Tuesday, June 14, 2011

Berani Berbicara Makna Pentakosta

Oleh Dr. Paul Budi Kleden (Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores)
SETELAH Yesus mati, para murid diliputi ketakutan. Mereka mengunci diri dalam rumah. Demikian diceritakan dalam Injil Yohanes. Kisah para rasul menuturkan bahwa mereka tetap memisahkan diri dari orang-orang lain sampai hari ke-50 setelah kebangkitan guru dan pemimpin mereka.

Ketakutan biasanya muncul sebab orang tidak merasa cukup yakin bahwa kekuatannya sendiri akan memadai mengatasi tantangan dari lawannya. Para murid Yesus itu takut, sebab di satu pihak mereka yakin akan kebenaran apa yang mereka lihat, dengar dan alami bersama Yesus. Pada pihak lain, ada juga kesadaran bahwa apa yang mereka miliki sebagai orang-orang sederhana dari desa tidak akan memadai menghadapi penolakan dari masyarakat luas.

Lazimnya, di dalam suasana ketakutan, sangat mudah orang melihat semua orang lain di luar kelompoknya sendiri sebagai ancaman. Orang yang takut akan menutup diri, tidak mengambil risiko untuk bergaul dengan orang-orang lain. Orang yang takut menarik garis tegas antara kita dan mereka. Ada tembok pemisah yang dibangun. Karena tidak mau disusupi oleh kelompok lain, orang yang takut sering sangat berhati-hati dalam berkomunikasi.
Mereka membatasi diri dalam berbicara dan membentuk ungkapan khusus hanya dimengerti oleh kalangan sendiri. Bahasa isyarat dikembangkan oleh orang-orang yang takut. Mereka takut rahasianya diketahui, keberadaan mereka dideteksi, perbuatan mereka dipantau. Semakin besar ketakutan, semakin besar pula upaya pemisahan diri dari kelompok lain.

Pada latar belakang seperti ini, Pentakosta menunjukkan sebuah peralihan yang radikal. Peristiwa yang menyertai pencurahan Roh Kudus itu digambarkan sekian dahsyat, sehingga sebuah tempat persembunyian menjadi pusat perhatian semua orang. Ketenangan dan keheningan yang diciptakan untuk tidak mengundang perhatian khalayak, berubah menjadi pusat keramaian. Mereka yang sengaja memisahkan diri dari massa, tiba-tiba menjadi titik sentral perhatian massa. Mereka tampil berbicara, mengungkapkan apa yang menjadi isi keyakinan mereka.
Kini tak ada lagi ketakutan. Mereka dikuatkan oleh Roh, merasa yakin bahwa mereka dapat menghadapi tantangan yang datang dari masyarakat. Roh ini membuat mereka tidak lagi meremehkan apa yang ada pada mereka: pengalaman mereka sendiri.
Bahasa sebagai satu elemen yang menjadi kekuatan isolasi diri mereka, kini tiba-tiba dipahami oleh semua orang yang hadir. Tidak ada lagi komunikasi yang hanya dipahami oleh kelompok sendiri.
Apa yang mereka katakan, dimengerti oleh semua orang dalam bahasa ibunya masing-masing. Oleh kekuatan bahasa seperti ini, ruang sempit mereka sungguh diperluas. Orang mulai memahami mereka, menanggapi mereka bukan lagi sebagai sekelompok orang aneh yang berguru pada seorang aneh. Mereka sanggup menemukan di dalam wajah para pendengar itu orang-orang yang memiliki kerinduan yang sama akan pembebasan. Mereka tidak lagi memandang orang-orang luar sebagai musuh yang mesti dijauhi.

Namun, persatuan ini bukanlah satu bentuk mabuk massal yang membangkitkan emosi tanpa isi. Peristiwa Pentakosta bukanlah satu momen psikologisasi massa yang tenggelam dalam satu emosi, seperti massa kampanye yang dihipnotis oleh artis dadakan yang bergoyang ria. Mereka dikumpulkan karena iman yang diwartakan secara lantang dan jelas.
Tali yang mempersatukan mereka didefinisikan secara terang: iman akan keberpihakan Allah kepada manusia khususnya yang miskin dan menderita sebagaimana nyata di dalam diri Yesus Kristus. Allah yang berpihak pada manusia untuk menyelamatkan manusia, itulah inti yang menggerakkan mereka untuk dikumpulkan dalam satu komunitas. Mereka dikumpulkan karena ada sebuah dasar dan tujuan bersama. Dan mereka berbicara secara berani tentang dasar dan tujuan bersama tersebut.

Orang-orang Kristen yang merayakan Pentakosta mestinya menyadari karunia dan panggilan untuk berani berbicara secara jelas dan lantang tentang apa yang benar dan membongkar apa yang salah. Roh Kudus yang dirayakan secara istimewa pada hari ke-50 setelah kebangkitan Yesus adalah RohNya, yang mengajarkan dan mengingatkan apa yang telah dihidupi dan diajarkan oleh Yesus agar orang-orang Kristen sungguh dapat menjadi pengikut Kristus yang setia.
Seperti Yesus, Roh ini menempatkan orang-orang Kristen di tengah masyarakat untuk menjadi suara yang menyingkapkan kebobrokan dan menunjukkan arah perubahan. Kekudusan yang dibawa Roh ini bukanlah pemisahan. Ini adalah sebuah pembalikan, sebab dalam pemahaman biasa kekudusan sering dimengerti sebagai yang dipisahkan dan dibedakan dari yang profan. Yang kudus adalah yang dikhususnya, yang tak tercemar dan tak bercela.

Karena pemahaman tentang kekudusan sebagai pemisahan, maka banyak orang Kristen merasa baru mememuhi panggilan kepada kekudusan kalau mereka pun memisahkan diri dari dunia dan memasang punggung terhadap persoalan kemasyarakatan. Iman dihayati sebagai sesuatu yang tidak bersentuhan dengan dunia.
Untuk memperkuat kekudusan dan kesatuannya dengan Tuhan, mereka memisahkan diri dari manusia lain dan masuk ke dalam tempat keramat, tempat yang dianggap merupakan tempat tinggal Allah. Tidak mustahil, dengan ini mereka mewartakan Allah yang jauh dari manusia, memberi kesan Allah yang angker bagi dunia dan manusia. Palang penghalang hubungan manusia dengan Allah hanya diperjelas tetapi tidak dibongkar.

Tidak jarang pula terjadi, orang Kristen berusaha memenuhi kewajiban imannya dalam kekhusukan ritual, namun dia menjadi pemeras yang tanpa nurani dari masyarakat dan kekayaan alam. Pemisahan ruang kudus dan ruang profan membuat daya kritis iman diredam dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Itulah sebabnya, wilayah yang mayoritas penduduknya orang-orang Kristen yang masih memiliki rasa bersalah kalau tidak menghadiri ibadat pada hari Minggu, korupsi dan budaya kekerasan tidak kunjung berkurang.

Dihadapkan pada model penghayatan kekudusan seperti ini, kehidupan Kristus menampilkan satu pemahaman yang sungguh lain. Dalam Yesus, sang Kristus, Allah sendiri menyerahkan diriNya kepada manusia dan mendamaikan umat manusia dengan diriNya.
Di sinilah terletak inti pembalikan segala peraturan agama. Kristus justru keluar dari kekhususanNya dan masuk ke dalam dunia manusia dan sejarahnya. Dia mencabik tirai pemisah antara Yang Ilahi dan yang insani, antara ruang kudus atau keramat dan ruang umat manusia yang berdosa (bdk Mat 27:51). Yesus Kristus adalah saksi bahwa Allah justru masuk ke dalam tempat kutukan, tempat yang paling berlawanan dengan tempat keramat. Di sanalah Ia mempersem-bahkan diriNya sebagai korban, dibuang dan terkutuk, namun bersatu dengan Bapa dalam ketaatan dan kepasrahan yang tiada bandingan, yang masih bisa menjembatani jurang sedalam itu.

Yesus memperkenalkan Allah yang turun ke dalam dunia dan menerima dunia sampai ke dasarnya yang terdalam dan terjahat. Allah sungguh mencari manusia, sampai ke tempat yang paling terkutuk. Sebab itu semua model lama, segala macam usaha untuk naik dari dunia ini kepada Allah dengan meninggalkan manusia berdosa dan rakyat jelata tidak berlaku lagi.
Sekarang segala jalan kepada Allah mesti melalui Golgota sebagai jurang cinta Allah kepada manusia berdosa. Allah telah turun ke tengah manusia, maka kita hanya menemukan Dia di tengah kehidupan dan perjuangan manusia. Bersatu dengan sesama manusia berarti bersatu dengan Allah dan sebaliknya dipisahkan atau memisahkan diri dari sesama manusia berarti terpisah dari Allah. Sesama kita dalam situasi apa pun adalah tempat keramat baru. Mereka adalah sakramen, di mana kita bisa bertemu dengan Allah.

Tanggung jawab terhadap manusia, khususnya mereka yang martabatnya direndahkan karena terpaksa hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi, mestinya mendorong orang-orang Kristen untuk meninggalkan rasa takutnya dan mulai berbicara melawan berbagai perilaku individu dan sistem politik, ekonomi, budaya serta agama yang menyengsarakan banyak warga. Seperti para murid Yesus, orang-orang Kristen mesti keluar dari benteng rasa nyaman yang dibangunnya untuk dirinya sendiri.

Dewasa ini tampaknya semakin diperlukan keberanian untuk berbicara secara lantang dan jelas. Hanya dengan cara ini berbagai kebohongan, kamuflase dan koalisi kejahatan dapat dibongkar.
Apabila orang berbicara secara berani tentang apa yang penting dan mendesak untuk kehidupan bersama, maka warga dan umat akan tahu dan menangkap dengan jelas apa yang selama ini ditutup-tutupi. Apa yang biasanya dipraktikkan dalam ruang tertutup dengan menggunakan bahasa isyarat yang hanya dipahami orang dalam, dibuka secara terang-terangan kepada publik dengan bahasa yang lugas.

Berbagai praktik penyalahgunaan uang dan kekuasaan yang tampaknya telah membiasa dan diakrabi dalam lingkaran tertentu, dapat menjadi konsumsi publik. Nama baik yang selama ini hendak dipertahankan dengan banyak cara, menjadi tercoreng ketika ada yang berani menyebut nama itu sebagai salah seorang penerima bantuan sosial, padahal dia mestinya merupakan orang lebih pantas memberikan bantuan. Program yang selama ini dijual dengan argumen yang populis, ternyata hanya merupakan kamuflase dari rencana besar memperkaya diri dan para kroni.
Tokoh yang sering mendapat kepercayaan lembaga agama tiba-tiba merasa dipermalukan ketika namanya tertulis pada daftar orang-orang yang meminta bantuan negara untuk menghadiri wisuda anaknya, padahal dia adalah pejabat tinggi yang bergaji tinggi dengan setumpuk tunjangan dan fee halal dan tidak halal. Paket calon pemimpin yang menampilkan wajah yang bersahabat dengan slogan yang ramah lingkungan dan cinta budaya, sebenarnya adalah perpanjangan tangan pengusaha tambang yang rakus keuntungan dan tidak punya kepedulian apa pun terhadap lingkungan dan budaya warga setempat.

Warga yang merayakan Roh Kudus mesti berbicara, juga ketika terdengar ada an-caman yang bisa datang dalam berbagai bentuk.
Pada saat lembaga perwakilan rak-yat hanya berteriak sekadar untuk menaik-kan posisi tawarnya dalam negosiasi pro-yek, tidak ada pilihan lain daripada suara tegas dan jelas dari warga. Ketika panitia khusus yang dibentuk oleh para wakil rak-yat yang tajam bersuara pada awal namun kemudian melempem karena mendapat berbagai perlakuan khusus, keutuhan demokrasi hanya bisa disandarkan pada keberanian warga untuk bersuara. Kalau para pakar yang selama ini terkenal rajin bersuara kritis dan pedas, tiba-tiba diam malah menyatakan sikap membela sebuah dugaan korupsi besar-besaran, maka rakyat mesti kembali sadar akan kedaulatannya dan memperdengarkan suara.

Berani berbicara dan membuka kebo-brokan merupakan sebuah langkah pemur-nian, kendati terasa tidak menyenangkan pada awalnya. Relasi pribadi dan hubungan pribadi dapat menjadi renggang. Orang yang merasa wajahnya tertampar pasti tidak mudah menerima dengan lapang dada pengungkapan kasus kejahatannya. Saking tidak menyenangkan, tidak mustahil pejabat yang sedang menjadi sorotan publik, mem-bawa berkas kasusnya ke lembaga peradil-an, yang sangat boleh jadi dikiranya lebih mudah dikendalikannya.
Atau, pejabat ter-sebut menggunakan relasinya dengan para tokoh agama untuk menegur dan mendiam-kan para petugas agama yang setia pada panggilan kenabiannya dan menyuarakan secara lantang perlawanan terhadap praktik-praktik penyimpangan. Walaupun demikian, konsistensi dalam bersuara pada akhirnya akan membebaskan.

Pentakosta ditandai oleh kelantangan para murid Yesus berbicara di tengah Kota Yerusalem tentang apa yang benar dan apa yang tidak adil. Mereka berani mencerca kasus persekongkolan para penguasa politik dan pembesar agama. Keberanian dan kelantangan ini masih tetap diperlukan dewasa ini. *

No comments: