Wednesday, November 30, 2022

Mendekap Luka

 

Sumber foto: detik.com

Di tengah upaya membangun kerukunan umat beragama melalui gerakan “Moderasi Beragama,” rasanya sia-sia bila melihat tindakan intoleran yang terjadi di Cianjur, tempat terjadinya gempa bumi yang memporak-porandakan rumah-rumah warga bahkan menelan korban jiwa. Para korban saat ini berada di tenda-tenda darurat sebagai bentuk antisipasi jika terjadi gempa susulan. Kondisi seperti ini mengundang perhatian dari para pemerhati kemanusiaan untuk turun tangan dan mengatasi korban gempa. “Luka mereka adalah luka bersama” dan juga luka bangsa, karena itu tidak mengherankan hampir semua pihak turun tangan mengatasi persoalan kemanusiaan ini.

 

Tidak hanya para elite dan kaum berdasi yang menaruh harap dan perhatian pada mereka yang terluka serta membantunya namun juga orang-orang biasa. Hari-hari belakangan ini di jalan raya, kelompok-kelompok masyarakat meminta sumbangan dengan mengatasnamakan korban gempa Cianjur. Ada teman saya nyeletuk, apakah uang-uang itu sampai ke korban gempa Cianjur? Pertanyaan yang penuh keraguan ini adalah sesuatu yang lumrah karena soal tingkat kepercayaan masyarakat pada relawan dadakan yang muncul di tengah bencana. Namun siapa pun yang dengan tulus memberikan sumbangan, silakan memasukan uangnya pada kotak yang telah disediakan. Persoalan apakah uang itu disalurkan secara benar atau tidak, bukan urusan orang-orang yang dengan suka rela memberi uang itu.

 

Di tengah perhatian pemerintah  terhadap korban gempa Cianjur dan juga para relawan yang mengirimkan sumbangan dan tenaga-tenaga suka rela, ingin membantu agar Cianjur segera pulih. Namun kebaikan itu tidak dibalas dengan kebaikan. Apa yang kita lakukan baik, belum tentu dinilai baik oleh orang lain. Soal perhatian dan kebaikan yang diberikan pada Cianjur, justeru tidak dibalas dengan kebaikan yang sama, atau minimal mengucapkan kata terima kasih. Beberapa informasi di media sosial mengungkap persoalan intoleran dialami oleh orang-orang tertentu dengan mengedepankan label agama. Sebagai contoh, ada curhatan seorang dokter perempuan beragama Katolik di media sosial. Ketika ia datang ke Cianjur sebagai relawan untuk membantu masyarakat yang terkena bencana alam ini, justeru ditolak karena berbeda agama dengan korban yang dilayani itu.

 

Memang miris melihat situasi seperti ini, apalagi di tengah puing dan reruntuhan hidup. Masihkah kita menolak sesama yang mau membantu yang terluka hanya karena berbeda agama? Esensi agama, apa pun agama yang dianut, mengajarkan tentang kebaikan dan cinta kasih. Cinta kasih menjadi landasan utama dalam bertindak dan menjumpai sesama. Cinta menggerakan setiap orang untuk peka terhadap korban bencana itu, namun “atas nama agama” kelompok-kelompok tertentu harus menghentikan pelayanannya karena berbeda agama. Agama seakan-akan menjadi momok yang menakutkan dan memberi daya pisah di antara kita. Masihkah kita bertahan dengan sikap egois untuk tidak mau dilayani walaupun terus mendekap luka?***(Valery Kopong)

 

 

 

 

0 komentar: