Showing posts with label Feature. Show all posts
Showing posts with label Feature. Show all posts

Friday, November 15, 2019

Tuhan Tidak Adil


Suatu sore yang sedikit mendung, tepatnya pada Selasa, 12 November 2019. Sepulang kerja, aku mendapatkan berita duka dari tetangga bahwa anaknya Clarisa yang masih setahun usianya harus meregang nyawa saat berada bersama dengan pembantu yang momong. Tragedi ini di luar dugaan dan sulit dicerna dengan nalar manusia. Kedua orang tuanya yang saat itu masih berada di tempat kerja, seakan disambar petir di siang bolong karena mendengar berita kematian puteri mereka yang lucu. Orang tuanya Clarisa terus memberontak  bahkan menyalahkan Tuhan tidak adil terhadap mereka. Tuhan tidak membiarkan puteri mereka bertumbuh di tengah-tengah keluarga  dan “terpaksa layu” di tengah harapan.

Tuesday, November 12, 2019

Jejak Kaki


Ketika melakukan pembinaan di beberapa sekolah, biasanya saya mengamati fasilitas sekolah dan pola perilaku siswa/siswi yang bisa mencerminkan wajah sekolah yang sebenarnya.  Dari sekian banyak sekolah yang saya kunjungi itu, umumnya biasa-biasa saja dan tidak memberikan sebuah “daya kejut” bagi siapapun yang datang. Namun ketika diminta untuk datang ke sekolah Insan Teratai pada tanggal 17 Juli 2018, saya berjumpa dengan pelbagai keunikan di sekolah ini. Siswa-siswi yang mengenyam pendidikan di Insan Teratai umumnya dari latar belakang kehidupan ekonomi yang kurang mapan dan orang tua siswa/i merasa memiliki sekolah bahkan menjadi bagian dari Insan Teratai. Orangtua terlibat di dapur dan membersihkan lingkungan sekolah karena merasa sebagai bagian dari keluarga besar Insan Teratai.  

Friday, June 14, 2019

Menyimpan Foto: Memendam Rasa


Sekitar tahun 2003, saya mengenalmu dan tahun 2004 pengenalanku denganmu lebih dekat karena perkawinan yang dilangsungkan antara saya dan Yuni, puterimu sendiri. Sejak menikah dengan anakmu, saya terhitung sebagai menantu dan komunikasi yang dibangun selama ini sangat baik. Ada spirit dan nasihat-nasihat bijak yang diberikan oleh bapa Hardi Utomo kepada saya dan keluarga saya. Kata-kata menegakkan kami untuk menjalani hidup ini tatkala kami merasa lesuh dan jenuh saat menapaki hidup ini. Kata-kata menyejukkan seperti setetes air yang tengah berada pada “gurun kembara.”
Tidak hanya kata-kata bijak dan nasihat lembut yang telah engkau tinggalkan pada kami. Namun tindakan nyata yang pernah dilakoni olehmu menjadi teladan hidup terbaik bagi kami. Ketika sedang bermusuhan dengan siapa pun, engkau ajarkan kepada kami agar selalu “menyapa” walau yang disapa adalah musuh kita. Ajaranmu ini mencontohi Sang Guru Agung yang selalu mencintai siapa pun, termasuk musuh. Musuh-musuh pun harus disapa dan didoakan agar “jembatan relasi” yang sempat ambruk oleh buruknya komunikasi bisa terbangun kembali. Menjadi pertanyaan penting bagi saya, apakah ajaranmu untuk menyapa musuh bisa saya terapkan? Pertanyaan ini penting bagi saya karena kita berada pada dua budaya yang berbeda. Saya menganut budaya Lamaholot dan Adonara khususnya, konsep menyapa seperti yang ditawarkan bapa, terkesan bertolak belakang dengan latar budaya saya bahwa seorang musuh harus diberanguskan dan tidak ada ruang komunikasi dalam setiap perjumpaan. Atau meminjam bahasa kitab suci, “mata ganti mata, gigi ganti gigi.”

Wednesday, January 2, 2019

Cerita dari Pangkuan Merapi


           “Sekali mendayung, dua atau tiga pulau terlampaui.” Ungkapan ini rupanya mengena dengan perjalanan wisata kami ke Cangkringan-Sleman, Yogyakarta. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah “Stonehenge Yogyakarta”yang letaknya di atas pangkuan Merapi. Tempat ini terbilang sederhana karena hanya merupakan tancapan batu-batu buatan dari semen namun kelihatan natural dan memiliki daya tarik terhadap wisatawan. Banyak pengunjung berusaha untuk berfoto dengan latar belakang batu-batu buatan itu.
Gambar mungkin berisi: Valery Kopong, tersenyum, berdiri dan luar ruangan
Penulis dan ular piton di Jogya Exotarium
Liburan ke Yogyakarta tanpa mengunjungi tempat-tempat wisata, rasanya perjalanan untuk berlibur terasa hambar. Tanggal 22 Desember 2018 kami berlibur ke Yogyakarta dan tidak hanya berdiam diri di rumah yang terletak di Jatimulyo, kota Yogyakarta tetapi hampir setiap hari kami mengisi kegiatan dengan mengunjungi tempat-tempat wisata yang sedang dikembangkan. Tempat wisata pertama yang kami kunjungi adalah daerah Cangkringan – Sleman- Yogyakarta. Tempat wisata yang berada di ketinggian Merapi itu tidak hanya menawarkan suasana seram saat Merapi mulai mengamuk tetapi pada saat-saat teduh, tempat wisata menjadi ramai dikunjungi.
          

Monday, June 25, 2018

Membangun Kebersamaan di atas “Luka”

Pertemuan keluarga di Waiwadan, 23 Juni 2018
Melihat foto yang dikirim oleh adik Arnold Janssen Geroda Belido melalui WhatSApp, menggugah nuraniku untuk melihat lebih jauh tentang situasi  keluarga besar saya yang ada di Gelong Lama Ledan. Sebuah foto yang menggambarkan kebersamaan yang tidak lazim dibangun selama ini. Mengapa saya berani mengatakan bahwa kebersamaan ini tidak lazim seperti yang terekam dalam kamera?  Karena pertemuan ini bersifat mendadak dan menjadi sebuah bentuk pemberontakan sunyi dari kelompok yang mempertahankan nuansa keakraban keluarga. Kebersamaan ini dibangun di atas “luka” ini membahasakan betapa dalam relung refleksi orangtua kami yang semakin sepuh tak tak berdaya di hadapan garangnya anak-anak mereka.

Friday, April 6, 2018

Kemah


Oleh: Valery Kopong*

TANGGAL 21 malam, bulan November 2009 waktu itu.  Di tengah mendung menggelayut langit sekolah Tarsisius Vireta, ada banyak kemah berdiri tegak di jantung halaman sekolah. Dalam sorotan api unggun yang memikat, seakan membakar kesadaranku untuk selalu berjaga dan berjaga. Anak-anak SD Vireta tengah mendesis di ruang kemah itu yang seakan mengundang kemarahan dari kak Pembina. Tapi apakah mereka yang berkemah adalah potret simpel dan simbol dari sebuah kehidupan yang fana?
         

Tuesday, April 3, 2018

Di Tangkai Langit


                   (Elegi sang perantau)

             
Siapa yang tahu persis, kapan kematian itu menjemput seseorang? Di sore yang sedikit mendung dengan awan sisa menggelantung di tangkai langit, seolah menerima keramahan dan senyuman terakhir bagi mereka yang melewati pos satpam Vireta. Ia pamit pulang karena jam kerjanya sudah selesai. Makan sore pun mulai. Piring yang ada di tangan menjadi saksi bisu kepergian Frans De’ona, lelaki dari pulau lomblen yang telah lama merantau.
            Semua pada panik karena kondisinya kejang. Ia dilarikan ke Rumah Sakit tapi dalam perjalanan ia menghembuskan nafas terakhir. Kami yang menunggu dengan jantung setengah berdenyut, tiba-tiba hanyut dan larut dalam kemelut dingin. Ia mati sebagai seorang security. Ketika bertugas berjaga, mata-mata para satpam belalak liar mengintai pencuri atau musuh yang datang tapi kali ini ia tak sanggup lagi mengintai kedatangan maut. Ia hanyat terbawa dalam arus sakratul maut. Ia mati selamanya.Dan tentang kematian, seorang sahabat saya yang meninggal setelah menulis puisi ini, menuangkan nilai-nilai puitis bernada demikian:
Kuusung jenasahku sendiri
Menyinggung tepian samudra
Angin yang mengawal pantai
Menebar bau kematian ini
Kumakamkan diriku sendiri di sini
Tanpa kembang seribu janji
Tiada pula syair-syair kebangkitan…
           

Friday, March 9, 2018

Kerinduan Seorang Narapidana




“Sebuah jubin lantai rumahku terpecah. Terlihat, seekor jangkrik  keluar dari retakan jubin sambil mengibas sayap, pratanda ada kebebasan baru yang dialami.”
                                                                 

   
Langit kota Tangerang-Banten  semakin cerah. Sinar mentari pagi perlahan menyusup menembusi  dedauan yang masih melekat rapih di pohonnya. Kecerahan langit tak secerah langit jiwa  sang kelana yang kini mendekap di hotel prodeo. Langkahku semakin merapat pada pintu besi di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Deru mesing-mesin kota dan semburan asap dari knalpot, sepertinya tidak mengganggu kehidupan mereka yang sangat terbatas. Kerinduan untuk bebas selalu menggema setiap saat tetapi itu hanya kerinduan. Waktulah yang menentukan dan memungkinkannya untuk keluar dari arena tak bebas itu.
            Di depan pintu besi Lapas yang sulit didobrak itu, saya menitipkan HP, KTP dan tas ranselku juga digeledah. Di ruang itu saya menyuruh petugas Lapas untuk memanggil Didik, (bukan nama sebenarnya) dan beberapa rekannya untuk kami ngobrol bersama di ruang tunggu. Cukup lama saya menunggu dan tiba-tiba ia dan beberapa temannya yang Katolik datang dari arah kapel. Di tangan Didik, tergenggam Injil dan didahinya diberi tanda salib dengan abu. Ketika masuk di ruangan, beberapa temannya menanyakan soal arti pemberian diri dengan abu di dahi. Dengan penuh keyakinan, Didik menjelaskan  pada teman-teman narapidana yang muslim, bahwa tanda abu yang dikenakan pada dahi mengingatkan kita sebagai manusia lemah yang diciptakan dari tanah, suatu saat akan kembali ke tanah. Mendengar penjelasan itu, saya hanya manggut sebagai cara untuk mengapresiasi terhadap apa yang dikatakan sebagai kebenaran dari ajaran yang diterimanya. 
             Ruang tunggu itu tak beda jauh dengan “ romantic room.” Semua nara pidana  yang saya jumpai sedang memeluk isteri atau anaknya dengan penuh kasih sayang. Kerinduan itu tersembul dari sorotan mata yang tak bisa menipu realita. Sambil menikmati coca-cola, saya mengobrol bersama beberapa napi yang katolik. Ketika saya tanya, apakah banyak napi katolik? Dengan penuh kepastian, ia menjawab, sekitar 30-an orang napi katolik. Mereka masuk atau dipaksa masuk ke situ dengan beragam masalah. Ada yang dihukum karena melakukan tindakan kriminal, ada yang terjerat masalah narkoba dan banyak lagi kasus yang menimpah mereka yang pada akhirnya menyeret mereka ke Lembaga Pemasyarakatan itu.  
            Socrates pernah berujar, “apabila banyak sekolah didirikan maka suatu saat, penjara-penjara bisa ditutup.” Ungkapan Socrates ini membahasakan bahwa keberadaan sekolah menjadi jaminan bahwa pola perilaku manusia bisa tertata rapih dan kejahatan perlahan lenyap dari bumi ini. Tetapi apa realita yang muncul saat ini? Pendirian sekolah hampir bersamaan dengan pendirian penjara atau sekarang disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Di depan papan pengumuman itu aku melihat data-data terutama jumlah orang yang ada dalam penjara sekitar 1000 lebih orang. Ini belum terhitung dengan jumlah nara pidana di Lapas wanita dan anak-anak.  Sebuah angka yang menggila dan fantastis. Tetapi apakah mereka adalah orang-orang terbuang dari pergaulan umum karena ulah tingkah dan salah mereka? Melihat jumlah napi yang semakin menanjak, menjadi sebuah sindiran bagi lembaga keluarga, sekolah dan agama yang selalu mendengungkan moralitas dan nilai cinta kasih. Masing-masing institusi mempertanyakan diri. Seberapa jauh nilai cinta kasih dan moralitas ditanamkan dalam diri anak-anaknya?
            Dalam rentang waktu yang tidak mengenal titik habis, kita terus bertanya, mengapa mereka terhempas dan dihempas dalam penjara? Sampai kapan mereka mengalami pertobatan yang berarti? Inilah pertanyaan yang sederhana terus menggeliat dalam lika-liku waktu. Didik, walau dianggap sebagai pembunuh kelas kakap, tetapi beberapa tahun terakhir menunjukkan diri ke arah perubahan yang lebih baik.  Menurut penuturannya dengan saya, dengan berbekal pengalaman yang tidak bebas di Lapas, ia selalu menasihati keluarganya agar menghindari hal-hal yang bersentuhan dengan tindakan kriminal. Pengalaman di Lapas adalah pengalaman yang tidak mengenakkan dan ruang gerak kebebasan selalu dipantau.
            Apa yang harus dilakukan sebagai upaya dalam mengatasi pelbagai persoalan? Baginya, hanya satu cara yang ditempuh yaitu mengikuti proses hukum dan menjalaninya secara normatif. Cara ini memperlihatkan   sebuah upaya untuk bersahabat dengan keputusan hakim yang telah mengetuk palu. Menghitung  hari-hari hidup dibalik jeruji adalah menghitung sebuah kesia-siaan. Mengapa kesia-siaan? Karena setelah menghitung, berapa lama lagi saya mendekap dalam penjara, saya tetap menjalani hidup sebagai napi dan masih menunggu waktu untuk suatu saat keluar dari penjara. Memang, penjara (Lapas) hanya memenjarakan saya secara fisik tetapi kerinduan saya tak bisa terpenjara. Kebanyakan napi hidup dalam kerinduan, rindu untuk pulang rumah, untuk ada bersama dengan anggota keluarga.
            Semangat dan kerinduan menjadi spirit yang menggerakkan kesadaran mereka untuk bertahan dalam penjara. Tanpa harapan dan kerinduan maka pupus sudah makna hidup yang dijalaninya. Memang penjara, di mata kebanyakan orang adalah tempat pembuangan bagi mereka yang menyalahi aturan normatif. Namun penjara juga dilihat sebagai wadah yang membentuk atau mendaur kembali kehidupan orang-orang yang sudah jauh dari sentuhan moralitas. Di ujung pertemuan itu, Didik semakin menguatkan diri dengan melihat figur Paulus, yang dulu dikenal sebagai penjahat dan membunuh orang-orang yang menamakan diri sebagai pengikut Yesus, tetapi setelah mengalami pertobatan, ia menjadi rasul terbesar dalam Gereja Katolik. Ia tidak hanya mewartakan Yesus di kalangan orang Yahudi tetapi melampaui kelompoknya sendiri.
            Penjara (Lapas) bisa dikatakan sebagai tempat untuk memurnikan kembali nurani agar setelahnya para mantan napi dapat bertindak secara baik. Seperti emas yang disepuh dalam tanur api, di sanalah kita temukan kemurnian emasnya. Demikian juga penjara, telah menyepuh para napi dalam tanur peradaban agar kelak, para mantan napi menjadi manusia yang utuh kembali.***(Valery Kopong)



Wednesday, February 28, 2018

Lelaki "Menopause"



Langit kota Tangerang masih sedikit kabut, walau jam yang terpampang pada dinding tembok Lapas Pemuda Tangerang  itu menunjukkan pukul  08.30. Jarum jam berdetak dalam keheningan, seakan bersolider dengan para penghuni  Lapas  yang sering berontak dalam keheningan batin.   Hari itu, hari Rabu di bulan Januari 2016, kami berjumpa lagi setelah ia bebas dari kurungan penjara.  Ketika bertemu denganku,  ingatannya akan masa lalu seakan muncul kembali. Dahulu kami mengunjungi dia sebagai salah satu anggota Lapas Pemuda Tangerang. Tetapi kali ini lain. Ia bersama team pengunjung dari kelompok Legio Maria,  Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang, mengunjungi para narapidana.  

Wednesday, August 31, 2016

BERSAKSI TENTANG “RASA”

         
Ji-Pong,  merek  sambel botol itu. Aku memesan dua botol dari Yogyakarta. Beberapa hari aku menunggu kedatangan sambel itu dan memikirkan, seperti apa rasanya ketika lidah ini menyicipinya? Sore itu, ketika aku pulang kerja, melihat sebuah kemasan di atas meja dalam rumahku. Sepertinya aku tidak sabaran lagi untuk menyicipi sambel buatan Laurentina Linuwih bersama suaminya. Di kota gudeg itu, pasangan ini dengan tekun dan setia meracik bumbu-bumbu untuk menjadi sambel yang bernilai rasa tinggi.
            Mengapa rasa yang selalu ditonjolkan saat berhadapan dengan semua makanan yang dimakan, termasuk sambel? Ya, hanya rasa yang memberikan kelekatan dan kedekatan dengan peramu dan pembuat makanan ataupun  sambel. Sambel menjadi penyedap rasa dan memanjakan lidah untuk terus bergoyang   kalau sambel itu enak rasanya dan juga tak lupa menawarkan rasa pedas.
            Ji-pong, semenjak aku memesannya, selalu hadir menemani lidahku saat makan. Walaupun makanan lain terasa kurang enak tetapi karena Ji-Pong, sambel pilihanku itu maka semua makanan menjadi terasa nikmat. Sambel Ji-Pong, sepertinya menawarkan kenikmatan tersendiri saat makan karena itu kehadiran Ji-Pong memberi rasa pada lidahku dan juga memberikan semangat pada selera makanku. Rasanya enak dan pedas sehingga berkali-kali terpaksa  aku berkerut dahi menahan pedasnya Ji-Pong.  
Spesial Sambel Kecap JI Pong, pedasnya Linuwih, level pedas
1. Pedas
2. Super Pedas
3. Super Duper Pedas
4. Super Duper Double Pedas
5. Super Duper Triple Pedas
Tersedia juga
1.Sambel Trasi
2. Sambel Bawang
Tanpa MSG, tanpa pengental,
tanpa pengawet...

            Untuk menambah gairah makan Anda, maka hadirkanlah Ji-Pong sebagai peneman utama untuk memberi rasa pada lidah Anda. Tak lupa pula, bagi yang berminat, silakan hubungi dan pesanlah pada sang empunya peramu. Harga terjangkau, rasa tertambat.  (Valery Kopong)

Monday, August 8, 2016

MENITI JALAN PULANG (Elegi bersama motorku, REVO)

Jumat  siang itu, tepatnya  tanggal 5 Agustus 2016. Aku melepaspergikan motor kesayanganku.  Sudah  sembilan  tahun, aku menungganginya dan  tak pernah mengeluh ketika menggunakannya ke tempat  kerja dan tempat-tempat lain.  Ibarat melepaskan seorang anggota keluarga untuk bepergian jauh dan pasti ada rasa yang kurang yang muncul dalam diri orang-orang yang melepaskannya.  Demikian juga dengan motor kesayanganku, sudah sembilan tahun hidup dan  ada bersamaku, terpaksa aku melepaskannya untuk dikirim ke kampung halamanku, Gelong-Adonara Timur-Flores Timur.

            Aku coba untuk mengambil kamera dan memotretnya, supaya aku memiliki sebuah dokumentasi tentangnya, tentang REVO yang berplat B 6506 NSA. Walau aku harus merelakannya ke kampung halamanku, tetapi kenangan yang terdokumentasi seakan membuka memori kehidupanku pada sembilan tahun silam ketika aku dengan susah payah memilikinya. REVO, motorku seakan tahu tentang perjalanan hidupku yang merangkak dari bawah dan perlahan menanjak. Ia mengerti suka duka hidupku dalam menerjang gemuruh knalpot dan riuh-redahnya mesin-mesin di kota  metropolitan.

            REVO, kini dalam perjalanan bersama kantor Pos menuju Surabaya dan masih harus melanjutkan perjalanan dari Surabaya menuju Adonara dengan menumpang kapal barang. Sebuah perjalanan melelahkan tetapi harus dijalani demi mencapai lewo tanahku tercinta, Gelong-Adonara.  Sembilan tahun, REVO menemaniku menelusuri lorong-lorong kota yang riuh tetapi perjalananmu pulang ke kampung merupakan sebuah perjalanan pulang, perjalanan sunyi. Kiranya REVO menemukan tempat baru dan mendapat energi baru di tempat yang sunyi, lewo tanahku tercinta Gelong yang jauh dari sentuhan sinyal.***(Valery Kopong).

Monday, August 1, 2016

MERINTIS ‘JALAN MISKIN’

Oleh: Valery Kopong*
Malam semakin larut dan keheningan perlahan turun mencium bumi Pasar Kemis-Tangerang-Banten. Tepat pukul 21.30 malam, kami tiba di rumah sang pengacara itu, setelah lama menunggunya karena baru tiba dari luar kota. Memang, kesibukan telah melingkupi kehidupan pria berdarah Batak itu. Di selah-selah kesibukan dan boleh dikatakan bahwa hampir tidak ada waktu senggang baginya, tetapi ia masih menyempatkan diri  menerima kami untuk mewawancarainya.
                “Selamat malam,” sapa Pak Johnson Panjaitan S.H, kepada kami yang bertandang ke rumahnya.   wawancara kami dengannya, sepertinya berlangsung secara alamiah dan non formal. Kami diterima dalam suasana kekeluargaan dan langsung diajak untuk mengambil bagian pada santap malam.  Sambil menikmati hidangan yang telah disediakan keluarga Pak Johnson, obrolan pun terus mengalir. Pertama-tama ia menyatakan keprihatinan terhadap situasi negara yang sedang carut-marut. “Tidak lama lagi harga barang-barang kebutuhan mulai naik disertai dengan kenaikan BBM. Memang, tahun 2011 merupakan tahun keprihatinan bersama atas seluruh situasi yang terjadi di negeri ini,” keluh Pak Johnson.  
                Sering sekali wajah Pak Johnson Panjaitan tampil di televisi. Tetapi siapakah dia yang begitu berani menyuarakan keprihatinan masyarakat, terutama dalam bidang hukum? Pak Johnson adalah seorang Sekjen Asosiasi Advokat Indonesia. Sebagai seorang pengacara, ia dikenal akrab dengan permasalahan yang bersinggungan langsung dengan hukum. Menjadi pengacara bukanlah cita-citanya. Cita-cita awal Pak Johnson adalah mau menjadi Jaksa Agung. Tetapi kenyataan berbicara lain, ia bahkan lebih membaurkan hidupnya dalam pusaran persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Selain sebagai Sekjen Asosiasi Advokat Indonesia, ia juga sebagai penasihat hukum “Indonesia Police wacth” (Lembaga Pengamat Polri), sebuah LSM yang memantau seluruh gerak perjalanan Polri sekaligus memberikan kritik terhadap lembaga yang mempunyai peran strategis ini.     

Friday, May 13, 2016

LELAKI ‘MENOPAUSE’


Langit kota Tangerang masih sedikit kabut, walau jam yang terpampang pada dinding tembok Lapas Pemuda Tangerang  itu menunjukkan pukul  08.30. Jarum jam berdetak dalam keheningan, seakan bersolider dengan para penghuni  Lapas  yang sering berontak dalam keheningan batin.   Hari itu, hari Rabu di bulan Januari 2016, kami berjumpa lagi setelah ia bebas dari kurungan penjara.  Ketika bertemu denganku,  ingatannya akan masa lalu seakan muncul kembali. Dahulu kami mengunjungi dia sebagai salah satu anggota Lapas Pemuda Tangerang. Tetapi kali ini lain. Ia bersama team pengunjung dari kelompok Legio Maria,  Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang, mengunjungi para narapidana.  
Lama kami bercerita terutama tentang saat-saat di mana ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Tiga tahun ia dijatuhi hukuman penjara karena diduga menggelapkan uang saat bekerja sebagai operator di sebuah warnet. Nanang (bukan nama sebenarnya) harus menjalani masa-masa sulit dalam penjara.  Awalnya ia sendiri merasa sulit menerima diri dan berusaha lari dari kenyataan. Tetapi apa daya, segala keputusan tentang dirinya berakhir di pengadilan. Ia kalah di hadapan hukum dan harus menjalani masa hukuman itu.

Monday, April 11, 2016

CINTA MEMBARA DI UJUNG SENJA KEHIDUPAN


Sore yang mendung dengan rinai hujan membasahi jalanan menuju rumah tua itu. Hampir setengah jam aku melangkah menyusuri lorong-lorong kota untuk mencari rumah berpenghuji  pasangan sepuh. Oma, sapaan orang-orang sekitar terhadap ibu Maryani, wanita berdarah Tinghoa itu yang hidup berkeluarga dengan Opa Hendrik yang sudah mencapai emas pernikahan. Obrolan kami di teras rumah semakin menunjukkan keakraban yang luar biasa. Sesekali mereka bercanda mengenang masa-masa lalu yang penuh romantis. Ketika muda, Maryani dan Hendrik selalu meluangkan waktu untuk berlibur bersama ke tempat-tempat ternama di hampir seluruh dunia. Apa yang mereka lakukan tidak lain adalah upaya untuk mempertahankan cinta suci perkawinan yang telah mereka ikrarkan di altar suci.

Friday, April 8, 2016

BERANI MENERIMA MASA LALU


Seorang perempuan cacat tanpa tangan, hidup di sebuah panti asuhan Yogyakarta. Setelah dewasa, ia dipersunting oleh seorang laki-laki yang adalah anak dari seorang pejabat. Pernikahan mereka direstui oleh kedua orang tua laki-laki. Pesta pernikahan terlaksana begitu meriah. Para undangan yang datang, umumnya merasa terharu sekaligus bangga atas keputusan mempelai laki-laki.  Para undangan terharu melihat kondisi mempelai wanita yang tidak memiliki kedua tangannya.
Wanita ini hidup di panti asuhan karena sejak dilahirkan oleh ibunya di rumah sakit dan ternyata kondisi tubuhnya yang cacat, terutama kedua tangan, membuat kedua orang tua meninggalkan bayi itu. Bayi itu kemudian dititipkan pada salah satu panti asuhan di Yogyakarta. Ia dididik dan mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Setelah lulus dari perguruan tinggi, perempuan ini tidak mau mencari pekerjaan lain tetapi memutuskan untuk kembali bekerja pada panti asuhan yang telah membesarkannya.

Tuesday, October 7, 2014

MERINTIS ‘JALAN MISKIN’



Oleh: Valery Kopong*
Malam semakin larut dan keheningan perlahan turun mencium bumi Pasar Kemis-Tangerang-Banten. Tepat pukul 21.30 malam, kami tiba di rumah sang pengacara itu, setelah lama menunggunya karena baru tiba dari luar kota. Memang, kesibukan telah melingkupi kehidupan pria berdarah Batak itu. Di selah-selah kesibukan dan boleh dikatakan bahwa hampir tidak ada waktu senggang baginya, tetapi ia masih menyempatkan diri  menerima kami untuk mewawancarainya.
                “Selamat malam,” sapa Pak Johnson Panjaitan S.H, kepada kami yang bertandang ke rumahnya.   wawancara kami dengannya, sepertinya berlangsung secara alamiah dan non formal. Kami diterima dalam suasana kekeluargaan dan langsung diajak untuk mengambil bagian pada santap malam.  Sambil menikmati hidangan yang telah disediakan keluarga Pak Johnson, obrolan pun terus mengalir. Pertama-tama ia menyatakan keprihatinan terhadap situasi negara yang sedang carut-marut. “Tidak lama lagi harga barang-barang kebutuhan mulai naik disertai dengan kenaikan BBM. Memang, tahun 2011 merupakan tahun keprihatinan bersama atas seluruh situasi yang terjadi di negeri ini,” keluh Pak Johnson.  
Johnson Panjaitan
                Sering sekali wajah Pak Johnson Panjaitan tampil di televisi. Tetapi siapakah dia yang begitu berani menyuarakan keprihatinan masyarakat, terutama dalam bidang hukum? Pak Johnson adalah seorang Sekjen Asosiasi Advokat Indonesia. Sebagai seorang pengacara, ia dikenal akrab dengan permasalahan yang bersinggungan langsung dengan hukum. Menjadi pengacara bukanlah cita-citanya. Cita-cita awal Pak Johnson adalah mau menjadi Jaksa Agung. Tetapi kenyataan berbicara lain, ia bahkan lebih membaurkan hidupnya dalam pusaran persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Selain sebagai Sekjen Asosiasi Advokat Indonesia, ia juga sebagai penasihat hukum “Indonesia Police wacth” (Lembaga Pengamat Polri), sebuah LSM yang memantau seluruh gerak perjalanan Polri sekaligus memberikan kritik terhadap lembaga yang mempunyai peran strategis ini.     

Friday, September 19, 2014

ROSE: MAWAR TAK BERDURI ITU TELAH PERGI



Matahari pagi itu beranjak naik, menemui para penghuni bumi dengan menebar pesona bias cahayanya yang lembut. Tetapi matahari yang terlihat cerah mengitari dunia sekitar, sepertinya tak sanggup membendung rasa duka yang mendalam. Ya, kedukaan itu sangat terasa bagi mereka yang pernah berada bersama Mba Rosa, baik di tempat kerja, lingkungan doa maupun sahabat kenalan lain.  Dengan mata penuh sembab, para pelayat yang mengenal dekat dengannya terus berusaha menatap wajahnya yang kurus dan sudah kaku itu. “Ia pergi  untuk selamanya,” kata seorang sahabatnya yang ada di sampingku. Ia pergi, karena takdir Tuhan. Tuhan yang telah dengan caranya tersendiri mengambil dia dari hadapan keluarga dan sahabat kenalan yang masih mencintai dia.
Seminggu menjelang kepergiannya, aku membaca status pada BlackBerry: “Tx God masa kritis sdh terlewati…..” BBnya yang terhubung dengan BBku, membuat aku dengan mudah mengetahui kondisi terakhir yang dialami lewat status BBnya. Membaca status BBnya membuat orang-orang yang dekat dengannya menarik nafas lega. Statusnya terus terpampang pada BBnya, ia telah melewati masa kritis dan sekarang ia boleh mengalami kelegaan hidup di hadapan Allah.
Sore itu, ketika hendak mandi, ada telpon masuk ke HPku. “Kringggggg……”Aku mengambil Hp untuk menerima telpon dari Pak Bruno Tefa. Firasatku agak beda saat mengangkat HP dan menerima telpon dari Pak Bruno Tefa. “Sudah tahu informasi tentang Mba Rosa?” tanya Pak Bruno Tefa melalui telpon genggam. “Belum,” jawabku singkat. “Mba Rosa telah meninggal di Rumah Sakit Siloam-Jakarta pada Rabu, 17 September 2014, sekitar Pkl.18.30, “ urai Pak Bruno. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kita kehilangan seorang teman dekat, teman yang selalu peduli dengan rekan kerja lain.
Setelah mendengar kematiannya, saya coba untuk mencari foto-foto pada BlackBerryku. Ada tiga foto yang kudapatkan dan segera saya upload pada Facebook saya sebagai cara sederhana untuk menginformasikan kepergian Mba Rosa. Banyak teman yang melihat FBku merasa terbantu dan segera mencari informasi untuk membenarkan peristiwa kematian itu. Ternyata Mba Rosa telah menghembuskan nafas  untuk terakhir kalinya.
Misa Requiem di rumahnya di Perumahan Dasana-Tangerang, dihadirinya oleh rekan-rekan dan sahabat-sahabatnya. Romo Barnabas, Pastor Paroki Sta.Helena-Curug, dalam khotbahnya mengatakan bahwa Ibu Rosalia Widayati begitu tegar dan tabah dalam menghadapi penderitaan. Lebih jauh

Thursday, May 26, 2011

Menyulut Dian di Bukit Tandus (1)

Oleh Charles Beraf
Langit belum kunjung benderang. Sejak awal Maret 2011, seminggu yang lewat, hujan tak berhenti mengguyur. Di bilangan pesisir utara Maumere, dari Wolomarang hingga Magepanda, genangan air bercampur lumpur masih tampak menyolok serupa kubangan. Tak cuma di halaman rumah. Juga di lubang - lubang jalan raya Pantura (Pantai Utara), yang belum sempat tersulami aspal.
Jalur Pantura, di hari itu, Sabtu 12 Maret, memang tak seramai biasanya. Cuaca yang kurang bersahabat sepertinya mengenggankan banyak pengendara untuk keluar rumah. Bisa terhitung jari, kendaraan yang melintas hari itu di jalur Pantura. Berkendaraan di musim hujan seperti itu, apalagi di jalur jalan yang banyak menanjak dan berlubang seperti Pantura, memang tak selalu luput dari resiko, atau.....atau..... Atau mandi lumpur atau tertahan lumpur, atau masuk lubang atau tergelincir dari badan jalan.
Tapi di jalan dan di tengah cuaca sesulit itu pun, pick up Panther-nya Om Fendy bernopol EB 2172 B meluncur dengan entengnya. Meski cuma dengan gigi persneling yang lebih sering berkisar dua - tiga, Om Fendy (42), warga Wolomarang yang sudah malang melintang dalam dunia otomotif itu, bisa mengatur lajunya Panther.
“Kita sudah tiba”, kata Om Fendy sesaat setelah melewati batas kampung, memasuki Reroroja.
Reroroja, desa di ujung utara Kabupaten Sikka itu, sepintas barangkali tak cukup menarik di mata banyak orang. Selain terapiti oleh bukit yang kering dan tandus, letaknya yang relatif jauh, kira-kira 40 kilometer dari pusat kota, Maumere, membuat Reroroja sepertinya jauh dari lirikan. “Jarang kami dikunjungi pejabat dari kabupaten”, kata Nong Sil (26), warga Dusun Koro, Desa Reroroja.
Desa berpenduduk 3652 jiwa itu pun hanya menyandarkan hidupnya cuma dari hamparan ladang dan laut. Dari 788 kepala keluarga (KK), 30 % penduduk bekerja menjadi nelayan atau pun sebagai penampung ikan hasil tangkapan untuk dijual kembali, dan 70 % lainnya bertaruh dengan jengkalan-jengkalan tanah di bawah kaki bukit berbatu. “Itu pun tak tentu hasilnya. Kadang hanya cukup untuk makan”, ungkap Amina (36), dari perkampungan Bajo, Reroroja.
Dengan nada sedikit memelas, Kepala Desa (Kades) Reroroja, Cyrilinus Badjo mengamini itu. Dia mengaku, petani jagung di daerahnya hanya mampu menghasilkan 2,4 ton/hektare. Kalau pun terjual, sekilo cuma seharga Rp.1500. Belum lagi dikurangi pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja.
Tentu bisa dibayangkan, untuk petani jagung saja, berapa pendapatan bisa dikantongi dalam setahun? Sebulan? Seminggu? Atau bahkan sehari? Kalau itu “cukup untuk makan”, bagaimana dengan pena dan buku tulis anak-anak sekolah? Bagaimana dengan investasi jangka panjang?
Urusan ‘kampung tengah’ saja sudah repot. Apalagi yang lain. Kondisi infrastruktur yang memprihatinkan, sanitasi yang jauh dari harapan dan pendidikan yang tak selalu menjanjikan seakan-akan mengusir mimpi akan kecerahan di Reroroja. Mungkin bagi banyak orang, memilih tinggal di sana seolah-olah, seperti kata Filosof Heidegger, memilih untuk pelan-pelan mati di hamparan ladang yang berbatu dan kering .
Tapi rupanya itu tidak bagi warga Reroroja dan Kades Cyrilinus yang terkenal militan itu. Cyrilinus berkisah, selain bertaruh dengan hamparan laut dan ladang yang ada, beternak dan ekstensifikasi lahan pertanian menjadi pilihan yang tidak main-main.
Menurut Cyrilinus, selama bertahun-tahun, pada September hingga Oktober warga Reroroja secara intensif membersihkan dan menyiapkan lahan – lahan tidur. “Ini pun tak susah urusnya. Cuma dengan tebas dan bakar, lahan sudah siap dipakai di musim hujan. Cara semacam ini tak butuh banyak tenaga. Dengan membakar, rumput baru kesukaan ternak bisa tumbuh saat datang hujan”, katanya.
Tapi apakah dari lahan-lahan tidur dan dengan pola tebas – bakar tahunan ini sudah cukup bagi warga Reroroja untuk bisa keluar dari belitan “cukup untuk makan”?
Kegelisahan malah tak kunjung berujung. Pola tebas – bakar justru berbuah petaka: bukit kian gundul, curah hujan semakin menurun, debit air pun ikutan turun. Di Kabupatan Sikka yang bercurah hujan rata-rata hanya 173 mm di puncak musim penghujan dengan intensitas rata-rata 20an hari, pola tebas - bakar ala Reroroja ini tentu tak bisa mengubah keadaan. Malah makin memperparah. Makin menggelisahkan warga Reroroja.
Kegelisahan itulah sempat tercuat saat Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) tingkat Kecamatan Magepanda pada 2007 lalu. Dan tak satu pun bisa menyangka, bahwa api kesadaran warga pun cepat tersulut saat Musrenbang itu.
“Saat itu masyarakat mulai sadar. Menggunduli hutan bisa datangkan masalah baru. Tebas-bakar bukanlah jalan terbaik. Sebaliknya, langkah yang mesti diambil warga adalah menghijaukan”, kisah Cyrilinus.
Tapi dengan apakah daerah perbukitan seluas 150 hektare itu dihijaukan? Lalu, apakah hanya cukup dengan menghijaukan, perkara “cukup untuk makan” bisa menguap pergi dari tanah Reroroja?
Bak ditawari barang bagus, gayung pun bersambut. Selepas Musrenbang, akhir September 2008 Asian People’s Exchange (APEX), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jepang bekerja sama dengan Yayasan Dian Desa pun melancarkan proyek “Environmentally Friendly Development by Multiple Use of Jatropha curcas in Indonesia“ (Pengembangan Ramah Lingkungan dengan aneka pemanfaatan Jarak Pagar (Damar) di Indonesia) di Reroroja.
Ujung-ujungnya? Tak cuma hijaunya bukit Reroroja, tapi juga keluarnya warga Reroroja dari belitan kemiskinan. “Proyek yang didukung kementrian luar negeri Jepang ini bertujuan menciptakan model pengembangan ramah lingkungan dengan aneka pemanfaatan jarak pagar”, kata Petrus S. Swarnam, Pimpinan Yayasan Dian Desa Perwakilan NTT.
Awalnya, kisah Petrus, warga ragu-ragu. Menghijaukan areal seluas 150 hektare itu tentu tak jauh berbeda dengan proyek lamtoronisasi untuk pengembangan usaha pertanian tanah kering. Proyek yang gencar di tahun 1980-an itu memang berbuah hasil. Selain erosi teratasi, Lamtoro pun bisa meningkatkan kesuburan tanah. Tapi perkara Lamtoro mengeluarkan warga dari belitan kemiskinan, rupanya perlu diskusi panjang lagi. “Awalnya kami ragu. Jangan-jangan proyek Jarak Pagar ini pun senasib Lamtoro. Ini mimpi siang bolong”, kisah Cyrilinus.
Tapi siapa bisa menyangka, mimpi di siang bolong itu bisa mewujud di Reroroja? Dalam sosialisasi, APEX dan Yayasan Dian Desa selalu meyakinkan warga akan nilai ekonomis Jarak Pagar. Tak cuma untuk menghijaukan lahan kritis, tapi juga warga bisa memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi.
Ini luar biasa. Petrus menjelaskan, selain menghijaukan, potensi Jarak Pagar pun bisa difungsikan sebagai bahan bakar bio-diesel. Biji Jarak, yang terdiri dari 60 % berat kernel (daging biji) dan 40 % berat kulit, mengandung minyak yang tidak main-main. Melalui proses rendering (teknik pengepresan secara mekanis, bisa didapatkan rendemen minyak 25 %-35 %. Selanjutnya melalui proses pemurnian (purifikasi), bisa didapatkan minyak dengan kualitas terbaik. Proses purifikasi ini terdiri dari deguming ( pemisahan getah yang masih terkandung dalam minyak jarak), netralisasi (pemisahan asam lemak bebas), pencucian yang diikuti dengan bleaching dan deodorisasi (pemurnian minyak untuk menghasilkan zat-zat warna pada minyak dan menghilangkan bau pada minyak).
Minyak yang telah diolah dengan proses pemurnian bisa langsung dipakai sebagai bahan bakar atau bisa juga diolah dengan proses trans-esterifikasi untuk memproduksi bio-diesel. “Inilah nilai tambah Jarak Pagar. Tak hanya untuk penghijauan. Tapi juga untuk bahan bakar, pengganti Solar 100 persen ”, tegas Petrus.
Di tengah merosotnya produksi minyak dalam negeri, ditambah naiknya harga minyak dunia, bukan tak mungkin minyak Jarak Pagar jadi alternatif. Kalau tidak ada alternatif semacam ini, krisis Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa berefek fatal. Harga bahan pokok meningkat. Sejumlah usaha kecil dan menengah (UKM) bisa gulung tikar. Listrik tak bisa nyala maksimal. Pengendara, serupa Om Fendy dengan Panther-nya, pun “ciut” untuk keluar rumah. Dan, pengangguran pun bakal merajalela.
Menurut hasil penelitian Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI), akibat krisis BBM 2008, dalam rentang dua bulan saja, di Indonesia bertambah angka pengangguran sebanyak 7.000 orang dan orang miskin baru bertambah 110.000 jiwa. Bisa dibayangkan, betapa stganan-nya perekonomian Indonesia kalau krisis terus menyeruak.
Lalu? Apa Jarak Pagar terus dipandang sebelah mata? Di tengah krisis BBM seperti sekarang ini, usaha serupa punya warga Reroroja bukanlah hal remeh – temeh. Mereka perlu didukung. Mereka tidak bisa sendiri (disendirikan). Tak bisa juga hanya bergantung pada APEX dan Yayasan Dian Desa.
“Kalau pemerintah Jepang bisa bantu masyarakat, kenapa pemerintah sendiri tidak bisa bantu”, tukas Cyrilinus. Pemerintah mesti juga punya tanggungan. Sekurang-kurangnya bisa mendanai proyek Jarak Pagar ini.
Dengan pemerintah, hingga kini memang masyarakat Reroroja masih tetap berharap-harap cemas. Kalau – kalau di hadapan pemerintahnya sendiri, mereka tak senasib dengan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi). Aprobi, yang mulai berkibar di tahun 2007 bernasib apes, gara-gara kurang didukung pemerintah. Meski sudah lima dari 22 anggota Aprobi memiliki pabrik pengolahan biofuel berkapasitas 1,1 juta ton per tahun, cuma 15% kapasitas dari itu yang terpakai, karena permintaan dan bahan baku dalam negeri terbatas. Pemerintah toh masih tetap memilih diam dengan usaha Aprobi.
Lalu, apakah ini juga nanti terjadi dengan masyarakat Reroroja yang sudah mulai bertaruh dengan Jarak Pagar di bukit tandus itu? ###

Menyulut Dian di Bukit Tandus (2/habis)
“Ini namanya Desa Jarak Pagar”, kata Om Fendy dengan sedikit berguyon saat Panther-nya mulai merangkak pelan-pelan di jalan tengah Desa Reroroja. “Kalau Gubernur Lebu Raya bisa juluki NTT Provinsi Jagung, Provinsi Ternak dan macam-macam, Reroroja pun punya julukan sendiri”, tambahnya.
Tapi di Reroroja bukan sekedar perkara nama atau julukan. Nama, ya, selalu mesti jadi tanda, Nomen Est Omen. Dan, masyarakat Reroroja sudah membuktikan itu. Sudah sejak tiga tahun yang lalu, 2008, bersama APEX dan Yayasan Dian Desa, mereka mengendus nasib, mengusir ketandusan hamparan bukit dan kemiskinan yang sekian lama membelit. “Ternyata dari Jarak Pagar kami bisa hidup. Dari seember buah Jarak Pagar saja, sudah lumayan hasilnya. 2.500 rupiah per ember”, kata Kades Cyrilinus.
Dari hasil Riset dan Analisa Komersial Industri Minyak Jarak yang dipublikasikan oleh Majalah Damar dari PUSPHA (Pusat Teknologi Tepat Guna Jatropha) (Vol 1 tahun 2009), ditunjukkan bahwa tanaman Jarak Pagar di NTT menghasilkan persentase minyak yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang ditanam di daerah lain. “Tanaman ini prospeknya luar biasa. Ini hal yang amat menjanjikan bagi peningkatan pendapatan petani di NTT”, kata Alexander F Rego, Project Manager Lokal PUSPHA.
Selain itu, pada 3-5 tahun awal, setiap tanaman Jarak Pagar menghasilkan 4 kilogram biji per tahunnya. Di setiap hektare-nya, dengan jarak tanam 2 x 2 meter, dapat ditanam 2500 pohon. Dengan kandungan minyak pada tiap kilogram Jarak sebesar 35 % maka akan dihasilkan 3500 kg atau 3850 liter crude oil per hektarenya. Bila satu liter crude oil dihargai Rp.2500, maka omzet per hektare dari tanaman Jarak Pagar bisa mencapai Rp. 9,625 juta. Jumlah ini akan terus meningkat sejajar dengan peningkatan areal tanam Jarak Pagar.
Sungguh luar biasa! Bisa dibayangkan, betapa banyaknya untung yang diraup di Reroroja dengan 150 hektare areal tanam Jarak Pagar itu. Betapa terangnya kehidupan masyarakat Reroroja dari bukit yang tak lagi tandus itu. “Kalau ini dari dulu, warga Reroroja bukan seperti sekarang”, imbuh Cyrilinus.
Tapi akhirnya ‘masa gelap’ itu pelan-pelan terusir dengan Jarak Pagar. “Hampir tiap hari warga di sini, termasuk anak-anak selalu cari buah Jarak untuk dijual. Buah Jarak kan masak setelah 5-6 bulan, jadi cepat panen”, imbuh Cyrilinus.
Apalagi, kata Cyrilinus, di Reroroja sudah ada Gathering Center (Pusat Pengumpulan Biji dari Pusat Teknologi Tepat Guna Jatropha) yang diresmikan pada tanggal 10 April 2010. Gedung Gathering Center, yang terletak di kaki bukit Reroroja ini digunakan sebagai pos pengumpulan biji atau buah Jarak Pagar. Tidak hanya dari Desa Reroroja, tetapi juga dari desa-desa lain yang ikut mengumpulkan biji, seperti dari Kabupaten Sikka, Kabupaten Ende dan sekitarnya.
Tak hanya itu. Pada tanggal 26 Agustus 2010 lalu, di Wairita, Desa Wairbleler, Kecamatan Waigete, Sikka, oleh Gubernur Lebu Raya diresmikan Jatropha Center yang berfungsi sebagai pusat pengolahan biji dan pemasaran produk minyak Jarak Pagar. Jatropha ini terdiri dari Gudang Biji seluas 288 meter persegi, Gudang Produksi dengan fasilitas ekstraksi dan pemurnian minyak seluas 128 meter persegi, tempat penyimpanan minyak seluas 192 meter persegi, tempat pengolahan limbah seluas 96 meter persegi dan laboratorium seluas 57 meter persegi.

Itu berarti petani Jarak Pagar di Reroroja tidak susah-susah cari pasar. Tinggal saja petik, kumpul dan jual ke Gathering Center. Semudah menimbang Kemiri dan Kopra kepada para pengusaha lokal, menimbang buah Jarak Pagar pun bak perkara membalik tangan. “Tapi menyadarkan warga soal ini memang butuh waktu. Mereka sudah lama terbiasa dengan komoditi lain. Jadi ketika di daerah lain kami menawarkan untuk budidaya Jarak Pagar, warga masih susah terima”, kata Alex F Rego.
Menyadarkan warga soal serupa budidaya Jarak Pagar ini memang gampang-gampang susah. Mentalitas “liat dulu hasilnya, baru buat” sudah lama mengidapi warga. Padahal, menurut Petrus S. Swarnam, budidaya Jarak tidak susah. “Memang Yayasan Dian Desa dan APEX memperkenalkan upaya perbanyak bibit melalui cara Kloning Ex Vitro, klon dari pohon unggul dan propagasi akar. Tapi dengan menanam biji dan stek pun hasilnya lumayan. Tapi itulah, orang-orang kita selalu mau liat bukti dulu”, kata Petrus
Karena itu, menurut Petrus, selain Proyek Jarak Pagar di Reroroja dengan teknik biji dan Kloning Ex Vitro, Memorandum of Understanding (MoU) antara PT. PLN Wilayah NTT dan PUSPHA (APEX dan Yayasan Dian Desa) bisa jadi pemicu kesadaran warga. MoU yang ditandatangani pada 25 Agustus 2010 ini didasarkan atas hasil ujicoba pemakaian minyak Jarak Pagar di subranting PLN di Kecamatan Magepanda pada bulan Juli 2010. Karena hasil uji coba itu terbukti memadai, maka dalam MoU tersebut telah ditetapkan bahwa PLN bersedia membeli minyak Jarak Pagar dari PUSPHA. “Ini yang harus warga sadari. Terbukti, PLN sudah mau pakai minyak Jarak Pagar, kenapa warga belum mau gencar dengan budidaya Jarak Pagar”, kata Petrus.
Menurut Petrus, 20 tahun kemudian krisis BBM akan berpuncak. Pasokan minyak dari hasil endapan fosil akan habis. “Kita membutuhkan sumber minyak alternatif. Jarak Pagar salah satunya”, katanya.
Dan di Reroroja, yang alternatif itu sudah dimulai warga, APEX dan Yayasan Dian Desa. Mereka telah menyulap bukit tandus menjadi bukit Jarak Pagar. Dengan upaya luar biasa itu, mereka tidak hanya menyulut api kesadaran kita, tetapi juga menyulut dian kehidupan. @@@

Wednesday, May 18, 2011

KERINDUAN SEORANG NAPI

“Sebuah jubin lantai rumahku terpecah. Terlihat, seekor jangkrik keluar dari retakan jubin sambil mengibas sayap, pratanda ada kebebasan baru yang dialami.”

Langit kota Tangerang-Banten semakin cerah. Sinar mentari pagi perlahan menyusup menembusi dedauan yang masih melekat rapih di pohonnya. Kecerahan langit tak secerah langit jiwa sang kelana yang kini mendekap di hotel prodeo. Langkahku semakin merapat pada pintu besi di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Deru mesing-mesin kota dan semburan asap dari knalpot, sepertinya tidak mengganggu kehidupan mereka yang sangat terbatas. Kerinduan untuk bebas selalu menggema setiap saat tetapi itu hanya kerinduan. Waktulah yang menentukan dan memungkinkannya untuk keluar dari arena tak bebas itu.
Di depan pintu besi Lapas yang sulit didobrak itu, saya menitipkan HP, KTP dan tas ranselku juga digeledah. Di ruang itu saya menyuruh petugas Lapas untuk memanggil Didik, (bukan nama sebenarnya) dan beberapa rekannya untuk kami ngobrol bersama di ruang tunggu. Cukup lama saya menunggu dan tiba-tiba ia dan beberapa temannya yang Katolik datang dari arah kapel. Di tangan Didik, tergenggam Injil dan didahinya diberi tanda salib dengan abu. Ketika masuk di ruangan, beberapa temannya menanyakan soal arti pemberian diri dengan abu di dahi. Dengan penuh keyakinan, Didik menjelaskan pada teman-teman narapidana yang muslim, bahwa tanda abu yang dikenakan pada dahi mengingatkan kita sebagai manusia lemah yang diciptakan dari tanah, suatu saat akan kembali ke tanah. Mendengar penjelasan itu, saya hanya manggut sebagai cara untuk mengapresiasi terhadap apa yang dikatakan sebagai kebenaran dari ajaran yang diterimanya.
Ruang tunggu itu tak beda jauh dengan “ romantic room.” Semua nara pidana yang saya jumpai sedang memeluk isteri atau anaknya dengan penuh kasih sayang. Kerinduan itu tersembul dari sorotan mata yang tak bisa menipu realita. Sambil menikmati coca-cola, saya mengobrol bersama beberapa napi yang katolik. Ketika saya tanya, apakah banyak napi katolik? Dengan penuh kepastian, ia menjawab, sekitar 30-an orang napi katolik. Mereka masuk atau dipaksa masuk ke situ dengan beragam masalah. Ada yang dihukum karena melakukan tindakan kriminal, ada yang terjerat masalah narkoba dan banyak lagi kasus yang menimpah mereka yang pada akhirnya menyeret mereka ke Lembaga Pemasyarakatan itu.
Socrates pernah berujar, “apabila banyak sekolah didirikan maka suatu saat, penjara-penjara bisa ditutup.” Ungkapan Socrates ini membahasakan bahwa keberadaan sekolah menjadi jaminan bahwa pola perilaku manusia bisa tertata rapih dan kejahatan perlahan lenyap dari bumi ini. Tetapi apa realita yang muncul saat ini? Pendirian sekolah hampir bersamaan dengan pendirian penjara atau sekarang disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Di depan papan pengumuman itu aku melihat data-data terutama jumlah orang yang ada dalam penjara sekitar 1000 lebih orang. Ini belum terhitung dengan jumlah nara pidana di Lapas wanita dan anak-anak. Sebuah angka yang menggila dan fantastis. Tetapi apakah mereka adalah orang-orang terbuang dari pergaulan umum karena ulah tingkah dan salah mereka? Melihat jumlah napi yang semakin menanjak, menjadi sebuah sindiran bagi lembaga keluarga, sekolah dan agama yang selalu mendengungkan moralitas dan nilai cinta kasih. Masing-masing institusi mempertanyakan diri. Seberapa jauh nilai cinta kasih dan moralitas ditanamkan dalam diri anak-anaknya?
Dalam rentang waktu yang tidak mengenal titik habis, kita terus bertanya, mengapa mereka terhempas dan dihempas dalam penjara? Sampai kapan mereka mengalami pertobatan yang berarti? Inilah pertanyaan yang sederhana terus menggeliat dalam lika-liku waktu. Didik, walau dianggap sebagai pembunuh kelas kakap, tetapi beberapa tahun terakhir menunjukkan diri ke arah perubahan yang lebih baik. Menurut penuturannya dengan saya, dengan berbekal pengalaman yang tidak bebas di Lapas, ia selalu menasihati keluarganya agar menghindari hal-hal yang bersentuhan dengan tindakan kriminal. Pengalaman di Lapas adalah pengalaman yang tidak mengenakkan dan ruang gerak kebebasan selalu dipantau.
Apa yang harus dilakukan sebagai upaya dalam mengatasi pelbagai persoalan? Baginya, hanya satu cara yang ditempuh yaitu mengikuti proses hukum dan menjalaninya secara normatif. Cara ini memperlihatkan sebuah upaya untuk bersahabat dengan keputusan hakim yang telah mengetuk palu. Menghitung hari-hari hidup dibalik jeruji adalah menghitung sebuah kesia-siaan. Mengapa kesia-siaan? Karena setelah menghitung, berapa lama lagi saya mendekap dalam penjara, saya tetap menjalani hidup sebagai napi dan masih menunggu waktu untuk suatu saat keluar dari penjara. Memang, penjara (Lapas) hanya memenjarakan saya secara fisik tetapi kerinduan saya tak bisa terpenjara. Kebanyakan napi hidup dalam kerinduan, rindu untuk pulang rumah, untuk ada bersama dengan anggota keluarga.
Semangat dan kerinduan menjadi spirit yang menggerakkan kesadaran mereka untuk bertahan dalam penjara. Tanpa harapan dan kerinduan maka pupus sudah makna hidup yang dijalaninya. Memang penjara, di mata kebanyakan orang adalah tempat pembuangan bagi mereka yang menyalahi aturan normatif. Namun penjara juga dilihat sebagai wadah yang membentuk atau mendaur kembali kehidupan orang-orang yang sudah jauh dari sentuhan moralitas. Di ujung pertemuan itu, Didik semakin menguatkan diri dengan melihat figur Paulus, yang dulu dikenal sebagai penjahat dan membunuh orang-orang yang menamakan diri sebagai pengikut Yesus, tetapi setelah mengalami pertobatan, ia menjadi rasul terbesar dalam Gereja Katolik. Ia tidak hanya mewartakan Yesus di kalangan orang Yahudi tetapi melampaui kelompoknya sendiri.
Penjara (Lapas) bisa dikatakan sebagai tempat untuk memurnikan kembali nurani agar setelahnya para mantan napi dapat bertindak secara baik. Seperti emas yang disepuh dalam tanur api, di sanalah kita temukan kemurnian emasnya. Demikian juga penjara, telah menyepuh para napi dalam tanur peradaban agar kelak, para mantan napi menjadi manusia yang utuh kembali.***