Friday, September 19, 2008

Jagung titi dan Pater Gregorius Kaha SVD

17 September 2008




Saya baru saja bertemu Pater Gregorius Kaha SVD di Gereja Katolik Roh Kudus, Rungkut, Surabaya. Pater kelahiran Menanga, Solor Timur, ini pastor paroki di situ. Terletak di Perumahan Puri Mas, Paroki Roh Kudus merupakan paroki terbaru di Keuskupan Surabaya. Tadinya, stasi dari Paroki Gembala Yang Baik.

Pater Goris pun sebelumnya bertugas di Gembala Yang Baik. Dia dikenal di dunia maya karena mengelola situs Yesaya (Yesus Sayang Saya), webiste Katolik yang sangat terkenal di Indonesia. Setelah pindah ke Rungkut, Yesaya pun 'dibawa' ke Rungkut. "Tiga orang yang rutin memasok bahan untuk Yesaya. Sekarang situs kami sudah masuk catatan Vatikan," ujar pastor yang sangat ramah ini.

Bertemu Pater Gregorius Kaha, bagi saya, sangat menyenangkan. Kami sama-sama berasal dari Flores Timur. Sama-sama etnis Lamaholot. Sama-sama berbahasa daerah Lamaholot. Maka, percakapan kami di ruang atas pastoran pun diwarnai bahasa daerah. Logat Solor (dia) dan logat Ile Ape, Lembata (saya), memang beda, tapi secara umum kata-kata Lamahalot sama.

Sebetulnya tujuan saya menemui Pater Goris cuma satu: ambil jagung titi. Ini makanan kecil, camilan khas Lamaholot, di Flores Timur. Bahasa Indonesianya lebih tepat emping jagung. Mula-mula jagung disangrai, kemudian 'dititi' (dipukul) dengan batu. Jagung pun menjadi pipih. Enak sekali... bagi kami, apalagi para perantauan Flores Timur.

Ceritanya, jagung titi ini dibawa oleh teman saya, Marselina. Sekarang Suster Marselina OSA, bertugas di Ketapang, Kalimantan Barat. Dia baru pulang kampung sambil membawa oleh-oleh jagung titi. Sayang, saya tidak bisa menemui Marselina di Pelabuhan Tanjung Perak. "Kalau begitu saya titip sama Pater Gregorius Kaha," kata teman yang sekarang biarawati itu.

Nah, berkat jagung titi itulah saya beroleh kesempatan untuk berbincang empat mata dengan Pater Goris. Dia sudah lama bertugas di Surabaya, tapi saya tidak pernah omong-omong dengannya. Saya pun tak menyangka bahwa dia berasal dari Solor Timur. Baru setelah saya telepon, untuk menanyakan jagung titi, tahulah saya Pater Goris ternyata sama-sama Lamaholot.

"Wah, wah, orang Lamaholot banyak yang jadi pastor paroki di kawasan Surabaya Selatan. Pater Goris Kaha SVD, Pater Yosef Bakubala SVD, Pater Sonny Keraf SVD. Wah, tuan-tuan nepe tite lewuken amuken. Pastor-pastor itu ternyata sama-sama dari kampung kita, Lamaholot," kata saya.

Pater Goris tertawa kecil. Yah, harus diakui sejak lama paroki-paroki di kawasan Surabaya selatan 'dikuasai' pastor-pastor asal Flores. Ordonya Societas Verbi Divini alias SVD. Tidak aneh juga karena Keuskupan Surabaya memang mengajak SVD untuk membina sebagian paroki di Keuskupan Surabaya.

Lha, kalau bicara SVD, ya, mau tak mau, suka tak suka, didominasi pater-pater Flores. Lha, kebetulan saat ini pater-pater Lamaholot alias Flores Timur cukup banyak di Surabaya. "Ini semua rencana Tuhan. Saya sendiri juga tidak pernah membayangkan akan ditugaskan sebagai pastor paroki di Rungkut," kata Pater Goris.

Dia ditahbiskan di kampung halamannya pada 5 September 1988 itu. Tahbisan imamat Pater Goris Kaha SVD terbilang unik karena berlangsung di kampung yang mayoritas penduduknya Islam. Banyak anggota panitia tahbisan juga bukan orang Katolik.

"Tetapi mereka bekerja luar biasa dan sangat rukun. Warna macam ini dalam refleksi pribadi saya sebenarnya melukiskan latar belakang karya perutusan kami yang ditahbiskan," tulis Pater Goris di laman pribadinya.

Sambil menikmati makanan kecil, minum air putih, makan buah, saya dan Pater Goris bicara ngalor-ngidul tentang hal-hal kecil seputar kampung halaman. Apalagi, dia baru pulang kampung sehingga sedikit banyak tahu perkembangan masyarakat dan gereja di Lamaholot. Termasuk kelakuan beberapa oknum pastor yang lucu-lucu. Hehehe....

Sebetulnya, saya tidak berbicara lebih lama dengan putra Bapak Marcelinus Kaha ini. Namun, saya tahu Pater Goris itu pastor paroki di gereja besar dengan jemaat yang sangat dinamis. Banyak umat yang juga ingin menemuinya sekadar say hello, konsultasi, atau berdiskusi seputar bulan kitab suci.

Maka, saya pun pamit pulang.

Muri ahan beng tite tutu koda balik!

1 comment:

Anonymous said...

Ternyata dari suatu kebudayaan bisa menggambarkan besarnya arti persaudaraan msekipun tidak ada hubungan darah. contohnya saja seperti jagung titi tadi yang merupakan makanan kahas dari flores timur. karena makanan ini,beberapa orang yang berasal dari daerah yang sama bisa menjadi sangat akrab meskipun mereka bukan saudara kandung. dengan adanya keakraban ini tentu akan membuat kita semakin peka akan keadan sosial. meskipun terpisah oleh jarak dan pulau yang jauh, tapi karena kebudayaan yang memiliki ciri khas inilah yang bisa menyatukan kita. seru dan indah sekali jika kita semakin mempunyai banyak kenalan,apalagi satu daerah. tentunya kita bsa saling tukar pikiran tentang keadan di daerah kita masing-masing,khususnya pada artikel ini, yaitu FLORES TIMOR....
HIDUP FLORES TIMUR...!!!!!!!!!!!

-pAuLa/Xb