(Telaah puisi kontemporer dari sudut
sosiologi Sastra)
Sutardji Calzoum Bachri dikenal sebagai penyair kontemporer yang
menggagas sekaligus mengedepankan pola penulisan baru pada puisi. Ketika
membaca puisi-puisinya,ciri khas terasa kental. Dia lebih banyak mempermainkan
kata yang baginya merupakan sebuah kekuatan, dan menjadi daya dobrak bagi seluruh
bangunan puisinya. Bangunan puisi-puisi lama yang terkesan kaku, baik dari tata
aturan maupun jumlah barisnya, kehadiran Sutardji membawa angin perubahan bagi
mereka yang berani “merobek” pola-pola yang dogmatis-puitis. Perjuangan dan
upaya seorang Bachri mendobrak kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk
kata dan tata bahasa dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa
Indonesia dan sekaligus menawarkan konstruksi-konstruksi baru yang lebih
otentik melalui puisi. Terhadap perjuangan yang penuh dengan daya dobrak ini,
memunculkan pertanyaan untuk direnungkan bersama. Apakah Sutardji sebagai
pahlawan puisi kontemporer dan nabi bagi mereka yang mengenyam kebebasan dalam
mengekspresikan diri melalui puisi?
Penggalan puisinya di atas lebih
menunjukkan sebuah keberpihakan yang mendalam melalui sorot mata air mata. Air
mata menjadi simbol kekuatan bagi mereka yang ingin menemukan sebuah kebebasan.
Air mata memiliki daya dobrak terutama ketika berhadapan dengan kemelut batin.
Air mata menjadi saluran terakhir ketika segala daya upaya meloloskan diri dari
permasalahan dan menemukan jalan buntu. Air mata menjadi “rahim khatulistiwa”
yang sanggup menyelimuti segala persoalan yang tengah di hadapi anak bangsa.
Tetapi mengapa mereka sanggup meneteskan air mata? Apakah mereka yang menangis,
berhasil mengeluarkan air matanya sendiri ataukah meminjam air mata orang lain?
Air mata yang diteteskan adalah air mata
penuh sinis. Mereka (anak bangsa) sinis terhadap tindakan yang eksploitatif dan
koruptif dari bangsa Indonesia
ini.
Tanah air mata merupakan judul puisi
tetapi sekaligus sebagai judul kehidupan di permukaan negara ini. Kekayaan
negara kita bukan lagi kandungan bumi atau hasil-hasil hutan tetapi kekayaan
baru yang terhimpun adalah air mata. Penyair kontemporer ini secara jeli
memantau dan mencoba untuk menceburkan diri bersama kaum papa ke dalam telaga
puisi. Penggalan puisi keberpihakkan di atas memungkinkan seorang penyair untuk
selalu mengada dalam ruang dan waktu pergulatan hidup masyarakat yang
terpinggirkan. Di sini, puisi dapat dilihat sebagai tameng yang sanggup
melindungi dan menghibur bagi mereka yang memiliki kerinduan untuk dihibur.
Kekuatan puisi yang terkesan mempermainkan kosa-kata ini jauh lebih manjur dari
sepenggal doa yang didaraskan oleh kaum berpunya.
Tanah air mata adalah simbol tumpuan
kerinduan anak negeri ini untuk segera bangkit dari keterpurukan hidup. Air
mata yang terus mengalir membasahi keriputnya wajah-wajah tak berdaya menjadi
praisyarat bahwa perjuangan mereka untuk diperhatikan tak akan menemukan titik
kulminasi. Air mata menjadi kekuatan hipnotis bagi mereka yang peduli dengan kehidupan
mereka yang jauh dari sentuhan kemewahan.
Tetapi apakah kerinduan yang mengalir bersama air mata yang nyaris
mengering dapat meminta perhatian dari pejabat negeri ini?
Beberapa penggalan puisi Tanah Air
Mata berikut ini dapat menginformasikan sebuah kepolosan tentang gejolak batin
dan sekaligus gejolak kehidupan negeri ini.
Kami coba simpan nestapa // Kami coba kuburkan duka lara // Tapi perih
tak bisa sembunyi // Ia merebak ke mana-mana // Bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu // Namun kalian tak bisa menyingkir // Ke mana pun melangkah // Kalian pijak air
mata kami // Ke mana pun terbang //
Kalian kan hinggap di air mata kami // Ke mana pun berlayar // Kalian arungi
air mata kami // Kalian sudah terkepung // Takkan bisa mengelak // Takkan bisa ke mana pergi //
Menyerahlah pada kedalaman air mata
Derita, nestapa seperti yang
diproklamirkan dalam puisi tak akan tersingkir dari kehidupan ini. Mereka telah
berusaha untuk menguburkannya tetapi derita yang sama masih tetap berdenyut.
Semakin dalam derita itu terkubur, semakin cepat pula denyutannya. Kehidupan
dan penderitaan tak terpisahkan dari ruang lingkup masyarakat kecil, ia
diibaratkan sebagai dua jantung yang berada dalam satu denyutan.
Kekuatan sebuah puisi bukan semata-mata
terletak pada siapa penulisnya, dalam hal ini
seorang penyair tetapi lebih dari itu terletak pada kata-kata yang
dipakainya. Kata-kata menjadi “anak panah” dan mulut seorang penyair adalah
“busurnya” yang sanggup menikam lawan (pembaca) dengan ketajaman kata-kata.
Beberapa penyair yang terkenal keberpihakkannya terhadap masyarakat kecil,
lebih memilih permainan kata-kata untuk mengeritik penguasa dan menggilas
pemikiran mereka yang terkesan angkuh. W.S. Rendra misalnya, selalu tampil
dengan puisinya untuk merobek tirai keangkuhan para pejabat dan berani
menyatakan keberpihakkan pada mereka yang dianggap sebagai limbah politik
kekuasaan. Penguasa dan kekuasaan, bagi Rendra, bukanlah sesuatu yang
mutlak tetapi merupakan peluang yang
perlu dikritik.
Sutardji pernah menulis bahwa “puisi
adalah alibi kata-kata.” Dengan mengatakan demikian maka kata-kata yang mengisi
sebuah bangunan puisi diberi kesempatan untuk menghindar dari tanggung jawab
terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah
kata sebagai tanggungan kata tersebut.
Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai
kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi
tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada
kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu. Seorang penyair menangkap
realitas dan disublimasi dalam kata-kata dan kata-kata tersebut memberi makna
pada sebuah puisi. Tetapi untuk memaknai secara mendalam sangat bergantung pada
siapa pembaca puisi tersebut yang sanggup membedah makna dengan pisau pemikiran
yang tajam dan jernih.****(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment