Thursday, February 16, 2023

Doa Orang Yang Terluka

 


Doa memainkan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Doa bekerja untuk menyembuhkan,  mengubah dan membuat mungkin untuk setiap hal yang dianggap mustahil. Allah menyembuhkan orang yang butuh disembuhkan. “Doa tidak mengubah Allah tetapi mengubah orang yang berdoa, “ kata Soren Kiekegaard. Karenanya, untuk mencapai titik puncak pengubahan diri maka dalam doa perlu dicarikan jalan yang tepat untuk bagaimana membangun relasi intim dengan Allah. Dalam doa, sepertinya pendoa sedang berada di beranda Allah, membiarkan dirinya untuk hanyut dan larut dalam ribaan Allah.

Dalam doa-doa Katolik, begitu banyak mistikus merintis jalan panjang untuk mencari jati diri Allah melalui cara-cara baru dalam berdoa. Model doa seperti apakah yang kita perlihatkan di hadapan Allah sebagai cara dalam meraih kekhusyukan dan mengalami kehadiran-Nya? Apakah doa yang tenang penuh meditatif yang kita gandrungi? Doa Benediktin, yang pertama kali diperkenalkan oleh Santo Benediktus, menyentuh kesadaran manusia.   Tipe doa ini menyentuh semua tipe kepribadian: lectio menyentuh pikiran kita, meditatio menyentuh akal kita, oratio menyentuh perasaan kita dan contemplatio menyentuh naluri kita.     

Selain doa Benediktin, dikenal juga doa Agustinus yang lebih  menggunakan kekuatan Sabda Allah sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari dan mengajarkan kepada para murid agar menggunakan cara doa ini untuk mengenal kehendak Allah bagi mereka. Sementara itu, doa Fransiskan mengarahkan semua orang untuk percaya penuh kepada Allah, terbuka kepada bimbingan Roh Kudus dan memuliakan Allah dalam keindahan-keindahan alam.

Masih banyak lagi cara-cara berdoa dan bermeditasi yang ditawarkan oleh para mistikus. Tetapi yang terpenting di sini adalah bagaimana setiap kita memilih cara-cara yang tepat dalam berdoa. Sebelum menerapkan cara-cara berdoa, mestinya si pendoa harus tahu dan mengenal karakter pribadi. Karena dengan mengenal karakter pribadi maka seseorang akan memilih metode atau cara yang tepat dalam berdoa. Semua cara yang ditawarkan hanyalah jalan untuk mengalami kedekatan dengan Allah. Dalam berdoa, ibarat kita “bermain kartu terbuka dengan lawan main.” Karena sebelum kita menyampaikan sesuatu, Allah lebih dulu tahu tentang maksud dan tujuan kita berdoa.***(Valery Kopong)   

Thursday, January 26, 2023

Membangun Ruang Perjumpaan

 

Membaca teks Injil Luk. 10:1-9 mengingatkan kita akan tugas perutusan yang diberikan oleh Yesus. Tugas perutusan itu tidak hanya untuk orang-orang yang tertahbis ataupun  mereka yang hidup selibat tetapi justeru perutusan yang dilakukan oleh Yesus untuk semua orang yang sudah dibaptis. Kaum awam yang sudah dibaptis dan diteguhkan dengan penerimaan sakramen Krisma, memberikan gambaran perutusan sebagai tanggung jawab orang-orang yang terbaptis. Untuk apa perutusan dalam konteks mewartakan kabar baik menjadi penting? Pertanyaan ini menjadi penting karena Kristus dan ajaran-Nya harus diwartakan kepada seluruh dunia, terutama pada mereka yang belum mengenal Kristus dan Injil.

 


Tugas seorang awam dalam konteks perutusan memiliki makna yang menarik. Dalam sejarah perjalanan Gereja, terutama pada masyarakat perkotaan, keterlibatan kaum awam menjadi penting karena dialog seorang kaum awam Katolik dengan orang-orang lain yang tidak seagama menjadi dinamis. Ada bersama, tidak sekedar untuk hidup tetapi berupaya untuk memperkenalkan nilai-nilai kebaikan pada orang-orang sekitar. Diutus untuk mewartakan kabar baik, tidak berarti harus memperkenalkan atribut kekatolikan pada mereka yang bukan Katolik, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana hidup dan berada bersama mereka dengan menebarkan kebaikan.

 

Ada beberapa aktivis Katolik bergerak bersama untuk menebarkan kebaikan dan membangun relasi dengan orang-orang sekitar. Keterlibatan para aktivis awam Katolik menjadi penting karena justeru para awam yang bisa membaur di tengah-tengah masyarakat yang berbeda agama. Sebagai contoh, ada beberapa aktivis awam Katolik mencoba untuk membangun koperasi yang bermula di area gereja paroki. Dengan membangun dan mengelola koperasi ini ternyata memberikan dampak yang luar biasa terutama bagaimana membangun komunikasi aktif dengan koperasi sebagai titik temu. Orang-orang di luar agama Katolik justeru lebih banyak menjadi anggota koperasi karena mereka percaya bahwa koperasi yang dikelola oleh orang-orang Katolik memiliki nilai jual, terutama kejujuran dan keterbukaan.

 

Perutusan zaman ini memang keras. Yesus sudah mengingatkan kepada kita bahwa “Aku mengutus kamu ke tengah-tengah serigala.” Artinya bahwa  menjadi pewarta kabar baik membawa resiko tersendiri, yakni bisa dikucilkan dan  dihambat. Tetapi tantangan-tantangan itu bukan menjadi halangan, namun justeru menjadi pemicu untuk bergerak keluar menebarkan kebaikan pada orang-orang sekitar. Hanya dengan kasih yang ditebarkan pada mereka, baik yang  menerima pewartaan maupun yang menolak, Yesus semakin dikenal.***(Valery Kopong)  

Wednesday, January 25, 2023

Paradigma Politik

 Pertarungan politik kekuasaan yang  akan berlangsung pada tahun 2024 nanti tengah menjadi sorotan, terutama figur-figur capres mulai dimunculkan. Salah satu figur yang ramai dibicarakan adalah Anies Baswedan. Anies dideklarasikan oleh Nasdem sebagai calon presiden. Terhadap pencalonan ini, memunculkan pertanyaan baru. Mengapa Nasdem tidak mengusung kandidat internalnya untuk menjadi capres? Di sini, perlu dipertanyakan kembali, mengapa tidak banyak calon yang berminat untuk bertarung dalam memperebutkan kursi kekuasaan sebagai capres? Apakah karena persoalan mahar politik yang  terlalu tinggi ataukah partai sendiri gagal dalam meregenerasi anggota-anggotanya sehingga lambat laun partai kehilangan figur potensial?  Keberadaan partai-partai di Indonesia belum menunjukkan peran yang signifikan dalam mengelola sumber daya manusia. Proses perekrutan anggota-anggota partai masih jauh dari harapan karena lebih mementingkan aspek finansial ketimbang  potensi  diri yang dimiliki oleh seseorang yang mau direkrut. Karena itu partai lebih dilihat sebagai kumpulan para “pengusaha oportunis” yang selalu memanfaatkan partai sebagai kendaraan yang memuluskan proyek-proyek yang mengarah pada kepentingan pribadi dan kelompok partai. 

Berkurangnya figur untuk menjadi calon pemimpin di kalangan politisi, mencerminkan menurunnya  kualitas partai yang lebih mementingkan kekuasaan sesaat dan kurang mempersiapkan kualitas sumber daya anggota sebagai jalan untuk berkuasa secara elegan. Memang, persoalan ini merupakan pekerjaan rumah yang tidak pernah diselesaikan secara baik oleh “rumah partai.” Masyarakat awam menilai bahwa persoalan politik  hanya sebatas persoalan perang ide atau gagasan dari para politisi di ruang parlemen yang berakhir dengan kekerasan. Lebih jauh dari itu, sebuah partai memiliki tanggung jawab lebih, mulai dari sistem perekrutan anggota, pelatihan dan pengembangan potensi diri para anggota hingga menduduki kekuasaan. Di sini, ada tanggung jawab partai dalam  mendesain secara baik peta perpolitikan yang harus dilalui oleh para politisi. Tetapi kenyataannya bahwa para politisi terkadang menikung di jalan dan masuk secara pintas untuk merebut posisi dan kedudukan tanpa mempedulikan esensi dasar dari peran partai itu.  

Berpolitik berarti menata sebuah keseimbangan hidup bersama.  Dan dalam proses penataan hidup bersama, tertemukan banyak ketimpangan yang menuntut para politikus yang berani meluruskan jalan kekuasaan dan  menegakkan keseimbangan dalam pelbagai aspek. Konsep politik bahkan program yang ditawarkan capres menjadi komoditi yang menarik untuk dicermati karena merupakan representan dari figur  politisi  yang bakal ditawarkan kepada publik. 

Membaca sebuah iklan politik salah satu pasangan wakil dan walikota Tangerang Selatan (Provinsi Banten)  pada beberapa tahun yang lalu, membuat saya tergidik diam untuk merenungkan makna terdalam di balik slogan politik. “Mari Menata Tangsel (Tangerang Selatan), Rumah Kita Bersama.” Ajakan ini menarik karena mengedepankan rumah sebagai penopang  utama dalam berpolitik. Rumah menjadi tempat yang nyaman dalam menggumuli visi dan misi politis dan dari rumah yang sama, setiap orang diutus untuk bertarung. Rumah menjadi ruang inspirasi yang bening dan  di dalamnya orang memaknai peta perpolitikan sebelum keluar sebagai navigator yang memberi arah baru dalam perjalanan menuju titik kesejahteraan bagi rakyat.


Rumah politik telah  memproduksi  nilai-nilai politik yang  bersahaja  untuk  dikemas  menjadi  kekuatan yang bermakna. Di sini, saya melihat bahwa dalam berpolitik, “rumah” sebagai tempat untuk menggali inspirasi serta hakekat berpolitik untuk melayani masyarakat dan politik itu sendiri  mencari peran. Dalam situasi hari ini, kita semua tentu bertanya, mengapa tidak banyak figur yang maju menjadi calon presiden? Para politisi harus kembali ke “rumah” (baca: partai) untuk menata kembali tugas dan fungsi partai yang tengah kehilangan fungsi utama , yakni mengabaikan proses kaderisasi sebagai cara sederhana dalam mendidik kader partai yang pada akhirnya bisa tampil sebagai seorang pemimpin yang bisa dipercaya oleh masyarakat karena integritas dan berani berjuang untuk kepentingan masyarakat. Partai adalah “rahim utama” dalam melahirkan para pemimpin  yang berkualitas. ***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

 

Tuesday, December 13, 2022

Bola dan Ruang Perjumpaan

 

Ketika musim bola merebut piala dunia, semua orang sepertinya terhipnotis oleh klub kesayangan dan menjadi andalan bagi mereka untuk mempertaruhkan harapan. Musim bola membuat orang lupa untuk istirahat secara teratur karena demi menunggu klub kesayangan di depan layar kaca, mereka bertaruh waktu. Memang, saya sendiri tidak terlalu hoby nonton bola pada piala dunia ini tetapi mendengar cerita teman-teman, rasanya seperti terlibat pada laga permainan yang mengasyikan.

Tentang bola, saya teringat akan apa yang dikatakan oleh Pater Brawn, SVD saat menghuni biara di bukit Ledalero – Maumere. Menurut Pater Brawn, pastor berkebangsaan Jerman itu bahwa orang yang suka main bola hanya mengejar “kulit bodoh” di lapangan. Mereka yang bermain bola, seolah-olah menghabiskan banyak waktu dalam kesia-siaan. Bagi Pater Brown, SVD bahwa bola dan permainannya tidak memberikan manfaat karena hanya mengejar “kulit” yang diisi dengan angin. Pandangan yang skeptis ini memang lahir dari seorang imam dan berlatar belakang ilmu pasti. Semua permainan itu, menurutnya harus riil dan mengarah pada sebuah kepastian hidup.

Pandangan ini sepertinya tidak berlaku pada generasi saat ini yang lebih tertarik dengan bermain dan lebih asyik lagi kalau menonton bola dalam perhelatan piala dunia. Bola menjadi sebuah magnet yang masih menghipnotis setiap mata orang yang menggandrungi bola. Hanya karena bola, orang berani menggadai waktu istirahatnya dan karena bola pula, orang berani bertaruhan uang.

Memang bola itu “kulit bodoh” seperti yang dikatakan oleh Pater Brawn, namun karena kulit yang diisi dengan angin ini maka sebagian besar orang tergila-gila dengan bola. Namun di sisi lain, ada seorang imam SVD yang bekerja di sebuah paroki  Kewa Pante – Maumere, justeru senang dengan bola. Bola dijadikan seorang imam sebagai  sarana pastoral untuk mengumpulkan anak-anak muda. Ketika berkunjung umat di daerah-daerah terpencil, tidak hanya Kitab Suci yang dibawa serta peralatan misa tetapi juga bola. Bola membuka ruang perjumpaan dengan umat, khususnya kaum muda.


Dalam karya pastoral, kita bisa menyandingkan bola dengan Yesus. Kalau di lapangan hijau, para pemain bola mengejar bola yang adalah kulit berisi angin itu. Dalam kehidupan beriman, kita juga mengejar Kristus yang telah memanggil dan setia mendampingi kita.***(Valery Kopong)  

Monday, December 12, 2022

Mengenang Gempa Pada 30 Tahun Silam

 

Hari ini, 12 Desember merupakan hari yang tidak pernah dilupakan oleh masyarakat Flores karena pada moment itu, terjadi gempa yang sangat dahsyat waktu itu. Saya sendiri berada di bangku sekolah, kelas XI SMA Seminari Hokeng.  Pada titik ini, saya bisa mengenang kembali tragedi gempa tiga puluh tahun yang lalu, tepatnya 12 Desember 1992. Peristiwa itu terjadi pada siang hari di mana para penghuni asrama sedang menikmati tidur siang. Tiba-tiba terdengar gemuruh yang membahana dan sekaligus memporak-porandakan bangunan serta menelan begitu banyak korban jiwa.

Setelah peristiwa gempa berkekuatan 6,2 skala richter, keesokan harinya kami semua yang tinggal di asrama diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Mengemas barang-barang dan memikulnya sambil berjalan puluhan kilo meter. Pulang kampung memang menyenangkan tetapi ketika pulang pada peristiwa gempa 12 Desember 1992, kami harus berjalan kaki. Dalam perjalanan, kami mengalami rasa lapar dan haus. Tak ada orang yang jualan makanan di pinggir jalan. Semua pada panik dan berusaha menyelamatkan diri.

Dari mana kami memperoleh makanan dan minuman? Untuk bisa memenuhi kebutuhan lapar dan haus, kami mulai memetik kelapa yang ada di pinggir jalan raya. Dalam kondisi seperti itu, terpaksa memetik buah kelapa dan memakan daging kelapa hanya untuk menahan rasa lapar supaya bisa meneruskan perjalanan. Sambil menikmati buah kelapa, perjalanan terus berlanjut. Menikmati buah kelapa yang dipetik pada kebun orang tanpa meminta ijin, di satu sisi adalah perbuatan yang salah tetapi dalam kondisi yang memaksa maka apa pun yang bisa dimakan, dimakan juga sebagai upaya untuk mempertahankan diri.


Berjalan menempuh puluhan kilo meter, sepertinya tanpa lelah karena kami berjalan bergerombolan. Tak ada satu bus pun yang lewat di jalan raya karena hampir semua jalan trans Flores putus akibat longsor dan ditutupi oleh batu-batu yang besar.  Perjalanan kami hampir mendekat Lewo Laga, sebuah perkampungan di pinggir jalan raya. Di situlah kami bisa menumpang truk milik PU (dinas Pekerjaan Umum) yang sedang memantau kerusakan jalan raya. Ada niat baik dari sang sopir untuk kami menumpang dan seterusnya dibawa ke kota Larantuka. Kami terpencar untuk mencari penginapan masing-masing. Teman-teman yang berasal dari Adonara dan Lembata harus menunggu kapal motor untuk seberang ke pulau masing-masing. Mengingat tragedi itu, sepertinya mengingat murka Allah. Namun Allah masih setia melindungi umat-Nya.***(Valery Kopong)

 

 

Friday, December 9, 2022

Keluarga Kudus Nazareth

 

Ketika diminta sebagai pembicara dalam rekoleksi untuk anak-anak Katolik di SMA Tarsisius Vireta, awalnya saya ragu karena pihak sekolah meminta tetapi tidak menyodorkan tema. Dalam rentang kesulitan mencari tema itu, saya mencoba menggali tokoh penting yang berperan dalam membangun dan merawat keluarga kudus Nazareth. Dalam mempersiapkan materi tentang peranan Santo Yosef, satu hal yang bisa dikagumi adalah berani mengambil keputusan di tengah kegalauan hatinya. Mengapa Yosef menjadi galau dan risau hatinya saat ada bersama dengan Bunda Maria? Yosef tahu akan apa yang terjadi ketika pilihan hidupnya itu berlabuh pada hati seorang Bunda Maria. Bagaimana mungkin seorang yang membangun hidup baru, sementara pasangannya terlebih dahulu hamil? Inilah litani batin yang menggambarkan betapa Yosef hendak mengambil tindakan tanpa harus mencederai Bunda Maria.

Di tengah kegalauan hati, Yosef tetap membuka diri pada penyelenggaraan ilahi. Kegalauan hati seorang manusia akan hilang jika ia membuka diri pada Allah. Apa maunya Allah bagiku? Ini mungkin pertanyaan yang tercetus dalam hati seorang Yosef. Ia diteguhkan oleh malaikat, utusan Allah untuk tetap mengambil Maria sebagai isterinya, dan anak yang sedang dikandung itu berasal dari Roh Kudus. Atas dorongan dan peneguhan yang diberikan oleh malaikat, Yosef berani mengambil sebuah keputusan teguh.

Kitab suci tidak berbicara banyak tentang Yosef. Figur Yosef tidak banyak diceritakan dalam kitab suci, namun bukan berarti ia tidak terlibat dalam membangun keluarga kudus Nazareth. Ia menghidupi keluarganya secara sederhana. Sehari-hari ia bekerja sebagai tukang kayu yang selalu berhadapan dengan konsep dan mengeksekusi perabotan sesuai dengan keinginan sendiri dan pelanggan, Yosef berlumuran keringat untuk membangun keluarga yang telah dipercayakan oleh Allah padanya.



Merawat dan membesarkan keluarga Nazareth merupakan sebuah bukti cinta Yosef, tidak hanya untuk keluarganya sendiri tetapi cintanya untuk dunia. Bisa dibayangkan, andaikata Yosef gagal membangun rumah tangganya maka penyelamat pasti tumbuh secara tidak  sempurna. Dalam peristiwa-peristiwa penting, Yosef terlibat dan menunjukkan kesetiaannya, seperti pada kelahiran Yesus, Yesus disunat, Yesus dipersembahkan di Bait Allah. Peristiwa-peristiwa penting ini membutuhkan Yosef untuk terus ada di samping Bunda Maria dan Yesus Puteranya. Oleh kedekatan bersama dengan Yesus ini maka Yosef dikatakan sebagai orang yang paling bahagia. Mengapa ia bahagia? Karena selama kurang lebih 30 tahun, ia boleh mengalami Allah yang menjelma menjadi manusia. Semoga di masa Adven, kita menyiapkan diri secara baik untuk menyambut sang bayi di kandang hina pada peristiwa Natal.***(Valery Kopong)

 

Tuesday, December 6, 2022

Siapakah Saudaraku?

 

Setelah memberikan materi tentang “siapakah saudaraku” pada anak-anak Persink Gregorius, pikiranku tertuju pada keluarga dan tetangga yang hidup cukup lama di lingkungan RT.  Memahami tema tentang saudara, tidak merujuk pada ikatan keluarga atau ikatan darah. Namun saudara dalam konteks Kristiani menjadi luas, menjangkaui orang lain yang tidak sedarah dan tidak sedaerah. Cara berpikir yang dilontarkan  oleh Yesus melampaui batas-batas primordial. Yesus tidak memandang orang lain dalam lingkungan kerabat  tetapi lebih dari itu, membangun relasi bahkan menyapa orang lain sebagai sahabat-sedarah.

Kisah perumpamaan orang Samaria yang baik hati menjadi rujukan utama dalam memahami esensi dasar sebagai saudara. Memaknai saudara, berarti siap melepaskan ikatan-ikatan primordial yang selama ini dianggap membelenggu kebebasan untuk melihat keluar secara lebih jauh. Orang lain yang berbeda agama dengan kita, tetap kita menjalin relasi dengannya karena esensi nilai agama bermuara pada persentuhan tentang sesama.


Sebelum kita bicara tentang Tuhan dan relasi transendental dengan-Nya, terlebih dahulu kita mengenal dan membangun relasi dengan sesama. Menjumpai dan ada bersama dengan manusia sebagai sesama dan sahabat, menjadikan kita untuk memahami eksistensi Allah dalam kehidupan sehari-hari. “Barang siapa melakukan sesuatu untuk saudaraku yang paling hina, itu ia lakukan untuk Aku.” Memahami puncak dan keberadaan Allah, mestinya dialami dalam peristiwa hidup harian. Allah tidak bisa diraih dalam singgasana-Nya tetapi bisa dirasakan melalui kehadiran orang-orang terdekat. Tanpa berbuat baik pada orang-orang terdekat maka kita tidak pernah mengenal dan merasakan, siapa itu Allah sesungguhnya.***(Valery Kopong)

Sunday, December 4, 2022

Jabatan Rahmat


 Ketika masa jabatan Ketua Lingkungan di ujung waktu, ada kecemasan menghinggap di hati para anggota lingkungan itu. Mengapa kecemasan massal muncul secara serentak? Kecemasan bercampur rasa takut sebenarnya menyembunyikan sebuah penolakan  untuk tidak dipilih menjadi Ketua Lingkungan.   Tetapi dibalik kecemasan itu, muncul harapan yang sama, moga-moga ketua lingkungan yang lama dikukuhkan lagi. Memang, realita ini tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi ketua lingkungan adalah sebuah jabatan yang membebani, apalagi  tidak diimbangi dengan honorarium.  

     Membaca buku “Ketua Lingkungan di Era Sibuk,” penulis mengajak untuk  membangun esensi panggilan setiap orang Katolik. Dibaptis untuk masuk ke dalam Gereja Katolik secara implisit menyiratkan sebuah panggilan luhur  untuk menjadi pewarta dan saksi Kristus. Menjadi Ketua Lingkungan juga merupakan ejawantah dari rahmat baptisan yang telah kita terima. Dalam pengantar buku ini, Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta menekankan “Supaya umat di lingkungan berakar dalam iman, semakin bertumbuh dalam persaudaraan dan semakian berbuah dalam pelayanan kasih dibutuhkan banyak orang yang memiliki niat, kehendak atau kemauan untuk melayani.”

     Menjadi Ketua Lingkungan di era sibuk berarti  berusaha mengorbankan diri demi orang-orang yang dilayani. Memang, jabatan ini kurang “membius” bagi siapa saja untuk merebutnya tetapi jabatan ini merupakan “jabatan rahmat” di mana Allah menyalurkan kasih dan kebaikan-Nya. Masing-masing kita perlu membangun niat dan motivasi untuk menjadi “pemimpin dan pemimpi,” walau hanya menjadi Ketua Lingkungan.   Dalam buku yang disajikan dalam empat bagian ini merupakan pergumulan pengalaman hidup harian dan buku ini menemukan makna baru  ketika disandingkan dengan Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta. Siapa pun akan tergugah membaca buku ini sambil berkata, “kapan saya dipilih menjadi Ketua Lingkungan?”  

     Di tengah kesibukan kerja yang mendera, setiap orang Katolik diharapkan untuk menjadi pemimpin dalam lingkungan. Dalam jejalan waktu dan kepulan asap kota, kita masih melihat rahmat panggilan untuk melayani sesama. Buku ini tidak mengajak pembaca menangisi keengganan untuk menjadi ketua lingkungan, sebaliknya mengajak kita untuk memandang peristiwa ini dengan cara lain.***(Valery Kopong)

 


Saturday, December 3, 2022

Mafia

 

Ketika berlibur ke kampung halamanku Gelong-Adonara Timur pada Juli 2022 yang lalu, penulis berkesempatan ngobrol dengan orang-orang kampung yang berbicara tentang peluang dari figur-figur yang menjadi capres dan cawapres pada pemilu 2024 nanti. Obrolan kami seputar pentas politik nasional dengan melihat rekam jejak dan kalkulasi peta kekuatan berdasarkan aspek primordial yang melekat pada basis pemili di Indonesia. Diskusi tentang politik ini sempat terhenti ketika salah seorang yang tergabung dalam obrolan itu mendadak bertanya padaku. Apa itu politik? Pertanyaan tentang arti politik menjadi penting terutama untuk warga kampung yang kurang paham tentang arti sesungguhnya dari politik.

Memang, pertanyaan tuyul ini menjadi penting karena setiap orang dan khususnya politisi harus mengerti dan memahami tentang esensi dasar tentang politik. Politik menurut orang-orang kampung yang selama ini dipahami sebagai “seni menipu” masyarakat dan pelakunya adalah para politisi. Apa yang dipahami secara salah tentang politik dalam skala kampung, bertitik tolak dari pengalaman orang-orang kampung yang rajin dikunjungi pada saat menjelang Pilkada maupun Pilpres. Para politisi selalu menjagokan diri dan figur yang mau dicalonkan walaupun pada kenyataannya jauh dari harapan masyarakat. Sikap bombastis yang mengumbar secara berlebihan dan bahkan terjadi proses penipuan secara terbuka untuk mendulang suara pada menjelang Pilkada maupun Pilpres, pada akhirnya mengerucut pada pemahaman yang salah tentang esensi dari politik itu sendiri.

Apa makna sebenarnya dari politik? Secara sederhana, politik adalah seni untuk menata keseimbangan hidup bersama. Ketika melihat makna dasar arti politik yang menata keseimbangan hidup bersama, ada hal yang memiriskan nurani anak bangsa ini karena dalam berpolitik tidak terjadi lagi keseimbangan bahkan situasi masyarakat tercabik-cabik karena perhelatan demokrasi. Situasi menjadi ambigu karena masyarakat terpolarisasi sesaat di musim pilkada maupun pilpres. Ada tarik menarik kepentingan dalam masyarakat dan masyarakat sendiri menjadi korban dari perhelatan itu dan menjadi penonton adalah kaum elite politik. Masyarakat terpolarisasi sesaat karena menjadi bagian dalam mendukung calon tertentu. Banyak pengamat memprediksi bahwa dalam tahun politik ini bisa terjadi konflik horizontal yang mengarah pada perpecahan. Jika terjadi perpecahan karena disebabkan oleh pilihan politik yang berbeda maka esensi dasar politik yang mau menata keseimbangan bersama belum menemukan titik keberhasilan.

Kita bisa saksikan sendiri bahwa sebelum pertarungan politik terjadi di tahun 2024, sudah mulai memanas dengan munculnya pelbagai isu yang menyerang calon tertentu. Anies Baswedan yang telah dideklarasikan menjadi capres sudah mulai melakukan safari politik walaupun itu belum waktunya untuk melakukan kegiatan politik. Komunikasi politik terus dibangun sebagai upaya untuk mendekatkan diri dengan rakyat namun tidak banyak juga yang melemparkan cibiran sebagai bentuk ketidaksukaannya.

Kehadiran Anies sebagai kandidat tidak serta merta memperlihatkan sikap publik yang menerimanya. Ada lawan politik yang mulai mencari-cari isu untuk menumbangkan lawan politiknya.  Politik identitas yang terjadi pada masa lampau dibongkar kembali untuk disajikan pada ruang publik dengan satu tujuan utama adalah menumbangkan lawan sebelum dan saat bertarung. Memang, berpolitik a la Indonesia, sudah masuk ke wilayah abu-abu dan sulit ditebak oleh lawan. Atau meminjam bahasa Ben Anderson: musuh bangsa Indonesia adalah “mafia.”

Ben Anderson melihat bahwa seluruh lini kehidupan bangsa ini sudah dirasuki oleh mafia dan dengan demikian kita sulit untuk membangun peradaban politik yang bersih dan lebih elegan. Demi mengejari kursi kekuasaan, ada “mafia” yang bekerja secara investigatif untuk mencari dosa-dosa masa lampau dari lawan politik. “Mafia” menjadi gerakan masif dalam membangun strategi politik yang bisa mematahkan lawan. Mafia sepertinya menjadi agenda terselubung pada politisi yang ingin menghancurkan lawan politik. Di sini kita bisa membaca kegamangan dalam memahami esensi politik sebenarnya.

Isu yang dihembuskan oleh para politisi dengan memanfaatkan orang lain sebagai penyebar isu, menjadikan mafia politik ini semakin menjijikan dan masyarakat semakin muak dengan tingkah laku para politisi. Mestinya para pendukung maupun partai pengusung harus mengedepankan program-program yang berpihak pada rakyat karena hanya dengan program unggul yang ditawarkan kepada masyarakat, menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dan pada akhirnya memberikan pilihan yang tepat. Kenyataan berbicara lain, bahwa yang dikedepankan oleh para politisi dan calo pemimpin lebih banyak merancang isu sebagai strategi untuk menjatuhan lawan dan bukannya merancang program yang bisa ditawarkan kepada masyarakat.

sumber gambar: www.silontong.com

Semua figur yang menjadi capres sedang menanti pinangan dari partai koalisi.  Masyarakat diminta untuk menjejali rekam jejak para figur yang akan bertarung. Barisan para capres dan cawapres nanti, mudah-mudahan tidak seperti barisan kafilah padang pasir yang nampak begitu dahaga dan berburu sumber air. Politik praktis dalam skala nasional  masih memperlihatkan hausnya para calon akan kursi kekuasaan yang direbutnya. Publik menanti dengan cemas. Siapa sesungguhnya pemimpin baru untuk Indonesia?*** (Valery Kopong)

Friday, December 2, 2022

Air Mata dan Harapan Mesianik

 

Perhelatan demokrasi pada Pilpres 2024 semakin menarik perhatian. Di satu sisi, ada animo para kandidat untuk menawarkan janji jalan pintas mengentaskan kemiskinan pada masyarakat dan di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa kemiskinan masih menjadi warna utama tentang Indonesia. Pada pesta demokrasi ini nanti, nuansa masyarakat yang fanatik dengan para kandidat yang dijagokan masih terlena dengan tawaran jalan pintas untuk membonsai kemiskinan dan menyulapnya menjadi masyarakat yang makmur. Apakah para politisi dan kandidat yang bertarung sedang hidup di “negeri seribu satu malam” yang lebih sering menawarkan hiburan palsu? Bertitik tolak pada realita tentang kemiskinan Indonesia, maka para kandidat mesti merumuskan secara tepat mengenai program-program unggulan yang realistis dijalani nanti sebagai bentuk jawaban atas permasalahan sosial yang sedang membelenggu masyarakat. Apakah Pilpres  masih relevan, kalau hanya sekedar mencari uang dan kekuasaan? Pertanyaan sederhana ini menjadi titik refleksi yang menyadarkan kita tentang pentingnya memilih pemimpin yang kredibel.

Pemilu tidak hanya sekedar mencari kekuasaan dan memperkaya diri setelah berkuasa tetapi pemilu mestinya dimaknai secara baru, yakni sebagai proses seleksi calon pemimpin untuk menghasilkan pemimpin yang kredibel dan berkomitmen untuk mensejahterakan rakyat. Proses seleksi pada Pilpres  yang bermartabat adalah membiarkan hati nurani rakyat untuk menilai dan menentukan pilihan tanpa tersandera oleh tekanan dan iming-iming uang.

Seorang pemimpin harus menerjemahkan kata-kata yang terungkap pada janji-janji politis ke dalam program praktis yang dapat memenuhi kebutuhan publik. Dalam tataran politik nasional, publik masih menaruh harapan pada apa yang akan dilakukan oleh pemimpinnya. Dalam ruang demokrasi yang sumpek ini masyarakat  masih menarik nafas untuk membangun harapan baru di tengah janji-janji yang akan ditawakan para  kandidat yang sedang menjejali pola pikir publik. Dalam konteks Kristiani, masyarakat diibaratkan sebagai bani Israel pra-Mesias yang merindukan seorang penyelamat (Mesias) yang dijanjikan oleh Allah pada mereka sebagai bangsa pilihan. Allah mengutus Mesias kepada yang merindukan kehadiran-Nya, namun masyarakat Israel menolak Mesias karena tidak sesuai dengan kriteria manusiawi. Bahwa Mesias yang dirindukan dan dinantikan adalah Dia yang perkasa dan akan menumpas para musuh, namun Allah mengirim penyelamat yang datang dalam kelembutan seorang bayi Yesus.

Dalam konteks demokrasi Indonesia yang akan mengadakan Pilpres di tahun 2024 tentunya para konstituen memiliki kriteria-kriteria khusus yang menjadi karakter utama dan ciri khas yang bisa membedakan antara satu kandidat dengan kandidat lain. Untuk mengetahui ciri khas dari para kandidat maka perlu terlebih dahulu untuk mengetahui rekam jejak agar para pemilih tidak terjebak pada bilik suara saat menjatuhkan pilihannya. Untuk memberi informasi kepada publik tentang rekam jejak para kandidat, media massa dan media online secara netral memberikan keunggulan dan kelemahan yang ada dalam diri para capres dan wacapres agar para pemilih terbantu sebelum menentukan pilihan secara tepat.

Tanah Air mata dan Harapan Mesianik

Memandang Indonesia  dan membandingkan dengan negara-negara lain, terkesan masih jauh dari harapan. Keterbelakangan dalam dunia pendidikan, ekonomi dan kelayakan hidup, masih tergolong di bawah garis kemiskinan. Masih banyak ratapan tentang kemiskinan menggema di bumi ini.  Penulis memandang Indoensia  dari celah puisi Sutardji Calzoum Bachri, penyair kontemporer. Dalam puisi yang berjudul “Tanah Air Mata” menunjukkan sebuah penyelaman secara mendalam akan penderitaan yang dihadapi oleh masyarakat. Melalui puisi, ia hadir dan memberikan peristiwa derita ini menjadi pengalaman bernyawa serta sanggup menggugah kesadaran untuk memahami urat nadi kehidupan. Puisi Tanah Air Mata seakan menjadi “keranjang sampah, tempat segala derita dititipkan. Tanah air mata tanah tumpah dukaku// Mata air air mata kami//Air mata tanah air kami. Di sinilah kami berdiri//Menyanyikan air mata kami. Di balik gembur subur tanahmu//Kami simpan perih kami//Dibalik etalase megah gedung-gedungmu//Kami coba sembunyikan derita kami.

Penggalan puisinya di atas lebih menunjukkan sebuah keberpihakan yang mendalam melalui sorot mata air mata. Air mata menjadi simbol kekuatan bagi mereka yang ingin menemukan sebuah kebebasan. Air mata memiliki daya dobrak terutama ketika berhadapan dengan kemelut batin. Air mata menjadi saluran terakhir ketika segala daya upaya meloloskan diri dari permasalahan dan menemukan jalan buntu. Air mata menjadi “rahim khatulistiwa” yang sanggup menyelimuti segala persoalan yang tengah dihadapi anak bangsa. Tetapi mengapa mereka sanggup meneteskan air mata? Apakah mereka yang menangis, berhasil mengeluarkan air matanya sendiri ataukah meminjam air mata orang lain? Air mata yang diteteskan adalah air mata penuh sinis.

Mereka (anakbangsa) sinis terhadap tindakan yang eksploitatif dan koruptif dari para pejabat. Tanah air mata merupakan judul puisi tetapi sekaligus sebagai judul kehidupan di permukaan negeri  ini. Kekayaan baru bagi mereka yang miskin adalah air mata. Penyair kontemporer ini secara jeli memantau dan mencoba untuk menceburkan diri bersama kaum papa ke dalam telaga puisi. Penggalan puisi keberpihakkan di atas memungkinkan seorang penyair untuk selalu mengada dalam ruang dan waktu pergulatan hidup masyarakat yang terpinggirkan. Di sini, puisi dapat dilihat sebagai tameng yang sanggup melindungi dan menghibur bagi mereka yang memiliki kerinduan untuk dihibur. Kekuatan puisi yang terkesan mempermainkan kosa-kata ini jauh lebih manjur dari sepenggal doa yang didaraskan oleh kaum berpunya.

Tanah air mata adalah simbol tumpuan kerinduan sebagian masyarakat Indonesia untuk segera bangkit dari keterpurukan hidup. Air mata yang terus mengalir membasahi keriputnya wajah-wajah tak berdaya menjadi praisyarat bahwa perjuangan mereka untuk diperhatikan tak akan menemukan titik kulminasi. Air mata menjadi kekuatan hipnotis bagi mereka yang peduli dengan kehidupan mereka yang jauh dari sentuhan kemewahan. Tetapi apakah kerinduan yang mengalir bersama air mata yang nyaris mengering dapat meminta perhatian dari pejabat?


Para kandidat Capres yang akan bertarung perlu mengolah rasa untuk lebih mengenal masyarakat pinggiran. Bila perlu belajar seperti seorang penyair yang peka terhadap situasi yang dihadapi dan selalu membangun rasa gelisah ketika berhadapan dengan realitas. Mungkinkah calon pemimpin Indonesia kelak menjadi penyelamat  dari kemiskinan dan terus membangun harapan politik-mesianik? Hanya para kandidat yang tahu.***(Valery Kopong)

 

Thursday, December 1, 2022

“Lahir Karena Tulisan”

 


Membaca berita hari ini di media sosial terutama dari orang-orang Nusa Tenggara Timur, memberikan proficiat dan selamat atas ulang tahun Harian Umum Pos Kupang ke 30. Ulang tahun  ke 30 ini mengingatkan kita akan perjuangan awal mendirikan media cetak di NTT dan bertahan sampai dengan hari ini. Secara pribadi, saya sendiri mengikuti perkembangan Pos Kupang sejak di seminari menengah sampai kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Pos Kupang, sebuah media cetak yang lahir belakangan setelah adanya majalah DIAN dan Kunang-Kunang yang dikelola oleh Serikat Sabda Allah (SVD) yang berperan penting dalam mencerdaskan masyarakat Nusa Tenggara Timur.

Media-media cetak yang hadir di NTT, baik berpusat di Ende maupun di Kupang, berperan penting, tidak hanya memberikan gairah membaca bagi masyarakat tetapi juga menyediakan tempat bagi para penulis pemula yang ingin mengirim tulisannya ke meja redaksi. Tentang Pos Kupang yang hari ini berusia 30 tahun, saya sendiri tidak hanya sebagai pembaca setia tetapi juga sebagai penulis, mengisi kolom opini. Saya sendiri pada awal mengirim tulisan ke Pos Kupang, sepertinya ragu, jangan-jangan bisa ditolak oleh redaksi. Atas ketakutan yang berlebihan ini maka saya mencari cara, yakni nebeng dengan teman yang sering nongol opininya di Harian Umum Pos Kupang, atau sering disebut sebagai Kompas-nya NTT.

Suatu ketika saya mengajak teman saya, namanya Blasius Lodo Dai. Beliau sangat lihai dalam merangkai kata-kata dan memberikan gagasan untuk memperkuat opininya pada tulisan itu. Kami sering berdiskusi tentang persoalan soal politik waktu itu yang lagi ramai dibicarakan. Dari hasil diskusi itu, dirumuskan menjadi sebuah opini dan dengan memperlihatkan pelbagai argumen yang tajam serta pilihan solusi atas kasus yang diulas itu. Saya sendiri sudah lupa, tahun berapa kami mengirim tulisan dengan menampilkan nama saya dan nama temanku. Ternyata selang beberapa hari setelah tulisan itu dikirim, dimuat oleh redaksi Pos Kupang. Saya sendiri bangga bahwa opini bersama, antara saya dan temanku dimuat di Pos Kupang.

Awalnya nebeng dengan teman, tetapi selanjutnya saya sendiri mencoba mengirim tulisan opini dan ternyata dimuat juga. Perjumpaan jarak jauh semakin intens, dipertemukan oleh gagasan dengan redaktur Pos Kupang. Perkenalanku semakin intens ketika saya menjalani masa orientasi di LBH Justitia-Kupang. Sambil membantu pekerjaan di LBH Justitia Kupang, hampir setiap hari saya mengirimkan tulisan, baik opini maupun cerpen. Banyak orang menjadi tahu dan membaca tulisan-tulisanku waktu itu. Pernah suatu waktu, saya mengirimkan sebuah cerpen berbau budaya dan dimuat di kolom cerpen Pos Kupang. Setelah dimuat cerpenku itu, saya dihubungi dari kantor redaksi Pos Kupang. Cerpen saya ternyata diapresiasi oleh penulis novel terkenal, Ibu Matildis Banda. Menurutnya, cerpen berbau budaya itu sangat langka dan jarang sekali orang mengangkat persoalan budaya dalam bentuk cerpen. Karena itu beliau meminta bantuanku untuk terus menulis cerpen berbau budaya, tidak hanya sebagai bentuk penghargaan terhadap budaya tetapi juga memperkenalkan budaya-budaya lokal yang kaya akan kearifan. Selamat ulang tahun ke 30 Pos Kupang, ad multos annos.***(Valery Kopong)

 

Wednesday, November 30, 2022

Mendekap Luka

 

Sumber foto: detik.com

Di tengah upaya membangun kerukunan umat beragama melalui gerakan “Moderasi Beragama,” rasanya sia-sia bila melihat tindakan intoleran yang terjadi di Cianjur, tempat terjadinya gempa bumi yang memporak-porandakan rumah-rumah warga bahkan menelan korban jiwa. Para korban saat ini berada di tenda-tenda darurat sebagai bentuk antisipasi jika terjadi gempa susulan. Kondisi seperti ini mengundang perhatian dari para pemerhati kemanusiaan untuk turun tangan dan mengatasi korban gempa. “Luka mereka adalah luka bersama” dan juga luka bangsa, karena itu tidak mengherankan hampir semua pihak turun tangan mengatasi persoalan kemanusiaan ini.

 

Tidak hanya para elite dan kaum berdasi yang menaruh harap dan perhatian pada mereka yang terluka serta membantunya namun juga orang-orang biasa. Hari-hari belakangan ini di jalan raya, kelompok-kelompok masyarakat meminta sumbangan dengan mengatasnamakan korban gempa Cianjur. Ada teman saya nyeletuk, apakah uang-uang itu sampai ke korban gempa Cianjur? Pertanyaan yang penuh keraguan ini adalah sesuatu yang lumrah karena soal tingkat kepercayaan masyarakat pada relawan dadakan yang muncul di tengah bencana. Namun siapa pun yang dengan tulus memberikan sumbangan, silakan memasukan uangnya pada kotak yang telah disediakan. Persoalan apakah uang itu disalurkan secara benar atau tidak, bukan urusan orang-orang yang dengan suka rela memberi uang itu.

 

Di tengah perhatian pemerintah  terhadap korban gempa Cianjur dan juga para relawan yang mengirimkan sumbangan dan tenaga-tenaga suka rela, ingin membantu agar Cianjur segera pulih. Namun kebaikan itu tidak dibalas dengan kebaikan. Apa yang kita lakukan baik, belum tentu dinilai baik oleh orang lain. Soal perhatian dan kebaikan yang diberikan pada Cianjur, justeru tidak dibalas dengan kebaikan yang sama, atau minimal mengucapkan kata terima kasih. Beberapa informasi di media sosial mengungkap persoalan intoleran dialami oleh orang-orang tertentu dengan mengedepankan label agama. Sebagai contoh, ada curhatan seorang dokter perempuan beragama Katolik di media sosial. Ketika ia datang ke Cianjur sebagai relawan untuk membantu masyarakat yang terkena bencana alam ini, justeru ditolak karena berbeda agama dengan korban yang dilayani itu.

 

Memang miris melihat situasi seperti ini, apalagi di tengah puing dan reruntuhan hidup. Masihkah kita menolak sesama yang mau membantu yang terluka hanya karena berbeda agama? Esensi agama, apa pun agama yang dianut, mengajarkan tentang kebaikan dan cinta kasih. Cinta kasih menjadi landasan utama dalam bertindak dan menjumpai sesama. Cinta menggerakan setiap orang untuk peka terhadap korban bencana itu, namun “atas nama agama” kelompok-kelompok tertentu harus menghentikan pelayanannya karena berbeda agama. Agama seakan-akan menjadi momok yang menakutkan dan memberi daya pisah di antara kita. Masihkah kita bertahan dengan sikap egois untuk tidak mau dilayani walaupun terus mendekap luka?***(Valery Kopong)

 

 

 

 

Tuesday, November 29, 2022

Tenda Pengungsi

 

Membaca berita di medsos yang beredar pada hari-hari belakangan ini tentang logo gereja yang melekat pada terpal tenda pengungsi korban gempa Cianjur dirobek oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tindakan yang kurang terpuji ini menuai reaksi beragam dari pada  nitizen. Ada yang berpandangan bahwa sebaiknya kalau membantu orang, jangan membawa logo gereja karena “apa yang dilakukan oleh tangan kanan, tidak boleh diketahui oleh tangan kiri” dan  supaya tidak memancing reaksi. Pandangan sebagian nitizen ini juga baik bahwa memberi harus dengan tulus tanpa memperlihatkan logo serta identas seorang pemberi. Sementara itu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa logo gereja itu tetap dipasang karena tenda yang dipakai itu inventaris gereja dan juga sebagai bentuk pertanggung jawaban gereja pada pihak donatur. Semua pandangan ini baik dan bisa diterima.

Dua pandangan nitizen ini berseberangan namun peristiwa yang dikritisi itu sudah terjadi. Dalam sebuah video yang beredar tentang peristiwa perobekan logo gereja pada tenda-tenda pengungsi, memperlihatkan bahwa para pengungsi tidak mempersoalkan logo, entah dari gereja atau dari instansi lain yang memberikan bantuan. Bagi para pengungsi, satu harapan mereka adalah bisa ditolong pada saat darurat ini agar perlahan mereka bisa pulih dan bangkit kembali. Akibat ulah dari orang yang tidak bertanggung jawab itu, tenda-tenda yang disobek logo gerejanya, pada akhirnya bocor dan kemasukan air hujan.

Aksi serupa ini juga mengingatkan penulis akan peristiwa yang pernah muncul di daerah Bantul pada situasi bencana alam. Ketika wilayah Yogyakarta terkena bencana gempa bumi dan memporak-porandakan rumah warga pada beberapa tahun yang lalu, semua pihak membuka mata dan membantu para korban, termasuk gereja. Para pengungsi yang waktu itu mengungsi di area salah satu paroki di Bantul, kebetulan banyak teman-teman muslim juga turut mengungsi di area gereja itu. Tidak jadi masalah karena dalam kondisi darurat dan musibah seperti itu, orang tak lagi memikirkan pengkotak-kotakan berdasarkan agama, tapi yang terpenting adalah bagaimana para pengungsi itu menyelamatkan diri dan ditangani dengan baik.

Sumber foto: www.konteks.co.id

Dalam situasi normal, sepertinya masih terjadi polarisasi kelompok-kelompok agama. Namun sangat disayangkan pada momentum musibah seperti itu, mestinya pemikiran yang sempit tentang agama dan kehidupan keagamaan  itu harus disingkirkan. Yang harus kita munculkan adalah kemanusiaan. Nilai-nilai keagamaan yang selama ini kita pelajari, mestinya diwujudnyatakan dalam tindakan kasih pada mereka yang terkena korban bencana. Puncak pemahaman nilai agama tidak terletak pada narasi biblis saja tetapi justeru mendapatkan penegasan pada tindakan membagi kasih pada mereka yang terluka karena bencana. Sampai saat ini, masih banyak orang Indonesia terlalu mementingkan aspek ketuhanan, sampai lupa dengan aspek kemanusiaan. Mudah-mudahan peristiwa yang tidak terpuji ini tidak terulang lagi.***(Valery Kopong)

Monday, November 28, 2022

Malaikat Mikhael

 


Malaikat Mikhael tidak asing bagi kita kalangan  Katolik. Malaikat ini berperan penting dalam melawan iblis dan kekuatan-kekuatan lain yang menghancurkan. Kitab Suci Perjanjian Lama mengisahkan kehancuran dua kota, Sodom dan Gomora dan juga berperan penting dalam membantu penguburan Nabi Musa. Sodom dan Gomora, dua kota ini menjadi saksi sejarah atas murkanya Allah terhadap manusia yang menghuni dua kota ini. Berfirmanlah TUHAN: "Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang Sodom dan Gomora dan sesungguhnya sangat berat dosanya. Baiklah Aku turun untuk melihat, apakah benar-benar mereka telah berkelakuan seperti keluh kesah orang yang telah sampai kepada-Ku atau tidak; Aku hendak mengetahuinya."(Kejadian 18:20-21)

 

Ketika kota Sodom hendak menghancurkan, Abraham meminta kepada Allah untuk menangguhkan murka itu. Tawaran untuk menahan murka harus memberikan jaminan jumlah orang benar di hadapan Allah. Abraham menawar Tuhan untuk tidak membinasakan Kota Sodom, dan Tuhan sepakat untuk tidak membinasakan kota tersebut jika di dalam kota tersebut setidaknya terdapat 50 orang benar, kemudian 45, kemudian 40, kemudian 30, kemudian 20, atau juga 10 orang benar (Kejadian 18:23-32). Sepuluh orang benar tidak ada di kota itu maka murkalah Allah, namun Lot diselamatkan oleh malaikat Mikhael dalam peristiwa bersejarah itu.

 

Selain itu,  malaikat Mikhael juga berperan penting dalam penguburan Nabi Musa. Dalam proses pendampingan bangsa Israel dan mengembara selama 40 tahun di padang gurun, Musa tidak masuk dan menikmati tanah terjanji, Kanaan. Musa, sebelum meninggal, Ia memandang dari kejauhan tanah terjanji itu dari atas Gunung Nebo. Sebelum  meninggal, Ia berpesan bahwa bangsa Israel harus menunjukkan kesetiaan pada Allah. Kesetiaan menjadi penting karena hanya dengan kesetiaan pada Allah itu maka kehidupan manusia berada pada apa yang menjadi kehendak Allah.   

Malaikat Mikhael sering disebut sebagai Penjaga Sakramen Mahakudus Ekaristi. Ia adalah pemimpin bala tentara surga. Sebagai seorang prajurit, ia juga berperan untuk melindungi kita dari musuh. Ia pun memiliki kuasa untuk menghukum siapa saja yang berdosa melawan sakramen ini.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sunday, November 27, 2022

Cahaya Lilin

 


Setiap kali pesta Natal tiba, Erwin, bocah berusia 4 tahun itu begitu senang ke gereja bersama dengan kedua orang tuanya. Suatu kebiasaan yang dilakukan oleh Erwin yang  tidak pernah terlewatkan adalah selalu mengumpulkan sisa-sisa lilin yang ada di sekitar kandang Natal. Tingkah ini selalu dilihat dan dipelajari oleh kedua orang tuanya. Ketika ditanya oleh Bapaknya tentang maksud dari pengumpulan lilin itu, Erwin dengan santai menjawab bahwa apa yang dilakukan hanya sekedar iseng.  Tetapi keisengan Erwin, suatu saat  pasti membuahkan hasil.

              Hasil pengumpulan lilin-lilin sisa Natal disimpan di kardus. Beberapa tahun kemudian, rumah Erwin terkena banjir. Mereka tidak mengungsi keluar tetapi tetap bertahan di lantai atas rumahnya. Ketika lantai bawah mulai tergenang air dan berupaya untuk berpindah ke lantai atas, barang-barang yang pertama kali  dibawa ke atas adalah lilin-lilin sisa yang ada di kardus. Memang, tingkah Erwin sedikit lain dengan menyelamatkan lilin-lilin sisa itu. Tetapi tindakan yang dilakukan selama ini pada akhirnya membuahkan hasil.

              Setelah rumah tergenang banjir dan pada saat bersamaan, listrik pun dimatikan. Suasana menjadi gelap gulita dan sepi. Yang terdengar adalah bunyi guyuran hujan disertai banjir. Di tengah kegelapan itu Erwin dan kedua orang tuanya teringat akan lilin-lilin sisa Natal yang masih tersimpan di kardus. Dua batang lilin dinyalakan untuk menghalau kegelapan yang sedang mendera wilayah perumaha Erwin dan orang tuanya.    

              Apa yang dilakukan oleh Erwin terkesan sederhana. Tindakan mengumpulkan sisa lilin Natal beberapa tahun lamanya dianggap sebagai hal biasa. Tetapi Erwin kini merasa bangga. Bocah yang belum fasih berbicara ini memperlihatkan sebuah tindakan antisipatif pada hari-hari yang tidak pernah diketahui, dan apa yang terjadi di waktu-waktu mendatang. Orang tua  Erwin tersenyum bahagia di tengah kepungan banjir yang melanda rumah mereka. Rumah-rumah tetangga bagai perkampungan mati karena tidak ada aliran listrik. Tetapi rumah Erwin membersitkan penggalan cahaya dari sisa-sisa lilin Natal. Lilin sisa yang dipungut dari kandang hina tetap memberikan secercah cahaya bagi mereka yang berani melihat kerdipan lilin di tengah kegelapan.

              Tuhan membuat segala sesuatu itu indah pada waktunya. Cahaya lilin yang terpantul dari kegelapan adalah bentuk kerinduan terdalam dari mereka yang ingin untuk tidak diliputi oleh  kegelapan malam. Erwin telah menghantar kedua orang tuanya untuk bisa memahami makna cahaya baru dari sisa-sisa lilin Natal. Seperti Yesus yang memilih kandang hewan untuk dilahirkan dan membawa pesan kesederhanaan, demikian juga Erwin telah memberi pesan kesederhanaan dari cahaya lilin-lilin sisa yang dipungut sekian tahun di seputar kandang Natal.***(Valery Kopong)

Saturday, November 26, 2022

Panggilanku Terhambat

 


Setiap kali bertemu dengan Romo Dan di ruang sakristi, sepertinya naluri panggilanku untuk menjadi calon imam semakin terasa.  Khotbah Romo Dan  yang  selalu berapi-api memberikan semangat bagiku dan ingin mengikuti  jejak Kristus menjadi calon imam. Apakah benih panggilan yang mulai terpupuk sejak aku terlibat dalam kegiatan sebagai putera altar bisa terwujud? Pertanyaan sederhana ini sepertinya sedang membenturkan dinding  cita-citaku.

              Cita-citaku cuma satu. Ingin menjadi calon imam dan mengikuti pendidikan mulai di seminari menengah. Sejak duduk di bangku kelas 9 SMP Yos Sudarso, aku mempunyai niat khusus ini, apalagi didukung  oleh Romo Dan. Sosok Romo Dan adalah gembala yang baik, bisa membimbing aku untuk mengenal lebih jauh tentang arti panggilan.    

              “Cita-cita menjadi imam?” aku melamun sendiri di ruang sakristi itu

              “Jangan ngelamun, Anung!.” Boby menyadarkan Anung sekaligus sahabat putera altar.  Sekarang kita mulai bertugas. Tugas Anung hari ini adalah membawa salib.

              Dengan sigap aku mulai  mengambil salib dan bersiap untuk perarakan misa. Perarakan berjalan lancar. Misa dimulai dengan khitmat namun sangat terasa ketika mulai pembacaan Injil dan khotbah.  Romo Dan membacakan Injil tentang Yesus memanggil murid yang pertama, rasanya  seperti cocok dengan pergulatan hatiku ini. Dalam khotbahnya Romo Dan menekankan bahwa Yesus memanggil murid-murid-Nya menunjukkan inisiatif pertama datang dari Yesus sendiri. Karena itu tidak mengherankan bahwa para murid yang dipanggil segera meninggalkan segala-galanya tanpa kompromi.

 

Setelah misa, aku langsung  pulang ke rumah bersama kedua orang tuaku serta Tensae dan Doal adik-adiku. Dalam mobil kijang yang kami tumpangi, aku duduk terpaku diam dan sambil memikirkan, kapan aku harus menceritakan niatku untuk menjadi calon imam ini pada kedua orang tuaku. Tetapi dengan mendengar khotbah Romo Dan tentang panggilan, sepertinya menyiksa batinku dan seolah memaksa aku menceritakan cita-citaku pada kedua orang tuaku.

              “Anung kok diam aja?” Tanya ibunya yang duduk di samping dalam mobil itu.

              “Apa yang sedang Anung pikirkan?” Tanya ibunya dengan rasa ingin tahu.

              “Ibu mendengar isi khotbah Romo Dan di mimbar?” Aku menanya balik pada ibuku.

              “Ya, ibu mendengar baik tentang isi khotbah Romo Dan.” Romo mengatakan bahwa panggilan itu semata-mata karena inisiatif Yesus. Artinya seseorang yang dipanggil tidak punya hak untuk menolak melainkan menerima panggilan itu.

              “Mengapa Anung menanyakan isi khotbah pada ibu?” Tanya ibunya.

              “Ya, aku sengaja menanyakan isi khotbah Romo Dan dan ini menjadi kesempatan bagi aku untuk menceritakan cita-cita hidupku.

              “Apa cita-citamu, Anung?” Tanya ibunya dengan penuh penasaran

              “Cita-citaku ingin masuk ke seminari supaya bisa menjadi seorang imam. Sejak terlibat dalam kegiatan putera altar, aku merasa tertarik terutama pada kesaksian hidup Romo Dan. Bagi aku, Romo Dan adalah seorang gembala yang baik dan memimpin umatnya dengan sangat bijak. Karena itu menjadi daya tarik bagi aku  untuk menjalani hidup seperti Romo Dan.”

              “Ibu mendukungmu untuk melanjutkan pendidikan ke  seminari menengah untuk menunjang panggilanmu yang luhur ini.”

              “Apa? Ibu mendukung Anung menjadi imam? Tanya ayahnya dengan penuh sinis. Bapak sekali-kali tidak memperbolehkan Anung menjadi calon imam. Bapak ini orang Batak yang  tidak memperbolehkan anak laki-laki sulung untuk menjadi imam. Karena anak laki-laki pertama adalah pelanjut marga kita, sinaga. Adikmu saja yang akan masuk ke seminari tetapi Anung menjadi  andalan pelanjut marga kita dan pada waktunya nanti Anung menjadi pewaris keturunan dari marga sinaga.

 

              “Ah, Bapak ini suka menghalangi cita-citaku.” Tukas aku. Supaya bapak tahu bahwa panggilan dari Tuhan itu merupakan inisiatif  dari-Nya dan manusia yang dipanggil harus memberikan jawaban atas panggilan itu. Tuhan yang memanggil manusia tidak mengenal dari suku atau marga mana. Tuhan hanya mementingkan kerelasediaan manusia untuk membuka diri terhadap panggilan itu. Panggilan itu sedang aku rasakan  dan ada dorongan yang sangat kuat untuk mengikuti panggilan itu dengan memulai langkah awal masuk ke seminari menengah.

 

Sesampai di rumah, kami mulai berdebat lagi tentang panggilan dan menjadi cita-citaku. Tetapi bapakku berkeras kepala dan mempertahankan pola pikir lama dan selalu mengarah pada kepentingan marga Sinaga. Apakah karena mementingkan keberlangsungan  hidup  marga Sinaga sehingga cita-citaku menjadi korban?  Aku terus berdoa supaya Tuhan sendiri bisa membuka pintu hati bapakku untuk memahami lebih jauh arti panggilan ini.  Aku merasa gagal  menjalani panggilanku karena terbentur pada tuntutan marga.***(Valery Kopong)

 

 

 

Thursday, November 24, 2022

Filosofi Bola

 

Beberapa hari belakangan ini, obrolan seputar bola sedang menghangat pada setiap lini kehidupan. Di warung-warung kopi dan angkringan, sambil menyeruput minuman kopi jahe, topik tentang bola terus digelindingkan sebagai cara menghidupkan piala dunia, walau jarak antara Qatar sebagai tempat perhelatan piala dunia dan angkringan itu, mirip langit dan bumi, begitu jauh. Bola memberikan spirit, tak hanya pada laga hijau tanah lapang namun menembus jiwa para penonton. Ketika kesebelasan Arab membobolkan gawang dan menggetarkan jaring pada lini pertahanan Argentina, para fans Argentina sepertinya murung dan kehilangan selera makan. Bentangan kekalahan Argentina, negeri yang menghasilkan benih-benih pemain bola dunia harus bertekuk lutut di bawah “banana kick” pemain Arab.

Tak lama berselang, keesokan harinya kesebelasan Jerman bertarung melawan Jepang, ternyata negeri Samurai itu “memburai” gawang team banser yang terkenal garang pada piala dunia sebelumnya. Semua yang terjadi itu, baru langkah awal. Ini baru babak penyisihan, artinya masih ada peluang untuk bertarung meraih tiket supaya bisa masuk pada babak selanjutnya. Pada tahap penyisihan dengan kekalahan pada negara-negara bergengsi dan sangat disegani dalam piala dunia, harus tunduk sembari mengamini kemenangan lawan.

Piala dunia yang sedang berlangsung ini tidak hanya menggema di negara-negara yang terkenal dengan pemain sepak bola tingkat dunia. Namun Indonesia yang tak pernah masuk piala dunia pun lebih sibuk menonton dan bahkan menjadi komentator terbaik menurut para analis bola Indonesia. Riuhnya penonton Indonesia yang duduk di depan layar kaca, menunggu dengan jantung setengah berdenyut, menuruti alur permainan klub kesayangan.  Orang-orang Indonesia sebagai penonton aktif, terus memberikan spirit pada klub kesayangan. Dalam satu rumah saja, masing-masing anggota keluarga pasti memilih klub kesayangan dan pada akhirnya membuka pertarungan ini menjadi ramai. Bola memang bundar dan terus menggelinding di lapangan hijau. Bola tak sekedar kulit dan diisi dengan angin, namun lebih dari itu ada filosofi bola yang terus menghipnotis para penonton hingga pada akhirnya orang gila pada bola.


Bagi seorang pemain bola, “Setiap detik adalah final bagi kehidupan.” Karena itu para pemain, sebelum bertanding harus mempersiapkan diri secara matang. Mungkin selama ini Arab lebih serius melatih strategi dan membangun stamina untuk menghadapi lawan di lapangan hijau. Atau juga Jepang berani mempertaruhkan reputasi untuk mengangkat nama Asia semakin bergengsi dengan menekuk Jerman di babak penyisihan. Arab, Jepang barangkali di mata Argentina dan Jerman kurang diperhitungkan. Mungkin juga penonton tak memperhitungkan Arab dan Jepang yang bisa memenangi lawannya. Dan di arena permainan, kata Charles Baudelaire, Pelapis Schmidt di bagian depan, selalu mengingatkan para pemain bahwa hidup hanya mempunyai sebuah pesona tunggal yakni permainan. Dan jika kita masuk atau terperangkap masuk dalam pola permainan maka masing-masing orang harus mengantongi pertanyaan filosofis ini: “Maukah Anda menang atau kalah?”***(Valery Kopong)