( Sebuah Analisis Sosio-kultural)
Oleh: Valery Kopong*
Di
depan pintu besi Lapas yang sulit didobrak itu, saya menitipkan HP, KTP dan tas
ranselku juga digeledah. Di ruang itu saya menyuruh petugas Lapas untuk
memanggil Didik, (bukan nama sebenarnya) dan beberapa rekannya untuk kami
ngobrol bersama di ruang tunggu. Cukup lama saya menunggu dan tiba-tiba ia dan
beberapa temannya yang Katolik datang dari arah kapel. Di tangan Didik,
tergenggam Injil dan didahinya diberi tanda salib dengan abu. Ketika masuk di
ruangan, beberapa temannya menanyakan soal arti pemberian diri dengan abu di
dahi. Dengan penuh keyakinan, Didik menjelaskan
pada teman-teman narapidana yang muslim, bahwa tanda abu yang dikenakan
pada dahi mengingatkan kita sebagai manusia lemah yang diciptakan dari tanah,
suatu saat akan kembali ke tanah. Mendengar penjelasan itu, saya hanya manggut
sebagai cara untuk mengapresiasi terhadap apa yang dikatakan sebagai kebenaran
dari ajaran yang diterimanya.
Beberapa
waktu yang lalu, saya menerima sebuah pesan singkat dari seorang teman yang
memberitakan pada saya mengenai judul
bukunya yang mau diterbitkan di Yogyakarta. Judul bukunya “Orang-orang Kalah.” Saya lalu bertanya, kira-kira apa isi
dari buku yang diberi judul orang-orang
kalah? Dia lalu memberikan jawaban bahwa bukunya itu menceritakan tentang seluruh pewartaan dan pengorbanan Yesus yang
selalu mengendepankan diri sebagai
orang yang mengalah pada situasi, demi
sebuah nilai yang lebih tinggi. Ketika kehadiran Yesus sebagai Mesias (penyelamat dunia) di dunia, Ia ditolak oleh orang-orang
Israel karena konsep kemesiasan orang Israel adalah seorang pemimpin yang tampil dengan gagah
perkasa dan bisa menumpas para penjajah
agar mereka terhindar dari tekanan kolonial.
“Bapak kami
yang ada di surga.” Itulah penggalan awal doa Bapak Kami, sebuah doa yang
diajarkan oleh Yesus sendiri kepada kita. Ketika mendaraskan doa ini, terasa
Bapa itu masih jauh dari hadapan manusia, Allah yang transenden. Sepertinya ada
paradox antara pemahaman Katolik tentang Allah yang imanen, yang menetap di
hati kita tetapi pada saat yang sama ketika doa Bapa Kami itu didaraskan, orang
merasa bahwa Allah itu masih jauh, kurang terlibat dengan kehidupan manusia.
Langit
kota Tangerang masih sedikit kabut, walau jam yang terpampang pada dinding
tembok Lapas Pemuda Tangerang itu
menunjukkan pukul 08.30. Jarum jam
berdetak dalam keheningan, seakan bersolider dengan para penghuni Lapas yang sering berontak dalam keheningan
batin. Hari itu, hari Rabu di bulan
Januari 2016, kami berjumpa lagi setelah ia bebas dari kurungan penjara. Ketika bertemu denganku, ingatannya akan masa lalu seakan muncul
kembali. Dahulu kami mengunjungi dia sebagai salah satu anggota Lapas Pemuda
Tangerang. Tetapi kali ini lain. Ia bersama team pengunjung dari kelompok Legio
Maria, Paroki Hati Santa Perawan Maria
Tak Bernoda-Tangerang, mengunjungi para narapidana.
Melihat pengalaman hidup harian,
kecenderungan yang kuat dan selalu menggoda yakni setiap orang sepertinya
“terpanggil” menjadi penonton yang pasif terhadap acara-acara yang ditayangkan
di TV. Suguhan acara tentu menarik dan memiliki daya magnetis sehingga mudah
memberi ruang tontonan daripada masuk ke dalam ruang sunyi. Ruang sunyi yang
menawarkan keheningan seakan kalah di hadapan ranah hiburan bahkan sunyi itu
sendiri menawarkan rasa takut bila berada dalam kesunyian doa. Doa dalam
konteks tertentu “tidak bernyawa” lagi karena dipengaruhi oleh kecenderungan
untuk terlibat dalam gebiyarnya kehidupan metropolitan.
Setiap kali bertemu dengan Romo Dan di ruang sakristi,
sepertinya naluri panggilanku untuk menjadi calon imam semakin terasa. Khotbah Romo Dan yang selalu berapi-api memberikan semangat bagiku
dan ingin mengikuti jejak Kristus
menjadi calon imam. Apakah benih panggilan yang mulai terpupuk sejak aku
terlibat dalam kegiatan sebagai putera altar bisa terwujud? Pertanyaan
sederhana ini sepertinya sedang membenturkan dinding cita-citaku.
Sejak kapan saya mulai menulis? Kebiasaan menulisku mulai
tumbuh ketika mengenyam pendidikan di SMP Lembah Kelapa-Kiwangona – Adonara
Timur. Ketika itu bersama beberapa teman dipercayakan untuk mengisi kolom pada
majalah dinding yang waktu itu dibaptis dengan nama “QUO VADIS.” Nama majalah
dinding “QUO VADIS” tetapi arti dari kata Latin ini kutahu setelah saya
mengenyam pendidikan di Seminari San Dominggo, yang kebetulan juga kita belajar
bahasa Latin. QUO VADIS, ke mana engkau pergi? Pertanyaan ini menarik sekaligus
menantang seseorang untuk melihat diri dan selalu bergerak keluar dari diri
untuk menjumpai yang lain. Sejak berkenalan dengan majalah dinding, naluriku untuk
menulis terus bergerak tumbuh dan apalagi didukung dengan iklim di Seminari
Hokeng yang menggiatkan pola hidup membaca dan menulis, baik di majalah sekolah
maupun majalah dinding.