Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Wednesday, November 16, 2022

Relasi Mutualistik

 

Menjadi juri pada lomba debat di SMA Tarsisius Vireta merupakan sebuah kehormatan. Memposisikan diri sebagai seorang juri dalam lomba debat, harus jeli melihat esensi debat dan kronologi pemaparan materi secara sistematis serta bagaimana membangun pertahanan gagasan itu. Banyak  tema yang disodorkan oleh panitia untuk diperdebatkan. Ada tema tentang penggunaan media sosial, kurikulum, pembangunan infrastruktur di Jawa dan luar pulan Jawa, serta tak kalah penting adalah tema tentang pengembangan UMKM secara daring. Penulis sendiri mencoba untuk menelisik tema-tema ini secara lebih detail. Tulisan kali ini saya mencoba mengupas esensi debat terkait pengembangan UMKM secara daring.

Bagi saya secara pribadi, tema ini menarik karena bisnis daring yang dikembangkan saat ini memberikan peluang pada hampir setiap orang untuk bersaing. Bagi kelompok yang pro dalam debat itu melihat bahwa adanya bisnis secara daring memberikan kemudahan bagi para pembeli untuk memesan barang dan menerimanya di rumah. Dengan sistem penjualan seperti ini memberikan kesempatan pada setiap orang untuk mengembangkan kemampuan berbisnis dan juga mengembangkan ekonomi keluarga.

Sementara itu, dari kelompok yang kontra dalam debat itu, melihat bisnis secara daring tidak sekedar sebagai peluang yang menguntungkan tetapi juga membawa kebuntuan, baik bagi penjual maupun bagi pembeli. Secara jeli, kelompok kontra ini melihat kasus yang sedang terjadi, seperti traksaksi pembayaran dengan menggunakan struk palsu dan juga identitas pribadi bisa dilihat pada ruang publik.    

Dari materi debat tentang bisnis daring yang semakin hangat diperdebatkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat kita, baik masyarakat kota maupun masyarakat desa, masih enggan untuk belanja secara online. Alasan utama, mengapa kebanyakan orang belum sepenuhnya belanja secara daring karena takut terjadi penipuan dan juga apa yang dibeli itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dengan itu, mereka lebih cenderung menghidupi cara belanja secara langsung, karena bisa memudahkan memilih barang-barang yang menjadi kesukaan dan bisa bertraksaksi. Sedangkan bagi mereka yang tidak mau membuang-buang waktu untuk belanja, lebih senang mengadakan transaksi secara daring dan sekaligus siap menanggung resiko.


Dari hasil debat itu, pada akhirnya mendapatkan catatan dari para juri. Sebagai salah satu tim juri, saya sendiri melihat berbisnis tidak lebih dari sebuah pertarungan, mirip strategi peperangan dalam dunia militer.  Dalam membangun bisnis, perlu adanya strategi yang harus dirancang untuk mempertahankan bisnis  dan juga strategi untuk menciptakan peluang-peluang baru dalam berbisnis. Para pebisnis yang muncul beriringan dengan teknologi dituntut kreatif dan menempatkan daya kreatif mereka sebagai bagian dari proses pertahanan ekonomi. Seni berbisnis saat ini tidak semata-mata memperlihatkan kreasi yang manipulatif tetapi juga membangun seni mencintai pembeli sebagai rekan yang menyokong kehidupan dan pada akhirnya menawarkan relasi mutualistik.***(Valery Kopong)   

Tuesday, November 15, 2022

"Hidup Jadi Berkat"

 

Beberapa waktu lalu, tepatnya di hari pahlawan, seorang perempuan yang pernah mendonorkan ginjalnya ke salah seorang yang membutuhkan, meninggal dunia. Kepergiannya cukup mengagetkan dan mengundang perhatian publik. Setahun sebelumnya, Fransisca Ncis mendonorkan ginjalnya pada Budi, seorang yang gagal ginjal. Budi bukan keluarganya tetapi karena keprihatinan maka ia berani memberikan ginjalnya, organ tubuh yang sangat vital untuk diberikan kepada orang yang membutuhkan. Apa yang dilakukan oleh Fransisca Ncis merupakan “tindakan heroik” untuk menyelamatkan orang lain. Ia menempatkan penderitaan orang lain (Budi) sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam hidupnya.


“Organ tubuhmu tak diperlukan di surga, tapi diperlukan di dunia.” Kata-kata yang keluar dari mulut seorang Fransisca Ncis ini menggambarkan sikap peduli pada sesama manusia  yang tengah berziarah di dunia ini. Bahwa segala hal yang fana, termasuk organ tubuh masih bermanfaat jika kita masih hidup di dunia ini sejauh diberikan pada orang yang tepat dan pada situasi yang tepat pula. Memang organ tubuh tidak diperlukan di surga karena ketika manusia mati, jazadnya melebur dan menyatu dengan tanah, ibu pertiwi.

 

Dalam refleksi iman, kita bisa melihat pengorbanan diri seorang Fransisca Ncis berkaca pada sikap imannya akan Kristus yang diimani. Kehadiran Yesus di dunia ini membawa suatu harapan baru bagi manusia yang telah ditebus dengan darah dan nyawa-Nya di atas kayu salib. Pengalaman salib bukanlah pengalaman buntu tetapi pengalaman salib membawa puncak keselamatan dunia. Sebagai pengikut Kristus, penderitaan yang dilalui oleh Yesus adalah jalan terjal untuk memulihkan dunia dan menyelamatkan manusia. Hanya melalui pengalaman salib dan Jumat Agung, kita boleh bergembira merayakan warta kebangkitan Kristus pada Minggu Paskah.

Hidup yang sedang kita jalani ini tentu membawa dua sisi yang berbeda. Terkadang kita mengalami pengalaman kegelapan (pengalaman Jumat Agung) dan terkadang kita boleh merayakan kegembiraan Paskah setelah melewati jalan terjal kehidupan ini. Kita menyadari bahwa pengalaman pahit dan manis telah dilalui oleh Fransisca Ncis. Mendonorkan  ginjalnya pada Budi merupakan sebuah tindakan mulia. Ia rela berbagi pada orang lain, walaupun yang dibagi itu adalah hal yang sangat vital dalam hidup.  Dalam sikap imannya, ia menyatukan pengorbanannya dengan kurban Kristus di salib untuk melihat jeritan seorang Budi yang gagal ginjal itu sebagai orang yang wajib ditolongnya.  “Budi, penerima ginjal dari Fransiska Ncis turut mengantar kepergian abadi almarhumah. Kasih sejati memberi tanpa syarat. Budi akan membawa kenangan bersama Fransiska yang akan hidup selamanya. Melihat Budi menggenggam erat tangan Fransiska untuk terakhir kalinya, rasa haru menyeruak. Budi seolah berbisik: Sebagian dari dirimu akan terus hidup bersamaku." Hidup ini sudah jadi berkat.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

Monday, November 14, 2022

Seruan Iman Bartimeus

 

Membaca Injil Luk. 18:35-43, memperlihatkan sebuah tindakan yang mengubah masa kelam si buta untuk menjadi melek dan bisa melihat kembali. Injil Lukas tidak memperlihatkan siapa sebenarnya si buta itu. Namun jika kita membaca Injil Markus 10:46-52, kita bisa melihat bahwa yang dimaksudkan dengan orang buta adalah Bartimeus. Menjadi buta bukan menjadi halangan baginya  untuk melihat Yesus. Namun justeru dalam kebutaan itu, ia sanggup melihat, siapa itu Yesus sesungguhnya.

Iman seorang Bartimeus sangat kuat. Ia berusaha untuk mencari tahu, siapa sesungguhnya Yesus akan lewat di jalan itu. Mendengar bahwa Yesus akan lewat, ia berusaha untuk mencari perhatian agar dirinya yang buta mendapatkan sentuhan kasih, terutama dari Yesus. Semakin ia mencari tahu dan semakin ia berteriak kencang, orang-orang di sekitarnya mengharapkan supaya ia diam. Namun ia berteriak:  “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!”  Kata-kata yang diucapkan oleh Bartimeus dan kemudian dijadikan sebagai gelar untuk Yesus, mengingatkan kita bahwa seorang Mesias lahir dari keturunan Daud. Mesias yang diramalkan kedatangan-Nya oleh nabi Yesaya dengan menyusuri jalan dan menjumpai orang-orang sekitar.

Kisah ini menarik dan penuh sensasi karena Bartimeus mendapatkan anugerah istimewa. Keterpurukan hidup dan tidak melihat dunia karena mengalami buta matanya, merupakan pengalaman yang menyakitkan. Tetapi pada titik perjumpaan dengan Yesus, ia mengalami titik balik dalam sejarah pengalaman hidup. Seperti Bartimeus yang buta, pernahkah kita mengalami anugerah istimewah dari Tuhan?  Sekecil apa pun pengalaman yang kita alami dalam hidup, pada saat yang sama kita mengalami kehadiran Tuhan. Mengalami kehadiran Tuhan, tidak menuntut kita harus buta terlebih dahulu, namun perlu membuka diri bagi kehadiran-Nya.


Perjumpaan membawa kegembiraan  tersendiri. Karena berjumpa dengan Yesus maka Bartimeus bisa mengalami dunia baru. Tetapi kerinduan terdalam untuk bisa melihat sangat bergantung pada iman seorang Bartimeus. Walau matanya buta namun ia sanggup melihat Yesus sebagai Mesias, penyelamat dengan mata batinnya. Sanggupkah kita mengalami kehadiran Tuhan dalam hidup?***(Valery Kopong)

 

 

Sunday, November 13, 2022

"Jalan Mamon"


 

Ketika mengikuti perhelatan demokrasi pada momentum pemilihan kepala desa dari jarak jauh, beberapa hal perlu mendapat sorotan. Pemilihan kepala desa dilihat sebagai pesta demokrasi yang mestinya membawa nuansa kegembiraan untuk memilih figur-figur yang dijagokan untuk memimpin desa itu. Tetapi fakta berbicara lain. Hajatan lima tahunan ini justeru memunculkan politik indentitas dan juga menjadi kesempatan pertarungan para anggota DPRD yang menjagokan incumbent yang selama ini berperan penting memuluskan jalannya menuju kursi terhormat itu. Mencermati dua fenomena ini menjadi menarik untuk ditelusuri karena politik primordial seperti ini mengabaikan figur-figur produktif yang menawarkan program-program unggulan dalam pemaparan visi dan misi itu.

Memang, dalam tataran nasional maupun tataran politik lokal, politik dengan mengedepankan aspek primordial seperti suku, dan agama menjadi identitas yang menekankan kedekatan dengan figur yang memiliki kesamaan dengan pemilih. Berpolitik dengan mengusung aspek primordial dalam tatanan masyarakat desa, jauh lebih berbahaya karena rentetan relasi kemargaan menjadi terganggu, tidak hanya urusan politik sesaat tetapi juga urusan-urusan adat. Jika si A berasal dari suku/marga A dan memilih untuk mendukung salah seorang figur dari suku/marga B maka ini menimbulkan sebuah pertanyaan di dalam kelompok masyarakat yang berasal dari suku/marga A. Orang yang bersangkutan menjadi musuh abadi dalam kalangan marga/suku A karena pilihan yang berbeda.

Menyimak pilihan bebas  si A yang berani melampaui batas suku/marga untuk memilih seorang figur dari suku/marga lain, tentu memiliki alasan yang kuat, terutama ketika terjadi pemaparan visi dan misi yang bisa memberikan harapan bagi para pemilih untuk melihat secara jernih, program-program unggulan yang ditawarkan oleh salah seorang figur, walaupun berasal dari suku / marga yang lain. Tindakan memilih secara bebas ini menjadi sebuah pembelajaran bahwa dampak dari politik identitas tidak membawa sebuah pencerahan. Karena itu jauh lebih penting jika menempatkan nilai demokrasi dalam konteks kebebasan nurani untuk memilih figur-figur mana yang tepat untuk memimpin desa.

Dalam konteks pemilihan kepala desa yang telah  berlangsung menyisahkan banyak persoalan, membuat masyarakat dan juga para penyelenggara semakin ruwet untuk memikirkan jalan keluar pemecahannya. Menurut penulis, budaya demokrasi yang mengedepankan asas LUBER (langsung, umum, bebas dan rahasia) masih jauh dari harapan. Soal kerahasiaan belum bisa terjaga karena masing-masing pendukung yang nota bene berasal dari suku/marga yang berbeda mencoba untuk menakar, berapa orang pemilih yang akan memilih figur si A dan juga berapa orang pemilih yang memilih si B. Kalkulasi ini dibuat berdasarkan teritori kesukuan / kemargaan yang di satu sisi baik bahwa masing-masing marga mengusung figurnya tetapi juga membawa dampak yang tidak baik karena memangkas kebebasan berdemokrasi. Kebebasan dipangkas demi politik primordial yang belum tentu menghasilkan figur yang diharapkan masyarakat.

Persoalan lain yang juga disoroti adalah keterlibatan anggota DPRD yang mendukung incumbent (petahana) dalam proses pemilihan kepala desa. Keterlibatan anggota DPRD tidak secara terang-terangan merupakan hal yang wajar karena bagaimanapun di desa yang sama dan suara-suara yang sama juga pernah mengantarkan anggota dewan tersebut untuk duduk di kursi terhormat itu. Tetapi menjadi persoalan adalah ada dugaan gelontoran dana pada salah satu figur yang dijagokan oleh anggota dewan tersebut. Perilaku ini tidak memberikan pendidikan politik yang baik pada masyarakat. Di satu sisi, selama ini digaungkan demokrasi berjalan secara normatif dan jauh dari money politic tetapi di sini lain, praktek money politic pada basis politik paling bawah sedang ditumbuh-suburkan.

Figur calon kepala desa yang didukung oleh anggota dewan dalam kalkulasi politik, mengarah pada kemenangan. Sokongan dana menjadi mesin penggerak utama dalam meraih kemenangan, apalagi orang-orang kampung yang umumnya gampang dibeli suaranya dengan uang. Uang menjadi daya tarik utama untuk memilih figur yang menawarkan jalan mamon itu. Dalam saat-saat terakhir pemilihan itu berlangsung, tim sukses terus bergerilya untuk menawarkan transaksi politik dengan uang. Dalam hitungan sekejap, politik identas bisa dilupakan, dan orang ramai-ramai memilih figur yang manawarkan “mamon” (uang) sebagai ikatan politik sesaat. Di bawah  “remang-remang” politik pedesaan ini, kita bertanya diri, apakah pemilihan kepala desa merupakan hajatan orang kampung atau hajatan anggota dewan?*** (Valery Kopong)

Thursday, November 10, 2022

Menjadi Pahlawan Untuk Diri Sendiri

 

Banyak cara yang dilakukan untuk memperingati hari pahlawan yang jatuh tepat pada 10 November. Keluarga besar SD Insan Teratai mengisi hari pahlawan ini dengan menampilkan tarian, musik angklung dan juga fashion show dari masing-masing kelas. Setiap anak mengenakan pakaian yang memperlihatkan profesi tertentu. Ada yang mengenakan pakaian, layaknya sebagai seorang dokter, polisi, tentara dan beberapa profesi lain.

Memaknai hari pahlawan ini, masing-masing anak memahaminya dalam konteks kekinian. Jika pahlawan tempo dulu yang dilihat sebagai pejuang yang mengusir penjajah maka dalam konteks kekinian, anak-anak berusaha memahami pahlawan sebagai pejuang yang memberikan spirit untuk bekerja dan mengabdi pada negara. Profesi seorang dokter misalnya, berusaha sedapat mungkin dengan keilmuan yang ada, berjuang menangani pasien. Karena itu seorang dokter di mata seorang pasien, tentu dilihat sebagai pahlawan yang mampu mengatasi penderitaannya dan memulihkan kembali dari sakit yang diderita.

Sebagai seorang guru, tetap menjadi seorang pahlawan bagi anak-anak didik. Setiap waktu, seorang guru berjuang mendampingi anak-anak dalam proses pembelajaran. Seorang guru, berdiri pada garis depan untuk setia mendampingi anak-anak dalam  menatap masa depan generasi muda. Di mata seorang murid, guru adalah pahlawan yang setia menemani mereka di saat mereka menapaki jalan panjang meraih cita-cita.

Keceriaan anak-anak memperlihatkan keceriaan masa depan. Menjadi seorang murid, menjadi seorang pembelajar yang terus menggali pengetahuan baru untuk membangun kualitas diri. Sekolah Insan Teratai yang berdiri tegak itu, memberikan harapan bagi mereka yang masih mengais masa depan melalui jalur pendidikan. Sejarah munculnya peringatan Hari Pahlawan ini mengacu pada peristiwa pertempuran pada 10 November 1945 di Surabaya. Memang moment ini kita mengenang kembali jasa para pahlawan di masa lalu dan sekaligus bagaimana kita menanamkan nilai-nilai kepahlawanan pada generasi muda saat ini.


Menjadi pahlawan dalam konteks saat ini, tidak berarti harus mengorbankan nyawa demi orang yang kita bela. Namun setiap orang bisa menjadi pahlawan untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Kita menjadi pejuang untuk memberantas kemiskinan, kemelaratan dan membangun masa depan yang lebih baik. Beranilah menjadi pahlawan untuk diri sendiri.***(Valery Kopong)

Wednesday, November 9, 2022

Nilai Perutusan

 

Sumber foto:Kompasiana 

Pernyataan Santo Hironimus yang sangat populer, yakni “tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.” Pernyataan ini sederhana namun jika ditilik secara lebih dalam, memiliki kedalaman makna. Kitab Suci, terutama Perjanjian Baru yang mengisahkan tentang Yesus dan karya pewartaan-Nya, perlu digali secara mendalam oleh seorang pembaca. Membaca Kitab Suci  merupakan cara sederhana untuk menyelami kehidupan Yesus. Kitab Suci terutama Perjanjian Baru ditulis setelah ratusan  tahun Yesus berkarya di dunia sampai pada puncak pengorbanan diri-Nya di kayu salib. Semula ketika  Yesus masih berkarya di dunia ini, orang belum memikirkan menulis tentang-Nya. Namun dalam perjalanan waktu, orang menyadari bahwa hidup dan karya Yesus perlu diabadikan dalam buku Kitab Suci dan menjadi sumber iman.

 

Terkadang membaca Kitab Suci, saya sendiri memberikan apresiasi pada para penulis yang dalam keterbatasan berhasil membuat tulisan-tulisan yang bermakna. Melewati proses panjang adalah hal lumrah yang harus dilalui oleh seorang penulis dan jauh lebih penting adalah bahwa dalam menulis, seorang penulis Kitab Suci dituntun dan diilhami oleh Roh Kudus. Roh Kudus memainkan peranan penting dalam proses penulisan itu.  

 

Kitab Suci memberikan gambaran iman dan sekaligus memperkenalkan Yesus sesungguhnya. Karena itu ajakan Santo Hironimus menjadi sebuah ajakan penuh makna untuk memahami secara mendalam, siapa itu Yesus sebenarnya. Yesus Kristus seperti yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, menggambarkan dua sisi kehidupan, baik sebagai manusia biasa maupun sebagai Tuhan. Sebagai manusia biasa, Yesus bisa mengalami rasa lapar dan bisa makan namun aspek lain yang memperlihatkan keilahian Yesus adalah mukjizat yang dilakukan oleh Yesus.

 

Kitab Suci Perjanjian Baru yang kita kenal dan terima saat ini berjumlah 27 kitab dan tentu saja proses penulisan itu memakan waktu lebih dari 100 tahun. Pengalaman kebangkitan Yesus dan peristiwa turunnya Roh Kudus menjadi momentum penting untuk bergerak maju dalam karya pewartaan dan merasakan arti kehadiran Yesus. Peristwa Pentakosta seakan menjadi penyulut utama dalam membakar semangat para murid untuk tidak berdiam diri tetapi bergerak keluar untuk memberikan kesaksian tentang Kristus yang bangkit dan karya-karya-Nya.

 

Nilai sebuah perutusan tidak hanya berhenti pada mengenal tentang Kristus tetapi lebih dari itu ada gerak keluar untuk memberikan kesaksian tentang-Nya lewat cara hidup sederhana.  Perutusan Kristus adalah perutusan penuh resiko. Resiko bukan menjadi alasan bagi seorang Kristiani untuk berdiam diri tetapi justru tantangan yang dihadapi itu memberikan spirit bagi para pewarta.   Lukas 10:3 “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.” Mengenal Kristus berarti memahami juga tentang nilai perutusan. Hanya dengan pewartaan itu, dunia tahu tentang siapa sesungguhnya Yesus.***(Valery Kopong)

 

 

Tuesday, November 8, 2022

Tindakan Penyelamat

 

sumber foto:katolisitas.org

Ketika membaca kisah tentang bagaimana Yesus mewartakan Kerajaan Allah, ada dua cara unik yang selalu dipakai, yakni mewartakan dengan kata-kata dan tindakan. Untuk bisa membangkitkan rasa ingin tahu para pendengar tentang Kerajaan Allah, Yesus mencoba untuk menggiring kesadaran mereka dengan menampilkan perumpamaan-perumpamaan. Perumpamaan yang digunakan Yesus ini menjadi pintu masuk bagi para pendengar untuk memahami esensi tentang Kerajaan Allah.

 

Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus bukan sesuatu yang baru karena sebelum kehadiran Yesus, warta tentang Kerajaan Allah sudah digaungkan di kalangan orang Yahudi. Pemahaman Kerajaan Allah secara politis, menginginkan Mesias yang akan hadir dan kepenuhan Kerajaan Allah, sebagai tokoh politis yang mampu mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia. Mesias tampil sebagai tokoh politik dengan gagah memimpin bangsa Israel melawan penjajah Romawi dan penindas rakyat.

 

Pemahaman Kerajaan Allah secara Yuridis-religius,  menginginkan jika Kerajaan Allah bisa terwujud maka satu-satu cara adalah hidup sesuai dengan tuntutan hukum Taurat. Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus adalah Kerajaan Allah yang penuh suka cita. Kerajaan Allah itu tidak dipahami dari sisi wilayah kekuasaan seperti kerajaan duniawi namun Kerajaan Allah yang diwartakan itu merupakan “tindakan penyelamatan” yang dilakukan oleh Yesus sebagai Mesias. Karena itu warta tentang Kerajaan Allah yang diproklamirkan oleh Yesus, bukan sesuatu “yang akan terjadi” dan masih angan-angan, melainkan Kerajaan Allah, sudah dan sedang terjadi dalam diri Yesus.

 

Dalam diri Yesus menjadi kepenuhan Kerajaan Allah, dan tindakan penyelamatan itu dimulai oleh Yesus sendiri. Keberpihakan pada mereka yang miskin dan papa, memberikan proteksi pada mereka yang tertindas, merupakan wujud Kerajaan Allah yang dinantikan itu. Dalam mewartakan Kerajaan Allah, Yesus menggunakan perumpamaan dan menegaskan kata-kata itu dengan tindakan yang menyelamatkan, seperti mukjizat yang diperlihatkan pada khalayak umum sebagai cara sederhana Yesus menghadirkan Kerajaan Allah itu.  

 

Sebagai pengikut Yesus, kita pun bisa melakukan tindakan keberpihakan pada mereka yang miskin dan papa. Dengan membantu orang lain yang sedang menderita, merupakan tindakan penyelamatan dan Kerajaan Allah hadir di situ. Sekecil apa pun tindakan kita pada orang lain maka secara tidak langsung, kita sedang menghadirkan Kerajaan Allah secara paripurna.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

Monday, November 7, 2022

Video Suster Yang Viral

 

Sebuah video yang kini lagi viral, memperlihatkan seorang biarawati Katolik secara terang-terangan mendukung salah satu calon presiden pada pemilihan umum di tahun 2024 nanti. Video tersebut, saya share ke grup WA para ketua lingkungan. Saya mendapatkan reaksi yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa sebaiknya di grup itu tidak boleh membahas persoalan mengenai politik, sedangkan ada juga yang mendukung, sebaiknya para ketua lingkungan juga harus melek politik supaya bisa memberikan pemahaman yang jernih pada umat yang dilayaninya.

Dengan sadar dan tahu bahwa video yang saya share itu pasti mendapatkan reaksi yang berbeda. Bagi mereka yang selama hidup menggereja dan terkesan tidak mau tahu tentang kehidupan politik, merasa alergi dengan politik. Sedangkan bagi ketua-ketua lingkungan yang selalu terlibat dan mendiskusikan tentang politik, memberikan respon yang positif. Dari tanggapan-tanggapa itu, pada akhirnya saya coba mengklarifikasi dengan merujuk pada Kitab Hukum Kanonik. Kan. 287 - § 2. Janganlah mereka turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum.

Merujuk pada Kan. 287 - § 2, terlihat jelas batas keterlibatan kaum klerus maupun seorang biarawan / biarawati. Kalau video yang menyatakan dukungan itu dilakukan oleh seorang awam maka itu dilihat sebagai sesuatu yang biasa saja. Namun menjadi menarik bahwa dalam video itu seorang suster (biarawati) menyatakan secara terangan-terangan untuk mendukung salah satu kandidat calon presiden, maka ini perlu diluruskan dengan melihat latar belakang kehidupannya sebagai seorang biarawati. Banyak pertanyaan yang muncul dari beberapa teman. Apakah ada kaitan antara capres yang bersangkutan dengan suster yang menyatakan dukungan tersebut? Bagaimana dengan reaksi pimpinan kongregasi yang melihat salah satu anggotanya menyatakan dukungan terhadap capres?

Tidak lama video ini viral, muncul juga video klarifikasi dari suster yang bersangkutan, hanya saja video klarifikasi itu sepertinya tidak menjawabi alasan, mengapa suster itu bisa mengatakan dukungan secara terang-terangan terhadap salah satu capres. Klarifikasi ini memberikan gambaran bahwa biarawati ini belum paham dan tidak bisa membedakan mana yang menjadi tugas kewenangannya dan terutama kurang memahami koridor yang tertera pada Kitab Hukum Kanonik yang melarang keterlibatan kaum klerus maupun seorang biarawan-biarawati dalam kehidupan politik.

foto: screen shoot dari video
Memang, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita perlu mengetahui kondisi perpolitikan nasional. Saat ini partai politik sedang mencari jagoan-jagoan untuk dideklarasikan menjadi calon pemimpin masa depan Indonesia. Sebagai seorang biarawati sekaligus sebagai warga negara Indonesia memiliki hak yang sama dalam kehidupan bernegara. Namun belum waktunya untuk menyatakan dukungan kepada salah satu capres. Jika seorang biarawati sudah mulai menyatakan dukungan kepada salah satu capres secara terbuka maka ini membingungkan umat. Apa motif di balik dukungan itu dan  ke mana arah perjalanan biara? ***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Friday, November 4, 2022

Bertutur

 

Ketika memulai pelajaran agama Katolik, khusus kelas X, ada sesuatu yang menarik untuk dicermati terutama terkait materi tentang Kitab Suci Perjanjian Lama. Kitab Suci  (Alkitab) yang kita terima hari ini, memberikan banyak gambaran tentang proses memulai penulisan. Proses yang dilalui memang sangat panjang dan memiliki kisah tersendiri. Menelusuri proses penulisan ini, bisa dibayangkan betapa orang-orang (para penulis Kitab Suci) pada saat itu dalam keterbatasan sarana dan prasarana namun berusaha untuk pada akhirnya memulai sebuah karya besar.

Dari catatan-catatan sejarah perjalanan proses penulisan Kitab Suci, kita tahu bahwa para penulis menggunakan kulit hewan (perkamen) sebagai tempat untuk menuangkan tulisan-tulisan. Bisa dibayangkan, berapa kulit hewan yang dibutuhkan untuk memulai proses penulisan Kitab Suci itu? Namun dalam perkembangan lebih lanjut, ditemukan gelagah Papyrus yang menjadi bahan dasar untuk membuat kertas maka para penulis mulai beralih ke kertas sebagai tempat untuk menulis.

Kita meyakini bahwa para penulis Kitab Suci tidak hanya mengandalkan diri sendiri dalam memulai sebuah karya besar, terutama menulis Kitab Suci tetapi para penulis diilhami oleh Roh Kudus. Roh Kuduslah yang bekerja dan memenuhi akal dan budi mereka sehingga bisa menuliskan Kitab Suci secara baik.

Kitab Suci Perjanjian Lama memuat pengalaman iman umat Israel. Namun sebelum ditulis menjadi sebuah buku yang kita kenal sebagai Kitab Suci, mereka tetap menghidupi Tradisi lisan sebagai sebuah proses pewarisan terhadap generasi-generasi muda. Kisah tentang penciptaan manusia dan alam semesta, kisah keluarnya bangsa Israel dari Mesir, dan kisah-kisah lain, dituturkan secara lisan pada ratusan tahun, yang pada akhirnya ditulis.

Melihat periodesasi kehidupan bangsa Israel dan perkembangan dari waktu ke waktu, dapat kita katakan bahwa tradisi lisan masih memainkan peranan penting dalam penuturan lisan. Antara tahun 1800-1600 sebelum Masehi, periode ini dikenal sebagai zaman Bapa-bapa bangsa Israel, yakni Abraham, Ishak dan Yakub. Berbicara tentang sejarah awal perjalanan hidup orang Israel, tidak terlepas dari panggilan Abraham. Pada usia 75 tahun, Allah memanggil Abram dan Ia menjawabi panggilan itu. Abram menjawabi panggilan Allah itu dengan bergerak keluar dari kampung halamannya dan pergi ke tempat yang dijanjikan oleh Allah. Ada tiga janji yang diberikan oleh Allah kepada Abraham, Bapa segala bangsa, yakni mendapatkan berkat, keturunan yang besar dan tanah terjanji yaitu tanah Kanaan.

sumber gambar: google

Pada periode Bapa-Bapa bangsa, Kitab Suci belum ditulis. Namun kisah panggilan Abraham ini menjadi titik awal sejarah perjalanan Israel dan terus dituturkan secara lisan terutama pada generasi-generasi muda.***(Valery Kopong)  

 

Thursday, November 3, 2022

Tradisi Gereja

 

Ketika mengajar agama Katolik, sering ditanyakan oleh anak-anak murid tentang berapa sumber iman orang Katolik. Dengan sederhana saya menjawab bahwa ada tiga sumber yang dijadikan sebagai dasar penguatan iman Katolik. Sumber-sumber yang dimaksudkan  adalah Kitab Suci, Tradisi Gereja  dan Magisterium Gereja. Saya berusaha menjelaskan satu persatu mengenai tiga sumber yang dimaksudkan itu. Namun ada saja anak yang bertanya lanjut, mengapa Tradisi dijadikan sebagai salah satu sumber iman?   Tentang alasan, mengapa Gereja Katolik menjadikan Tradisi Gereja sebagai salah satu sumber iman, terlihat jelas pada doa-doa yang merupakan warisan berharga dari para rasul.

Tradisi Gereja merupakan warisan penting dan membantu umat untuk mengembangkan imannya akan Allah. Sebelum Kitab Suci ditulis, umat Israel tetap menuturkan secara lisan akan pengalaman iman bangsa pilihan Allah pada generasi-generasi muda. Kisah penciptaan alam semesta dan manusia yang kini bisa kita baca dalam Kitab Kejadian, sesungguhnya dimulai dari cerita-cerita lisan yang terus mentradisi dari satu generasi ke generasi lain. Atau juga dalam kisah keluarnya bangsa Israel dari Mesir, pengembaraan di padang gurun sampai perjanjian Sinai, pada awalnya dituturkan secara lisan sebagai bagian dari pengalaman iman dan intervensi Allah dalam seluruh perjalanan hidup mereka.

Dalam rentang waktu panjang sebelum para penulis memikirkan untuk menulis Kitab Suci, sesungguhnya Tradisi memainkan peranan penting. Pertanyaan lanjut adalah apa itu Tradisi dan apa contoh konkret Tradisi itu? Tradisi Gereja atau sering disebut sebagai Tradisi Suci yang diajarkan oleh Gereja Katolik adalah Tradisi Apostolik. Tradisi Apostolik mengakar pada kehidupan para rasul yang diperintahkan oleh Yesus untuk mewartakan kabar baik kepada semua orang (lih.Matius 28:19-20). Jika melihat teks Injil Matius 28, memberikan gambaran tersendiri tentang misi perutusan Yesus kepada para rasul. Misi perutusan ini menjadi sebuah keharusan yang dilakukan oleh para rasul dengan memperlihatkan dua cara pewartaan, yakni secara lisan dan tertulis. Pewartaan secara lisan ini disebut Tradisi Suci dan tidak terpisahkan dari Kitab Suci.  


Dalam buku Katekismus Gereja Katolik secara tegas memperlihatkan dua model pewartaan yang pernah dilakukan oleh para rasul.

KGk 76    Sesuai dengan kehendak Allah terjadilah pengalihan Injil atas dua cara:
– secara lisan “oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan, dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari”;
– secara tertulis “oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga membukukan amanat keselamatan” (DV 7).


Para rasul telah mewariskan Tradisi Suci kepada Gereja. Para rasul mengalami secara langsung tentang kehidupan Yesus dan pewartaan-Nya. Karena itu atas perintah Yesus, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku,” merupakan sebuah keharusan yang tetap dilakukan demi tegaknya Kerajaan Allah di dunia ini. ***(Valery Kopong)

 

Wednesday, November 2, 2022

Hidup Abadi


 

Setiap tanggal 2 November, Gereja mendoakan arwah orang-orang yang sudah meninggal dunia. Hari ini juga setiap media sosial terutama dari kalangan Katolik berusaha memposting foto-foto orang yang sudah dipanggil oleh Allah melalui peristiwa kematian. Memang, terasa ada kesedihan yang menggelayut di hati namun ketika ada gerakan bersama untuk mendoakan mereka yang sudah meninggal dunia, rasanya ingatan kita tentang mereka yang sudah meninggal itu bangkit kembali. Ada memori pada masa lampau terbongkar kembali dan kenangan-kenangan lain bersama mereka masih hidup di dunia ini mulai terulang kembali.

Kalangan Katolik yang memposting foto-foto orang yang sudah meninggal itu, mengharapkan doa-doa dari sama saudara untuk jiwa mereka yang dipanggil Tuhan. Ketika bercerita dengan salah seorang teman setelah mengadakan novena arwah hari pertama, ada satu pertanyaan penting dilontarkan oleh teman. Ke mana jiwa  mereka pergi setelah mengalami kematian? Kematian yang dialami oleh orang-orang yang sudah mendahului kita, tidak hanya melenyapkan kehidupan itu sendiri. Memang tubuh yang fana menyatu dengan tanah tetapi jiwanya tetapnya hidup dalam keabadian.

Dalam iman kekatolikan, kita percaya bahwa mereka yang sudah meninggal akan memperoleh hidup abadi. Namun untuk memperoleh keabadian hidup itu perlu melewati proses, melewati pengadilan dan pada akhirnya Hakim Agung yang menentukan untuk layak masuk surga yang abadi ataukah masih berada di api penyucian. Bagi mereka yang saat ini masih berada di api penyucian, tentunya mengharapkan doa-doa dari kita yang masih berziarah di dunia ini. Doa-doa kita yang masih hidup sangat membantu mereka agar kelak boleh mengalami kerahiman Allah dan menikmati kebahagiaan kekal. 

Apa jaminan hidup kekal? Pertanyaan ini bertitik tolak pada penegasan Yesus, “Akulah jalan, kebenaran dan hidup.” Yesus memperkenalkan diri sebagai jalan yang harus dilalui oleh setiap jiwa yang sudah beralih dari dunia ini. Di jalan yang dituntun oleh Yesus, mereka yang sudah meninggal dan percaya kepada Kristus boleh menikmati rumah Bapa yang abadi. “Di rumah Bapak-Ku banyak tempat,” kata Yesus. Kita berusaha untuk masuk ke dalam rumah yang sudah disiapkan Yesus itu dan beroleh keselamatan kekal.***(Valery Kopong)

Tuesday, November 1, 2022

Sabda Bahagia

 

Setiap tanggal 1 November, Gereja merayakan Hari Raya Semua Orang Kudus. Dalam perayaan itu, kita mengenangkan orang-orang kudus, baik yang sudah dikanonisasi menjadi orang kudus, maupun yang belum. Kehidupan orang-orang kudus menjadi penting dan menjadi pembelajaran bagi kita semua yang masih tengah berziarah di dunia ini. Mereka telah memperlihatkan diri sebagai orang-orang tangguh dan berani mempertahankan imannya akan Kristus.

Sejak kapan Gereja Katolik mulai menetapkan perayaan untuk mengenang orang-orang kudus? Gereja telah mulai menghormati para Santo/ Santa dan martir sejak abad kedua. Hal ini terlihat dari catatan kemartiran St. Polycarpus di abad kedua sebagai berikut: “Para Prajurit lalu,…. menempatkan jenazahnya [Polycarpus] di tengah api. Selanjutnya, kami mengambil tulang- tulangnya, yang lebih berharga daripada permata yang paling indah dan lebih murni dari emas, dan menyimpannya di dalam tempat yang layak, sehingga setelah dikumpulkan, jika ada kesempatan, dengan suka cita dan kegembiraan, Tuhan akan memberikan kesempatan kepada kita untuk merayakan hari peringatan kemartirannya, baik untuk mengenang mereka yang telah menyelesaikan tugas mereka, maupun untuk pelatihan dan persiapan bagi mereka yang mengikuti jejak mereka.” (St. Polycarpus, Ch. XVIII, The body of Polycarp is burned, 156 AD).

Di saat Gereja merayakan Hari Raya Semua Orang Kudus, teks kitab suci, khususnya bacaan Injil memperlihatkan Sabda Bahagia yang diucapkan oleh Yesus. Membaca Sabda Bahagia ini, Yesus memperlihatkan serangkaian ucapan bahagia secara paradoks, bertentangan dan penuh dengan kejutan. "Berbahagialah orang yang miskin dalam roh..." Betapa beruntungnya jika kami tidak kecanduan hal-hal materi. Di sini PutraMu memberi tahu bagaimana mewujudkan keinginan manusia yang terdalam, yaitu keinginan akan Tuhan, bukan kepada yang sementara belaka. Kehidupan orang-orang kudus selama hidupnya memperlihatkan kualitas diri yang lebih terbuka kepada Allah dan bermati raga ketimbang mengandalkan kekayaan duniawi yang tidak menjanjikan kebahagiaan abadi.


Dalam bacaan Injil terutama tentang sabda bahagia, dilukiskan oleh penginjil “Berbahagialah orang yang lemah lembut...” Kata lemah lembut menggambarkan karakter Allah yang Maharahim, berbelas kasih. Kasih Allah yang diperlihatkan adalah kasih yang melampaui logika manusia, kasih tanpa batas. Begitu besar kasih Allah kepada dunia maka Ia mengutus Putera-Nya yang tunggal sebagai penebusan bagi manusia. Kedalaman kasih yang diperlihatkan kepada dunia penuh heroik karena hanya melalui jalan terjal heroik itu, kasih Yesus memperlihatkan titik kesempurnaan. Yesus menegaskan diri-Nya sebagai jalan, kebenaran dan hidup, hal ini memberikan jaminan masa parusia nanti. Ia telah menyediakan tempat abadi bagi kebahagiaan kekal seperti yang dialami orang-orang kudus.***(Valery Kopong)

Monday, October 31, 2022

Menjadi Dewasa

 

Ketika mengikuti misa pada Minggu, 30 Oktober 2022 di Gereja Gregorius Agung-Kota Bumi, ada sesuatu yang berbeda. Sebanyak 240 orang menerima sakramen krisma. Para penerima sakramen krisma ini terdiri dari anak-anak berusia 14 tahun ke atas dan bahkan ada yang berusia enam pulahan tahun juga turut menerima sakramen krisma. Perayaan Ekaristi dipimpin langsung oleh Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, Uskup Keuskupan Agung   Jakarta.

Untuk apa orang Katolik yang sudah mencapai usia tertentu menerima  sakramen krisma?  Pertanyaan ini menjadi penting untuk mendorong kita memahami esensi dasar tentang sakramen sebagai tanda yang kelihatan dari Allah. Sakramen krisma disebut juga sebagai sakramen pendewasaan dan sangat diharapkan setelah menerima sakramen krisma, orang bisa bersaksi tentang Kristus dan ajaran-Nya di tengah-tengah masyarakat yang plural. Menjadi saksi di zaman ini memang berat dan konsekuensi yang diterima juga tidak ringan. Namun sebagai pengikut Kristus harus perlu menyadari arti penting dari perutusan itu.

Sebagai orang yang menerima sakramen krisma, kewajiban kita adalah memberikan kesaksian tentang Kristus kepada orang lain. Kesaksian seperti apa yang harus diwartakan oleh kita? Kesaksian tentang kebaikan dan ajaran-ajaran Kristus yang harus kita perlihatkan pada orang-orang yang kita jumpai. Menjadi saksi bukan berarti harus mengatakan diri sebagai orang Katolik di depan umum, di hadapan orang-orang beragama lain, melainkan dalam tindakan baik yang paling sederhana yang diperlihatkan itu, menunjukkan bahwa kita sedang bersaksi. Jika kita hidup membaur dengan orang-orang beragama lain, kasih dan kebaikan itu terus diperlihatkan maka langkah ini sebenarnya kita memperkenalkan ajaran-ajaran Kristus yang berlandaskan pada cinta kasih.

Dalam khotbahnya, Mgr. Suharyo menekankan pentingnya perutusan yang ditopang oleh kekuatan Roh Kudus. Roh Kudus menjadi roh yang memberikan energi dan semangat bagi para pewarta. Ketika Yesus dihukum mati, para rasul mengalami ketakutan dan bahkan keterpurukan hidup. Mereka mengalami keterpurukan hidup karena Yesus yang menjadi andalan utama mereka ternyata harus mati secara tragis. Namun situasi itu berubah setelah turunnya Roh Kudus ke atas para rasul dalam bentuk lidah-lidah api. Roh Kudus itulah yang memberikan spirit baru bagi para murid  agar bisa berani dan melangkah untuk mewartakan kebangkitan Kristus dan ajaran-Nya ke penjuru dunia.

 Mgr.Ignatius Suharyo menerimakan sakramen krisma

Konsekuensi yang harus diterima sebagai seorang pewarta memang berat. Tidak hanya dikucilkan dari masyarakat tetapi juga rela kehilangan nyawa. Seperti Kristus yang mewartakan tentang Kerajaan Allah dan konsekuensinya menerima salib, maka jalan yang sudah diperlihatkan oleh Kristus, juga harus dilalui oleh kita yang menamakan diri sebagai pengikut-Nya. ***(Valery Kopong)

Friday, October 28, 2022

Mengenal Sekolah Insan Teratai

 


Beberapa tahun terakhir ini, cukup banyak  sekolah baru muncul  di wilayah Kota Bumi dan sekitarnya. Dengan berdirinya sekolah baru ini berarti sekolah-sekolah yang sudah lebih dulu berdiri, melihatnya sebagai sebuah persaingan. Memang, sadar atau tidak, sekolah-sekolah saat ini sedang bersaing memperebutkan hati orang tua agar bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut. Persaingan ini memang wajar tetapi di tengah persaingan ini, pihak sekolah terus berbenah dan menawarkan fasilitas dan pelayanan terbaik bagi anak-anak murid yang sedang mengenyam pendidikan.


Melihat persaingan antar sekolah ini dilihat sebagai sebuah persaingan yang sehat. Artinya bahwa dengan persaingan ini memungkinkan pihak sekolah untuk melihat peluang-peluang baru yang bisa dijadikan sebagai landasan untuk mempromosikan sekolah. Bagi sekolah-sekolah yang terus berbenah diri dan menawarkan hal-hal baru maka besar kemungkinan akan mendapatkan peluang untuk menerima calon siswa/siswi yang baru. Sebaliknya jika sekolah-sekolah yang tidak mau berbenah diri dan terkesan monoton, maka akan ditinggalkan oleh pelanggan-pelanggannya.

Bagaimana kita melihat perkembangan sekolah Insan Teratai? Melihat perkembangan dari waktu ke waktu, Insan Teratai memperlihatkan banyak terobosan baru. Ada pembenahan gerbang utama dan pembukaan kios-kios. Dari segi fasilitas, Yayasan Insan Teratai Sejati menyediakan lab komputer bagi anak-anak. Sarana dan prasarana yang disiapkan pihak Yayasan Insan Teratai Sejati bertujuan untuk mempersiapkan anak-anak dalam mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya. Pihak sekolah berkewajiban menyediakan fasilitas yang memadai tetapi setiap siswa/siswi harus didorong untuk belajar memanfaatkan fasilitas itu dan berusaha untuk memperkaya diri dengan belajar secara rutin. Apa gunanya laboratorium  komputer kalau siswanya tidak mau belajar bagaimana menggunakan komputer dengan program-program terbaru?

Sekolah Insan Teratai sedang membenah diri dalam menghadapi pelbagai tantangan zaman. Namun dalam menghadapi pelbagai tantangan itu, anak-anak dibekali dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan menjadi dasar dan memberi bobot pada kehidupan manusia, terutama anak-anak Insan Teratai.***(Valery Kopong) 

Friday, September 25, 2020

Merawat Sejarah

 

Pada usia 30 tahun Yesus  tampil di depan umum untuk mewartakan  Kerajaan Allah dan kabar gembira.  Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus merupakan sebuah kerajaan yang berpihak pada mereka yang lemah,  tersingkir dan juga mereka yang dilupakan oleh masyarakat.  Yesus hadir sebagai seorang penyelamat tetapi kehadiran-Nya di dunia sebagai manusia biasa.  Ia lahir di kandang hewan, hal ini mau menunjukkan kepada kita bahwa Yesus mau menghambakan diri-Nya dan pada akhirnya mau solider  dengan manusia.

 

Ia sangat menghargai tradisi-tradisi atau adat istiadat yang telah berkembang di dalam masyarakat Yahudi.  Yesus sendiri juga merupakan warga Yahudi karena itu Ia menghargai tradisi-tradisi yang ada,  salah satunya, yaitu tradisi yang setiap tahun dilakukan oleh umat Israel untuk berkumpul di Yerusalem, kota suci  yang bisa mempersatukan bangsa Israel yang tersebar di beberapa tempat.  Dengan berkumpulnya mereka di Yerusalem pada setiap tahun mengingatkan mereka akan nenek moyang mereka yang  telah berhasil keluar dari tanah Mesir dan dari tanah Mesir,  Allah pada akhirnya menuntun mereka untuk kemudian mengembara di padang gurun selama 40 tahun.  Di sini mau menunjukkan kepada kita tentang kesetiaan yang diperlihatkan oleh Allah kepada bangsa pilihan-Nya Israel. 

 

Setiap tahun mereka diingatkan kembali akan peranan Allah dalam seluruh sejarah keselamatan yang mereka alami dan terutama yang dialami oleh nenek moyang mereka.  Yesus sebagai salah seorang Yahudi juga mengikuti seluruh ritual kegiatan yang ada di Yerusalem.  Kedua orang tuanya membawanya untuk pergi ke Yerusalem  dan berusaha untuk bisa memahami arti penting dari sebuah makna pembebasan  dalam peristiwa Paskah Yahudi.  Yesus sendiri berusaha untuk bisa memahami,  bagaimana peran pembebasan yang dilakukan oleh Allah terhadap bangsa Israel.

 

Walaupun mereka disebut sebagai bangsa pilihan Allah,  tetapi sikap dan tindakan mereka terkadang jauh dari harapan Allah  sendiri karena itu berkali-kali Allah menunjukkan kemarahan.   Walaupun dalam situasi kemarahan, Allah tetap menunjukkan kesetiaan-Nya terhadap bangsa yang telah dipilihnya menjadi bangsa kesayangan-Nya sendiri. Dalam kaitan dengan tradisi yang telah ada di dalam masyarakat Yahudi,  Yesus tidak pernah melenyapkan tradisi itu di hadapan mereka.  Yesus tidak pernah melenyapkan tradisi yang sudah mengakar di dalam kehidupan masyarakat Yahudi tetapi pengalaman masa lampau coba diingatkan kembali oleh Yesus. 

 

Melalui  tindakan-Nya, Yesus mengingatkan mereka bahwa apa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka di masa lampau,  terutama ketika mereka mengalami arti penting peranan Allah di dalam hidup bangsa Israel.  Yesus mau menekankan arti penting dari sejarah itu, sejarah masa lampau dibuka kembali oleh Yesus lewat tindakannya dan melalui tindakan itu Yesus mengingatkan kita tentang makna terdalam dari sejarah yang telah terlewatkan oleh bangsa Israel.  

 

Kita lihat Yesus memilih kedua belas Rasul,  ini mengingatkan kita tentang 12 anak Yakub yang kemudian bisa berkembang menjadi sebuah negara besar. Ini merupakan satu bentuk keterlibatan peranan masa lampau dan kemudian diingatkan kembali lewat tindakan perjanjian baru yang dilakukan oleh Sang Penyelamat yaitu Yesus sendiri.  Kemudian kita juga diingatkan akan puasa yang dilakukan oleh Yesus selama 40 hari 40 malam dan tempat puasa yang di lakukan oleh Yesus,  di padang gurun. Kalau kita melihat sejarah perjalanan masa lampau padang gurun merupakan titik pencobaan yang paling radikal karena di padang gurun tidak ada tanda-tanda kehidupan. Di padang gurun tidak menjanjikan sebuah kehidupan baru tetapi di sinilah Ia memulai berpuasa  sebelum memulai karyanya di hadapan public.  Dia coba untuk mengalienasi  diri, mengheningkan diri di padang gurun agar dia mengalami kekuatan.  

 

Peristiwa puasa Yesus selama 40 hari 40 malam   juga mengingatkan kita akan pengalaman pengembaraan masa lampau yang dilakukan oleh bangsa pilihan Allah selama 40 tahun.  Mereka mengembara di padang gurun,  banyak suka duka yang mereka alami dan pada akhirnya mereka bisa mencapai tanah Kanaan,  tempat yang dijanjikan oleh Allah kepada Abraham.  Apa yang dilakukan oleh Yesus mengingatkan kita akan pentingnya peristiwa masa lampau dan juga mengingatkan nilai-nilai terdalam dari peristiwa itu bahwa dengan memilih padang gurun kita dibiarkan untuk ditantang dan pada akhirnya kita bisa berusaha untuk mencari jalan keluar, bagaimana cara mempertahankan diri di tengah padang gurun itu.  

 

Padang gurun adalah simbol ruang pergulatan hidup dan Yesus mengingatkan kepada kita bahwa hidup tidak semulus yang kita bayangkan. Kita juga harus mengalami cobaan agar kita membiarkan di dalam cobaan itu dan menyerahkan seluruh cobaan  itu di dalam tuntunan Allah sendiri.  Hanya di dalam tuntunan Allah maka semuanya bisa terlaksana secara baik,  apapun tantangan yang kita alami.  Tantangan bisa  terselesaikan secara baik karena intervensi Allah sendiri.  Hidup dan menjalani kehidupan ini bukan berarti kita membiarkan diri untuk lepas bebas dari sang sumber kehidupan itu sendiri tetapi justru hidup kita menjadi bertahan dan penuh makna di dalam genggaman Allah sendiri.  

 

Titian pencobaan itu bisa dilewati  hanya karena kemurahan hati Allah sendiri. Allah sendiri mencobai kita agar kita tahu seberapa jauh kita bertahan di dalam titik pencobaan itu dan pada akhirnya Allah yang sama menatap kita pada saat kita mencapai titik puncak penyelesaian.  Tindakan Yesus mengingatkan kita akan sebuah peristiwa penting pada masa lampau yang penuh makna. Pada akhirnya kita yang hidup juga meninggalkan satu sejarah penuh makna dan generasi berikut akan mengenang sejarah yang pernah kita lewati itu. Kita yang menjadi Israel baru karena baptisan juga merawat sejarah yang sama agar iman pengembaraan kita semakin kuat dan tertuju pada Allah,  Sang Pemberi hidup itu sendiri.***(Valery Kopong)