Perhelatan
demokrasi pada Pilpres 2024 semakin menarik perhatian. Di satu sisi, ada animo
para kandidat untuk menawarkan janji jalan pintas mengentaskan kemiskinan pada
masyarakat dan di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa kemiskinan masih menjadi
warna utama tentang Indonesia. Pada pesta demokrasi ini nanti, nuansa
masyarakat yang fanatik dengan para kandidat yang dijagokan masih terlena
dengan tawaran jalan pintas untuk membonsai kemiskinan dan menyulapnya menjadi
masyarakat yang makmur. Apakah para politisi dan kandidat yang bertarung sedang
hidup di “negeri seribu satu malam” yang lebih sering menawarkan hiburan palsu?
Bertitik tolak pada realita tentang kemiskinan Indonesia, maka para kandidat
mesti merumuskan secara tepat mengenai program-program unggulan yang realistis
dijalani nanti sebagai bentuk jawaban atas permasalahan sosial yang sedang
membelenggu masyarakat. Apakah Pilpres masih relevan, kalau hanya sekedar mencari
uang dan kekuasaan? Pertanyaan sederhana ini menjadi titik refleksi yang
menyadarkan kita tentang pentingnya memilih pemimpin yang kredibel.
Pemilu
tidak hanya sekedar mencari kekuasaan dan memperkaya diri setelah berkuasa
tetapi pemilu mestinya dimaknai secara baru, yakni sebagai proses seleksi calon
pemimpin untuk menghasilkan pemimpin yang kredibel dan berkomitmen untuk mensejahterakan
rakyat. Proses seleksi pada Pilpres yang
bermartabat adalah membiarkan hati nurani rakyat untuk menilai dan menentukan
pilihan tanpa tersandera oleh tekanan dan iming-iming uang.
Seorang
pemimpin harus menerjemahkan kata-kata yang terungkap pada janji-janji politis
ke dalam program praktis yang dapat memenuhi kebutuhan publik. Dalam tataran
politik nasional, publik masih menaruh harapan pada apa yang akan dilakukan oleh
pemimpinnya. Dalam ruang demokrasi yang sumpek ini masyarakat masih menarik nafas untuk membangun harapan
baru di tengah janji-janji yang akan ditawakan para kandidat yang sedang menjejali pola pikir
publik. Dalam konteks Kristiani, masyarakat diibaratkan sebagai bani Israel
pra-Mesias yang merindukan seorang penyelamat (Mesias) yang dijanjikan oleh
Allah pada mereka sebagai bangsa pilihan. Allah mengutus Mesias kepada yang
merindukan kehadiran-Nya, namun masyarakat Israel menolak Mesias karena tidak
sesuai dengan kriteria manusiawi. Bahwa Mesias yang dirindukan dan dinantikan
adalah Dia yang perkasa dan akan menumpas para musuh, namun Allah mengirim
penyelamat yang datang dalam kelembutan seorang bayi Yesus.
Dalam
konteks demokrasi Indonesia yang akan mengadakan Pilpres di tahun 2024 tentunya
para konstituen memiliki kriteria-kriteria khusus yang menjadi karakter utama
dan ciri khas yang bisa membedakan antara satu kandidat dengan kandidat lain.
Untuk mengetahui ciri khas dari para kandidat maka perlu terlebih dahulu untuk
mengetahui rekam jejak agar para pemilih tidak terjebak pada bilik suara saat
menjatuhkan pilihannya. Untuk memberi informasi kepada publik tentang rekam
jejak para kandidat, media massa dan media online secara netral memberikan keunggulan
dan kelemahan yang ada dalam diri para capres dan wacapres agar para pemilih
terbantu sebelum menentukan pilihan secara tepat.
Tanah
Air mata dan Harapan Mesianik
Memandang
Indonesia dan membandingkan dengan negara-negara
lain, terkesan masih jauh dari harapan. Keterbelakangan dalam dunia pendidikan,
ekonomi dan kelayakan hidup, masih tergolong di bawah garis kemiskinan. Masih
banyak ratapan tentang kemiskinan menggema di bumi ini. Penulis memandang Indoensia dari celah puisi Sutardji Calzoum Bachri,
penyair kontemporer. Dalam puisi yang berjudul “Tanah Air Mata” menunjukkan
sebuah penyelaman secara mendalam akan penderitaan yang dihadapi oleh
masyarakat. Melalui puisi, ia hadir dan memberikan peristiwa derita ini menjadi
pengalaman bernyawa serta sanggup menggugah kesadaran untuk memahami urat nadi
kehidupan. Puisi Tanah Air Mata seakan menjadi “keranjang sampah, tempat segala
derita dititipkan. Tanah air mata tanah tumpah dukaku// Mata air air mata
kami//Air mata tanah air kami. Di sinilah kami berdiri//Menyanyikan air mata
kami. Di balik gembur subur tanahmu//Kami simpan perih kami//Dibalik etalase
megah gedung-gedungmu//Kami coba sembunyikan derita kami.
Penggalan
puisinya di atas lebih menunjukkan sebuah keberpihakan yang mendalam melalui
sorot mata air mata. Air mata menjadi simbol kekuatan bagi mereka yang ingin
menemukan sebuah kebebasan. Air mata memiliki daya dobrak terutama ketika
berhadapan dengan kemelut batin. Air mata menjadi saluran terakhir ketika
segala daya upaya meloloskan diri dari permasalahan dan menemukan jalan buntu.
Air mata menjadi “rahim khatulistiwa” yang sanggup menyelimuti segala persoalan
yang tengah dihadapi anak bangsa. Tetapi mengapa mereka sanggup meneteskan air
mata? Apakah mereka yang menangis, berhasil mengeluarkan air matanya sendiri
ataukah meminjam air mata orang lain? Air mata yang diteteskan adalah air mata
penuh sinis.
Mereka
(anakbangsa) sinis terhadap tindakan yang eksploitatif dan koruptif dari para
pejabat. Tanah air mata merupakan judul puisi tetapi sekaligus sebagai judul
kehidupan di permukaan negeri ini.
Kekayaan baru bagi mereka yang miskin adalah air mata. Penyair kontemporer ini
secara jeli memantau dan mencoba untuk menceburkan diri bersama kaum papa ke
dalam telaga puisi. Penggalan puisi keberpihakkan di atas memungkinkan seorang
penyair untuk selalu mengada dalam ruang dan waktu pergulatan hidup masyarakat
yang terpinggirkan. Di sini, puisi dapat dilihat sebagai tameng yang sanggup
melindungi dan menghibur bagi mereka yang memiliki kerinduan untuk dihibur.
Kekuatan puisi yang terkesan mempermainkan kosa-kata ini jauh lebih manjur dari
sepenggal doa yang didaraskan oleh kaum berpunya.
Tanah
air mata adalah simbol tumpuan kerinduan sebagian masyarakat Indonesia untuk
segera bangkit dari keterpurukan hidup. Air mata yang terus mengalir membasahi
keriputnya wajah-wajah tak berdaya menjadi praisyarat bahwa perjuangan mereka
untuk diperhatikan tak akan menemukan titik kulminasi. Air mata menjadi
kekuatan hipnotis bagi mereka yang peduli dengan kehidupan mereka yang jauh
dari sentuhan kemewahan. Tetapi apakah kerinduan yang mengalir bersama air mata
yang nyaris mengering dapat meminta perhatian dari pejabat?
Para
kandidat Capres yang akan bertarung perlu mengolah rasa untuk lebih mengenal masyarakat
pinggiran. Bila perlu belajar seperti seorang penyair yang peka terhadap
situasi yang dihadapi dan selalu membangun rasa gelisah ketika berhadapan
dengan realitas. Mungkinkah calon pemimpin Indonesia kelak menjadi
penyelamat dari kemiskinan dan terus
membangun harapan politik-mesianik? Hanya para kandidat yang tahu.***(Valery
Kopong)