Tuesday, February 16, 2021

Mereka Seperti "Lebah"

Beberapa hari terakhir ini, santer terdengar kata Buzzer karena beberapa tokoh yang berseberangan dengan pemerintah sudah mulai gerah dengan para buzzer yang lebih pro pada pemerintah saat ini. Siapa itu para buzzer sehingga sangat ditakuti oleh para oposisi? Buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu. Atau secara umum, para buzzer adalah orang-orang giat di media sosial yang siap memberikan kritik balik kepada tokoh-tokoh tertentu yang ingin memanaskan situasi melalui cuitan twitter atau media sosial lainnya. Para buzzer bukanlah orang bayaran istana tetapi mereka adalah orang-orang yang membiayai kuota internet sendiri untuk bisa bermedia sosial. Para buzzer itu terkadang dilihat seperti “lebah” yang kalau diganggu maka semuanya melawan si pengganggu itu. Tapi dalam situasi normal, para buzzer pun diam pada sarang masing-masing.

Para buzzer ini muncul sebagai bentuk kecintaan terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Mereka (para buzzer) hadir di dunia maya tanpa adanya mobilisasi dari penguasa. Mereka memberikan kontribusinya terhadap negara dengan memberikan kritik tajam terhadap para pengganggu republik ini ketika ideologi  Pancasila diobrak-abrik oleh para pejuang khilafah. Buzzer pun hadir membela  ketika sang presiden dihina dan dicela oleh para oposisi pemerintahan. Kalau dilihat dari cara kerja buzzer ini, bagi mereka yang mencintai negeri dan pemerintahan yang sedang bekerja ini, merupakan sebuah bentuk sederhana untuk mempertahankan keadaban publik.  

Namun keberadaan buzzer ini sering dilihat sebagai “benalu” yang mengganggu jalannya proses demokratisasi di negeri ini. Karena itu ketika Hari Pers Nasional 9 Februari 2021, Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan bahwa, musuh terbesar pers saat ini, khususnya daring adalah para buzzer yang ia anggap tidak bertanggung jawab.  “Pers Indonesia secara khusus dalam dinamika politik kebangsaan saat ini penting menjalankan fungsi checks and balances sebagaimana menjadi DNA media massa sepanjang sejarah di negeri manapun.” (Tirto.id, 9/1/2021)

Merujuk pada apa yang dikatakan oleh pimpinan pusat Muhammadiyah di atas berkenaan dengan hari pers nasional, membersitkan perang gagasan antara media mainstream dengan  media sosial. Ketika para wartawan pada media mainstream yang diharapkan untuk memberikan informasi berimbang, mendidik dan mencerahkan masyarakat, ternyata jauh dari harapan publik maka nilai beritanya menjadi berbeda dengan fakta di lapangan. Kinerja wartawan pada media-media ternama sepertinya “tertawan” oleh kepentingan pemodal dan pesanan tertentu yang sengaja memanfaatkan peran kewartawanan untuk menggiring opini publik melalui tulisan di media. Jika wartawan pada media ternama sudah terkontaminasi dengan kepentingan konglomerat pada berita-berita yang disajikan dan opini-opini yang digaungkan itu tidak memiliki nilai karena jauh dari sentuhan fakta.


Kehadiran media sosial, di satu sisi dianggap mengganggu tetapi di sisi lain para buzzer yang aktif memberikan kritik balik pada media mainstream, sepertinya mengarahkan tingkat kepercayaan publik pada para buzzer. Di sini bisa dipahami bahwa untuk membangun kepercayaan publik dan mengembalik marwah pemberitaan, media mainstream harus membangun karakter baru yang berpihak pada kebenaran dengan mengedepankan fakta. Namun sayang, tingkat kepercayaan publik terhadap media-media ternama semakin tergerus, sementara masyarakat atau para nitizen lebih berpihak para buzzer yang berani bertaruh untuk kepentingan publik. Para buzzer adalah orang-orang merdeka, membeli kuota internet dan mengelola akun sendiri tanpa berharap pada siapa pun. Seperti lebah, para buzzer mengerumuni sebuah persoalan dan menjaga “sarang” (baca: Indonesia) dari serangan orang-orang tidak bertanggung jawab.***(Valery Kopong)
 

 

 

 

Monday, February 15, 2021

Berpihak Pada Kebenaran

 

Beberapa waktu yang lalu, sebuah kejadian menimpah seorang wartawan di salah satu wilayah di Flores Timur. Wartawan dari media online itu ditonjok oleh salah seorang pekerja proyek bangunan puskesmas yang sedang dikerjakan. Mengapa wartawan itu ditonjok? Karena wartawan itu menulis tentang kondisi bangunan puskesmas yang belum rampung dan menelan biaya yang cukup besar. Memang sangat memprihatinkan bahwa ketika bekerja meliput berita dan berpihak pada fakta sesungguhnya, ada resiko yang harus ditanggung oleh seorang wartawan. Menjadi wartawan peliput berita berarti ia harus turun ke lapangan dan melihat kondisi yang terjadi, setelah itu ia menulis sesuai fakta yang ada.

Banyak wartawan zaman sekarang tidak mau mengambil resiko. Kebanyakan wartawan lebih senang meliput berita-berita yang memiliki nilai jual yang positif ketimbang harus berkutat dengan berita yang sensitif dan beresiko terhadap wartawan jika memberitakan peristiwa sensitif itu. Peran wartawan saat ini sangat dilematis, di antara tuntutan profesionalitas dan juga tuntutan hidup yang berkaitan dengan tuntutan ekonomi. Wartawan yang memiliki integritas tinggi, tentunya berkomitmen untuk menyampaikan sebuah peristiwa sesuai fakta dan tanpa mempertimbangkan sebuah resiko yang akan merenggutnya. Seperti yang dilakukan oleh Agus, seorang wartawan media online yang harus berurusan dengan para pekerja karena  menuliskan sebuah fakta di lapangan.

Keberadaan wartawan menjadi fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Apa yang sudah dilakukan oleh Agus yang menuliskan berita tentang proses pengerjaan puskesmas itu, memberikan informasi kepada publik  dan sekaligus mengingatkan pemerintah dan DPRD setempat untuk mengontrol jalannya sebuah program yang menelan begitu banyak biaya. Harus diakui bahwa banyak proyek pemerintah di seluruh Indonesia, tidak berjalan secara mulus dan bahkan ada yang mangkrak begitu saja. Dengan melihat kondisi seperti itu, wartawan tentunya gelisah dan ingin memberikan fungsi kontrol melalui pemberitaan terhadap peristiwa itu.    

Fakta dan peristiwa sepertinya harus menyatu dengan jiwa seorang wartawan. Seseorang tidak bisa menegaskan dirinya sebagai wartawan ketika belum menyatu hidupnya dengan fakta dan peristiwa di sekitarnya. Ketika ia (wartawan) itu menegaskan diri sebagai pencinta kebenaran maka pada saat yang sama ia harus jujur saat melakukan peliputan berita. Kejujuran seorang wartawan dalam meliput berita juga menjadi ancaman bagi mereka yang terlibat dalam sebuah peristiwa. Apabila berita yang ditulis itu adalah berita yang menyenangkan dan memberi inspirasi bagi orang lain dan wartawan itu disanjung.  Tetapi menjadi persoalan adalah ketika berita yang diberitakan itu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang sangat sensitif dan bisa meruntuhkan kredibilitas orang lain, terutama para pejabat dan pemangku kepentingan maka ancaman terhadap wartawan menjadi langganan.

Berita yang mau diberitakan itu sensitif seperti persoalan korupsi, proyek yang mangkrak dan peristiwa sensitif lain, seorang wartawan harus berusaha untuk mendapatkan berita akurat. Ia (wartawan) harus turun ke lapangan untuk menemui dan mewawancarai nara sumber primer agar data yang terhimpun menjadi akurat. Memang ini tidak mudah karena kebanyakan wartawan saat ini, lebih mengandalkan “telinga orang lain” untuk mendapatkan berita, atau juga mengolah berita dari media lain untuk kemudian menyajikan berita yang sama, hanya berbeda kemasan bahasanya. Mental wartawan yang mengandalkan “telinga orang lain” menjadi sangat rapuh dan tulisan yang dimuat pada media juga dianggap tidak kredibel. Memang berat menjadi wartawan karena ia membawa berita kebenaran. Bagi seorang wartawan, berpihak pada kebenaran dalam menuliskan sebuah fakta, bisa menyandung orang dan juga mengancam para pemangku kepentingan. Wartawan disanjung, wartawan didera karena berpihak pada kebenaran.***(Valery Kopong)     

Thursday, February 11, 2021

Perjuangan Belum Membuahkan Hasil

 

Ketika bertemu dengan para pengurus yang tergabung dalam tim perijinan gereja Katolik, bisa kita lihat dinamika yang terjadi dalam internal gereja. Ada banyak problem yang harus dihadapi oleh tim perijinan. Beberapa hari yang lalu, saya dan penyelenggara Katolik-Kemenag Kabupaten Tangerang mengunjungi lokasi yang hendak didirikan bangunan gereja Katolik yang letaknya di Cikasungka –kecamatan Solear – Kabupaten Tangerang. Mendengar penuturan dari Bapak Vinsen, ketua tim perijinan, membersitkan sebuah perjuangan yang panjang. Perjuangan mereka tidak hanya sebatas urusan administrasi sebagai pemenuhan tuntutan  SKB 2 menteri. Tim perijinan harus melalui membangun pendekatan pada “akar rumput” untuk mendapatkan dukungan terhadap pendirian gedung gereja.

Perjuangan tim perijinan memberikan banyak pembelajaran. Mereka belajar untuk bersabar, mereka belajar untuk membangun komunikasi dan belajar untuk bertahan ketika dihujat. Proses belajar ini merupakan “sekolah kehidupan” yang memberikan kematangan dan kedewasaan. Dihambat ketika proses itu dimulai, tidak menyurutkan semangat mereka dan tidak membuat mereka marah tetapi diyakini bahwa Tuhan belum memberikan waktu yang tepat untuk mendapat ijin membangun.

Tetapi dengan keterhambatan dalam proses untuk mendapatkan ijin membangun ini, memberikan nilai lain, yakni kehidupan umat Katolik semakin guyub. Ketika mendapat tekanan dan penolakan dari kelompok-kelompok lain yang tidak setuju didirikan gedung gereja, pada saat yang sama, mereka membawa persoalan itu dalam terang kebersamaan umat. Hambatan yang sedang mereka alami bukanlah sebuah tantangan yang mesti dihindari tetapi justeru dengan persoalan itu, mereka tetap solid dan melihat semuanya dalam terang ilahi. “Penderitaan Kristus, jauh lebih berat ketimbang tantangan yang sedang dialami ini.” Kata-kata ini menjadi penghibur dikala persoalan dan pergumulan hidup keagamaan menawarkan tantangan. Kristus menjadi tokoh sentral iman kita dan menjadi cermin bagi kita ketika segala persoalan itu dihadapi. Penderitaan-Nya menjadi role model dan sekaligus menjadi spirit yang memberikan energy untuk berjuang membangun rumah-Nya.

Dalam proses perjuangan itu perlu disadari bahwa Gereja kita adalah Gereja Martir. Artinya bahwa kehadiran Gereja menjadi pembawa kabar gembira selalu membawa konsekuensi, yakni mendapatkan tantangan-tantangan bahkan tantangan itu mengancam nyawa sekalipun. Pendekatan yang dibangun terhadap sesama berlandaskan kasih, tidak semuanya ditanggapi dengan kebaikan tetapi justeru yang didapatkan adalah hujatan. Memang berat untuk membumikan kasih dan kebaikan di dunia sekitar kita. Kita perlu ingat bahwa Yesus Sang Guru selalu menyebarkan pesan kebaikan cinta kasih dan memperlihatkannya melalui tindakan nyata yang berpihak pada mereka yang tersingkirkan, justeru Ia sendiri mendapatkan ancaman pada mereka yang tidak suka dengan ajaran dan tindakan-Nya yang penuh kasih itu.

Pengalaman umat yang dengan susah payah berjuang membangun gedung gereja, mengingatkan kita akan pengalaman Getzemani dan narasi puncaknya pada peristiwa Golgota. Pada titik kelam kehidupan yang dialami oleh Yesus ini, memberikan kisah inspiratif yang menggugah kesadaran kita sebagai pengikut-Nya. Masih ingatkah kita ketika membaca peristiwa Getzemani di mana Yesus hendak ditangkap dan Petrus yang membela gurunya menghunuskan pedang dan menyebabkan putusnya telinga Maltus? Yesus mengambil telinga yang terpotong itu untuk merekatkan kembali pada si pemilik telingan itu. Pesan penting bagi kita adalah bahwa Yesus selalu memancarkan kebaikan kepada siapa saja, termasuk musuh.

Menghadirkan kasih dan kebaikan di tengah masyarakat harus  membutuhkan proses panjang. Upaya mendirikan gedung gereja tidak semata-mata untuk membangun menara gading tetapi yang jauh lebih penting adalah kehadiran Gereja membawa suka cita bagi mereka yang belum mengenal Kristus dan ajaran-Nya. Kehadiran Gereja bisa merangkul semua orang, entah sahabat atau musuh. Dalam rangkulan kasih itu, mereka akan menemukan cinta kasih yang sedang tumbuh dalam diri anggota Gereja. ***(Valery Kopong)

Tuesday, February 9, 2021

Maut dan Pengampunan

 

Ketika membaca berita semalam, salah satu

breaking news adalah meninggalnya Ustad Maaher At Thuwailibi dalam usia yang sangat muda, 29 tahun. Berita meninggalnya ustad ini menghiasi jagat maya dan bahkan banyak yang mempertanyakan kebenaran informasi ini. Dari informasi pada media yang terpercaya membenarkan bahwa Ustad Maaher meninggal dunia ketika ia masih berada dalam tahanan Bareskrim Polri. Kita masih ingat saat ia berseteru dengan lantang dan bahkan bersitegang dengan Nikita Mirzani. Namun dari peristiwa kematian ustad Maaher, sepertinya semua larut dalam diam dan mendoakan agar jiwanya mendapatkan tempat yang baik di sisi Allah.

Semua doa dan harapan yang baik muncul pada permukaan hidup, hal ini menunjukkan sebuah kedewasaan sikap yang ditunjukkan oleh publik. Para nitizen tahu menempatkan diri dan membedakan situasi yang tengah dialami oleh Ustad Maaher dan keluarganya.  Bahwa peristiwa sebelum masuknya ustad Maaher ke tahanan sepertinya membakar situasi sehingga ada ketegangan dan ancaman terjadi. Tapi hal ini merupakan sesuatu yang manusiawi, yang gampang terprovokasi dan menempatkan ego sektoral melampaui segala nilai persaudaraan manusia.

Ada saat di mana kita harus bersitegang dan ada saat di mana kita harus merunduk untuk memahami situasi kedukaan. Rasa kemanusiaan semakin terasa ketika doa yang baik dilantunkan oleh para nitizen yang sebelumnya memperlihatkan ketidaksukaan mereka pada tingkah ustad Maaher. Dalam rentang kejengkelan sebagai manusia, pada titik tertentu kita juga harus memainkan rasa, untuk memberikan iba pada mereka yang terkena musibah ini. Musibah kematian, tidak hanya dialami oleh Ustad Maaher namun hari ini giliran dia yang mendapatkan tawaran Allah itu untuk mendahului kita. Kematian itu bukan soal siapa yang berperilaku baik dan siapa yang berperilaku jelek di dalam hidupnya. Tetapi soal batas akhir kehidupan manusia yang ditandai dengan kematian, hanya Allah yang tahu.


Banyak orang mengatakan bahwa tentang kematian, bukan soal berapa usiamu dan seberapa jauh perilakumu dalam hidup ini tetapi tentang kemahakuasaan Allah yang mengatur kehidupan dan kematian manusia. Kehidupan menarasikan sebuah kerapuhan dan hal ini mau menunjukkan betapa manusia bergantung pada sang pencipta. Hidup hanyalah sementara dan dalam kesementaraan itu, setiap kita mengisi hari-hari hidup secara produktif untuk kemudian menjadi warisan untuk dikenang oleh mereka yang menjalani hidup ini. Memang, sadar atau tidak bahwa setiap jejak langkah kita selalu meninggalkan bekas sejarah yang memberi makna pada hidup dan kehidupan ini.

 

Doa yang tulus dari rivalnya selama hidup mau menunjukkan betapa berharganya manusia dalam konsep kematian yang berharga. Sejelek-jeleknya orang di dalam hidupnya dan bahkan perilakunya menimbulkan kegaduhan tetapi pada saat ketika ia mengalami  kematian, doa-doa yang mengalir membersitkan penghargaan dan menjadikan kematian itu sebagai peristiwa iman yang menyadarkan manusia. Ustad Maaher telah tiada dan berbaring kaku tetapi publik yang selama ini seakan tergiring kesadaran untuk membencinya, harus memberikan pengampunan baginya sebagai bekal untuk menjalani ziarah menuju tanah air surgawi. Sampai berapa kali kita mengampuni? Sampai tujuh puluh kali tujuh kali, kita mengampuni sesama. Artinya pengampunan itu tanpa batas terutama pada mereka yang kita benci. Kebencian kita semakin lenyap ketika maut itu membawanya pergi ke alam lain, alam keabadian.***(Valery Kopong)

 

Friday, January 22, 2021

"Langit Tanya"

 

Mengawali tahun 2021 dan mengisi hari-hari di bulan Januari ini, sepertinya media sosial dan juga berita-berita di televisi memberitakan tentang bencana-bencana yang sedang terjadi di wilayah Indonesia. Ada erupsi gunung Lowotolok, erupsi gunung Semeru, jatuhnya pesawat Sriwijaya dan gempa bumi yang telah memporakporandakan Mamuju dan juga Manado. Di depan layar kaca, kita yang menyaksikan peristiwa tragis itu hanya mengelus dada dan doa penuh harap. Dalam peristiwa ini, tak seorang pun manusia yang berhak mencegah atau bahkan mengendalikan bencana itu. Semua terjadi di luar dugaan manusia dan terkadang sulit dicerna dengan ratio manusia sendiri.

Para keluarga korban tentunya tersayat hatinya karena kepergian anggota keluarga mereka secara tragis melalui kecelakaan pesawat. Tak ada jenazah yang utuh. Semua jatuh berkeping-keping dan dalam kepingan itu, para korban masih bisa diidentifikasi dan kemudian masih dikuburkan oleh pihak keluarganya. Terhadap semua bencana yang mengancam keselamatan manusia ini, maka manusia diminta untuk waspada tetapi yang tetap menjadi persoalan adalah, soal kapan ajal menjemput, tak satu pun yang tahu. Cara untuk mengakhiri hidup di dunia ini pun, tak seorang manusia pun tahu.

Allah sebagai sang Maha ada, Ia menciptakan langit dan bumi untuk manusia. Ia menggerakan dan menuntun seluruh rotasi alam semesta dengan sangat teliti. Apakah peristiwa bencana yang dialami oleh manusia saat ini merupakan kelalaian dari Allah dalam mengontrol siklus hidup alam semesta? Pertanyaan ini tetap menggantung pada “langit tanya” dan pertanyaan  retoris ini tetap menggema sepanjang sejarah hidup manusia. Ketika melihat seluruh bencana yang sedang terjadi di negeri ini, sebagai umat Tuhan, menggiring kesadaran kita untuk memahami peristiwa ini dalam konteks biblis.

Kitab suci, terutama perjanjian lama, banyak mengisahkan tentang bagaimana manusia menghadapi bencana saat itu. Bencana yang muncul mengorbankan manusia, jika dilihat dalam terang biblis maka bencana itu merupakan cara Allah memberikan peringatan bahkan kutukan terhadap manusia yang saat itu berperilaku di luar batas kepantasan dan tidak dikehendaki oleh Allah. Allah memberikan ujian berat terutama pada bangsa pilihan-Nya. Masih segar dalam ingatan kita kisah Nabi Nuh dan air bah yang membawa korban manusia. Hanya Nabi Nuh dan keluarganya yang selamat dalam peristiwa itu. Peristiwa ini bila dilihat dalam terang iman maka memberikan “warning” bagi manusia dan menyelamatkan keluarga Nuh yang saleh itu.

Bencana, apa pun bentuknya pasti terjadi sepanjang sejarah hidup manusia. Namun dibalik bencana itu menyisahkan sebuah pertanyaan penting, apa yang Tuhan mau atas semua peristiwa ini. Semua itu tetap misteri di mata manusia.***(Valery Kopong)   

 

 

 

Wednesday, January 20, 2021

Tangan Yang Tepat


 

 

Beberapa hari yang lalu, sepertinya tanpa sengaja, saya  membuka youtube dan menemukan video inspiratif dalam acara Kick Andy.  Andy Noya dalam acara Kick Andy, menghadirkan seorang pembicara  yang memulai hidupnya dari nol bahkan nyaris membunuh dirinya sendiri karena tertekan oleh kehidupan ekonomi keluarga dan kematian ibunya.  Adalah Esra Manurung, seorang perempuan, pemilik kisah hidup yang suram tetapi saat ini ia (Esra Manurung) memperoleh keberhasilan yang luar biasa. Dalam acara Kick Andy  itu, Esra menceritakan bahwa  mereka hidup daerah Cilincing dengan kedua orang tuanya. Ayah mereka seorang sopir angkot.  Esra memiliki  beberapa orang adik. Ibu mereka meninggal  saat melahirkan anak kembar. Tidak lama juga, ayah mereka kehilangan harapan dan menghilang dari keluarga.

Dengan kondisi seperti itu, Esra yang saat itu duduk di bangku sekolah SMP, harus mengurus adik-adiknya. Menurut ceriteranya bahwa adik-adiknya yang masih kecil dititipkan pada orang lain, pada siapa yang mau menerima adik-adiknya. Untuk urusan makan sehari-hari, mereka makan hanya sekali dalam sehari.  Esra sendiri mengalami tekanan hidup dan bahkan beberapa kali berusaha untuk membunuh diri. Sebuah pengalaman keterpurukan hidup yang dialaminya dan dalam pemberontakan hidup itu, ia mempertanyakan  tentang keberadaan Tuhan. Apakah Tuhan masih ada? Ini pertanyaan yang dilontarkan Esra saat mengalami tekanan hidup itu.  Tekanan hidup yang mendera, sepertinya memaksa seseorang untuk membuka diri dan bertanya tentang Tuhan. Kalau Tuhan masih ada, mengapa ada umatnya mengalami keterpurukan hidup?

Esra menurung melewati hari-hari kelam dengan sikap tegar. Ia terus tekun belajar untuk mengenyam pendidikan. Selesai menyelesaikan pendidikan, Esra Manurung bekerja di sebuah bank swasta untuk beberapa tahun. Namun pada akhirnya ia memutuskan diri untuk keluar dari bank  dan menekuni dunia asuransi.  Karirnya dalam dunia perasuransian sangat cemerlang dan berhasil. Ia menempati posisi penting dan menjadi pembicara di dunia internasional. Menjadi orang penting dan terkenal serta kaya, Esra tidak pernah lupa akan pengalaman masa lampau yang telah membentuknya. Esra kini memiliki sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang sosial dan memberdayakan orang-orang pinggiran.

Ketika ia hadir sebagai tamu dalam acara Kick Andy, Esra membawa sebuah rangkaian bunga yang begitu bagus. Bunga itu merupakan rangkaian dari bahan-bahan daur ulang dan dikemas secara lebih menarik. Bunga yang dirangkai dari bahan-bahan daur ulang membahasakan sebuah cara sederhanya, di mana ketika telah bertemu dengan “tangan yang tepat” untuk merangkai maka akan menghasilkan rangkaian bunga yang menarik.  Esra menganalogikan bahwa ibarat bunga yang dirangkai secara menarik, setiap kehidupan yang terpuruk namun ketika dijamah oleh tangan yang tepat maka akan menghasilkan manusia yang produktif. Esra belajar dari orang tuanya  yang memilliki tekad yang kuat walaupun ayahnya hanya seorang sopir.

https://www.youtube.com/watch?v=hjpTQF4RyS8

Saat ini Esra tidak tinggal diam menikmati kekayaan yang merupakan hasil jerih lelahnya tetapi mendampingi orang-orang pinggiran untuk perlahan memberikan motivasi dan pendidikan jalanan agar mereka yang kehilangan harapan bisa meraih kembali harapan yang hampir sirna itu. Dalam dialog dengan Andy Noya itu, Esra sempat diminta untuk memberikan motivasi bagi para penonton yang hadir. Dia sempat mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Presiden Soekarno bahwa “gantungkan cita-citamu setinggi langit” dan pada waktu yang tepat, Anda akan “jatuh sebagai bintang” cemerlang yang menerangi kekelaman hidup. Hanya dengan “cahaya” maka kita mampu menerangi jalan kelam. Tak       ada waktu terlambat bagi siapapun yang kehilangan harapan untuk bangkit kembali. Karena hanya menggenggam harapan, maka cahaya hidupmu akan berpijar kembali.***(Valery Kopong)  

Monday, January 18, 2021

Melampaui Benua


 

Ketika para anggota SVD sejagat merayakan pesta Santo Arnold Janssen, 15 Januari, pada saat yang sama, kami (saya) yang pernah berada pada biara yang didirikannya turut merasakan getaran kasih yang turut membesarkan seluruh perjalanan hidupku. Andaikata saya tidak mengenyam pendidikan dan tidak dibentuk dalam biara SVD, mungkin hidupku tidak seperti ini. Pelbagai pengandaian turut menggelantung dalam memoriku. Betapa tidak!! Sejak tahun 1990, saya sudah mengenal sentuhan pelayanan dari para imam dan bruder SVD yang berkarya di Seminari Hokeng, sebagai pengajar dan juga pengelola kebun yang bisa menghidupkan keluarga besar Seminari Hokeng. Para imam SVD yang menjadi guru waktu itu, beberapa di antaranya berasal dari luar negeri, seperti Pater Cor Vermolen, SVD, yang dikenal sebagai pendiri Seminari Hokeng dan Pater William Pop, SVD yang berasal dari Amerika.

Pater Cor Vermolen, SVD berasal dari Belanda. Ia menjadi imam misionaris, berani meninggalkan tanah air Belanda dan mengabdikan diri sebagai pewarta Sabda dan pada akhirnya menutup usia di Seminari Hokeng. Melihat pengorbanan para misionaris dan Pater Cor Vermolen, SVD sebagai pendiri Seminari Hokeng, ada nilai pengorbanan dan pelepasan diri untuk berani keluar dari diri dan menjumpai yang lain (orang-orang yang dilayani). Mengapa SVD, yang rumah misi awal di Steyl berusaha untuk melihat titik-titik misi melampaui benua? Memang, misi SVD menjadi pewarta Sang Sabda dan berusaha menyebarkan kabar gembira kepada orang-orang yang belum mengenal Injil dan Kristus.

 Pulau Flores saat itu merupakan pulau terpencil dan jauh dari jangkauan pewarta sabda. Bisa dibayangkan seratus tahun yang lalu ketika misi SVD masuk ke wilayah Flores dengan menempuh perjalanan dari Eropa, terutama Belanda yang menghabiskan banyak waktu di perjalanan untuk menempuh titik tuju pulau Flores. Perjalanan panjang para misionaris SVD asal Eropa dengan menggunakan kapal laut, tentunya dihantam oleh gelombang dan ombak yang begitu ganas tetapi mereka (para misionaris) begitu tegar menghadapi semua tantangan alam.

Iman itu tumbuh dari sebuah pergulatan panjang. Dengan masuknya para imam, terutama imam SVD di wilayah Flores, tentu melewati proses panjang. Dan dalam proses itu butuh waktu dan ketelatenan untuk menghadirkan sabda melalui pewartaan dan tindakan yang dilakukan. Pewartaan yang paling baik tidak hanya berkutat pada mimbar sabda di gereja tetapi terlebih pada bagaimana cara membimbing umat untuk teguh beriman pada Kristus dan memiliki kecukupan dalam bidang ekonomi. Tentang upaya untuk pengembangan sosial ekonomi ini pada kehidupan umat, saya teringat akan peran besar Pater Fritz Brown, SVD, seorang misionaris asal Jerman yang juga dikenal sebagai dosen di STFK Ledalero. Pater Brown, demikian sapaan akrabnya, tidak hanya berkutat dengan diktat-diktat akademik untuk mengajar para mahasiswa tetapi lebih dari itu ia berusaha untuk membor sumur air di wilayah Maumere untuk digunakan oleh warga. Suatu usaha nyata yang dilakukan oleh Pater Fritz yang menghadirkan cinta kasih melalui cara nyata yang berpihak pada mereka yang kekurangan air.

Kehadiran mereka (para imam SVD) yang berkarya di wilayah Flores, cara mereka ada dan berada bersama umat, sepertinya menghadirkan kembali momentum Kana, tempat Yesus mengadakan mukjizat perdana. Kehadiran mereka memberikan jawaban atas kerinduan orang-orang kampung yang serba kekurangan. Mereka mengalami suka cita karena mendengar dan merenungkan sabda serta dikenyangkan oleh kebaikan hati para misionari. Terima kasih SVD.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

Wednesday, January 13, 2021

Menyembuhkan Yang Sakit

 

Setiap manusia, tentu mengalami dua sisi hidup yang saling bertentangan, namun selalu ada untuk dijumpai selama kita masih hidup di dunia ini. Ada saat untuk tertawa karena mengalami kegembiraan tetapi juga ada saat di mana kita harus menangis ketika kita berhadapan dengan  pengalaman yang tidak mengenakan dan bahkan menjadi beban hidup. Dua sisi hidup yang selalu beriringan dengan kehidupan manusia, perlu disikapi dengan baik. Ketika kita dianugerahi Tuhan dengan kesehatan yang baik maka perlu kita syukuri sebagai bagian pemberian istimewa dari Tuhan. Sebaliknya, ketika kita mengalami pengalaman sakit, pada saat yang sama, kita pun menyadari bahwa Tuhan menginginkan kita untuk berhenti sejenak, memulihkan kondisi yang kurang sehat itu. Kesehatan menjadi “harta berharga” karena dengan bermodal sehat, setiap kita boleh melakukan aktivitas secara normatif.

Hari ini dalam Injil Markus 1: 29-39, mengisahkan tentang Yesus menyembuhkan ibu mertua Simon Petrus yang mengalami sakit demam. Yesus hanya memegang tangannya, seketika itu juga, demamnya hilang. Peristiwa penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus didorong oleh rasa belas kasih. Yesus menempatkan misi penyelamatan orang-orang sakit dan tersingkir sebagai prioritas utama. Tindakan Yesus untuk menyembuhkan orang sakit juga menjadi cara untuk menghadirkan “Kerajaan Allah” yang sedang dilakukan-Nya.

Peristiwa penyembuhan pada mertua Simon Petrus, secara sederhana bisa dilihat bahwa sebelum Ia melakukan penyembuhan pada orang lain, Ia harus memulihkan yang sakit dalam kalangan internal, yang masih berhubungan dengan kerabat para rasul, terutama Simon Petrus. Perwujudan Kerajaan Allah harus bermula dari lingkungan internal melalui peristiwa penyembuhan orang sakit dan bisa bergerak keluar untuk meyakinkan publik bahwa kerajaan Allah sudah dan sedang terlaksana dalam diri Yesus.


Warta tentang kerajaan Allah, menawarkan suka cita bagi siapa saja yang membuka diri akan kehadiran Kerajaan Allah. Kerinduan terbesar akan kedatangan kerajaan Allah
 yang menyelamatkan, muncul dalam diri mereka yang sakit. Mereka yang pulih dari sakit menjadi “corong utama” untuk memperkenalkan bahwa Mesias sudah datang dan kerajaan Allah sedang berpihak pada mereka. Kerajaan Allah hadir untuk memulihkan yang sakit, menegakkan yang lumpuh dan membangkitkan orang yang sudah meninggal. Kerajaan Allah berpihak pada mereka yang selalu membuka diri.***(Valery Kopong)

 

 

Tuesday, January 12, 2021

Mengajar Dengan Penuh Wibawa

 

Ketika musim corona menerpa dunia, sepertinya tak ada yang berkutik.  Hampir seluruh tatanan kehidupan diporak-porandakan oleh virus yang mematikan ini. Soal dunia kerja, banyak orang yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena  seluruh produksi perusahaan mengalami ketersendatan dan bahkan mengalami kebangkrutan. Kita semua kerja dari rumah, belajar dari rumah bagi siswa dan mahasiswa. Kita semua juga berdoa dan mengikuti misa dari rumah secara live streaming. Kehidupan rohani, dalam kondisi apa pun perlu dihidupkan agar iman kita tidak kendor  di saat  terpaan persoalan hidup semakin rumit.

Ketika mengalami pengalaman perjumpaan Tuhan secara live streaming, ada nuansa baru yang dialami oleh setiap orang. Dengan mengikuti perayaan Ekaristi secara live streaming melalui youtube, hampir setiap keluarga berkompromi untuk menentukan, paroki mana yang harus dikunjungi,  dan tentunya mereka (keluarga) bisa menilai, khotbah pastor mana yang lebih menarik perhatian dan penuh daya refleksi yang kuat.  Cara memilih para imam Katolik dengan kualitas khotbah yang menarik, sepertinya menjadi pilihan dan tentunya menjadi sebuah kegembiraan tersendiri ketika disapa oleh Sabda dan tafsir makna kitab suci. Di  era modern ini dengan dunia internet yang menghubungkan keluarga dengan paroki-paroki pilihan di dunia maya, menjadi sebuah pilihan yang menarik. Keluarga-keluarga yang selama ini (sebelum corona) mengikuti misa secara offline dan berhadapan dengan khotbah pastor parokinya yang kurang menyentuh, kini boleh mengalami suka cita karena sentuhan Sabda Allah melalui khotbah yang menarik dari imam di paroki lain pada dunia maya.

Injil hari ini,  Markus 1:21b-28, memperlihatkan Yesus yang mengajar dengan kuasa dan menarik perhatian dari para ahli Taurat. Ketika para ahli Taurat mengajar secara monoton dan terkesan kurang menarik maka kehadiran Yesus memberikan tawaran baru untuk bagaimana mendalami kitab Taurat dan mengejawantahkan pesan penting yang terkandung dalam kitab Taurat itu. Kewibawaan Yesus ditampilkan dihadapan para ahli Taurat ketika Ia sedang mengajar dan bertindak dengan kuasa-Nya untuk mengusir roh jahat. Tindakan Yesus sebagai bentuk pembebasan bagi mereka yang terbelenggu akibat roh jahat, memberikan cara baru bahwa Sabda itu memiliki kekuatan dan daya hidup baru. Yesus adalah Sang Sabda yang telah menjadi manusia. Ia mengajar dengan kuasa yang melampaui ratio manusia dan tindakan-Nya juga melebihi cara berpikir manusia. Cara Yesus memproklamirkan tentang kerajaan Allah, tidak hanya dengan mengajar tetapi juga memperkuat apa yang dikatakan-Nya dengan tindakan yang berpihak pada mereka yang menjadi korban dan mereka yang tersingkirkan.***(Valery Kopong)

Friday, January 8, 2021

Jeritan Permohonan

 

Ketika membaca kisah pentahiran orang-orang kusta yang dilakukan oleh Yesus, situasi yang melingkupi orang-orang kusta berada pada  peralihan dari derita menuju suka cita. Orang-orang yang terkena kusta adalah mereka yang pada akhirnya disingkirkan dari pergaulan umum dan bahkan dianggap sebagai limbah masyarakat. Mengidap penyakit kusta bukan impian setiap orang tetapi karena kondisi tubuh yang memungkinkan kusta itu menghinggap pada tubuh mereka maka ini merupakan awal mula munculnya malapetaka hidup. Mengidap penyakit kusta dalam pandangan masyarakat Yahudi merupakan puncuk dari kutukan Allah terhadap penderita. Bisa dibayangkan, betapa berat beban batin yang harus ditanggung oleh seorang penderita karena selain menderita karena penyakit namun di sisi lain, tekanan sosial juga harus ditanggungnya. Mereka dibuang ke hutan sebagai cara untuk membersihkan kampung halaman.

Membaca kisah orang-orang kusta, memunculkan memori tentang kisah pahlawan Molokai, Santo Damian. Saat ia menjadi seorang imam, ia membaktikan hidupnya pada para kusta yang saat itu dibuang di pulau Molokai. Damian melayani mereka yang kusta dan pada akhirnya mati bersama orang-orang kusta. Kisah heroik ini memperlihatkan betapa nilai pengorbanan diri yang menjadi taruhan utama dalam pelayanannya. Pastor Damian tidak mencari titik aman untuk memproteksi diri dari ancaman kusta tetapi justeru ia mencari orang-orang kusta untuk dilayani. Ia memberikan penyegaran rohani melalui pelayanan sakramen, sebagai cara untuk menyiapkan akhir dari sebuah kematian berharga pada orang-orang kusta.

Kisah masa lampau kini terulang kembali. Dalam Injil hari ini, Lukas 5:12-16 memperlihatkan orang-orang kusta yang disembuhkan oleh Yesus. Dari mulut orang-orang kusta, keluarlah sebuah jeritan permohonan.  "Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku." Penggalan teks ini membahasakan sebuah kerinduan terdalam akan kesembuhan diri mereka. Yesus menanggapi jeritan itu dengan tindakan pentahiran, pembersihan diri mereka dari balutan penyakit yang menjijikan itu. "Aku mau, jadilah engkau tahir." Seketika itu juga lenyaplah penyakit kustanya. Bisa dibayangkan, betapa suka cita seorang kusta mengalami lepas bebas dan bersih dari penyakit kusta yang selama ini dialaminya. Bersih dari kusta membuka ruang perjumpaan baru dengan para pengambil keputusan saat mereka disingkirkan dari masyarakat. Karena itu Yesus, setelah mentahirkan mereka yang kusta, Ia menyuruh mereka untuk memperlihatkan diri pada para imam, pemegang otoritas dalam masyarakat dan menentukan siapa yang layak berada di dalam masyarakat dan siapa yang harus disingkirkan karena mengidap penyakit kutukan dari Allah itu. 

Terkadang, dalam hidup ini, kita bertindak mirip imam-imam Yahudi yang berani mengambil keputusan untuk menyingkirkan orang dari pergaulan umum. Tindakan penghakiman itu sepertinya mendapat pembenaran karena melibatkan Allah dalam tindakan tak terpuji itu. Banyak orang mungkin menjadi korban dari tindakan kita. Kita telah “mengkustakan” mereka agar layak disingkirkan dari hadapan kita. Tetapi saat melakukan tindakan itu, mestinya kita harus bertanya diri, untuk apa dan mengapa.***(Valery Kopong)