Friday, June 17, 2011

Malaria di Sumbaku

Oleh Aryanti Dewi (Dokter Umum PTT di RS Karitas, Sumba Barat Daya)


MALARIA, memang kata yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Sumba. Dari kalangan buruh yang buta huruf sampai pegawai kantoran memang sudah mengakrabkan telinga mereka dengan kata ‘malaria’. Dan memang tidak dapat dipungkiri, kenyataannya malaria adalah penyakit paling popular di wilayah Indonesia bagian timur, termasuk wilayah Sumba, NTT di dalamnya. Tidak dapat disepelekan begitu saja, karena tak jarang pula penyakit ini berujung pada kematian.


Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa Italia yaitu Mal (buruk), dan Area (udara), atau udara buruk. Penyakit ini juga mempunyai banyak nama, antara lain seperti demam roma, demam rawa, demam tropik, demam pantai, demam changes, demam kura, dan palaudisme (Arlan Prabowo 2004,2).


Kalau dicermati, kata ‘demam’ memang hampir selalu menjadi awal dari kata sebelumnya. Karena itu tidak jarang masyarakat Sumba menginterpretasikan bila seseorang sedang demam, berarti dia sedang dilanda malaria. Anggapan tersebut ada benarnya, karena pada kenyataannya memang gejala yang paling menonjol bila seseorang terjangkit malaria adalah demam yang berkepanjangan.


Malaria


Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat yang disebabkan oleh infeksi parasit. Parasit malaria pada manusia yang menyebabkan malaria adalah plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium ovale dan plasmodium malariae. Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah plasmodium falciparum dan plasmodium vivax atau campuran keduanya, sedangkan plasmodium ovale dan plasmodium malariae pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan negara Timor Leste.


Pada kenyataannya, berdasarkan pengalaman kerja di salah satu RS swasta di Sumba Barat Daya, malaria yang menduduki urutan pertama adalah malaria yang disebabkan oleh plasmodium falciparum, disusul oleh malaria yang disebabkan plasmodium vivax. Malaria oleh karena plasmodium ovale dan malariae pernah ditemukan, namun kejadiannya sangat jarang.


Siklus parasit malaria adalah setelah nyamuk anopheles yang mengandung parasit malaria menggigit manusia, maka keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk ke dalam darah dan jaringan hati. Parasit malaria pada siklus hidupnya, membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati (ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah akan keluar merozoit/kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit (stadium eritrositer), mulai bentuk tropozoit muda sampai sison tua/matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merosoit.


Merosoit sebagian besar masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidup di tubuh nyamuk (stadium sporogoni). Pada lambung nyamuk terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot akan berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, maka keluar sporozoit dan masuk ke kelenjar liur nyamuk yang siap ditularkan ke dalam tubuh manusia.


Khusus plasmodium vivax dan plasmodium ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati, sebagian parasit yang berada di dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnys ke sel eritrosit tetapi tertanam di jaringan hati disebut hipnosoit dan bentuk hipnosoit inilah yang menyebabkan kekambuhan malaria. Pada penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah/sibuk/stres atau perubahan iklim yang ekstrim, maka hipnosoit akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dalam sel hati ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul gejala penyakitnya kembali. Misalnya seseorang yang setahun sebelumnya pernah menderita plasmodium vivax/ovale dan sembuh setelah diobati, suatu saat dia pindah ke daerah bebas malaria, dia mengalami kelelahan/stres, maka gejala malaria akan muncul kembali dan bila diperiksa hapusan darah tebalnya akan positif plasmodium vivax/ovale.


Gejala malaria biasanya berlangsung antara hari ketujuh sampai hari kelima belas setelah terjadi inokulasi oleh nyamuk. Tanda dan gejala malaria bervariasi, akan tetapi umumnya sebagian besar pasien akan menderita demam. Biasanya ditandai dengan serangan yang berulang dari menggigil, demam tinggi, dan berkeringat pada saat turunnya demam, serta perasaan yang tidak nyaman. Tanda dan gejala lainnya adalah sakit kepala, mual, muntah dan diare. Sebagian besar pasien yang terinfeksi plasmodium falciparum yang tidak diterapi dapat dengan cepat terjadinya koma, gagal ginjal, udem pulmonal dan bahkan kematian. Malaria berat sebagian besar selalu disebabkan oleh plasmodium falciparum dan jarang malaria berat disebabkan oleh plasmodium vivax, plasmodium ovale ataupun plasmodium malariae.


Pengobatan


Berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan oleh malaria, maka dapat diberikan antipiretik untuk mencegah hipertermia, parasetamol 15 mg/kgBB/kali, beri setiap 4 jam dan bisa dilakukan kompres hangat. Bila kejang, diberikan antikonvulsan, diazepam 5-10 mg intravena secara perlahan, dapat diulang 15 menit bila masih kejang, namun tidak dapat diberikan lebih dari 100 mg/24 jam. Bila tidak tersedia diazepam, sebagai alternatif dapat dipakai Phenobarbital 100 mg intramuskular (dewasa) diberikan 2x sehari.


Sebagai terapi utama, kina intravena masih merupakan drug of choice untuk malaria berat. Dosisnya 10 mg/kg BB atau 1 ampul (isi 2 ml=500mg) dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5% diberikan selama 8 jam dengan kecepatan konstan 2 ml/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat.

Bila penderita sudah dapat minum, kina intra vena diganti dengan kina tablet/per oral dengan dosis 10 mg/kg BB/kali dosis, pemberian 3x sehari ( dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian infus perdrip yang pertama). Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi dengan akibat tokisitas jantung dan kematian. Bila karena berbagai alasan kina tidak dapat diberikan melalui infus, maka dapat diberikan intra muskular dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing sama dosis pada setiap paha.


Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam parenteral, maka dosis pemeliharaan kina diturunkan 1/3-1/2-nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinis. Dosis maksimum untuk dewasa adalah 2000 mg/hari.


Namun tampaknya masyarakat Sumba mempunyai pola tersendiri terhadap pengobatan malaria. Bila seseorang dilanda demam yang kemudian dilabelkan sebagai malaria, biasanya mereka merebus daun pepaya untuk dimakan. Atau ada juga yang membeli obat malaria yang dijual bebas di toko tanpa resep dokter. Mereka biasanya datang ke pusat pengobatan seperti puskesmas atau rumah sakit bila keadaan sudah parah. Salah satu alasan yang dilontarkan oleh keluarga pasien bila ditanya mengenai pertanggungjawaban atas dibawanya pasien pada keadaan yang sudah parah adalah karena masalah biaya dan transportasi.


Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama dalam bidang kesehatan, maka setidaknya kandidat malaria sebagai penyakit terpopular harus segera dienyahkan. Namun penyelesaiannya tidak segampang membalikkan telapak tangan. Penanganannya harus melibatkan segenap unsur atau bersifat paripurna, hingga kelak Sumba bisa berkata “say no to malaria.” *

0 komentar: