Ketika
mengikuti perhelatan demokrasi pada momentum pemilihan kepala desa dari jarak
jauh, beberapa hal perlu mendapat sorotan. Pemilihan kepala desa dilihat
sebagai pesta demokrasi yang mestinya membawa nuansa kegembiraan untuk memilih
figur-figur yang dijagokan untuk memimpin desa itu. Tetapi fakta berbicara
lain. Hajatan lima tahunan ini justeru memunculkan politik indentitas dan juga
menjadi kesempatan pertarungan para anggota DPRD yang menjagokan incumbent yang
selama ini berperan penting memuluskan jalannya menuju kursi terhormat itu.
Mencermati dua fenomena ini menjadi menarik untuk ditelusuri karena politik
primordial seperti ini mengabaikan figur-figur produktif yang menawarkan
program-program unggulan dalam pemaparan visi dan misi itu.
Memang,
dalam tataran nasional maupun tataran politik lokal, politik dengan
mengedepankan aspek primordial seperti suku, dan agama menjadi identitas yang
menekankan kedekatan dengan figur yang memiliki kesamaan dengan pemilih.
Berpolitik dengan mengusung aspek primordial dalam tatanan masyarakat desa,
jauh lebih berbahaya karena rentetan relasi kemargaan menjadi terganggu, tidak
hanya urusan politik sesaat tetapi juga urusan-urusan adat. Jika si A berasal
dari suku/marga A dan memilih untuk mendukung salah seorang figur dari
suku/marga B maka ini menimbulkan sebuah pertanyaan di dalam kelompok
masyarakat yang berasal dari suku/marga A. Orang yang bersangkutan menjadi
musuh abadi dalam kalangan marga/suku A karena pilihan yang berbeda.
Menyimak
pilihan bebas si A yang berani melampaui
batas suku/marga untuk memilih seorang figur dari suku/marga lain, tentu memiliki
alasan yang kuat, terutama ketika terjadi pemaparan visi dan misi yang bisa
memberikan harapan bagi para pemilih untuk melihat secara jernih,
program-program unggulan yang ditawarkan oleh salah seorang figur, walaupun
berasal dari suku / marga yang lain. Tindakan memilih secara bebas ini menjadi
sebuah pembelajaran bahwa dampak dari politik identitas tidak membawa sebuah
pencerahan. Karena itu jauh lebih penting jika menempatkan nilai demokrasi
dalam konteks kebebasan nurani untuk memilih figur-figur mana yang tepat untuk
memimpin desa.
Dalam
konteks pemilihan kepala desa yang telah berlangsung menyisahkan banyak persoalan, membuat
masyarakat dan juga para penyelenggara semakin ruwet untuk memikirkan jalan
keluar pemecahannya. Menurut penulis, budaya demokrasi yang mengedepankan asas
LUBER (langsung, umum, bebas dan rahasia) masih jauh dari harapan. Soal
kerahasiaan belum bisa terjaga karena masing-masing pendukung yang nota bene
berasal dari suku/marga yang berbeda mencoba untuk menakar, berapa orang pemilih
yang akan memilih figur si A dan juga berapa orang pemilih yang memilih si B.
Kalkulasi ini dibuat berdasarkan teritori kesukuan / kemargaan yang di satu
sisi baik bahwa masing-masing marga mengusung figurnya tetapi juga membawa
dampak yang tidak baik karena memangkas kebebasan berdemokrasi. Kebebasan
dipangkas demi politik primordial yang belum tentu menghasilkan figur yang
diharapkan masyarakat.
Persoalan
lain yang juga disoroti adalah keterlibatan anggota DPRD yang mendukung incumbent
(petahana) dalam proses pemilihan kepala desa. Keterlibatan anggota DPRD tidak
secara terang-terangan merupakan hal yang wajar karena bagaimanapun di desa
yang sama dan suara-suara yang sama juga pernah mengantarkan anggota dewan
tersebut untuk duduk di kursi terhormat itu. Tetapi menjadi persoalan adalah
ada dugaan gelontoran dana pada salah satu figur yang dijagokan oleh anggota
dewan tersebut. Perilaku ini tidak memberikan pendidikan politik yang baik pada
masyarakat. Di satu sisi, selama ini digaungkan demokrasi berjalan secara
normatif dan jauh dari money politic tetapi di sini lain, praktek money
politic pada basis politik paling bawah sedang ditumbuh-suburkan.
Figur
calon kepala desa yang didukung oleh anggota dewan dalam kalkulasi politik,
mengarah pada kemenangan. Sokongan dana menjadi mesin penggerak utama dalam
meraih kemenangan, apalagi orang-orang kampung yang umumnya gampang dibeli
suaranya dengan uang. Uang menjadi daya tarik utama untuk memilih figur yang
menawarkan jalan mamon itu. Dalam saat-saat terakhir pemilihan itu berlangsung,
tim sukses terus bergerilya untuk menawarkan transaksi politik dengan uang.
Dalam hitungan sekejap, politik identas bisa dilupakan, dan orang ramai-ramai
memilih figur yang manawarkan “mamon” (uang) sebagai ikatan politik sesaat. Di
bawah “remang-remang” politik pedesaan
ini, kita bertanya diri, apakah pemilihan kepala desa merupakan hajatan orang
kampung atau hajatan anggota dewan?*** (Valery Kopong)