Tuesday, June 14, 2011

Membangun Rakyat (Pesan untuk Calon Bupati-Wakil Bupati Lembata)

Oleh Yoseph Arakian Ulanaga Bruno Dasion (Putera Lembata, tinggal di Nagoya-Jepang)

RAKYAT Kabupaten Lembata baru saja menyelesaikan festival demokrasinya yang ketiga dengan melaksanakan pemilu kada.
Sayang, festival politik ini gagal mencapai titik finalnya, dan harus dilanjutkan dengan pemilihan ronde kedua pada tanggal 4 Juli 2011 mendatang. Seluruh rakyat Lembata yang tengah mendambakan pemimpin yang sungguh pemimpin tentu sedang bersiap-siap menyongsong hajatan politik ini. Pasangan manakah yang terpantas menggenggam stir pemerintahan lima tahun ke depan. TITEN atau Lembata Baru?

Suara rakyat pada 4 Juli nanti adalah ‘palu’ teradil. Adakah permainan mediakrasi? Era reformasi yang dibungai dengan suasana perpolitikan yang semakin bebas dan demokratis, ditunjang perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih dan meluas, memudahkan semua calon untuk dapat menyosialisasikan manifestasi politik dan program pembangunannya secara lebih luas dan merakyat. Sehubungan dengan literasi informasi, kita hampir tidak lagi mengenal wilayah pelosok terisolasi yang buta informasi.
Pertalian erat antara transmisi informasi dan sukses politik diterima sebagai sebuah kemestian.
Dalam dunia politik dewasa ini, di mana-mana orang mengenal sebuah kata sakral yang sering didengungkan, yakni ‘mediakrasi’ (kekuasaan atau kekuatan media-massa).
Untuk meraih sukses setiap pasang calon harus piawai memanfaatkan faktor media-massa ini. Calon pasangan yang sanggup menggenggam dan memaksimalkan kekuatan dan pengaruh media-massa (TV, radio, koran, cetak dan cyber, HP dan aparatus informasi elektronik lainnya) akan dengan mudah menambang emas sukses dan meraih takhta kekuasaan politis.
Penguasaan media massa tentu saja punya perselingkuhan mahaerat dengan yang namanya ‘duit’. Di satu pihak, bagi calon yang ingin memanfaatkan pengaruh media massa dalam menyalurkan informasi politiknya kepada masyarakat luas harus yakin betul bahwa ia punya uang di kantong.

Dengan kata lain, yang bisa memanfaatkan media massa sebagai kekuatan berpolitik hanyalah mereka yang punya uang. Sementara itu, di pihak lain pegiat media massa pun tentu tidak akan siap memberikan dukungan bagi para calon hanya untuk mendulang kerugian. Maklumlah, kiprah media massa untuk menyalurkan berbagai informasi bukanlah sekadar sebuah kegiatan voluntir murni.
Hubungan dan kesalingbergantungan pengguna jasa media massa (para calon) dan pegiat media massa berbasis uang ini akan turut mempengaruhi seluruh mekanisme pemilihan, dari musim kampanye hingga hasil akhir pemilihan.
Dalam hal ini, bisa saja terjadi bahwa proses pemilihan tidak membawa hasil sebagaimana yang dikehendaki, karena hati nurani pemilih (rakyat) secara psikologis dipengaruhi oleh sepak terjang media massa, yang bukan tak mungkin, lebih sering mempromosikan/mengekpose calon-calon yang punya uang. Calon yang bisa membayar reklame dan tulisan-tulisan promosi tentang dirinya yang saban hari tampil di halaman-halaman strategis koran. Frekuensi kemunculan di dalam acara-acara utama televisi dan radio, pengiriman pesan-pesan politik melalui SMS atau pajangan baliho-baliho di jalan-jalan kota dan kampung adalah bentuk-bentuk permainan taktis mediakrasi, yang sering membuat pilihan rakyat menjadi tidak obyektif.

Keputusan memilih calon hanya karena menerima SMS darinya, atau hanya karena melihatnya di koran atau TV dan kibar-kibar baliho adalah sebuah bentuk keputusan sentimental dan tidak nyata. Ada rakyat yang mengatakan, “kami memilih calon itu karena pernah dapat SMS dari dia” (yang kirim itu bukan dia, bung, sekretaris atau tim pemenangnya. Tahu?).
Mediakrasi ini tentu saja tidak semata menyangkut ulah media massa, tetapi ada juga media media (sarana) lainnya.
Dalam kesempatan-kesempatan kampanye ada calon yang membagikan uang, ada yang mendatangkan isteri pembesar untuk mempimpin tarian politik di atas pangggung sandiwara politik. Dan, konon, ada serangan fajar pada pagi buta hari pemilihan putaran pertama kali lalu. Dalam pemilihan putaran kedua mendatang, rakyat harus lebih pintar untuk menangkap maksud di balik semua bentuk permainan mediakrasi ini. Bahwa pemimpin yang baik tidak harus ditentukan oleh frekuensi kemunculan seseorang di ruang-ruang media massa. Atau, hanya karena dia membagi beras dan uang.

Kalau ada lagi serangan fajar, maka terimalah uang-uang itu, tetapi buatlah pilihan sesuai suara hatimu. Atau, lebih berani lagi kalau pelaku serangan fajar itu dilaporkan ke pihak penegak hukum sebagai kriminal politik supaya dunia tahu bahwa ia tidak layak menjadi bupati atau wakil bupati. Karena ulah calon yang tidak hanya mencuri suara tetapi lebih daripada itu mencuri hati nurani rakyat, adalah pencuri itu sendiri. Dan tahu saja, kalau pencuri menjadi bupati atau wakil bupati. Kerjanya hanya untuk mencuri.

Tahun lalu, ketika berlibur ke rumah di Lamalera, saya sempat melihat tiga calon bupati (waktu itu belum) datang menghadiri resepsi pernikahan seorang saudara saya pada Sabtu malam, 31 Juli. Tentu saja mereka diundang karena kekerabatannya dengan saudara saya itu, tetapi ada juga aroma politik yang tercium ketika mereka diberi kesempatan berbicara. Saya sempat merekam seluruh isi tuturan dalam orasi politik sederhana malam itu dan akan saya perdengarkan kalau mereka sudah duduk di atas kursi bupati.

Dalam kesempatan itu muncul juga gosip-gosip politik manis (mudah-mudahan hanya gosip) bahwa ada seorang calon bupati, yang konon orang kaya, sudah menghembuskan angin janji ke telinga masyarakat, bahwa dirinya bukanlah calon lapar (yang tidak beruang). Oleh karena itu tujuan menjadi bupati bukanlah untuk memperkaya diri, tetapi untuk memperkaya rakyat.
Bukan saja itu, dari kekayaannya itu dia sudah menyisihkan Rp 250 miliar untuk membangun jalan-jalan di Kabupaten Lembata, khususnya jalur-jalur jalan dari dan ke kantong-kantong perekonomian.
Peristiwa kedua, juga terjadi tahun lalu di Lamalera, pada hari Minggu 8 Agustus. Datanglah segerombolan orang, yang menyebut diri utusan pemerintah kabupaten untuk sebuah kegiatan sosialisasi.
Mereka datang dengan membawa sebuah pick-up penuh muatan bahan-bahan makanan yang direncanakan untuk disiapkan bagi masyarakat yang mengadiri acara tersebut. Ternyata masyarakat menolak tegas rencana sosialisasi dan memerintahkan gerombolan itu untuk meninggalkan tempat sakral Neme Baolangu. Masyarakat marah, bukan hanya karena rencana sosialisasi tersebut, tetapi lebih daripada itu karena petugas pemerintah datang ke desa membawa makanan dan minuman.
Dalam teriakan masyarakat menolak rencana pertemuan itu, terdengar kata-kata umpatan: “bagaimana mungkin tamu datang membawa makanan untuk tuan rumah? Adat kami di Lamalera, biar miskin dan hidup apa adanya, tetapi kalau tamu datang kami siap memberinya makan dan minum. Tindakan petugas pemerintah yang membawa makanan dan minuman untuk menjamu masyarakat yang punya desa adalah sungguh sebuah pelecehan.”

Dari dua peristiwa di atas, saya mau menitipkan pesan bagi bupati dan wakil bupati terpilih nanti. Pertama, jangan membangun Lembata dengan uang pribadi. Yang namanya uang pribadi itu cukuplah Anda pakai untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
Itu hak Anda dan keluarga untuk menggunakannnya secara bebas. Karena dengan menomorsatukan uang pribadi dalam membangun Lembata, sadar atau tidak, Anda sudah membelenggu rakyat untuk menuruti kehendakmu sebagai pemimpin. Dan bukan tidak mungkin, rakyat akan mengidolakan Anda sebagai penyelamat. Hal ini bisa melahirkan sikap permisif dalam diri rakyat terhadap setiap kebijakan Anda, mereka menjadi pasif dan kesadaran kritisnya dimatikan.

Kedua, tujuan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat Lembata, bukanlah dengan membawa raskin atau mengemis dana bantuan dari propinsi dan pusat atau menada hibah surplus kekayaan dari propinsi-propinsi kaya.t Tujuan utama pembangunan seyogyanya adalah pemanusiaan manusia Lembata. Artinya, tugas pemimpin adalah membangun kesadaran rakyat untuk menjadi sejahtera dengan apa yang telah mereka miliki, dengan apa yang ada di dalam kabupaten ini. Rakyat harus dididik untuk memiliki rasa bangga dengan apa yang mereka punyai, bukannya dilatih untuk menjadi aktor-aktris yang pandai menangisi kemiskinannya demi menada tangan dan mulut mengumpulkan tetesan hujan bantuan dari luar wilayahnya.
Membangun mentalitas ‘mengharapkan bantuan’ dari pemerintah dan pihak lain adalah salah satu bentuk pembodohan, yang mengekor pada dehumanisasi yang paling keji. Saban tahun, bila terjadi bencana kelaparan di pulau ini, media massa serentak berseruh ‘Rakyat Lembata lapar dan makan buah kwakak (bakau) dan uta keda (kacang besar)!” Lha, kalau itu bisa dimakan mengapa harus menangis?
Saya jadi kasihan sama buah kwakak yang pernah saya makan bersama guru Pranci, Nabas dan Sius di Kimakama. Saya jadi heran, mengapa uta keda dianaktirikan jadi makanan musim lapar? Padahal banyak orang Lembata yang besar dan jadi orang karena makan uta keda (boooooo, ina-ama, ino-amo, kaka-wajin, luku-rubo, jangan terlalu sombong ka).

Sudah 20-an tahun saya tinggal di Jepang dan satu hal yang membuat saya betah tinggal di negeri asing ini adalah makanannya. Ditilik dari bahan dasar pangan yang dikonsumsi orang Jepang, 100% sama saja dengan apa yang kita punyai di NTT. Bedanya adalah cara pengolahannya.
Pemerintah ke depan harus menggiatkan teknologi gizi; bagaimana mengolah buah kwakak dan uta keda dalam kolaborasi dengan bahan makanan lain agar seimbang, sehat dan bergizi. Jadi tidak sekedar pengisi perut kosong. Kalau ada budget dan kesempatan, bupati dan wakil bupati bisa datang ke Jepang, supaya bisa melihat dengan mata dan hati sendiri, bahwa ternyata Lembata tidak kalah dari Jepang dalam hal pemilikan sumber alam, darat dan laut.

Sebagai orang NTT dan Lembata, tanpa tanggung-tanggung dan sedikit sombong, saya mau menegaskan bahwa alam kita jauh lebih kaya-raya daripada Jepang. Membangun dengan kekuatan sendiri untuk memacu laju pembangunan di wilayah ini, dalam batas tertentu, tentu saja kita masih membutuhkan hibah dana dari pusat dan propinsi. Namun ada baiknya pemerintah daerah bertelanjang diri, bersikap terbuka terhadap rakyatnya dengan menjelaskan seberapa kuatnya pendapatan asli Lembata (PAD), yang tentu saja menunjuk pada pajak daerah (pajak dari rakyat Lembata). Hemat saya, dengan mengetahui kekuatan pembangunan asli daerah ini, pada gilirannya akan membangun kesadaran berusaha rakyat.

Membangun dengan uang rakyat Lembata (APBD Lembata) mengimplikasikan pemahaman berikut ini. Pertama, baik rakyat maupun pemerintah harus sadar untuk mulai membangun dengan kemampuan asli yang terbatas. Kita tidak boleh mengimpikan sebuah Kabupaten Lembata yang makmur hanya dalam batas waktu lima atau sepuluh tahun masa pemerintahan. Kedua, mengutamakan bantuan dari luar, di satu pihak akan memanjakan rakyat.
Rakyat harus diajar untuk mengenal diri, mengenal kondisi riil kabupatennya dan tahu apa yang sedang mereka berikan kepada kabupatennya. Bahwa tugas dan tanggung jawab sebagai rakyat dari sebuah wilayah otonomi yang demokratis adalah tekun bekerja dan rajin bayar pajak, bukan hanya bermain-main dengan demonstrasi dan orasi di jalan-jalan menentang pemerintah yang tidak punya uang untuk membangun.
Ada kesan kuat, bahwa di era reformasi politik dan kehidupan bermasyarakat dewasa ini, banyak orang salah kaprah dan dengan paksa mengidentikkan demokrasi dengan demonstrasi liar-liaran. Meminjam kata-kata John F. Kennedy, “Jangan demonstrasi dan berorasi menanyakan apa yang kabupaten buat untuk Anda, tetapi tanyakan apa yang sedang anda buat untuk kabupaten ini?” *

0 komentar: