Monday, November 14, 2022

Seruan Iman Bartimeus

 

Membaca Injil Luk. 18:35-43, memperlihatkan sebuah tindakan yang mengubah masa kelam si buta untuk menjadi melek dan bisa melihat kembali. Injil Lukas tidak memperlihatkan siapa sebenarnya si buta itu. Namun jika kita membaca Injil Markus 10:46-52, kita bisa melihat bahwa yang dimaksudkan dengan orang buta adalah Bartimeus. Menjadi buta bukan menjadi halangan baginya  untuk melihat Yesus. Namun justeru dalam kebutaan itu, ia sanggup melihat, siapa itu Yesus sesungguhnya.

Iman seorang Bartimeus sangat kuat. Ia berusaha untuk mencari tahu, siapa sesungguhnya Yesus akan lewat di jalan itu. Mendengar bahwa Yesus akan lewat, ia berusaha untuk mencari perhatian agar dirinya yang buta mendapatkan sentuhan kasih, terutama dari Yesus. Semakin ia mencari tahu dan semakin ia berteriak kencang, orang-orang di sekitarnya mengharapkan supaya ia diam. Namun ia berteriak:  “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!”  Kata-kata yang diucapkan oleh Bartimeus dan kemudian dijadikan sebagai gelar untuk Yesus, mengingatkan kita bahwa seorang Mesias lahir dari keturunan Daud. Mesias yang diramalkan kedatangan-Nya oleh nabi Yesaya dengan menyusuri jalan dan menjumpai orang-orang sekitar.

Kisah ini menarik dan penuh sensasi karena Bartimeus mendapatkan anugerah istimewa. Keterpurukan hidup dan tidak melihat dunia karena mengalami buta matanya, merupakan pengalaman yang menyakitkan. Tetapi pada titik perjumpaan dengan Yesus, ia mengalami titik balik dalam sejarah pengalaman hidup. Seperti Bartimeus yang buta, pernahkah kita mengalami anugerah istimewah dari Tuhan?  Sekecil apa pun pengalaman yang kita alami dalam hidup, pada saat yang sama kita mengalami kehadiran Tuhan. Mengalami kehadiran Tuhan, tidak menuntut kita harus buta terlebih dahulu, namun perlu membuka diri bagi kehadiran-Nya.


Perjumpaan membawa kegembiraan  tersendiri. Karena berjumpa dengan Yesus maka Bartimeus bisa mengalami dunia baru. Tetapi kerinduan terdalam untuk bisa melihat sangat bergantung pada iman seorang Bartimeus. Walau matanya buta namun ia sanggup melihat Yesus sebagai Mesias, penyelamat dengan mata batinnya. Sanggupkah kita mengalami kehadiran Tuhan dalam hidup?***(Valery Kopong)

 

 

Sunday, November 13, 2022

"Jalan Mamon"


 

Ketika mengikuti perhelatan demokrasi pada momentum pemilihan kepala desa dari jarak jauh, beberapa hal perlu mendapat sorotan. Pemilihan kepala desa dilihat sebagai pesta demokrasi yang mestinya membawa nuansa kegembiraan untuk memilih figur-figur yang dijagokan untuk memimpin desa itu. Tetapi fakta berbicara lain. Hajatan lima tahunan ini justeru memunculkan politik indentitas dan juga menjadi kesempatan pertarungan para anggota DPRD yang menjagokan incumbent yang selama ini berperan penting memuluskan jalannya menuju kursi terhormat itu. Mencermati dua fenomena ini menjadi menarik untuk ditelusuri karena politik primordial seperti ini mengabaikan figur-figur produktif yang menawarkan program-program unggulan dalam pemaparan visi dan misi itu.

Memang, dalam tataran nasional maupun tataran politik lokal, politik dengan mengedepankan aspek primordial seperti suku, dan agama menjadi identitas yang menekankan kedekatan dengan figur yang memiliki kesamaan dengan pemilih. Berpolitik dengan mengusung aspek primordial dalam tatanan masyarakat desa, jauh lebih berbahaya karena rentetan relasi kemargaan menjadi terganggu, tidak hanya urusan politik sesaat tetapi juga urusan-urusan adat. Jika si A berasal dari suku/marga A dan memilih untuk mendukung salah seorang figur dari suku/marga B maka ini menimbulkan sebuah pertanyaan di dalam kelompok masyarakat yang berasal dari suku/marga A. Orang yang bersangkutan menjadi musuh abadi dalam kalangan marga/suku A karena pilihan yang berbeda.

Menyimak pilihan bebas  si A yang berani melampaui batas suku/marga untuk memilih seorang figur dari suku/marga lain, tentu memiliki alasan yang kuat, terutama ketika terjadi pemaparan visi dan misi yang bisa memberikan harapan bagi para pemilih untuk melihat secara jernih, program-program unggulan yang ditawarkan oleh salah seorang figur, walaupun berasal dari suku / marga yang lain. Tindakan memilih secara bebas ini menjadi sebuah pembelajaran bahwa dampak dari politik identitas tidak membawa sebuah pencerahan. Karena itu jauh lebih penting jika menempatkan nilai demokrasi dalam konteks kebebasan nurani untuk memilih figur-figur mana yang tepat untuk memimpin desa.

Dalam konteks pemilihan kepala desa yang telah  berlangsung menyisahkan banyak persoalan, membuat masyarakat dan juga para penyelenggara semakin ruwet untuk memikirkan jalan keluar pemecahannya. Menurut penulis, budaya demokrasi yang mengedepankan asas LUBER (langsung, umum, bebas dan rahasia) masih jauh dari harapan. Soal kerahasiaan belum bisa terjaga karena masing-masing pendukung yang nota bene berasal dari suku/marga yang berbeda mencoba untuk menakar, berapa orang pemilih yang akan memilih figur si A dan juga berapa orang pemilih yang memilih si B. Kalkulasi ini dibuat berdasarkan teritori kesukuan / kemargaan yang di satu sisi baik bahwa masing-masing marga mengusung figurnya tetapi juga membawa dampak yang tidak baik karena memangkas kebebasan berdemokrasi. Kebebasan dipangkas demi politik primordial yang belum tentu menghasilkan figur yang diharapkan masyarakat.

Persoalan lain yang juga disoroti adalah keterlibatan anggota DPRD yang mendukung incumbent (petahana) dalam proses pemilihan kepala desa. Keterlibatan anggota DPRD tidak secara terang-terangan merupakan hal yang wajar karena bagaimanapun di desa yang sama dan suara-suara yang sama juga pernah mengantarkan anggota dewan tersebut untuk duduk di kursi terhormat itu. Tetapi menjadi persoalan adalah ada dugaan gelontoran dana pada salah satu figur yang dijagokan oleh anggota dewan tersebut. Perilaku ini tidak memberikan pendidikan politik yang baik pada masyarakat. Di satu sisi, selama ini digaungkan demokrasi berjalan secara normatif dan jauh dari money politic tetapi di sini lain, praktek money politic pada basis politik paling bawah sedang ditumbuh-suburkan.

Figur calon kepala desa yang didukung oleh anggota dewan dalam kalkulasi politik, mengarah pada kemenangan. Sokongan dana menjadi mesin penggerak utama dalam meraih kemenangan, apalagi orang-orang kampung yang umumnya gampang dibeli suaranya dengan uang. Uang menjadi daya tarik utama untuk memilih figur yang menawarkan jalan mamon itu. Dalam saat-saat terakhir pemilihan itu berlangsung, tim sukses terus bergerilya untuk menawarkan transaksi politik dengan uang. Dalam hitungan sekejap, politik identas bisa dilupakan, dan orang ramai-ramai memilih figur yang manawarkan “mamon” (uang) sebagai ikatan politik sesaat. Di bawah  “remang-remang” politik pedesaan ini, kita bertanya diri, apakah pemilihan kepala desa merupakan hajatan orang kampung atau hajatan anggota dewan?*** (Valery Kopong)

Thursday, November 10, 2022

Menjadi Pahlawan Untuk Diri Sendiri

 

Banyak cara yang dilakukan untuk memperingati hari pahlawan yang jatuh tepat pada 10 November. Keluarga besar SD Insan Teratai mengisi hari pahlawan ini dengan menampilkan tarian, musik angklung dan juga fashion show dari masing-masing kelas. Setiap anak mengenakan pakaian yang memperlihatkan profesi tertentu. Ada yang mengenakan pakaian, layaknya sebagai seorang dokter, polisi, tentara dan beberapa profesi lain.

Memaknai hari pahlawan ini, masing-masing anak memahaminya dalam konteks kekinian. Jika pahlawan tempo dulu yang dilihat sebagai pejuang yang mengusir penjajah maka dalam konteks kekinian, anak-anak berusaha memahami pahlawan sebagai pejuang yang memberikan spirit untuk bekerja dan mengabdi pada negara. Profesi seorang dokter misalnya, berusaha sedapat mungkin dengan keilmuan yang ada, berjuang menangani pasien. Karena itu seorang dokter di mata seorang pasien, tentu dilihat sebagai pahlawan yang mampu mengatasi penderitaannya dan memulihkan kembali dari sakit yang diderita.

Sebagai seorang guru, tetap menjadi seorang pahlawan bagi anak-anak didik. Setiap waktu, seorang guru berjuang mendampingi anak-anak dalam proses pembelajaran. Seorang guru, berdiri pada garis depan untuk setia mendampingi anak-anak dalam  menatap masa depan generasi muda. Di mata seorang murid, guru adalah pahlawan yang setia menemani mereka di saat mereka menapaki jalan panjang meraih cita-cita.

Keceriaan anak-anak memperlihatkan keceriaan masa depan. Menjadi seorang murid, menjadi seorang pembelajar yang terus menggali pengetahuan baru untuk membangun kualitas diri. Sekolah Insan Teratai yang berdiri tegak itu, memberikan harapan bagi mereka yang masih mengais masa depan melalui jalur pendidikan. Sejarah munculnya peringatan Hari Pahlawan ini mengacu pada peristiwa pertempuran pada 10 November 1945 di Surabaya. Memang moment ini kita mengenang kembali jasa para pahlawan di masa lalu dan sekaligus bagaimana kita menanamkan nilai-nilai kepahlawanan pada generasi muda saat ini.


Menjadi pahlawan dalam konteks saat ini, tidak berarti harus mengorbankan nyawa demi orang yang kita bela. Namun setiap orang bisa menjadi pahlawan untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Kita menjadi pejuang untuk memberantas kemiskinan, kemelaratan dan membangun masa depan yang lebih baik. Beranilah menjadi pahlawan untuk diri sendiri.***(Valery Kopong)

Wednesday, November 9, 2022

Nilai Perutusan

 

Sumber foto:Kompasiana 

Pernyataan Santo Hironimus yang sangat populer, yakni “tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.” Pernyataan ini sederhana namun jika ditilik secara lebih dalam, memiliki kedalaman makna. Kitab Suci, terutama Perjanjian Baru yang mengisahkan tentang Yesus dan karya pewartaan-Nya, perlu digali secara mendalam oleh seorang pembaca. Membaca Kitab Suci  merupakan cara sederhana untuk menyelami kehidupan Yesus. Kitab Suci terutama Perjanjian Baru ditulis setelah ratusan  tahun Yesus berkarya di dunia sampai pada puncak pengorbanan diri-Nya di kayu salib. Semula ketika  Yesus masih berkarya di dunia ini, orang belum memikirkan menulis tentang-Nya. Namun dalam perjalanan waktu, orang menyadari bahwa hidup dan karya Yesus perlu diabadikan dalam buku Kitab Suci dan menjadi sumber iman.

 

Terkadang membaca Kitab Suci, saya sendiri memberikan apresiasi pada para penulis yang dalam keterbatasan berhasil membuat tulisan-tulisan yang bermakna. Melewati proses panjang adalah hal lumrah yang harus dilalui oleh seorang penulis dan jauh lebih penting adalah bahwa dalam menulis, seorang penulis Kitab Suci dituntun dan diilhami oleh Roh Kudus. Roh Kudus memainkan peranan penting dalam proses penulisan itu.  

 

Kitab Suci memberikan gambaran iman dan sekaligus memperkenalkan Yesus sesungguhnya. Karena itu ajakan Santo Hironimus menjadi sebuah ajakan penuh makna untuk memahami secara mendalam, siapa itu Yesus sebenarnya. Yesus Kristus seperti yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, menggambarkan dua sisi kehidupan, baik sebagai manusia biasa maupun sebagai Tuhan. Sebagai manusia biasa, Yesus bisa mengalami rasa lapar dan bisa makan namun aspek lain yang memperlihatkan keilahian Yesus adalah mukjizat yang dilakukan oleh Yesus.

 

Kitab Suci Perjanjian Baru yang kita kenal dan terima saat ini berjumlah 27 kitab dan tentu saja proses penulisan itu memakan waktu lebih dari 100 tahun. Pengalaman kebangkitan Yesus dan peristiwa turunnya Roh Kudus menjadi momentum penting untuk bergerak maju dalam karya pewartaan dan merasakan arti kehadiran Yesus. Peristwa Pentakosta seakan menjadi penyulut utama dalam membakar semangat para murid untuk tidak berdiam diri tetapi bergerak keluar untuk memberikan kesaksian tentang Kristus yang bangkit dan karya-karya-Nya.

 

Nilai sebuah perutusan tidak hanya berhenti pada mengenal tentang Kristus tetapi lebih dari itu ada gerak keluar untuk memberikan kesaksian tentang-Nya lewat cara hidup sederhana.  Perutusan Kristus adalah perutusan penuh resiko. Resiko bukan menjadi alasan bagi seorang Kristiani untuk berdiam diri tetapi justru tantangan yang dihadapi itu memberikan spirit bagi para pewarta.   Lukas 10:3 “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.” Mengenal Kristus berarti memahami juga tentang nilai perutusan. Hanya dengan pewartaan itu, dunia tahu tentang siapa sesungguhnya Yesus.***(Valery Kopong)

 

 

Tuesday, November 8, 2022

Tindakan Penyelamat

 

sumber foto:katolisitas.org

Ketika membaca kisah tentang bagaimana Yesus mewartakan Kerajaan Allah, ada dua cara unik yang selalu dipakai, yakni mewartakan dengan kata-kata dan tindakan. Untuk bisa membangkitkan rasa ingin tahu para pendengar tentang Kerajaan Allah, Yesus mencoba untuk menggiring kesadaran mereka dengan menampilkan perumpamaan-perumpamaan. Perumpamaan yang digunakan Yesus ini menjadi pintu masuk bagi para pendengar untuk memahami esensi tentang Kerajaan Allah.

 

Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus bukan sesuatu yang baru karena sebelum kehadiran Yesus, warta tentang Kerajaan Allah sudah digaungkan di kalangan orang Yahudi. Pemahaman Kerajaan Allah secara politis, menginginkan Mesias yang akan hadir dan kepenuhan Kerajaan Allah, sebagai tokoh politis yang mampu mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia. Mesias tampil sebagai tokoh politik dengan gagah memimpin bangsa Israel melawan penjajah Romawi dan penindas rakyat.

 

Pemahaman Kerajaan Allah secara Yuridis-religius,  menginginkan jika Kerajaan Allah bisa terwujud maka satu-satu cara adalah hidup sesuai dengan tuntutan hukum Taurat. Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus adalah Kerajaan Allah yang penuh suka cita. Kerajaan Allah itu tidak dipahami dari sisi wilayah kekuasaan seperti kerajaan duniawi namun Kerajaan Allah yang diwartakan itu merupakan “tindakan penyelamatan” yang dilakukan oleh Yesus sebagai Mesias. Karena itu warta tentang Kerajaan Allah yang diproklamirkan oleh Yesus, bukan sesuatu “yang akan terjadi” dan masih angan-angan, melainkan Kerajaan Allah, sudah dan sedang terjadi dalam diri Yesus.

 

Dalam diri Yesus menjadi kepenuhan Kerajaan Allah, dan tindakan penyelamatan itu dimulai oleh Yesus sendiri. Keberpihakan pada mereka yang miskin dan papa, memberikan proteksi pada mereka yang tertindas, merupakan wujud Kerajaan Allah yang dinantikan itu. Dalam mewartakan Kerajaan Allah, Yesus menggunakan perumpamaan dan menegaskan kata-kata itu dengan tindakan yang menyelamatkan, seperti mukjizat yang diperlihatkan pada khalayak umum sebagai cara sederhana Yesus menghadirkan Kerajaan Allah itu.  

 

Sebagai pengikut Yesus, kita pun bisa melakukan tindakan keberpihakan pada mereka yang miskin dan papa. Dengan membantu orang lain yang sedang menderita, merupakan tindakan penyelamatan dan Kerajaan Allah hadir di situ. Sekecil apa pun tindakan kita pada orang lain maka secara tidak langsung, kita sedang menghadirkan Kerajaan Allah secara paripurna.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

Monday, November 7, 2022

Video Suster Yang Viral

 

Sebuah video yang kini lagi viral, memperlihatkan seorang biarawati Katolik secara terang-terangan mendukung salah satu calon presiden pada pemilihan umum di tahun 2024 nanti. Video tersebut, saya share ke grup WA para ketua lingkungan. Saya mendapatkan reaksi yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa sebaiknya di grup itu tidak boleh membahas persoalan mengenai politik, sedangkan ada juga yang mendukung, sebaiknya para ketua lingkungan juga harus melek politik supaya bisa memberikan pemahaman yang jernih pada umat yang dilayaninya.

Dengan sadar dan tahu bahwa video yang saya share itu pasti mendapatkan reaksi yang berbeda. Bagi mereka yang selama hidup menggereja dan terkesan tidak mau tahu tentang kehidupan politik, merasa alergi dengan politik. Sedangkan bagi ketua-ketua lingkungan yang selalu terlibat dan mendiskusikan tentang politik, memberikan respon yang positif. Dari tanggapan-tanggapa itu, pada akhirnya saya coba mengklarifikasi dengan merujuk pada Kitab Hukum Kanonik. Kan. 287 - § 2. Janganlah mereka turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum.

Merujuk pada Kan. 287 - § 2, terlihat jelas batas keterlibatan kaum klerus maupun seorang biarawan / biarawati. Kalau video yang menyatakan dukungan itu dilakukan oleh seorang awam maka itu dilihat sebagai sesuatu yang biasa saja. Namun menjadi menarik bahwa dalam video itu seorang suster (biarawati) menyatakan secara terangan-terangan untuk mendukung salah satu kandidat calon presiden, maka ini perlu diluruskan dengan melihat latar belakang kehidupannya sebagai seorang biarawati. Banyak pertanyaan yang muncul dari beberapa teman. Apakah ada kaitan antara capres yang bersangkutan dengan suster yang menyatakan dukungan tersebut? Bagaimana dengan reaksi pimpinan kongregasi yang melihat salah satu anggotanya menyatakan dukungan terhadap capres?

Tidak lama video ini viral, muncul juga video klarifikasi dari suster yang bersangkutan, hanya saja video klarifikasi itu sepertinya tidak menjawabi alasan, mengapa suster itu bisa mengatakan dukungan secara terang-terangan terhadap salah satu capres. Klarifikasi ini memberikan gambaran bahwa biarawati ini belum paham dan tidak bisa membedakan mana yang menjadi tugas kewenangannya dan terutama kurang memahami koridor yang tertera pada Kitab Hukum Kanonik yang melarang keterlibatan kaum klerus maupun seorang biarawan-biarawati dalam kehidupan politik.

foto: screen shoot dari video
Memang, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita perlu mengetahui kondisi perpolitikan nasional. Saat ini partai politik sedang mencari jagoan-jagoan untuk dideklarasikan menjadi calon pemimpin masa depan Indonesia. Sebagai seorang biarawati sekaligus sebagai warga negara Indonesia memiliki hak yang sama dalam kehidupan bernegara. Namun belum waktunya untuk menyatakan dukungan kepada salah satu capres. Jika seorang biarawati sudah mulai menyatakan dukungan kepada salah satu capres secara terbuka maka ini membingungkan umat. Apa motif di balik dukungan itu dan  ke mana arah perjalanan biara? ***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Friday, November 4, 2022

Bertutur

 

Ketika memulai pelajaran agama Katolik, khusus kelas X, ada sesuatu yang menarik untuk dicermati terutama terkait materi tentang Kitab Suci Perjanjian Lama. Kitab Suci  (Alkitab) yang kita terima hari ini, memberikan banyak gambaran tentang proses memulai penulisan. Proses yang dilalui memang sangat panjang dan memiliki kisah tersendiri. Menelusuri proses penulisan ini, bisa dibayangkan betapa orang-orang (para penulis Kitab Suci) pada saat itu dalam keterbatasan sarana dan prasarana namun berusaha untuk pada akhirnya memulai sebuah karya besar.

Dari catatan-catatan sejarah perjalanan proses penulisan Kitab Suci, kita tahu bahwa para penulis menggunakan kulit hewan (perkamen) sebagai tempat untuk menuangkan tulisan-tulisan. Bisa dibayangkan, berapa kulit hewan yang dibutuhkan untuk memulai proses penulisan Kitab Suci itu? Namun dalam perkembangan lebih lanjut, ditemukan gelagah Papyrus yang menjadi bahan dasar untuk membuat kertas maka para penulis mulai beralih ke kertas sebagai tempat untuk menulis.

Kita meyakini bahwa para penulis Kitab Suci tidak hanya mengandalkan diri sendiri dalam memulai sebuah karya besar, terutama menulis Kitab Suci tetapi para penulis diilhami oleh Roh Kudus. Roh Kuduslah yang bekerja dan memenuhi akal dan budi mereka sehingga bisa menuliskan Kitab Suci secara baik.

Kitab Suci Perjanjian Lama memuat pengalaman iman umat Israel. Namun sebelum ditulis menjadi sebuah buku yang kita kenal sebagai Kitab Suci, mereka tetap menghidupi Tradisi lisan sebagai sebuah proses pewarisan terhadap generasi-generasi muda. Kisah tentang penciptaan manusia dan alam semesta, kisah keluarnya bangsa Israel dari Mesir, dan kisah-kisah lain, dituturkan secara lisan pada ratusan tahun, yang pada akhirnya ditulis.

Melihat periodesasi kehidupan bangsa Israel dan perkembangan dari waktu ke waktu, dapat kita katakan bahwa tradisi lisan masih memainkan peranan penting dalam penuturan lisan. Antara tahun 1800-1600 sebelum Masehi, periode ini dikenal sebagai zaman Bapa-bapa bangsa Israel, yakni Abraham, Ishak dan Yakub. Berbicara tentang sejarah awal perjalanan hidup orang Israel, tidak terlepas dari panggilan Abraham. Pada usia 75 tahun, Allah memanggil Abram dan Ia menjawabi panggilan itu. Abram menjawabi panggilan Allah itu dengan bergerak keluar dari kampung halamannya dan pergi ke tempat yang dijanjikan oleh Allah. Ada tiga janji yang diberikan oleh Allah kepada Abraham, Bapa segala bangsa, yakni mendapatkan berkat, keturunan yang besar dan tanah terjanji yaitu tanah Kanaan.

sumber gambar: google

Pada periode Bapa-Bapa bangsa, Kitab Suci belum ditulis. Namun kisah panggilan Abraham ini menjadi titik awal sejarah perjalanan Israel dan terus dituturkan secara lisan terutama pada generasi-generasi muda.***(Valery Kopong)  

 

Thursday, November 3, 2022

Tradisi Gereja

 

Ketika mengajar agama Katolik, sering ditanyakan oleh anak-anak murid tentang berapa sumber iman orang Katolik. Dengan sederhana saya menjawab bahwa ada tiga sumber yang dijadikan sebagai dasar penguatan iman Katolik. Sumber-sumber yang dimaksudkan  adalah Kitab Suci, Tradisi Gereja  dan Magisterium Gereja. Saya berusaha menjelaskan satu persatu mengenai tiga sumber yang dimaksudkan itu. Namun ada saja anak yang bertanya lanjut, mengapa Tradisi dijadikan sebagai salah satu sumber iman?   Tentang alasan, mengapa Gereja Katolik menjadikan Tradisi Gereja sebagai salah satu sumber iman, terlihat jelas pada doa-doa yang merupakan warisan berharga dari para rasul.

Tradisi Gereja merupakan warisan penting dan membantu umat untuk mengembangkan imannya akan Allah. Sebelum Kitab Suci ditulis, umat Israel tetap menuturkan secara lisan akan pengalaman iman bangsa pilihan Allah pada generasi-generasi muda. Kisah penciptaan alam semesta dan manusia yang kini bisa kita baca dalam Kitab Kejadian, sesungguhnya dimulai dari cerita-cerita lisan yang terus mentradisi dari satu generasi ke generasi lain. Atau juga dalam kisah keluarnya bangsa Israel dari Mesir, pengembaraan di padang gurun sampai perjanjian Sinai, pada awalnya dituturkan secara lisan sebagai bagian dari pengalaman iman dan intervensi Allah dalam seluruh perjalanan hidup mereka.

Dalam rentang waktu panjang sebelum para penulis memikirkan untuk menulis Kitab Suci, sesungguhnya Tradisi memainkan peranan penting. Pertanyaan lanjut adalah apa itu Tradisi dan apa contoh konkret Tradisi itu? Tradisi Gereja atau sering disebut sebagai Tradisi Suci yang diajarkan oleh Gereja Katolik adalah Tradisi Apostolik. Tradisi Apostolik mengakar pada kehidupan para rasul yang diperintahkan oleh Yesus untuk mewartakan kabar baik kepada semua orang (lih.Matius 28:19-20). Jika melihat teks Injil Matius 28, memberikan gambaran tersendiri tentang misi perutusan Yesus kepada para rasul. Misi perutusan ini menjadi sebuah keharusan yang dilakukan oleh para rasul dengan memperlihatkan dua cara pewartaan, yakni secara lisan dan tertulis. Pewartaan secara lisan ini disebut Tradisi Suci dan tidak terpisahkan dari Kitab Suci.  


Dalam buku Katekismus Gereja Katolik secara tegas memperlihatkan dua model pewartaan yang pernah dilakukan oleh para rasul.

KGk 76    Sesuai dengan kehendak Allah terjadilah pengalihan Injil atas dua cara:
– secara lisan “oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan, dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari”;
– secara tertulis “oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga membukukan amanat keselamatan” (DV 7).


Para rasul telah mewariskan Tradisi Suci kepada Gereja. Para rasul mengalami secara langsung tentang kehidupan Yesus dan pewartaan-Nya. Karena itu atas perintah Yesus, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku,” merupakan sebuah keharusan yang tetap dilakukan demi tegaknya Kerajaan Allah di dunia ini. ***(Valery Kopong)

 

Wednesday, November 2, 2022

Hidup Abadi


 

Setiap tanggal 2 November, Gereja mendoakan arwah orang-orang yang sudah meninggal dunia. Hari ini juga setiap media sosial terutama dari kalangan Katolik berusaha memposting foto-foto orang yang sudah dipanggil oleh Allah melalui peristiwa kematian. Memang, terasa ada kesedihan yang menggelayut di hati namun ketika ada gerakan bersama untuk mendoakan mereka yang sudah meninggal dunia, rasanya ingatan kita tentang mereka yang sudah meninggal itu bangkit kembali. Ada memori pada masa lampau terbongkar kembali dan kenangan-kenangan lain bersama mereka masih hidup di dunia ini mulai terulang kembali.

Kalangan Katolik yang memposting foto-foto orang yang sudah meninggal itu, mengharapkan doa-doa dari sama saudara untuk jiwa mereka yang dipanggil Tuhan. Ketika bercerita dengan salah seorang teman setelah mengadakan novena arwah hari pertama, ada satu pertanyaan penting dilontarkan oleh teman. Ke mana jiwa  mereka pergi setelah mengalami kematian? Kematian yang dialami oleh orang-orang yang sudah mendahului kita, tidak hanya melenyapkan kehidupan itu sendiri. Memang tubuh yang fana menyatu dengan tanah tetapi jiwanya tetapnya hidup dalam keabadian.

Dalam iman kekatolikan, kita percaya bahwa mereka yang sudah meninggal akan memperoleh hidup abadi. Namun untuk memperoleh keabadian hidup itu perlu melewati proses, melewati pengadilan dan pada akhirnya Hakim Agung yang menentukan untuk layak masuk surga yang abadi ataukah masih berada di api penyucian. Bagi mereka yang saat ini masih berada di api penyucian, tentunya mengharapkan doa-doa dari kita yang masih berziarah di dunia ini. Doa-doa kita yang masih hidup sangat membantu mereka agar kelak boleh mengalami kerahiman Allah dan menikmati kebahagiaan kekal. 

Apa jaminan hidup kekal? Pertanyaan ini bertitik tolak pada penegasan Yesus, “Akulah jalan, kebenaran dan hidup.” Yesus memperkenalkan diri sebagai jalan yang harus dilalui oleh setiap jiwa yang sudah beralih dari dunia ini. Di jalan yang dituntun oleh Yesus, mereka yang sudah meninggal dan percaya kepada Kristus boleh menikmati rumah Bapa yang abadi. “Di rumah Bapak-Ku banyak tempat,” kata Yesus. Kita berusaha untuk masuk ke dalam rumah yang sudah disiapkan Yesus itu dan beroleh keselamatan kekal.***(Valery Kopong)

Tuesday, November 1, 2022

Sabda Bahagia

 

Setiap tanggal 1 November, Gereja merayakan Hari Raya Semua Orang Kudus. Dalam perayaan itu, kita mengenangkan orang-orang kudus, baik yang sudah dikanonisasi menjadi orang kudus, maupun yang belum. Kehidupan orang-orang kudus menjadi penting dan menjadi pembelajaran bagi kita semua yang masih tengah berziarah di dunia ini. Mereka telah memperlihatkan diri sebagai orang-orang tangguh dan berani mempertahankan imannya akan Kristus.

Sejak kapan Gereja Katolik mulai menetapkan perayaan untuk mengenang orang-orang kudus? Gereja telah mulai menghormati para Santo/ Santa dan martir sejak abad kedua. Hal ini terlihat dari catatan kemartiran St. Polycarpus di abad kedua sebagai berikut: “Para Prajurit lalu,…. menempatkan jenazahnya [Polycarpus] di tengah api. Selanjutnya, kami mengambil tulang- tulangnya, yang lebih berharga daripada permata yang paling indah dan lebih murni dari emas, dan menyimpannya di dalam tempat yang layak, sehingga setelah dikumpulkan, jika ada kesempatan, dengan suka cita dan kegembiraan, Tuhan akan memberikan kesempatan kepada kita untuk merayakan hari peringatan kemartirannya, baik untuk mengenang mereka yang telah menyelesaikan tugas mereka, maupun untuk pelatihan dan persiapan bagi mereka yang mengikuti jejak mereka.” (St. Polycarpus, Ch. XVIII, The body of Polycarp is burned, 156 AD).

Di saat Gereja merayakan Hari Raya Semua Orang Kudus, teks kitab suci, khususnya bacaan Injil memperlihatkan Sabda Bahagia yang diucapkan oleh Yesus. Membaca Sabda Bahagia ini, Yesus memperlihatkan serangkaian ucapan bahagia secara paradoks, bertentangan dan penuh dengan kejutan. "Berbahagialah orang yang miskin dalam roh..." Betapa beruntungnya jika kami tidak kecanduan hal-hal materi. Di sini PutraMu memberi tahu bagaimana mewujudkan keinginan manusia yang terdalam, yaitu keinginan akan Tuhan, bukan kepada yang sementara belaka. Kehidupan orang-orang kudus selama hidupnya memperlihatkan kualitas diri yang lebih terbuka kepada Allah dan bermati raga ketimbang mengandalkan kekayaan duniawi yang tidak menjanjikan kebahagiaan abadi.


Dalam bacaan Injil terutama tentang sabda bahagia, dilukiskan oleh penginjil “Berbahagialah orang yang lemah lembut...” Kata lemah lembut menggambarkan karakter Allah yang Maharahim, berbelas kasih. Kasih Allah yang diperlihatkan adalah kasih yang melampaui logika manusia, kasih tanpa batas. Begitu besar kasih Allah kepada dunia maka Ia mengutus Putera-Nya yang tunggal sebagai penebusan bagi manusia. Kedalaman kasih yang diperlihatkan kepada dunia penuh heroik karena hanya melalui jalan terjal heroik itu, kasih Yesus memperlihatkan titik kesempurnaan. Yesus menegaskan diri-Nya sebagai jalan, kebenaran dan hidup, hal ini memberikan jaminan masa parusia nanti. Ia telah menyediakan tempat abadi bagi kebahagiaan kekal seperti yang dialami orang-orang kudus.***(Valery Kopong)