Sunday, November 13, 2022

"Jalan Mamon"


 

Ketika mengikuti perhelatan demokrasi pada momentum pemilihan kepala desa dari jarak jauh, beberapa hal perlu mendapat sorotan. Pemilihan kepala desa dilihat sebagai pesta demokrasi yang mestinya membawa nuansa kegembiraan untuk memilih figur-figur yang dijagokan untuk memimpin desa itu. Tetapi fakta berbicara lain. Hajatan lima tahunan ini justeru memunculkan politik indentitas dan juga menjadi kesempatan pertarungan para anggota DPRD yang menjagokan incumbent yang selama ini berperan penting memuluskan jalannya menuju kursi terhormat itu. Mencermati dua fenomena ini menjadi menarik untuk ditelusuri karena politik primordial seperti ini mengabaikan figur-figur produktif yang menawarkan program-program unggulan dalam pemaparan visi dan misi itu.

Memang, dalam tataran nasional maupun tataran politik lokal, politik dengan mengedepankan aspek primordial seperti suku, dan agama menjadi identitas yang menekankan kedekatan dengan figur yang memiliki kesamaan dengan pemilih. Berpolitik dengan mengusung aspek primordial dalam tatanan masyarakat desa, jauh lebih berbahaya karena rentetan relasi kemargaan menjadi terganggu, tidak hanya urusan politik sesaat tetapi juga urusan-urusan adat. Jika si A berasal dari suku/marga A dan memilih untuk mendukung salah seorang figur dari suku/marga B maka ini menimbulkan sebuah pertanyaan di dalam kelompok masyarakat yang berasal dari suku/marga A. Orang yang bersangkutan menjadi musuh abadi dalam kalangan marga/suku A karena pilihan yang berbeda.

Menyimak pilihan bebas  si A yang berani melampaui batas suku/marga untuk memilih seorang figur dari suku/marga lain, tentu memiliki alasan yang kuat, terutama ketika terjadi pemaparan visi dan misi yang bisa memberikan harapan bagi para pemilih untuk melihat secara jernih, program-program unggulan yang ditawarkan oleh salah seorang figur, walaupun berasal dari suku / marga yang lain. Tindakan memilih secara bebas ini menjadi sebuah pembelajaran bahwa dampak dari politik identitas tidak membawa sebuah pencerahan. Karena itu jauh lebih penting jika menempatkan nilai demokrasi dalam konteks kebebasan nurani untuk memilih figur-figur mana yang tepat untuk memimpin desa.

Dalam konteks pemilihan kepala desa yang telah  berlangsung menyisahkan banyak persoalan, membuat masyarakat dan juga para penyelenggara semakin ruwet untuk memikirkan jalan keluar pemecahannya. Menurut penulis, budaya demokrasi yang mengedepankan asas LUBER (langsung, umum, bebas dan rahasia) masih jauh dari harapan. Soal kerahasiaan belum bisa terjaga karena masing-masing pendukung yang nota bene berasal dari suku/marga yang berbeda mencoba untuk menakar, berapa orang pemilih yang akan memilih figur si A dan juga berapa orang pemilih yang memilih si B. Kalkulasi ini dibuat berdasarkan teritori kesukuan / kemargaan yang di satu sisi baik bahwa masing-masing marga mengusung figurnya tetapi juga membawa dampak yang tidak baik karena memangkas kebebasan berdemokrasi. Kebebasan dipangkas demi politik primordial yang belum tentu menghasilkan figur yang diharapkan masyarakat.

Persoalan lain yang juga disoroti adalah keterlibatan anggota DPRD yang mendukung incumbent (petahana) dalam proses pemilihan kepala desa. Keterlibatan anggota DPRD tidak secara terang-terangan merupakan hal yang wajar karena bagaimanapun di desa yang sama dan suara-suara yang sama juga pernah mengantarkan anggota dewan tersebut untuk duduk di kursi terhormat itu. Tetapi menjadi persoalan adalah ada dugaan gelontoran dana pada salah satu figur yang dijagokan oleh anggota dewan tersebut. Perilaku ini tidak memberikan pendidikan politik yang baik pada masyarakat. Di satu sisi, selama ini digaungkan demokrasi berjalan secara normatif dan jauh dari money politic tetapi di sini lain, praktek money politic pada basis politik paling bawah sedang ditumbuh-suburkan.

Figur calon kepala desa yang didukung oleh anggota dewan dalam kalkulasi politik, mengarah pada kemenangan. Sokongan dana menjadi mesin penggerak utama dalam meraih kemenangan, apalagi orang-orang kampung yang umumnya gampang dibeli suaranya dengan uang. Uang menjadi daya tarik utama untuk memilih figur yang menawarkan jalan mamon itu. Dalam saat-saat terakhir pemilihan itu berlangsung, tim sukses terus bergerilya untuk menawarkan transaksi politik dengan uang. Dalam hitungan sekejap, politik identas bisa dilupakan, dan orang ramai-ramai memilih figur yang manawarkan “mamon” (uang) sebagai ikatan politik sesaat. Di bawah  “remang-remang” politik pedesaan ini, kita bertanya diri, apakah pemilihan kepala desa merupakan hajatan orang kampung atau hajatan anggota dewan?*** (Valery Kopong)

No comments: