Sumber foto:Kompasiana |
Pernyataan
Santo Hironimus yang sangat populer, yakni “tidak mengenal Kitab Suci berarti
tidak mengenal Kristus.” Pernyataan ini sederhana namun jika ditilik secara
lebih dalam, memiliki kedalaman makna. Kitab Suci, terutama Perjanjian Baru
yang mengisahkan tentang Yesus dan karya pewartaan-Nya, perlu digali secara
mendalam oleh seorang pembaca. Membaca Kitab Suci merupakan cara sederhana untuk menyelami
kehidupan Yesus. Kitab Suci terutama Perjanjian Baru ditulis setelah ratusan tahun Yesus berkarya di dunia sampai pada
puncak pengorbanan diri-Nya di kayu salib. Semula ketika Yesus masih berkarya di dunia ini, orang belum
memikirkan menulis tentang-Nya. Namun dalam perjalanan waktu, orang menyadari
bahwa hidup dan karya Yesus perlu diabadikan dalam buku Kitab Suci dan menjadi
sumber iman.
Terkadang
membaca Kitab Suci, saya sendiri memberikan apresiasi pada para penulis yang
dalam keterbatasan berhasil membuat tulisan-tulisan yang bermakna. Melewati proses
panjang adalah hal lumrah yang harus dilalui oleh seorang penulis dan jauh
lebih penting adalah bahwa dalam menulis, seorang penulis Kitab Suci dituntun
dan diilhami oleh Roh Kudus. Roh Kudus memainkan peranan penting dalam proses
penulisan itu.
Kitab
Suci memberikan gambaran iman dan sekaligus memperkenalkan Yesus sesungguhnya. Karena
itu ajakan Santo Hironimus menjadi sebuah ajakan penuh makna untuk memahami
secara mendalam, siapa itu Yesus sebenarnya. Yesus Kristus seperti yang
tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, menggambarkan dua sisi kehidupan,
baik sebagai manusia biasa maupun sebagai Tuhan. Sebagai manusia biasa, Yesus
bisa mengalami rasa lapar dan bisa makan namun aspek lain yang memperlihatkan
keilahian Yesus adalah mukjizat yang dilakukan oleh Yesus.
Kitab
Suci Perjanjian Baru yang kita kenal dan terima saat ini berjumlah 27 kitab dan
tentu saja proses penulisan itu memakan waktu lebih dari 100 tahun. Pengalaman kebangkitan
Yesus dan peristiwa turunnya Roh Kudus menjadi momentum penting untuk bergerak
maju dalam karya pewartaan dan merasakan arti kehadiran Yesus. Peristwa Pentakosta
seakan menjadi penyulut utama dalam membakar semangat para murid untuk tidak
berdiam diri tetapi bergerak keluar untuk memberikan kesaksian tentang Kristus
yang bangkit dan karya-karya-Nya.
Nilai
sebuah perutusan tidak hanya berhenti pada mengenal tentang Kristus tetapi
lebih dari itu ada gerak keluar untuk memberikan kesaksian tentang-Nya lewat
cara hidup sederhana. Perutusan Kristus
adalah perutusan penuh resiko. Resiko bukan menjadi alasan bagi seorang
Kristiani untuk berdiam diri tetapi justru tantangan yang dihadapi itu memberikan
spirit bagi para pewarta. Lukas 10:3 “Pergilah, sesungguhnya Aku
mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.” Mengenal Kristus
berarti memahami juga tentang nilai perutusan. Hanya dengan pewartaan itu,
dunia tahu tentang siapa sesungguhnya Yesus.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment