perilaku hakim yang bagaimanakah yang dapat dinilai oleh Komisi Yudisial.

Menghadapi sikap resistensi para hakim ini, maka langkah Komisi Yudisial adalah meningkatkan penegakan kode etik dengan mendesain ulang mekanisme penjatuhan sanksi terhadap hakim yang terbukti melakukan penyimpangan hukum. Untuk itu implementasi atas 10 prinsip dasar kode etik sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial, 8/4/2009, dapat dilakukan jika instrumen hukum tersebut disertai pula dengan ketentuan adanya jaminan bahwa penjatuhan sanksi dengan menggunakan kode etik sebagai dasar acuan, mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Alternatif penegakan kode etik dengan jaminan mempunyai kekuatan hukum yang tetap ini diharapkan dapat mencegah corak berpikir hakim yang positivistik-legalistik, yang biasanya hanya memaknai hukum yang terpaku pada norma hukum tertulis, yakni bunyi pasal-pasal dalam kitab undang-undang sehingga memiliki risiko besar untuk meminggirkan keadilan dan hal ikhwal yang masuk akal (reasonableness) yang diatur dalam kode etik.

Selain itu langkah Komisi Yudisial bekerja sama dengan KPK seperti yang telah dilakukannya selama ini merupakan alternatif yang tepat dan bernilai strategis untuk memecahkan kebuntuan dalam memroses hukum para hakim 'nakal'. Upaya memberantas para hakim 'nakal' melalui kerja sama ini efektif untuk mencegah adanya perlakuan istimewa yang menempatkan hakim 'nakal' bebas dari jangkauan hukum. Prinsip setiap orang sama di depan hukum (equality before the law) harus berlaku pada siapa saja karena merupakan pilar utama dalam negara hukum RI, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. *

No comments: