Sumber foto: detik.com |
Di tengah upaya membangun kerukunan umat beragama melalui
gerakan “Moderasi Beragama,” rasanya sia-sia bila melihat tindakan intoleran
yang terjadi di Cianjur, tempat terjadinya gempa bumi yang memporak-porandakan
rumah-rumah warga bahkan menelan korban jiwa. Para korban saat ini berada di
tenda-tenda darurat sebagai bentuk antisipasi jika terjadi gempa susulan. Kondisi
seperti ini mengundang perhatian dari para pemerhati kemanusiaan untuk turun
tangan dan mengatasi korban gempa. “Luka mereka adalah luka bersama” dan juga
luka bangsa, karena itu tidak mengherankan hampir semua pihak turun tangan
mengatasi persoalan kemanusiaan ini.
Tidak hanya para elite dan kaum berdasi yang menaruh harap
dan perhatian pada mereka yang terluka serta membantunya namun juga orang-orang
biasa. Hari-hari belakangan ini di jalan raya, kelompok-kelompok masyarakat meminta
sumbangan dengan mengatasnamakan korban gempa Cianjur. Ada teman saya nyeletuk,
apakah uang-uang itu sampai ke korban gempa Cianjur? Pertanyaan yang penuh
keraguan ini adalah sesuatu yang lumrah karena soal tingkat kepercayaan
masyarakat pada relawan dadakan yang muncul di tengah bencana. Namun siapa pun
yang dengan tulus memberikan sumbangan, silakan memasukan uangnya pada kotak
yang telah disediakan. Persoalan apakah uang itu disalurkan secara benar atau
tidak, bukan urusan orang-orang yang dengan suka rela memberi uang itu.
Di tengah perhatian pemerintah terhadap korban gempa Cianjur dan juga para
relawan yang mengirimkan sumbangan dan tenaga-tenaga suka rela, ingin membantu
agar Cianjur segera pulih. Namun kebaikan itu tidak dibalas dengan kebaikan. Apa
yang kita lakukan baik, belum tentu dinilai baik oleh orang lain. Soal perhatian
dan kebaikan yang diberikan pada Cianjur, justeru tidak dibalas dengan kebaikan
yang sama, atau minimal mengucapkan kata terima kasih. Beberapa informasi di
media sosial mengungkap persoalan intoleran dialami oleh orang-orang tertentu
dengan mengedepankan label agama. Sebagai contoh, ada curhatan seorang dokter
perempuan beragama Katolik di media sosial. Ketika ia datang ke Cianjur sebagai
relawan untuk membantu masyarakat yang terkena bencana alam ini, justeru
ditolak karena berbeda agama dengan korban yang dilayani itu.
Memang miris melihat situasi seperti ini, apalagi di tengah
puing dan reruntuhan hidup. Masihkah kita menolak sesama yang mau membantu yang
terluka hanya karena berbeda agama? Esensi agama, apa pun agama yang dianut,
mengajarkan tentang kebaikan dan cinta kasih. Cinta kasih menjadi landasan
utama dalam bertindak dan menjumpai sesama. Cinta menggerakan setiap orang untuk
peka terhadap korban bencana itu, namun “atas nama agama” kelompok-kelompok
tertentu harus menghentikan pelayanannya karena berbeda agama. Agama seakan-akan
menjadi momok yang menakutkan dan memberi daya pisah di antara kita. Masihkah
kita bertahan dengan sikap egois untuk tidak mau dilayani walaupun terus
mendekap luka?***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment